"Ada yang asli kok, Bang. Itu cincin yang dia pakai di jari-jarin kanannya. Semuanya asli kok, Bang."
Mas Fajar kembali menunjuk tangan kananku.
Ah, iya. Aku lupa. Kedua cincin di tangan kananku adalah asli. Aku mendapatkan keduanya dari Ibuku. Kenapa aku sampai lupa melepaskannya.
"Enak saja, Kamu! Ini punya saya. Jangan sembarangan Kamu, Mas!" sungutku, seraya menyembunyikan tangan.
"Sudahlah, Neni. Besok masih bisa kita beli lagi." Mas Fajar memaksa. Dia mendekatiku lalu menarik tangan yang sempat kusembunyikan, dengan paksa.
"Lepaskan! Aku tidak mau memberikan cincin ini pada mereka!" teriakku, tetap mempertahankan hakku.
Mas Fahat tidak peduli. Dia terus saja memaksa, hingga tanganku berhasil di kuasainya.
"Jangan membantah, Kau! Ingat, istri harus patuh pada suami!" sungutnya dengan mata melotot tajam.
Aku tak bisa lagi berkutik. Cengkraman di pergelangan tanganku sangat kuat, hingga terasa s
Pov Sarah(Sarah, keadaan Nenekmu semakin memburuk. Apa kamu tak mau datang untuk melihatnya?)Pesan dari Bi Nining baru saja kubaca. Sudah tiga hari Bi Nining memberitahu bahwa Nenek sakit. Tapi aku belum juga datang berkunjung dikarenakan sedang berada di luar kota bersama Mas Farzan.Semenjak dia memergoki Afif menyatakan cinta padaku, Mas Farzan jadi aneh. Dia selalu membawaku saat ada pekerjaan di luar kota. Ya, walaupun setiap hari aku selalu ditinggal sendirian di rumah dan dia sibuk di kebun bersama karyawannya.Kebun sawit milik Mas Farzan yang berada di lain kota, cukup luas dan berada di beberapa tempat. Di setiap tempat, butuh waktu dua hari untuk memanen. Mas Farzan sebagai pemilik, hanya mengawasi mereka bekerja. Setelah selesai dan di muat mobil, Mas Farzan baru akan pulang ke rumah.Di hari ke tiga, setelah Mas Farzan memberikan gaji para karyawannya, kami akan langsung berpindah tempat. Kata Mas Farzan, kami akan berkel
"Memangnya Nenek sakit apa?" tanya Mas Farzan.Saat ini, kami dalam perjalanan menuju rumah Nenek.Mas Farzan memilih meninggalkan pekerjaannya demi mengantarkanku ke rumah Nenek. Padahal aku sudah menolaknya dan mengatakan akan pulang sendirian. Tapi, Mas Farzan tidak percaya. Dia memaksa ingin mengantarku.Dengan senang hati aku langsung menerimanya."Nggak tau, Mas. Kata Bi Nining, sakit. Tapi nggak dikasih tau sakit apa.""Oh. Mungkin sakitnya orang sudah tua.""Iya, mungkin, Mas."Mas Farzan kembali fokus pada jalanan. Hening kembali tercipta, karena di anatara kami tidak ada yang mau membuka suara."Sarah, bangun!"Aku merasakan sesuatu yang dingin menempel pada pipiku. Saat membuka mata, ternyata Mas Farzan menempelkan kaleng minuman bersoda. Aku langsung menyambar kaleng tersebut dan membukanya.Kami sudah berada di halaman rumah Nenek.Loh, kapan Mas Farzan
Kalau untuk sekarang, Sarah sudah jauh berubah. Kulit kusamnya, kini sudah bersinar. Dia jadi semakin putih dan terawat. Kecantikannya semakin memancar. Bulu mata lentik, hidung bangir, bibir mungilnya, semua menyempurnakan bentuk wajahnya.Entah di pertemuan ke berapa kami, aku mulai merasakan getaran aneh di dada. Mungkinkah saat dia memakai gaun pengantin?Entahlah, karena kuakui, pada saat itu aku terpesona dengan kecantikan yang mulai terlihat darinya.Tak bisa dipungkiri, aku memang menyukai sesuatu dari tampilannya terlebih dahulu. Termasuk pada wanita. Aku suka pada wanita yang tetlihat cantik di mataku, baru kemudian pada sikap dan sifatnya."Mas, mau apa?" Sarah terlihat sangat terkejut, saat wajahku sudah sangat dekat dengan wajahnya. Dia mendorongku, hingga punggung ini membentur pintu mobil. Matanya melotot tajam. Dan tagannya masih setia bertengger di dada bidangku.Hampir saja aku berhasil menempelkan bibir ini.
