"Eh, Nak Sarah! Cium tangan suamimu. Lah, kok malah cuma berjabat tangan seperti artis ketemu sama fansnya, saja!" tegur Ibu, lalu tertawa terbahak-bahak. Mas Farzan juga ikut menertawaiku.
Eh, ya ampun! Kenapa aku jadi telat mikir sih?
Aku kembali meraih tangan Mas Farzan, dan kuarahkan ke bibir. Aku menciumnya sekilas lalu melepaskannya kembali.
"Nah, begitu. Suami istri itu, harus romantis," ujar Ibu, sesaat setelah menghentikan tawanya.
"Maaf, Bu." Aku menunduk menahan malu.
"Ya, sudah. Bu Farzan, pamit." Lelaki itu akhirnya pergi.
Dari suara langkah kaki menjauh, aku sudah bisa menebaknya.
"Ayo, kita masuk." Ibu menggendong Kevin, dan mengajakku masuk.
***
(Sarah, Nenek sakit dan butuh duit. Tolong kirimkan uang untuk berobat Nenek.) Isi pesan yang baru saja kubuka membuatku bertanya-tanya. Nomor siapakah ini? Tidak ada namanya, tapi meminta uang untuk berobat Nenek.
<Ibu berdiri di ambang pintu seraya tersenyum. Ia sudah rapi dengan setelannya dan tas yang menggantung indah di lengannya."Ayo, kita jalan-jalan. Ibu bosan di rumah," ungkapnya, antusias."Jalan ke mana, Bu? Tapi, Mbak Diana minta Sarah untuk menjaga anaknya."Aku bukannya ingin menolak ajakan Ibu. tapi, kedua anak Mbak Diana saat ini menjadi tanggung jawabku. mau tak mau, aku harus menuruti permintaannya."Hari ini Diana libur kerja. Jadi, biar dia yang menjaga anaknya. Kamu, ikut Ibu saja, yuk!" Ibu menarik lenganku. Ia lupa jika pakaian yang kupakai tidak lah pantas untuk dibawa jalan."Tapi, Sarah belum berganti pakaian, Bu." Aku menunjuk pakaian yang kupakai. Hanya daster rumahan yang terlihat sangat santai.Seandainya Ibu mengajakku jalan dengan pakaian ini, mungkin orang-orang yang melihat kami akan menilai jika aku adalah pembantu Ibu. Dari segi pakaian saja, su
Mas Farzan?Aku langsung menajamkan indra penglihatan saat melihat lelaki yang selama seminggu ini berada di luar kota, kini tidur di sampingku dengan wajah menghadap ke arahku. Sangat dekat, sampai aku bisa merasakan embusan napasnya.Kapan dia pulang? Kenapa tiba-tiba sudah berada di dalam kamar? Apa aku lupa mengunci pintu kamar, ya? Dan kenapa aku tidak dengar saat dia masuk ke kamar? Jangan-jangan, ini hanya halusinasiku saja?Aku cubit dia, atau cubit diri sendiri, ya? Untuk membuktikan kalau lelaki yang sedang terlelap di hadapanku ini adalah asli. 'Plak!'Aku memukul pipiku dengan sedikit tenanga. Aw, sakit juga ternyata.Berarti ini bukan mimpi ataupun halusinasi. Ternyata dia sudah pulang. Kenapa tidak memberi kabar padaku, ya? Ah, lupa. Aku ini, hanya istri hasil perjodohan. Tidak mungkin dia akan selalu mengabariku jika ingin melakukan sesuatu. Aku memandangi wajah lelaki yang baru seminggu lebih menjadi suamiku itu. Dia tertidur dengan sangat nyenyak. Napasnya teratur
"Bu, Farzan ke sana dulu, ya." Mas Farzan menunjuk gerombolan laki-laki yang sedang berbincang.Jangan berpikir, jika kami menghadiri pesta di gedung mewah. Itu tidak terjadi. Karena kenyataannya, kami menghadiri pesa di kampung, sama seperti tempat tinggalku dulu.Hanya teratak yang didekorasi sedimikian rupa, hingga membuatnya cantik dan terlihat mewah. Untuk ukuran pesta di kampung, ini sudah termasuk mewah. Untuk meyewa dekorasi secantik ini, mereka bisa saja merogoh kantong puluhan juta rupiah.Belum lagi untuk hidangan. Kemungkinan dana yang harus dikeluarkan, bisa mencapai ratusan juta untuk total semuanya.Dari pesta ini saja, bisa dilihat kalau keluarga Mas Farzan, bukanlah orang sembarangan. Mungkin saja kekuarga mereka sudah kaya tujuh turunan, tanjakan, dan belokan."Boleh. Sarah mau diajak atau ditinggal?" tanya Ibu, melihat ke arahku."Terserah dia saja. Kalau mau ikut
