Mataku mulai mengabur akibat genangan air mata yang memenuhi pelupuk mata.
"Bibi, nggak mungkin bercanda kalau soal kabar duka, Rah. Nenekmu memang meninggal. Kamu dengar, kan, suara ramai di sini? Mereka semua adalah warga yang ingin melihat jasad Nenekmu. Bibi juga lagi di rumah Nenekmu. Tapi Bibi sedikit menjauh karena mau mengabari kamu."
Bi Nining kembali menangis. Dan aku juga sudah tak kuasa menahan air mata yang sudah berdesakan hendak tumpah.
Ya, Allah. Ke mana Bude Arum dan Pakde Ardi. Kenapa Nenek meninggal mereka sampai nggak tau?
"Sarah, kamu kenapa?" tanya Ibu yang melihatku menangis. Ia mendekat.
"Nenek, Bu. Nenek udah nggak ada. Nenek udah meninggal," ucapku, luruh ke lantai. Tiba-tiba saja tubuhku serasa tidak memiliki tulang belulang. Tubuh ini serasa lemah tak berdaya.
Ibu berjongkok, ia langsung memelukku dengan erat.
Aku menangis sejadi-jadinya di dalam dekapan Ibu. Apalagi sebulan belakang
"Pernah. Bibi juga pernah datang ke sini untuk mengecek keadaan Nenekmu. Takut juga, kan, Nenekmu sakit dan butuh sesuatu tapi nggak ada yang bantu. Jadi Bibi inisiatif mengunjungi Nek Menik. Tapi, Bibi malah dimarahin sama Nenek kamu. Katanya, Bibi nggak boleh datang ke rumahnya.Dia merasa sehat dan nggak butuh perhatian dari Bibi. Nenekmu juga mengusir Bibi dan ngelarang Bibi datang lagi. Dari pada ribut, Bibi ya mending nggak datang. Bibi juga sibuk di kebun karena masih panen cabe. Jadi nggak sempat lagi nengokin Nek Menik.Dan tiga puluh menit sebelum nelpon kamu, Pakde Marwan yang rumahnya di ujung sana, datang ke rumah Bibi. Dia tanya sama Bibi, kenapa dari arah dapur Nek Menik tercium bau bangkai yang sangat menyengat. Sebenarnya, tujuan Pakde Marwan cuma ingin mencari Ayam jagonya yang udah tiga hari nggak pulang. Tapi karena menemukan hal yang janggal, Pakde Marwan menunda pencariannya. Dia malah datang ke ruma
Hasil autopsi sudah keluar. Dan di tubuh Nenek tidak ada tanda-tanda kekerasan. Kemungkinan Nenek meninggal akibat serangan jantung. Dan diperkirakan sudah lebih dari tiga hari Nenek tidak bernyawa dan tergeletak di lantai. Kasihan Nenek. Harus menerima takdir se-pedih itu di akhir hayatnya.Aku sudah memaafkan Nenek. Semoga Tuhan mengampuni segala dosanya selama di dunia ini. "Makan dulu, ya?" tawar Mas Farzan yang sudah duduk di sampingku membawa piring lengkap dengan nasi dan lauknya. Sejak para tetangga yang mendoakan Nenek membubarkan diri, aku hanya duduk di depan pintu kamar sambil senderan. Sudah menjadi tradisi di kampung ini, kalau ada yang meninggal, para warganya akan mengadakan tahlilan. Ini sudah pukul setengah sepuluh malam, dan perutku masih belum terisi nasi satu butir pun. "Aku nggak lapar, Mas," ucapku meliriknya tak. semangat. Sejak tiga hari lalu, aku selalu merasa kenyang meski tidak makan. Sepertinya ini dampak dari kepergian Nenek. Ada penyesalan di hati