Pov Sarah"Aaaa. Ayo, buka mulut kamu!"Semenjak sudah menjadi istri Mas Farzan seutuhnya, sikap lelaki itu mulai berubah. Dia jadi lebih romantis dan juga perhatian. Seperti hari ini, dia menyuapiku bubur yang sudah ditiupnya terlebih dulu karena masih panas.Aku menuruti permintaannya dan membuka mulut lebar-lebar."Ayo, lagi?" Mas Farzan kembali menyodorkan sendok di tangannya ke mulutku."Sudah, Mas. Sarah bisa sendiri, kok. Mas pergi aja kerja. Nanti kesiangan loh di jalan."Aku mengambil alih mangkuk yang bedara di depan Mas Farzan. Aku menggesernya ke hadapanku dan mengambil alih sendok di tangannya juga."Tapi ... Mas masih kangen sama kamu, sayang." Mas Farzan merengek seperti anak kecil. Dia juga memelukku dari samping. Tak peduli Mbak Ani yang sejak tadi mondar-mandir melewati kami.Aku mencoba melepaskan pelukannyaNamun, gagal dikarenakan dia yang terus menempel sepert
Mataku mulai mengabur akibat genangan air mata yang memenuhi pelupuk mata."Bibi, nggak mungkin bercanda kalau soal kabar duka, Rah. Nenekmu memang meninggal. Kamu dengar, kan, suara ramai di sini? Mereka semua adalah warga yang ingin melihat jasad Nenekmu. Bibi juga lagi di rumah Nenekmu. Tapi Bibi sedikit menjauh karena mau mengabari kamu."Bi Nining kembali menangis. Dan aku juga sudah tak kuasa menahan air mata yang sudah berdesakan hendak tumpah.Ya, Allah. Ke mana Bude Arum dan Pakde Ardi. Kenapa Nenek meninggal mereka sampai nggak tau?"Sarah, kamu kenapa?" tanya Ibu yang melihatku menangis. Ia mendekat."Nenek, Bu. Nenek udah nggak ada. Nenek udah meninggal," ucapku, luruh ke lantai. Tiba-tiba saja tubuhku serasa tidak memiliki tulang belulang. Tubuh ini serasa lemah tak berdaya.Ibu berjongkok, ia langsung memelukku dengan erat.Aku menangis sejadi-jadinya di dalam dekapan Ibu. Apalagi sebulan belakang
"Pernah. Bibi juga pernah datang ke sini untuk mengecek keadaan Nenekmu. Takut juga, kan, Nenekmu sakit dan butuh sesuatu tapi nggak ada yang bantu. Jadi Bibi inisiatif mengunjungi Nek Menik. Tapi, Bibi malah dimarahin sama Nenek kamu. Katanya, Bibi nggak boleh datang ke rumahnya.Dia merasa sehat dan nggak butuh perhatian dari Bibi. Nenekmu juga mengusir Bibi dan ngelarang Bibi datang lagi. Dari pada ribut, Bibi ya mending nggak datang. Bibi juga sibuk di kebun karena masih panen cabe. Jadi nggak sempat lagi nengokin Nek Menik.Dan tiga puluh menit sebelum nelpon kamu, Pakde Marwan yang rumahnya di ujung sana, datang ke rumah Bibi. Dia tanya sama Bibi, kenapa dari arah dapur Nek Menik tercium bau bangkai yang sangat menyengat. Sebenarnya, tujuan Pakde Marwan cuma ingin mencari Ayam jagonya yang udah tiga hari nggak pulang. Tapi karena menemukan hal yang janggal, Pakde Marwan menunda pencariannya. Dia malah datang ke ruma
Hasil autopsi sudah keluar. Dan di tubuh Nenek tidak ada tanda-tanda kekerasan. Kemungkinan Nenek meninggal akibat serangan jantung. Dan diperkirakan sudah lebih dari tiga hari Nenek tidak bernyawa dan tergeletak di lantai. Kasihan Nenek. Harus menerima takdir se-pedih itu di akhir hayatnya.Aku sudah memaafkan Nenek. Semoga Tuhan mengampuni segala dosanya selama di dunia ini. "Makan dulu, ya?" tawar Mas Farzan yang sudah duduk di sampingku membawa piring lengkap dengan nasi dan lauknya. Sejak