"Hahahah. Oh, ya, Sarah. Kapan-kapan, kita sambung lagi ngobrolnya, ya. Sekarang ada pengganggu, jadi kita tidak bisa leluasa untuk cerita. Nanti, kalau ada waktu senggang, saya akan datang berkunjung ke rumah Bi Sari. Sekalian kita ngobrol banyak. Kalau gitu, saya tinggal dulu.""I-iya," sahutku seraya mengangguk takut-takut.Bagaimana tidak takut, Mas Farzan menoleh ke arahku dan menatap dengan tatapan tajamnya."Kau, menakuti istrimu, Bung!" Afif menepuk pelan pundak Mas Farzan, seraya terkekeh. Ia kemudian pergi meninggalkan kami berdua.Aku terus mperhatikan Afif, sampai tubuhnya menghilang di keramaian. Aku mencoba mengingat diapa dia. Namun, tetap aku belum mengingatnya."Jangan dekat-dekat dengan Afif, saya tidak suka!" Suara Mas Farzan masih terdengar ketus. Dia juga belum melepaskan kaitan tangan kami.Saat aku menoleh, mulut Mas Farzan terkatup rapat. Seperti orang yang sedang merajuk."S
Sudah hampir satu bulan aku menjalani rumah tangga bersama Mas Farzan, dan sikap Ibu mertua tidak pernah berubah. Sementara Mbak Diana, dia masih pada egonya tidak menyukaiku."Nanti, saya pulangnya agak telat. Jadi, kau jaga mereka, ya. Ingat, jangan ditinggal-tinggal!" ujar Mbak Diana yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya.Mbak Diana bekerja di salah satu sekolah Negeri, di bagian tata usaha. Meski begitu, dia sudah berstatus sebagai Pegawai Negeri."Iya Mbak," jawabku seraya mengambil Raffa dari gendongan Mbak Diana.Setiap hari, aku di jadikan baby sitter gratisan oleh Mbak Diana. Aku tidak masalah, karena tidak ada kesibukan di rumah. Tapi, sayangnya Mbak Diana tidak pernah menghargaiku. Aku bukan minta dibayar, tapi setidaknya dia baik saja, itu sudah lebih dari cukup. Tapi sayangnya Mbak Diana tetap ketus padaku.Ibu selalu protes saat Mbak Diana menitipkan anak-anaknya padaku. Ibu selalu memberi usul untuk Mbak Dia
"Heh, Sarah! Nggak usah sok menceramahiku, Kamu! Kalau kamu yang menikah, wajar tidak dipestakan, toh tak ada yang kenal sama kamu. Beda dengaku yang punya banyak teman. Kalau sampai tidak pesta, mau di taruh mana mukaku ini?""Ya, di taruh lemari pakaian juga nggak papa Mbak. Kok repot-repot ngurusin mulutnya orang. Kita itu, hidup harus sesuai dengan keadaan. Kalau mampu, ya monggo, kalau nggak mampu, ya, jangan dipaksakan. Nanti Mbak sendiri yang susah pada akhirnya. Gara-gara gaya, hutang ada di mana-mana.""Aduh, aduh, mulutmu itu, Rah! Nggak usah sok bijak deh. Percuma banget aku nelpon kamu. Cuma buang-buang kuota saja. Kalau bukan karena sapi, aku ogah nelpon kamu. Pokoknya aku nggak mau tau, ya. Kamu harus menyumbangkan satu ekor sapi yang gemuk dan sehat. Harus berbobot di atas 300 kilo gram. Semua keluarga juga sudah dibagi-bagi tugasnya. Dari Nenek teratak dan pelaminan. Dari Bapakmu, beras 500 kilo gram. Dari Mas F
