"Mas, belum pernah makan handuk yang habis untuk ngupil?" tanyaku, tajam.
Mas Farzan menggeleng dengan cepat. Dia juga menarik sudut kanan bibirnya, seperti orang yang merasa jijik.
"Mau nyoba? Kebetulan Sarah, habis ngupil ini," ucapku seraya menyodorkan handuk di tangan.
Mas Farzan memundurkan tubuhnya, hingga ia nyebur ke dalam bak kosong.
"Aarrkkhh! Sarah ... Menjauh!" teriaknya, dengan tangan dan kaki bergerak mengusirku.
Hahahaha. Ternyata lelaki macho ini, jijik sama upil. Awas saja kalau berani mengerjaiku. Akan aku balas pakai upil, kamu Mas.
"Jadi, sekarang siapa duluan yang mandi?" tanyaku, saat sudah berhenti mengganggunya.
"Kamu sajalah. Saya, mau lihat paket," jawabnya. Mas Farzan bergegas meninggalkanku sendirian di kamar mandi.
Akhirnya, aku bisa bernapas lega, selamat.
Aku mengunci rapat-rapat pintu kamar mandi. Pokoknya, aku nggak mau kecolongan lagi. Aku harus
"Kenapa Kevin dan Raffa ada di sini?" tanya Mas Farzan yang baru saja keluar dari kamar. Dia sudah rapi dengan kemeja yang melekat pas di tubuhnya. Ah, aku terlambat datang rupanya."Mbak Diana menitipkannya padaku, Mas. Karena aku tidak bekerja, jadi tidak apalah," jawabku, sambil melepaskan cengkraman di rambutku. Bocah Imut ini sedang berusaha memakan rambutku yang berhasil ia gapai. Mulut kecilnya sudah terbuka lebar hendak melahap tangannya."Jangan, sayang. Nggak boleh makan rambut," ucapku pelan setelah berhasil melepasnya. Bocah itu kembali mencari-cari rambutku, hendak digapainya. "Kenapa harus dititipkan? Bukannya sudah ada baby sister yang disewa Bang Malik?" tanyanya lagi menginterogasi. "Nggak tau, Mas. Katanya baby sister Kevin dan Raffa sudah berhenti bekerja.""Berhenti bekerja? Sejak kapan?""Sejak kemarin mungkin. Sarah, juga nggak tanya sampai mendetail gitu. Takut menyinggung Mbak Diana.""Oh, ya sudah. Hari ini saya harus bekerja. Dan mungkin tidak pulang sel
"Eh, Nak Sarah! Cium tangan suamimu. Lah, kok malah cuma berjabat tangan seperti artis ketemu sama fansnya, saja!" tegur Ibu, lalu tertawa terbahak-bahak. Mas Farzan juga ikut menertawaiku.Eh, ya ampun! Kenapa aku jadi telat mikir sih?Aku kembali meraih tangan Mas Farzan, dan kuarahkan ke bibir. Aku menciumnya sekilas lalu melepaskannya kembali."Nah, begitu. Suami istri itu, harus romantis," ujar Ibu, sesaat setelah menghentikan tawanya."Maaf, Bu." Aku menunduk menahan malu."Ya, sudah. Bu Farzan, pamit." Lelaki itu akhirnya pergi.Dari suara langkah kaki menjauh, aku sudah bisa menebaknya."Ayo, kita masuk." Ibu menggendong Kevin, dan mengajakku masuk.***(Sarah, Nenek sakit dan butuh duit. Tolong kirimkan uang untuk berobat Nenek.) Isi pesan yang baru saja kubuka membuatku bertanya-tanya. Nomor siapakah ini? Tidak ada namanya, tapi meminta uang untuk berobat Nenek.
Ibu berdiri di ambang pintu seraya tersenyum. Ia sudah rapi dengan setelannya dan tas yang menggantung indah di lengannya."Ayo, kita jalan-jalan. Ibu bosan di rumah," ungkapnya, antusias."Jalan ke mana, Bu? Tapi, Mbak Diana minta Sarah untuk menjaga anaknya."Aku bukannya ingin menolak ajakan Ibu. tapi, kedua anak Mbak Diana saat ini menjadi tanggung jawabku. mau tak mau, aku harus menuruti permintaannya."Hari ini Diana libur kerja. Jadi, biar dia yang menjaga anaknya. Kamu, ikut Ibu saja, yuk!" Ibu menarik lenganku. Ia lupa jika pakaian yang kupakai tidak lah pantas untuk dibawa jalan."Tapi, Sarah belum berganti pakaian, Bu." Aku menunjuk pakaian yang kupakai. Hanya daster rumahan yang terlihat sangat santai.Seandainya Ibu mengajakku jalan dengan pakaian ini, mungkin orang-orang yang melihat kami akan menilai jika aku adalah pembantu Ibu. Dari segi pakaian saja, su
Mas Farzan?Aku langsung menajamkan indra penglihatan saat melihat lelaki yang selama seminggu ini berada di luar kota, kini tidur di sampingku dengan wajah menghadap ke arahku. Sangat dekat, sampai aku bisa merasakan embusan napasnya.Kapan dia pulang? Kenapa tiba-tiba sudah berada di dalam kamar? Apa aku lupa mengunci pintu kamar, ya? Dan kenapa aku tidak dengar saat dia masuk ke kamar? Jangan-jangan, ini hanya halusinasiku saja?Aku cubit dia, atau cubit diri sendiri, ya? Untuk membuktikan kalau lelaki yang sedang terlelap di hadapanku ini adalah asli. 'Plak!'Aku memukul pipiku dengan sedikit tenanga. Aw, sakit juga ternyata.Berarti ini bukan mimpi ataupun halusinasi. Ternyata dia sudah pulang. Kenapa tidak memberi kabar padaku, ya? Ah, lupa. Aku ini, hanya istri hasil perjodohan. Tidak mungkin dia akan selalu mengabariku jika ingin melakukan sesuatu. Aku memandangi wajah lelaki yang baru seminggu lebih menjadi suamiku itu. Dia tertidur dengan sangat nyenyak. Napasnya teratur
