Pov Neni.
"Sudah selesai, Dek?" tanya Mas Fajar yang masih tiduran di atas kasur sambil bermain ponsel.
Aku yang sedang menyusun pakaian ke dalam tas, hanya meliriknya sekilas. Bukannya di bantu, ini malah sibuk dengan ponselnya.
Sudah lebih dari seminggu aku menjalani bahtera rumah tangga bersama Mas Fajar. Dan selama itu pula kami tinggal di rumah Mama. Hari ini, kami memutuskan untuk pulang ke rumah yang sudah diberikan oleh Mas Fajar sebagai mas kawin.
Sejujurnya, aku tidak ingin melanjutkan pernikahan ini. Apalagi emas yang diberikan Mas Fajar saat melamarku adalah palsu. Rasa benci di hatiku mulai tumbuh untuknya.
Andai saja uang lima puluh juta itu sudah dikembalikan oleh Fas Fajar, sudah kutendang dia dari hidupku.
Sayangnya, uang itu belum di kembalikan, sehingga aku dipaksa oleh Mama untuk segera menikahinya. Takut uang itu tidak akan dikembalikan dan kebun Nenek hilang melayang.
Mama mengancam akan m
Apa-apaan sih, Dia? Kenapa tas dan koperku tidak sekalian di turunkan lalu dibawa masuk?Dengan langkah gontai, aku menyeret kaki menuju gubuk penderitaan.Aku malas membawa tas ataupun koper. Biar saja Mas Fajar nanti yang mengambilnya.Mobil. Ah, ya, Mas Fajar akan kuminta untuk menjual mobil itu dan membeli rumah yang lebih besar. Aku tidak mau punya rumah yang besarnya sama dengan kandang Sapi Bi Juminten.'Krieett!'Pintu terbuka. Ruangan kosong menghiasi pandanganku. Tdak ada sofa, ataupun meja di sana. Benar-benar kosong, seperti hati ini."Mas Fajar!" teriakku memanggilnya. Rasa jengkel lebih mendominasi hati ini."Ada apa?" sahutnya, juga berteriak."Ambilkan koper dan tas milikku di mobil!""Ambil saja sendiri. Semua itu, kan barangmu. Kenapa pula harus aku yang mengambilnya!""Aku tidak mungkin bisa membawa semuanya sekaligus.""Bawa satu persatu! Masa sudah tu
"Ada yang asli kok, Bang. Itu cincin yang dia pakai di jari-jarin kanannya. Semuanya asli kok, Bang."Mas Fajar kembali menunjuk tangan kananku.Ah, iya. Aku lupa. Kedua cincin di tangan kananku adalah asli. Aku mendapatkan keduanya dari Ibuku. Kenapa aku sampai lupa melepaskannya."Enak saja, Kamu! Ini punya saya. Jangan sembarangan Kamu, Mas!" sungutku, seraya menyembunyikan tangan."Sudahlah, Neni. Besok masih bisa kita beli lagi." Mas Fajar memaksa. Dia mendekatiku lalu menarik tangan yang sempat kusembunyikan, dengan paksa."Lepaskan! Aku tidak mau memberikan cincin ini pada mereka!" teriakku, tetap mempertahankan hakku.Mas Fahat tidak peduli. Dia terus saja memaksa, hingga tanganku berhasil di kuasainya."Jangan membantah, Kau! Ingat, istri harus patuh pada suami!" sungutnya dengan mata melotot tajam.Aku tak bisa lagi berkutik. Cengkraman di pergelangan tanganku sangat kuat, hingga terasa s
Pov Sarah(Sarah, keadaan Nenekmu semakin memburuk. Apa kamu tak mau datang untuk melihatnya?)Pesan dari Bi Nining baru saja kubaca. Sudah tiga hari Bi Nining memberitahu bahwa Nenek sakit. Tapi aku belum juga datang berkunjung dikarenakan sedang berada di luar kota bersama Mas Farzan.Semenjak dia memergoki Afif menyatakan cinta padaku, Mas Farzan jadi aneh. Dia selalu membawaku saat ada pekerjaan di luar kota. Ya, walaupun setiap hari aku selalu ditinggal sendirian di rumah dan dia sibuk di kebun bersama karyawannya.Kebun sawit milik Mas Farzan yang berada di lain kota, cukup luas dan berada di beberapa tempat. Di setiap tempat, butuh waktu dua hari untuk memanen. Mas Farzan sebagai pemilik, hanya mengawasi mereka bekerja. Setelah selesai dan di muat mobil, Mas Farzan baru akan pulang ke rumah.Di hari ke tiga, setelah Mas Farzan memberikan gaji para karyawannya, kami akan langsung berpindah tempat. Kata Mas Farzan, kami akan berkel
"Memangnya Nenek sakit apa?" tanya Mas Farzan.Saat ini, kami dalam perjalanan menuju rumah Nenek.Mas Farzan memilih meninggalkan pekerjaannya demi mengantarkanku ke rumah Nenek. Padahal aku sudah menolaknya dan mengatakan akan pulang sendirian. Tapi, Mas Farzan tidak percaya. Dia memaksa ingin mengantarku.Dengan senang hati aku langsung menerimanya."Nggak tau, Mas. Kata Bi Nining, sakit. Tapi nggak dikasih tau sakit apa.""Oh. Mungkin sakitnya orang sudah tua.""Iya, mungkin, Mas."Mas Farzan kembali fokus pada jalanan. Hening kembali tercipta, karena di anatara kami tidak ada yang mau membuka suara."Sarah, bangun!"Aku merasakan sesuatu yang dingin menempel pada pipiku. Saat membuka mata, ternyata Mas Farzan menempelkan kaleng minuman bersoda. Aku langsung menyambar kaleng tersebut dan membukanya.Kami sudah berada di halaman rumah Nenek.Loh, kapan Mas Farzan