"Selama ini, Ibu tidak pernah mengungkit masa lalu kamu atau biaya pendidikanmu yang sudah Ibu keluarkan. Tapi, kali ini kamu sudah keterlaluan dan membuat habis kesabaran Ibu. Ingat Diana! Semua manusia, di mata Tuhan tetaplah sama. Tidak ada yang membedakan kecuali amal perbuatan. Jadi, Berhati-hatilah kamu dalam berucap.""Ibu, berubah. Semenjak Farzan menikah dan Ibu mendapatkan menantu Sarah, Ibu berubah!" Mata Mbak Diana berkaca-kaca. Suaranya juga sudah berubah serak."Berubah bagaimana? Ibu sudah menganggap kalian semua sebagai putri kandung Ibu sendiri. Tapi, sikapmu yang selalu keterlaluan, Di! Semenjak kehadiran Sarah, sikapmu berubah seratus delapan puluh derajat. Kamu, menjadi wanita pemarah dan tidak sopan terhadap Ibu. Apakah selama ini Ibu pernah memperlakukan kamu dengan buruk?"Mbak Diana menggeleng."Jadi, kenapa kamu memperlakukan Sarah dengan buruk? Apak
"Hey, Farzan. Aku ini kakak iparmu! Seharusnya kamu bisa lebih sopan padaku, dan memanggilku Kakak!" sungut Mbak Diana, seraya menggengam kedua tangannya erat. "Kau sudah keterlaluan, Diana! Untuk apalagi saya memanggilmu kakak?""Bela saja terus istrimu itu. Kalian semua memang sama saja!""Ya, kami semua memang sama. Akan selalu membela yang benar, dan menyalahkan yang salah. Ingat Diana! Jangan lagi kau manfaatkan kebaikan istriku demi kepentinganmu. Kalau itu sampai terjadi lagi, aku tidak akan tinggal diam!" ancam Mas Farzan menunjuk wajah Mbak Diana."Haaaahhh! Awas kau, Sarah! Kalau rumah tanggaku sampai berantakan, itu semua dikarekan, Kamu!" teriak Mbak Diana seraya berlalu. Ia sampai lupa membawa sang anak pulang bersamanya."Sudah, jangan kamu pikirkan ucapan Diana." Ibu mengelus lenganku sekilas, kemudian Ia juga ikut berlalu. Apakah Ibu marah padaku? Kenapa sikapnya sedikit dingin? Mas Farzan tiba-tiba saja merangkul pundakku. Ia juga membawaku ikut bersamanya masuk ke
"Maaf, Bu. Anda bisa menjelaskan semuanya di kantor polisi." Polisi wanita itu tetap menggeret Mbak Diana."Tidak mau! Saya tidak mau dipenjara!" teriaknya lagi, sambil terus meronta.Kedua tangan Mbak Diana yang dipegang oleh polisi wanita itu, terus bergerak hendak melepaskan diri."Tolong kerja samanya, Bu! Atau kami akan mengambil tindakan tegas!" seru polisi wanita itu dengan wajah seram.Nyali Mbak Diana menciut. Mulutnya seketika berhenti meronta. Tapi matanya terus saja mengeluarkan air."Kami, permisi dulu, Pak, Bu!"Setelah berpamitan, semua polisi itu pergi dari rumah dengan membawa kakak iparku.Mas Malik terlihat kuyu. Dia pasti sangat lelah atas semua yang terjadi pada keluarganya."Aku tidak menyangka Diana sampai berbuat sejauh ini. Mungkin aku juga bersalah karena terlalu sibuk bekerja, sehingga dia tega menduakanku." Mas Malik menunduk, sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ini semua gara-gara kamu, Mbak!" celetukku saat kulihat Mbak Diana berada di dalam kamar Ibu. Dia masih menangis sambil memegang bingkai foto Ibu.Sebentar ia menatap foto itu, kemudian memeluknya."Diam kamu, Sarah! Kalau saja kau tidak kembali ke sini, semua ini tidak akan terjadi. Ibu tidak akan datang dan masuk ke dalam rumah, memergokiku bersama Danu. Hingga akhirnya aku tak sengaja mendorongnya!" ujarnya sinis.Mbak Diana menatapku dengan tajam. Wajahnya yang masih terdapat jejak air mata terlihat sangat berantakan.Dia itu menangisi kepergian Ibu, atau menangis karena takut diusir oleh Mas Malik"Tidak sengaja katamu? Sudah mendorongnya dengan kuat, kamu bilang tidak sengaja? Dasar perempuan tak punya hati!" sungutku, menatap wajahnya dengan tatapan menantang."Aku memang tidak sengaja. Karena panik, aku jadi mendorong Ibu. Pasti kamu kan yang meminta Ibu masuk ke dalam rumahku?" cecarnya galak."Hey, Diana! Sepa