"Halah, muna-""Diam Neni. Mama sedang bicara. Kami sebaiknya diam saja.""Ma, Neni mana bisa diam. Enak saja Nenek memberikan semua warisannya pada Sarah. Neni adalah cucu kesayangannya. Sudah pasti seluruh harta Nenek akan jatuh ke tangan Neni, bukan dia!" Mbak Neni menunjukku."Aku juga tak menginginkan harta warisan itu, Mbak! Ambil semuanya kalau kau mau!""Dasar sombong! Yang mau ngasih kamu juga siapa?""Diam lah Neni! Mama belum selesai! Kamu itu, cuma bikin gaduh aja bisanya!" omel Sang Ibu, sengit."Jadi, kau benar-benar tak mau semua warisan Ibuku?" tanya Bude Arum."Tidak! Aku tidak serakah seperti ... " Aku sengaja menggantung kalimatku.Bude Arum melirikku sinis."Baiklah kalau kau tak mau, maka aku yang akan membaginya.""Suamiku adalah anak laki-laki, Mbak. Jadi, dia lah yang akan mendapatkan bagian lebih banyak," celetuk Ibu tiriku.Pandangan Bude Arum be
"Ayo, Mas, kita tidur." Aku menarik lengan Mas Farzan yang sedari tadi sudah duduk di sampingku. Ia hanya melihat perdebatan kami tanpa mau ikut campur.Mas Farzan mengangguk. Ia bangkit bersamaku. seraya berlalu."Ma, kalau nanti warisan Nenek udah dibagikan, Neni. jangan lupa dikasih bagian juga, ya? Kan selama ini Nenek dekatnya cuma sama Neni doang. Pasti Nenek lupa itu mencantumkan nama Neni. Atau kalau tidak, Nenek salah tulis nama. Mau buat Neni, malah jadi Sarah."Aku menangkap suara Mbak Neni yang hampir terdengar seperti berbisik. Aku dan Mas Farzan hampir mancapai pintu. Tapi karena mendengar ucapan Mbak Neni, aku menghentikan langkah tepat di depan pintu."Iya, iya. Sudah diam saja. Kamu pasti akan dapat bagian juga kok." Bude Arum melirikku seraya menyenggol pelan lengan putrinya.Mbak Neni mengikuti arah pandangan Bude Arum. Dia menatapku sinis, lalu membuang pandang.***Hari in
"Sekarang cepat kamu kemasi pakaianmu. Dan pulang lah ke rumah suamimu. Mama sudah muak melihatmu setiap hari hanya bermalas-malasan di rumah ini!" Wanita yang sudah melahirkanku itu, dengan tega mengusirku dari rumah yang selama dua puluh lima tahun belakangan menampungku."Tapi Neni masih mau di sini, Ma. Masih kangen sama Mama, Papa, dan juga Adik." Aku merengek seperti anak kecil.Bibir yang seksinya mengalahkan Aril Tantrum ini, kumajukan beberapa centi ke depan."Nggak ada! Pokoknya kamu harus segera pulang. Mama bukan pembantumu yang setiap hari harus menyediakan makanan serta mencuci pakaianmu. Kamu itu sudah menikah. Seharusnya kamu lah yang mengerjakan pekerjaan di rumah ini. Setelah menikah, anak perempuan akan menjadi orang lain di rumah orang tuanya sendiri. Jadi, kamu harus tahu diri!" sungut Mama."Ya, Tuhan, Ma. Mama tega sekali sama Neni. Mama anggap N
"Apa lagi?" tanya Mama, saat aku menyodorkan tangan padanya."Minta uang untuk ongkos, Ma. Neni nggak punya uang ini," ucapku seraya memamerkan gigi putih berkilauku."Astaga, Neni. Sampai uang saja kamu nggak punya? Makanya kerja. Jadi nggak cuma ngandalkan uang suami," gerutu Mama, seraya merogoh saku piyama-nya."Kerja apa, Ma? Susah cari kerjaan sekarang.""Percuma kamu Mama sekolahkan sampai sarjana, kalau ujung-ujungnya tak kau gunakan itu ijazahmu. Punya kepala, ot*k itu dipakai untuk mikir. Bukan cuma untuk pajangan aja, Neni!" Mama menoyor kepalaku dengan seenaknya."Ish, Maaaa!""Kalau Papamu sampai tau kehidupanmu begini ... Hmmm, entah lah apa yang akan terjadi," keluh Mama."Jangan sampai tau dong, Ma. Belum saatnya Papa tau. Ya, udah Neni pulang kalau gitu." Aku kembali menjabat tangan Mama dan menciumnya.Setelah itu, aku menancap gas dan meninggalkan Mama."