para tetangga yang mendoakan Nenek membubarkan diri, aku hanya duduk di depan pintu kamar sambil senderan. Sudah menjadi tradisi di kampung ini, kalau ada yang meninggal, para warganya akan mengadakan tahlilan. Ini sudah pukul setengah sepuluh malam, dan perutku masih belum terisi nasi satu butir pun. "Aku nggak lapar, Mas," ucapku meliriknya tak. semangat. Sejak tiga hari lalu, aku selalu merasa kenyang meski tidak makan. Sepertinya ini dampak dari kepergian Nenek. Ada penyesalan di hati
"Halah, muna-""Diam Neni. Mama sedang bicara. Kami sebaiknya diam saja.""Ma, Neni mana bisa diam. Enak saja Nenek memberikan semua warisannya pada Sarah. Neni adalah cucu kesayangannya. Sudah pasti seluruh harta Nenek akan jatuh ke tangan Neni, bukan dia!" Mbak Neni menunjukku."Aku juga tak menginginkan harta warisan itu, Mbak! Ambil semuanya kalau kau mau!""Dasar sombong! Yang mau ngasih kamu juga siapa?""Diam lah Neni! Mama belum selesai! Kamu itu, cuma bikin gaduh aja bisanya!" omel Sang Ibu, sengit."Jadi, kau benar-benar tak mau semua warisan Ibuku?" tanya Bude Arum."Tidak! Aku tidak serakah seperti ... " Aku sengaja menggantung kalimatku.Bude Arum melirikku sinis."Baiklah kalau kau tak mau, maka aku yang akan membaginya.""Suamiku adalah anak laki-laki, Mbak. Jadi, dia lah yang akan mendapatkan bagian lebih banyak," celetuk Ibu tiriku.Pandangan Bude Arum be
"Maaf, Bu. Anda bisa menjelaskan semuanya di kantor polisi." Polisi wanita itu tetap menggeret Mbak Diana."Tidak mau! Saya tidak mau dipenjara!" teriaknya lagi, sambil terus meronta.Kedua tangan Mbak Diana yang dipegang oleh polisi wanita itu, terus bergerak hendak melepaskan diri."Tolong kerja samanya, Bu! Atau kami akan mengambil tindakan tegas!" seru polisi wanita itu dengan wajah seram.Nyali Mbak Diana menciut. Mulutnya seketika berhenti meronta. Tapi matanya terus saja mengeluarkan air."Kami, permisi dulu, Pak, Bu!"Setelah berpamitan, semua polisi itu pergi dari rumah dengan membawa kakak iparku.Mas Malik terlihat kuyu. Dia pasti sangat lelah atas semua yang terjadi pada keluarganya."Aku tidak menyangka Diana sampai berbuat sejauh ini. Mungkin aku juga bersalah karena terlalu sibuk bekerja, sehingga dia tega menduakanku." Mas Malik menunduk, sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ini semua gara-gara kamu, Mbak!" celetukku saat kulihat Mbak Diana berada di dalam kamar Ibu. Dia masih menangis sambil memegang bingkai foto Ibu.Sebentar ia menatap foto itu, kemudian memeluknya."Diam kamu, Sarah! Kalau saja kau tidak kembali ke sini, semua ini tidak akan terjadi. Ibu tidak akan datang dan masuk ke dalam rumah, memergokiku bersama Danu. Hingga akhirnya aku tak sengaja mendorongnya!" ujarnya sinis.Mbak Diana menatapku dengan tajam. Wajahnya yang masih terdapat jejak air mata terlihat sangat berantakan.Dia itu menangisi kepergian Ibu, atau menangis karena takut diusir oleh Mas Malik"Tidak sengaja katamu? Sudah mendorongnya dengan kuat, kamu bilang tidak sengaja? Dasar perempuan tak punya hati!" sungutku, menatap wajahnya dengan tatapan menantang."Aku memang tidak sengaja. Karena panik, aku jadi mendorong Ibu. Pasti kamu kan yang meminta Ibu masuk ke dalam rumahku?" cecarnya galak."Hey, Diana! Sepa