"Iya, Bu. Kamar Ibu nggak dikunci kan?""Enggak kayaknya. Kalaupun di kunci, pasti kuncinya masih gantung di pintu. Karena di dompet Ibu nggak ada kunci."Aku mengangguk. Ibu berjalan ke rumah Mas Malik, sementara aku masuk ke rumah Ibu.Rumah Mas Malik juga terbuka, sepertinya Mas Malik memang sedang berada di rumah.Aku dengan segera menuju kamar Ibu. Dan benar saja, kamar Ibu tidak dikunci. Pintu depan juga tidak dikunci tadi. Mungkin Ibu banyak pikiran, sampai lupa mengunci pintu."ASTAGHFIRULLAHHALAZIM ... APA YANG KAU LAKUKAN DIANA!" Suara Ibu terdengar sampai ke dalam kamar.Aku segera berlari meski belum menemukan ATM milik Ibu. Rumah Mbak Diana sudah permanen. Jika suara Ibu sampai terdengar ke dalam kamar, pasti sesuatu sedang terjadi pada Ibu.'DUAK!'"Awww!"Kakiku tersandung sofa."Suami pergi bekerja, kau malah enak-enakkan berbuat maksiat!" suara Ibu kembali terdengar saat aku sa
"Maaf, Nak. Sarah. Bukan maksud Ibu tak menganggap Nak Sarah anak. Tapi, Ibu takut merepotkan kamu." Ibu mengusap-usap punggungku. Tangisku semakin pecah mendengar penuturan Ibu."Bu, tidak ada yang namanya orang tua merepotkan anak. Karena setiap anak, pasti ingin merawat orang tuanya. Sama seperti tujuan orang tua membesarkan anaknya, seorang anak juga ingin membalas apa yang telah dilakukan orang tuanya," ucapku seraya mengurai pelukan. Kalau saja Ibuku masih ada, ingin rasanya aku membahagiakan dia seperti dia membahagiakanku. Tapi itu semua sudah tidak mungkin. Yang aku punya saat ini adalah Ibu mertua. Maka aku harus memperlakukannya sama seperti Ibuku sendiri. Karena sejak awal, Ibu sudah baik padaku. Aku ingin membalas semua kebaikan Ibu.Meski aku tahu, kalau aku tidak mungkin bisa membalasnya."Terimakasih, Nak Sarah. Maaf, karena telah menyembunyikan semuanya dari kalian." Ibu menghapus air mataku yang mengenai pipi.Aku berusaha untuk tidak menangis lagi. Walau di hati m
Pak Rt mengangguk seraya membalas senyum Mas Malik. "Baiklah Pak Malik. Kalau begitu, saya juga ingin berpamitan. Mbak Sarah, saya juga meminta maaf atas nama para warga karena sudah salah paham. Lain kali, kalau ada tamu Mbak Sarah bisa lapor dulu ke saya, agar tak terjadi hal yang seperti ini lagi.""Saya ingin melapor, Pak. Tapi kemarin posisinya sudah malam. Jadi takut mengganggu istirahat Bapak. Makanya saya tak jadi melapor. Pagi ini rencananya saya mau datang ke rumah Bapak, tapi belum juga datang, Bapak dan warga malah udah datang berbondong-bondong," sahut Mbak Ani menimpali."Wah, maaf, ya, Mbak Ani. Saya juga kalau tidak mendapat laporan, nggak akan datang. Para warga juga bukan saya yang mengerahkan. Mereka datang sendiri.""Ya, sudah, Pak. Saya minta nomor Bapak sajaJadi kalau ada tamu lagi, tinggal langsung telepon." Mbak Ani mengeluarkan ponselnya. Ia mencatat saat Pak Rt dengan pelan menyebutkan nomor ponselnya."Saya pam
