"Selama ini, Ibu tidak pernah mengungkit masa lalu kamu atau biaya pendidikanmu yang sudah Ibu keluarkan. Tapi, kali ini kamu sudah keterlaluan dan membuat habis kesabaran Ibu. Ingat Diana! Semua manusia, di mata Tuhan tetaplah sama. Tidak ada yang membedakan kecuali amal perbuatan. Jadi, Berhati-hatilah kamu dalam berucap."
"Ibu, berubah. Semenjak Farzan menikah dan Ibu mendapatkan menantu Sarah, Ibu berubah!" Mata Mbak Diana berkaca-kaca. Suaranya juga sudah berubah serak.
"Berubah bagaimana? Ibu sudah menganggap kalian semua sebagai putri kandung Ibu sendiri. Tapi, sikapmu yang selalu keterlaluan, Di! Semenjak kehadiran Sarah, sikapmu berubah seratus delapan puluh derajat. Kamu, menjadi wanita pemarah dan tidak sopan terhadap Ibu. Apakah selama ini Ibu pernah memperlakukan kamu dengan buruk?"
Mbak Diana menggeleng.
"Jadi, kenapa kamu memperlakukan Sarah dengan buruk? Apak
"Hey, Farzan. Aku ini kakak iparmu! Seharusnya kamu bisa lebih sopan padaku, dan memanggilku Kakak!" sungut Mbak Diana, seraya menggengam kedua tangannya erat. "Kau sudah keterlaluan, Diana! Untuk apalagi saya memanggilmu kakak?""Bela saja terus istrimu itu. Kalian semua memang sama saja!""Ya, kami semua memang sama. Akan selalu membela yang benar, dan menyalahkan yang salah. Ingat Diana! Jangan lagi kau manfaatkan kebaikan istriku demi kepentinganmu. Kalau itu sampai terjadi lagi, aku tidak akan tinggal diam!" ancam Mas Farzan menunjuk wajah Mbak Diana."Haaaahhh! Awas kau, Sarah! Kalau rumah tanggaku sampai berantakan, itu semua dikarekan, Kamu!" teriak Mbak Diana seraya berlalu. Ia sampai lupa membawa sang anak pulang bersamanya."Sudah, jangan kamu pikirkan ucapan Diana." Ibu mengelus lenganku sekilas, kemudian Ia juga ikut berlalu. Apakah Ibu marah padaku? Kenapa sikapnya sedikit dingin? Mas Farzan tiba-tiba saja merangkul pundakku. Ia juga membawaku ikut bersamanya masuk ke
Aku dan Ibu berjalan cepat agar segera sampai di rumah Bude Arum. Karena sudah terlalu padat orang di dalam, aku dan Ibu hanya bisa mengintip prosesi ijab dan qobul-nya dari luar jendela, bersama para warga lainnya.Terlihat di sana, Mas Fajar dan Pakde Ardi saling berjabat tangan dan mengucapkan kata-kata sakral."Neni Anggroni-""Anggraini!" ralat Pakde Ardi seraya melotot."Eh, maaf salah. Bisa diulang?" tanya Mas Fajar yang sudah berkeringat."Diulang lagi? Ini sudah kali kedua kamu salah. Kalau sampai satu kali lagi salah, pernikahan ini akan batal!" sungut Pakde Ardi pada menantunya."Maaf, saya grogi," sahut lelaki itu seraya mengusap keningnya.Pakde Ardi terlihat menahan kesal pada calon menantunya itu."Coba tenangkan hati kamu dulu. Baca bismillah, dan hapalkan kata-katanya." Pak pen
"Biarpun cincin saya kecil begini. Kalau untuk beli semua perhiasan kamu itu, uangnya masih berbelih banyak. Nggak usah sombong deh kamu!" sahut Ibu, melirik Mbak Neni."Hahahah. Ya, ampun, Bu Sari. Kalau ngehalu itu, mbok ya, jangan kebangetan. Cincin sekecil itu, mana mungkin lebih berharga dari pada semua emas milik saya ini." Mbak Neni menertawakan Ibu, yang dipikirnya tidak masuk akal.Sepupuku itu juga mengibas-ngibaskan tangannya."Haduh ... Neni, Neni. Kamu itu, kalau nggak tahu soal perhiasan, lebih bagus diam. Terlihat sekali bod*hnya, kamu itu!" Ibu tersenyum sinis pada Mbak Neni."Heh, Bu Sari. Jangan asal ngomong, ya, Anda! Soal perhiasan, saya ini pakarnya!" Suara Mbak Neni"Oh, iya, kah? Kamu tahu cincin yang saya pakai ini cincin apa?""Ya, tahu lah, Bu. Itu cincin perak. Di loakan banyak.'"Cincin ini, a
Pov Neni."Sudah selesai, Dek?" tanya Mas Fajar yang masih tiduran di atas kasur sambil bermain ponsel.Aku yang sedang menyusun pakaian ke dalam tas, hanya meliriknya sekilas. Bukannya di bantu, ini malah sibuk dengan ponselnya.Sudah lebih dari seminggu aku menjalani bahtera rumah tangga bersama Mas Fajar. Dan selama itu pula kami tinggal di rumah Mama. Hari ini, kami memutuskan untuk pulang ke rumah yang sudah diberikan oleh Mas Fajar sebagai mas kawin.Sejujurnya, aku tidak ingin melanjutkan pernikahan ini. Apalagi emas yang diberikan Mas Fajar saat melamarku adalah palsu. Rasa benci di hatiku mulai tumbuh untuknya.Andai saja uang lima puluh juta itu sudah dikembalikan oleh Fas Fajar, sudah kutendang dia dari hidupku.Sayangnya, uang itu belum di kembalikan, sehingga aku dipaksa oleh Mama untuk segera menikahinya. Takut uang itu tidak akan dikembalikan dan kebun Nenek hilang melayang.Mama mengancam akan m