"Bu, Farzan ke sana dulu, ya." Mas Farzan menunjuk gerombolan laki-laki yang sedang berbincang.Jangan berpikir, jika kami menghadiri pesta di gedung mewah. Itu tidak terjadi. Karena kenyataannya, kami menghadiri pesa di kampung, sama seperti tempat tinggalku dulu.Hanya teratak yang didekorasi sedimikian rupa, hingga membuatnya cantik dan terlihat mewah. Untuk ukuran pesta di kampung, ini sudah termasuk mewah. Untuk meyewa dekorasi secantik ini, mereka bisa saja merogoh kantong puluhan juta rupiah.Belum lagi untuk hidangan. Kemungkinan dana yang harus dikeluarkan, bisa mencapai ratusan juta untuk total semuanya.Dari pesta ini saja, bisa dilihat kalau keluarga Mas Farzan, bukanlah orang sembarangan. Mungkin saja kekuarga mereka sudah kaya tujuh turunan, tanjakan, dan belokan."Boleh. Sarah mau diajak atau ditinggal?" tanya Ibu, melihat ke arahku."Terserah dia saja. Kalau mau ikut
"Hahahah. Oh, ya, Sarah. Kapan-kapan, kita sambung lagi ngobrolnya, ya. Sekarang ada pengganggu, jadi kita tidak bisa leluasa untuk cerita. Nanti, kalau ada waktu senggang, saya akan datang berkunjung ke rumah Bi Sari. Sekalian kita ngobrol banyak. Kalau gitu, saya tinggal dulu.""I-iya," sahutku seraya mengangguk takut-takut.Bagaimana tidak takut, Mas Farzan menoleh ke arahku dan menatap dengan tatapan tajamnya."Kau, menakuti istrimu, Bung!" Afif menepuk pelan pundak Mas Farzan, seraya terkekeh. Ia kemudian pergi meninggalkan kami berdua.Aku terus mperhatikan Afif, sampai tubuhnya menghilang di keramaian. Aku mencoba mengingat diapa dia. Namun, tetap aku belum mengingatnya."Jangan dekat-dekat dengan Afif, saya tidak suka!" Suara Mas Farzan masih terdengar ketus. Dia juga belum melepaskan kaitan tangan kami.Saat aku menoleh, mulut Mas Farzan terkatup rapat. Seperti orang yang sedang merajuk."S
Sudah hampir satu bulan aku menjalani rumah tangga bersama Mas Farzan, dan sikap Ibu mertua tidak pernah berubah. Sementara Mbak Diana, dia masih pada egonya tidak menyukaiku."Nanti, saya pulangnya agak telat. Jadi, kau jaga mereka, ya. Ingat, jangan ditinggal-tinggal!" ujar Mbak Diana yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya.Mbak Diana bekerja di salah satu sekolah Negeri, di bagian tata usaha. Meski begitu, dia sudah berstatus sebagai Pegawai Negeri."Iya Mbak," jawabku seraya mengambil Raffa dari gendongan Mbak Diana.Setiap hari, aku di jadikan baby sitter gratisan oleh Mbak Diana. Aku tidak masalah, karena tidak ada kesibukan di rumah. Tapi, sayangnya Mbak Diana tidak pernah menghargaiku. Aku bukan minta dibayar, tapi setidaknya dia baik saja, itu sudah lebih dari cukup. Tapi sayangnya Mbak Diana tetap ketus padaku.Ibu selalu protes saat Mbak Diana menitipkan anak-anaknya padaku. Ibu selalu memberi usul untuk Mbak Dia
"Heh, Sarah! Nggak usah sok menceramahiku, Kamu! Kalau kamu yang menikah, wajar tidak dipestakan, toh tak ada yang kenal sama kamu. Beda dengaku yang punya banyak teman. Kalau sampai tidak pesta, mau di taruh mana mukaku ini?""Ya, di taruh lemari pakaian juga nggak papa Mbak. Kok repot-repot ngurusin mulutnya orang. Kita itu, hidup harus sesuai dengan keadaan. Kalau mampu, ya monggo, kalau nggak mampu, ya, jangan dipaksakan. Nanti Mbak sendiri yang susah pada akhirnya. Gara-gara gaya, hutang ada di mana-mana.""Aduh, aduh, mulutmu itu, Rah! Nggak usah sok bijak deh. Percuma banget aku nelpon kamu. Cuma buang-buang kuota saja. Kalau bukan karena sapi, aku ogah nelpon kamu. Pokoknya aku nggak mau tau, ya. Kamu harus menyumbangkan satu ekor sapi yang gemuk dan sehat. Harus berbobot di atas 300 kilo gram. Semua keluarga juga sudah dibagi-bagi tugasnya. Dari Nenek teratak dan pelaminan. Dari Bapakmu, beras 500 kilo gram. Dari Mas F