"Iya, Bu. Kamar Ibu nggak dikunci kan?""Enggak kayaknya. Kalaupun di kunci, pasti kuncinya masih gantung di pintu. Karena di dompet Ibu nggak ada kunci."Aku mengangguk. Ibu berjalan ke rumah Mas Malik, sementara aku masuk ke rumah Ibu.Rumah Mas Malik juga terbuka, sepertinya Mas Malik memang sedang berada di rumah.Aku dengan segera menuju kamar Ibu. Dan benar saja, kamar Ibu tidak dikunci. Pintu depan juga tidak dikunci tadi. Mungkin Ibu banyak pikiran, sampai lupa mengunci pintu."ASTAGHFIRULLAHHALAZIM ... APA YANG KAU LAKUKAN DIANA!" Suara Ibu terdengar sampai ke dalam kamar.Aku segera berlari meski belum menemukan ATM milik Ibu. Rumah Mbak Diana sudah permanen. Jika suara Ibu sampai terdengar ke dalam kamar, pasti sesuatu sedang terjadi pada Ibu.'DUAK!'"Awww!"Kakiku tersandung sofa."Suami pergi bekerja, kau malah enak-enakkan berbuat maksiat!" suara Ibu kembali terdengar saat aku sa
"Maaf, Nak. Sarah. Bukan maksud Ibu tak menganggap Nak Sarah anak. Tapi, Ibu takut merepotkan kamu." Ibu mengusap-usap punggungku. Tangisku semakin pecah mendengar penuturan Ibu."Bu, tidak ada yang namanya orang tua merepotkan anak. Karena setiap anak, pasti ingin merawat orang tuanya. Sama seperti tujuan orang tua membesarkan anaknya, seorang anak juga ingin membalas apa yang telah dilakukan orang tuanya," ucapku seraya mengurai pelukan. Kalau saja Ibuku masih ada, ingin rasanya aku membahagiakan dia seperti dia membahagiakanku. Tapi itu semua sudah tidak mungkin. Yang aku punya saat ini adalah Ibu mertua. Maka aku harus memperlakukannya sama seperti Ibuku sendiri. Karena sejak awal, Ibu sudah baik padaku. Aku ingin membalas semua kebaikan Ibu.Meski aku tahu, kalau aku tidak mungkin bisa membalasnya."Terimakasih, Nak Sarah. Maaf, karena telah menyembunyikan semuanya dari kalian." Ibu menghapus air mataku yang mengenai pipi.Aku berusaha untuk tidak menangis lagi. Walau di hati m
Pak Rt mengangguk seraya membalas senyum Mas Malik. "Baiklah Pak Malik. Kalau begitu, saya juga ingin berpamitan. Mbak Sarah, saya juga meminta maaf atas nama para warga karena sudah salah paham. Lain kali, kalau ada tamu Mbak Sarah bisa lapor dulu ke saya, agar tak terjadi hal yang seperti ini lagi.""Saya ingin melapor, Pak. Tapi kemarin posisinya sudah malam. Jadi takut mengganggu istirahat Bapak. Makanya saya tak jadi melapor. Pagi ini rencananya saya mau datang ke rumah Bapak, tapi belum juga datang, Bapak dan warga malah udah datang berbondong-bondong," sahut Mbak Ani menimpali."Wah, maaf, ya, Mbak Ani. Saya juga kalau tidak mendapat laporan, nggak akan datang. Para warga juga bukan saya yang mengerahkan. Mereka datang sendiri.""Ya, sudah, Pak. Saya minta nomor Bapak sajaJadi kalau ada tamu lagi, tinggal langsung telepon." Mbak Ani mengeluarkan ponselnya. Ia mencatat saat Pak Rt dengan pelan menyebutkan nomor ponselnya."Saya pam