Apa-apaan sih, Dia? Kenapa tas dan koperku tidak sekalian di turunkan lalu dibawa masuk?Dengan langkah gontai, aku menyeret kaki menuju gubuk penderitaan.Aku malas membawa tas ataupun koper. Biar saja Mas Fajar nanti yang mengambilnya.Mobil. Ah, ya, Mas Fajar akan kuminta untuk menjual mobil itu dan membeli rumah yang lebih besar. Aku tidak mau punya rumah yang besarnya sama dengan kandang Sapi Bi Juminten.'Krieett!'Pintu terbuka. Ruangan kosong menghiasi pandanganku. Tdak ada sofa, ataupun meja di sana. Benar-benar kosong, seperti hati ini."Mas Fajar!" teriakku memanggilnya. Rasa jengkel lebih mendominasi hati ini."Ada apa?" sahutnya, juga berteriak."Ambilkan koper dan tas milikku di mobil!""Ambil saja sendiri. Semua itu, kan barangmu. Kenapa pula harus aku yang mengambilnya!""Aku tidak mungkin bisa membawa semuanya sekaligus.""Bawa satu persatu! Masa sudah tu
"Ada yang asli kok, Bang. Itu cincin yang dia pakai di jari-jarin kanannya. Semuanya asli kok, Bang."Mas Fajar kembali menunjuk tangan kananku.Ah, iya. Aku lupa. Kedua cincin di tangan kananku adalah asli. Aku mendapatkan keduanya dari Ibuku. Kenapa aku sampai lupa melepaskannya."Enak saja, Kamu! Ini punya saya. Jangan sembarangan Kamu, Mas!" sungutku, seraya menyembunyikan tangan."Sudahlah, Neni. Besok masih bisa kita beli lagi." Mas Fajar memaksa. Dia mendekatiku lalu menarik tangan yang sempat kusembunyikan, dengan paksa."Lepaskan! Aku tidak mau memberikan cincin ini pada mereka!" teriakku, tetap mempertahankan hakku.Mas Fahat tidak peduli. Dia terus saja memaksa, hingga tanganku berhasil di kuasainya."Jangan membantah, Kau! Ingat, istri harus patuh pada suami!" sungutnya dengan mata melotot tajam.Aku tak bisa lagi berkutik. Cengkraman di pergelangan tanganku sangat kuat, hingga terasa s
Pov Sarah(Sarah, keadaan Nenekmu semakin memburuk. Apa kamu tak mau datang untuk melihatnya?)Pesan dari Bi Nining baru saja kubaca. Sudah tiga hari Bi Nining memberitahu bahwa Nenek sakit. Tapi aku belum juga datang berkunjung dikarenakan sedang berada di luar kota bersama Mas Farzan.Semenjak dia memergoki Afif menyatakan cinta padaku, Mas Farzan jadi aneh. Dia selalu membawaku saat ada pekerjaan di luar kota. Ya, walaupun setiap hari aku selalu ditinggal sendirian di rumah dan dia sibuk di kebun bersama karyawannya.Kebun sawit milik Mas Farzan yang berada di lain kota, cukup luas dan berada di beberapa tempat. Di setiap tempat, butuh waktu dua hari untuk memanen. Mas Farzan sebagai pemilik, hanya mengawasi mereka bekerja. Setelah selesai dan di muat mobil, Mas Farzan baru akan pulang ke rumah.Di hari ke tiga, setelah Mas Farzan memberikan gaji para karyawannya, kami akan langsung berpindah tempat. Kata Mas Farzan, kami akan berkel
"Memangnya Nenek sakit apa?" tanya Mas Farzan.Saat ini, kami dalam perjalanan menuju rumah Nenek.Mas Farzan memilih meninggalkan pekerjaannya demi mengantarkanku ke rumah Nenek. Padahal aku sudah menolaknya dan mengatakan akan pulang sendirian. Tapi, Mas Farzan tidak percaya. Dia memaksa ingin mengantarku.Dengan senang hati aku langsung menerimanya."Nggak tau, Mas. Kata Bi Nining, sakit. Tapi nggak dikasih tau sakit apa.""Oh. Mungkin sakitnya orang sudah tua.""Iya, mungkin, Mas."Mas Farzan kembali fokus pada jalanan. Hening kembali tercipta, karena di anatara kami tidak ada yang mau membuka suara."Sarah, bangun!"Aku merasakan sesuatu yang dingin menempel pada pipiku. Saat membuka mata, ternyata Mas Farzan menempelkan kaleng minuman bersoda. Aku langsung menyambar kaleng tersebut dan membukanya.Kami sudah berada di halaman rumah Nenek.Loh, kapan Mas Farzan