Kalau untuk sekarang, Sarah sudah jauh berubah. Kulit kusamnya, kini sudah bersinar. Dia jadi semakin putih dan terawat. Kecantikannya semakin memancar. Bulu mata lentik, hidung bangir, bibir mungilnya, semua menyempurnakan bentuk wajahnya.Entah di pertemuan ke berapa kami, aku mulai merasakan getaran aneh di dada. Mungkinkah saat dia memakai gaun pengantin?Entahlah, karena kuakui, pada saat itu aku terpesona dengan kecantikan yang mulai terlihat darinya.Tak bisa dipungkiri, aku memang menyukai sesuatu dari tampilannya terlebih dahulu. Termasuk pada wanita. Aku suka pada wanita yang tetlihat cantik di mataku, baru kemudian pada sikap dan sifatnya."Mas, mau apa?" Sarah terlihat sangat terkejut, saat wajahku sudah sangat dekat dengan wajahnya. Dia mendorongku, hingga punggung ini membentur pintu mobil. Matanya melotot tajam. Dan tagannya masih setia bertengger di dada bidangku.Hampir saja aku berhasil menempelkan bibir ini.
Pov Sarah"Aaaa. Ayo, buka mulut kamu!"Semenjak sudah menjadi istri Mas Farzan seutuhnya, sikap lelaki itu mulai berubah. Dia jadi lebih romantis dan juga perhatian. Seperti hari ini, dia menyuapiku bubur yang sudah ditiupnya terlebih dulu karena masih panas.Aku menuruti permintaannya dan membuka mulut lebar-lebar."Ayo, lagi?" Mas Farzan kembali menyodorkan sendok di tangannya ke mulutku."Sudah, Mas. Sarah bisa sendiri, kok. Mas pergi aja kerja. Nanti kesiangan loh di jalan."Aku mengambil alih mangkuk yang bedara di depan Mas Farzan. Aku menggesernya ke hadapanku dan mengambil alih sendok di tangannya juga."Tapi ... Mas masih kangen sama kamu, sayang." Mas Farzan merengek seperti anak kecil. Dia juga memelukku dari samping. Tak peduli Mbak Ani yang sejak tadi mondar-mandir melewati kami.Aku mencoba melepaskan pelukannyaNamun, gagal dikarenakan dia yang terus menempel sepert
Mataku mulai mengabur akibat genangan air mata yang memenuhi pelupuk mata."Bibi, nggak mungkin bercanda kalau soal kabar duka, Rah. Nenekmu memang meninggal. Kamu dengar, kan, suara ramai di sini? Mereka semua adalah warga yang ingin melihat jasad Nenekmu. Bibi juga lagi di rumah Nenekmu. Tapi Bibi sedikit menjauh karena mau mengabari kamu."Bi Nining kembali menangis. Dan aku juga sudah tak kuasa menahan air mata yang sudah berdesakan hendak tumpah.Ya, Allah. Ke mana Bude Arum dan Pakde Ardi. Kenapa Nenek meninggal mereka sampai nggak tau?"Sarah, kamu kenapa?" tanya Ibu yang melihatku menangis. Ia mendekat."Nenek, Bu. Nenek udah nggak ada. Nenek udah meninggal," ucapku, luruh ke lantai. Tiba-tiba saja tubuhku serasa tidak memiliki tulang belulang. Tubuh ini serasa lemah tak berdaya.Ibu berjongkok, ia langsung memelukku dengan erat.Aku menangis sejadi-jadinya di dalam dekapan Ibu. Apalagi sebulan belakang
"Pernah. Bibi juga pernah datang ke sini untuk mengecek keadaan Nenekmu. Takut juga, kan, Nenekmu sakit dan butuh sesuatu tapi nggak ada yang bantu. Jadi Bibi inisiatif mengunjungi Nek Menik. Tapi, Bibi malah dimarahin sama Nenek kamu. Katanya, Bibi nggak boleh datang ke rumahnya.Dia merasa sehat dan nggak butuh perhatian dari Bibi. Nenekmu juga mengusir Bibi dan ngelarang Bibi datang lagi. Dari pada ribut, Bibi ya mending nggak datang. Bibi juga sibuk di kebun karena masih panen cabe. Jadi nggak sempat lagi nengokin Nek Menik.Dan tiga puluh menit sebelum nelpon kamu, Pakde Marwan yang rumahnya di ujung sana, datang ke rumah Bibi. Dia tanya sama Bibi, kenapa dari arah dapur Nek Menik tercium bau bangkai yang sangat menyengat. Sebenarnya, tujuan Pakde Marwan cuma ingin mencari Ayam jagonya yang udah tiga hari nggak pulang. Tapi karena menemukan hal yang janggal, Pakde Marwan menunda pencariannya. Dia malah datang ke ruma