"Jangan banyak alasan, Kamu! Kalian berdua tuh sama aja!" Mbak Neni memotong ucapan Mbak Diana.Aku memegangi tangan Mbak Diana agar dia bisa sedikit tenang."Mas, tolong percaya sama aku, ya? Kejadian ini benar-benar terjadi begitu saja. Namanya manusia kan bisa aja khilaf. Aku takut Sarah khilaf, dan memasukkan penjahat. Makanya aku langsung lapor Pak Rt-""Dan lapor suami beserta Ibu mertua Sarah, agar mereka dengan cepat mengusir Sarah. Iya, kan?" potong Mbak Neni lagi, tak memberi kesempatan untuk Mbak Diana menyelesaikan ucapannya."Kamu, kenapa sih ikut campur saja? Kamu itu orang luar, jangan ikut campur masalah kami!" bentak Mbak Diana, menatap sinis Mbak Neni."Kalau kamu tidak membawaku dalam masalahmu, aku juga tidak akan ikut campur masalah kalian. Tapi sayangnya, kamu terlanjur memasukkanku ke dalam masalah ini, jadi tak ada salahnya aku ikut campu
"Aawwcchh, sakit. Mas Farzan, tolongin aku dong!" Liana mengulurkan tangannya pada Mas Farzan. Rengekannya terdengar sangat manja. Ingin rasanya kutimpuk kepalanya menggunakan sandal ini, agar dia sadar bahwa lelaki yang ia mintai tolong adalah suami orang. 'PLAK!'"Minta tolong, noh sama tai ayam!" Mbak Neni menepis tangan Liana yang ia ulurkan pada suamiku.Gadis cantik itu semakin merengut menahan tangisnya. "Aaaaa! Kurang ajar kamu!" pekik Liana sambil memandangi tangannya yang mengenai eek Ayam di sampingnya. Liana bangkit. Ia berdiri berhadapan langsung dengan Mbak Neni. Kakak sepupuku berkacak pinggang. Mata tajamnya ia arahkan pada wanita di hadapannya. "Bukan cuma kamu yang bisa bar-bar! Aku juga bisa!" sentak Liana, seraya mengarahkan kedua tangannya pada rambut Mbak Neni. Mbak Neni menangkis tangan Liana yang hendak mencapai rambutnya.Meski memiliki tubuh agak berisi, Mbak N
"Mbak, Bude berkata seperti itu, pasti karena Ia terbawa emosi. Jauh di lubuk hatinya, Sarah yakin Bude sangat menyayangi Mbak Neni. Coba lah Mbak Neni cari pekerjaan, yang sesuai dengan keahlian Mbak Sendiri. Tidak apa dimulai dari posisi paling bawah. Suatu saat nanti, pasti naik juga kok. Yang penting, Mbak harus yakin dengan pekerjaan yang sedang digeluti. Jangan menyerah sebelum berperang. Mulailah hidup baru tanpa Mas Deva. Sarah yakin, Mbak pasti bisa." Aku menaruh bawang yang sudah selesai dikupas. Kugenggam kedua tangan Mbak Neni untuk menguatkannya."Kamu, kenapa masih baik sama Mbak, sih? Padahal selama ini, Mbak selalu jahatin kamu. Sebelum kamu menikah, dan kita tinggal berdekatan, bahkan Mbak nggak pernah sekalipin berbuat baik sama kamu. Apapun yang kamu mau, semuanya pasti Mbak ambil. Kalaupun kamu nggak salah, Mbak selalu mengadu pada Nenek agar menyalahkanmu. Mulut ini juga, selalu berkata buruk tentang Ibumu. Kenapa sekarang kamu nggak membalas semua
Aku memiringkan senyum, mengejek wanita di hadapanku ini."Pergilah, dan jangan pernah kembali. Aku bisa mengusir kalian jika nekat datang ke rumah ini. Urus suamimu, dan jangan meminta bantuan kami. Aku tidak akan pernah memberikannya, meski kau menangis darah.""Dasar anak Durhaka! Tunggu saja Karma yang akan datang padamu, karena tak mau membantu orang tua yang sedang kesusahan. Kudoakan, hidupmu akan menderita selamanya!" kutukknya, dan tidak membuatku takut."Jangan lupa, Bu. Semua yang terjadi padamu saat ini, adalah Karma karena Ibu dan Bapak telah menelantarkanku selama bertahun-tahun. Jadi, jangan bicara soal Karma di sini. Karena kalianlah, yang sedang mendapatkan Karma atas perbuatan kalian." Aku tersenyum sinis pada Ibu.Wanita itu tak lagi berkata-kata. Dia bangkit, lalu pergi tanpa mengucap salam.Aku juga berdiri, dan mata ini tetap mengawasinya."Cuuiihh!" Dia meludah, saat kepalanya berbalik men