"Jangan banyak alasan, Kamu! Kalian berdua tuh sama aja!" Mbak Neni memotong ucapan Mbak Diana.Aku memegangi tangan Mbak Diana agar dia bisa sedikit tenang."Mas, tolong percaya sama aku, ya? Kejadian ini benar-benar terjadi begitu saja. Namanya manusia kan bisa aja khilaf. Aku takut Sarah khilaf, dan memasukkan penjahat. Makanya aku langsung lapor Pak Rt-""Dan lapor suami beserta Ibu mertua Sarah, agar mereka dengan cepat mengusir Sarah. Iya, kan?" potong Mbak Neni lagi, tak memberi kesempatan untuk Mbak Diana menyelesaikan ucapannya."Kamu, kenapa sih ikut campur saja? Kamu itu orang luar, jangan ikut campur masalah kami!" bentak Mbak Diana, menatap sinis Mbak Neni."Kalau kamu tidak membawaku dalam masalahmu, aku juga tidak akan ikut campur masalah kalian. Tapi sayangnya, kamu terlanjur memasukkanku ke dalam masalah ini, jadi tak ada salahnya aku ikut campu
"Aawwcchh, sakit. Mas Farzan, tolongin aku dong!" Liana mengulurkan tangannya pada Mas Farzan. Rengekannya terdengar sangat manja. Ingin rasanya kutimpuk kepalanya menggunakan sandal ini, agar dia sadar bahwa lelaki yang ia mintai tolong adalah suami orang. 'PLAK!'"Minta tolong, noh sama tai ayam!" Mbak Neni menepis tangan Liana yang ia ulurkan pada suamiku.Gadis cantik itu semakin merengut menahan tangisnya. "Aaaaa! Kurang ajar kamu!" pekik Liana sambil memandangi tangannya yang mengenai eek Ayam di sampingnya. Liana bangkit. Ia berdiri berhadapan langsung dengan Mbak Neni. Kakak sepupuku berkacak pinggang. Mata tajamnya ia arahkan pada wanita di hadapannya. "Bukan cuma kamu yang bisa bar-bar! Aku juga bisa!" sentak Liana, seraya mengarahkan kedua tangannya pada rambut Mbak Neni. Mbak Neni menangkis tangan Liana yang hendak mencapai rambutnya.Meski memiliki tubuh agak berisi, Mbak N
"Mbak, Bude berkata seperti itu, pasti karena Ia terbawa emosi. Jauh di lubuk hatinya, Sarah yakin Bude sangat menyayangi Mbak Neni. Coba lah Mbak Neni cari pekerjaan, yang sesuai dengan keahlian Mbak Sendiri. Tidak apa dimulai dari posisi paling bawah. Suatu saat nanti, pasti naik juga kok. Yang penting, Mbak harus yakin dengan pekerjaan yang sedang digeluti. Jangan menyerah sebelum berperang. Mulailah hidup baru tanpa Mas Deva. Sarah yakin, Mbak pasti bisa." Aku menaruh bawang yang sudah selesai dikupas. Kugenggam kedua tangan Mbak Neni untuk menguatkannya."Kamu, kenapa masih baik sama Mbak, sih? Padahal selama ini, Mbak selalu jahatin kamu. Sebelum kamu menikah, dan kita tinggal berdekatan, bahkan Mbak nggak pernah sekalipin berbuat baik sama kamu. Apapun yang kamu mau, semuanya pasti Mbak ambil. Kalaupun kamu nggak salah, Mbak selalu mengadu pada Nenek agar menyalahkanmu. Mulut ini juga, selalu berkata buruk tentang Ibumu. Kenapa sekarang kamu nggak membalas semua
Aku memiringkan senyum, mengejek wanita di hadapanku ini."Pergilah, dan jangan pernah kembali. Aku bisa mengusir kalian jika nekat datang ke rumah ini. Urus suamimu, dan jangan meminta bantuan kami. Aku tidak akan pernah memberikannya, meski kau menangis darah.""Dasar anak Durhaka! Tunggu saja Karma yang akan datang padamu, karena tak mau membantu orang tua yang sedang kesusahan. Kudoakan, hidupmu akan menderita selamanya!" kutukknya, dan tidak membuatku takut."Jangan lupa, Bu. Semua yang terjadi padamu saat ini, adalah Karma karena Ibu dan Bapak telah menelantarkanku selama bertahun-tahun. Jadi, jangan bicara soal Karma di sini. Karena kalianlah, yang sedang mendapatkan Karma atas perbuatan kalian." Aku tersenyum sinis pada Ibu.Wanita itu tak lagi berkata-kata. Dia bangkit, lalu pergi tanpa mengucap salam.Aku juga berdiri, dan mata ini tetap mengawasinya."Cuuiihh!" Dia meludah, saat kepalanya berbalik men