"Tidak ada penolakan! Pokoknya kamu harus mau. Kalau kau menolak, maka kau tidak akan makan. Karena aku tidak akan memberikan uang padamu lagi!"Mata Mas Fajar memicing sinis."Loh, Mas, nggak bisa gitu dong! Aku ini istrimu dan sudah seharusnya menjadi tanggung jawabmu!" bantahku."Turuti saja perkataanku. Aku ini suamimu. Dan semua ucapanku tak bisa dibantah!" bentaknya seraya membanting tusuk gigi di tangannya.Mata Mas Fajar melotot tajam padaku. Kalau sudah begini, mau tak mau aku harus mau. Menolak pun akan percuma. Karena dia jelas tidak akan menerima penolakan dariku.Huuffftt. Suami nggak guna! Tunggu saja pembalasan dariku Fajar! Hari ini aku mengalah. Tetapi tidak selamanya. Akan ada saat di mana aku lah yang menjadikanmu budak!Aku membuang pandang, agar tak melihat matanya yang terlihat sangat besar dan hampir keluar."Cepatlah kau bersihkan semua. Setelah itu temani aku di
Pov Sarah"Menikah sudah hampir setahun, tapi perut belum isi juga. Coba periksakan ke dokter, jangan-jangan ada masalah dengan rahimmu, Sarah!" sindir Mbak Diana, saat kami sedang duduk sambil mengupas kulit bawang."Loh, istri Farzan belum 𝘯𝘨𝘪𝘴𝘪 juga toh?" tanya Bi Ningrum menimpali.Hari ini, di rumah Ibu sedang mengadakan pengajian untuk mendoakan almarhum keluarga yang sudah terlebih dahulu menghadap sang ilahi.Bi Ningrum dan Bude Rini, juga diundang datang oleh Ibu untuk bantu-bantu atau sekedar berkumpul keluarga. Tapi aku tidak menyangka jika Mbak Diana akan membahas soal aku yang belum juga dipercayakan untuk mengandung anak Mas Farzan.Pernikahanku belum genap setahun. Jadi aku rasa wajar saja jika belum hamil. Tapi tidak dengan mulut lebih-nya Mbak Diana. Dia seakan senang bila aku jadi gunjingan keluarga dan tetangga di sini.Mbak Diana sepertinya sangat senang jika aku diolok-olok.
"Maaf, Bu. Anda bisa menjelaskan semuanya di kantor polisi." Polisi wanita itu tetap menggeret Mbak Diana."Tidak mau! Saya tidak mau dipenjara!" teriaknya lagi, sambil terus meronta.Kedua tangan Mbak Diana yang dipegang oleh polisi wanita itu, terus bergerak hendak melepaskan diri."Tolong kerja samanya, Bu! Atau kami akan mengambil tindakan tegas!" seru polisi wanita itu dengan wajah seram.Nyali Mbak Diana menciut. Mulutnya seketika berhenti meronta. Tapi matanya terus saja mengeluarkan air."Kami, permisi dulu, Pak, Bu!"Setelah berpamitan, semua polisi itu pergi dari rumah dengan membawa kakak iparku.Mas Malik terlihat kuyu. Dia pasti sangat lelah atas semua yang terjadi pada keluarganya."Aku tidak menyangka Diana sampai berbuat sejauh ini. Mungkin aku juga bersalah karena terlalu sibuk bekerja, sehingga dia tega menduakanku." Mas Malik menunduk, sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ini semua gara-gara kamu, Mbak!" celetukku saat kulihat Mbak Diana berada di dalam kamar Ibu. Dia masih menangis sambil memegang bingkai foto Ibu.Sebentar ia menatap foto itu, kemudian memeluknya."Diam kamu, Sarah! Kalau saja kau tidak kembali ke sini, semua ini tidak akan terjadi. Ibu tidak akan datang dan masuk ke dalam rumah, memergokiku bersama Danu. Hingga akhirnya aku tak sengaja mendorongnya!" ujarnya sinis.Mbak Diana menatapku dengan tajam. Wajahnya yang masih terdapat jejak air mata terlihat sangat berantakan.Dia itu menangisi kepergian Ibu, atau menangis karena takut diusir oleh Mas Malik"Tidak sengaja katamu? Sudah mendorongnya dengan kuat, kamu bilang tidak sengaja? Dasar perempuan tak punya hati!" sungutku, menatap wajahnya dengan tatapan menantang."Aku memang tidak sengaja. Karena panik, aku jadi mendorong Ibu. Pasti kamu kan yang meminta Ibu masuk ke dalam rumahku?" cecarnya galak."Hey, Diana! Sepa
"Iya, Bu. Kamar Ibu nggak dikunci kan?""Enggak kayaknya. Kalaupun di kunci, pasti kuncinya masih gantung di pintu. Karena di dompet Ibu nggak ada kunci."Aku mengangguk. Ibu berjalan ke rumah Mas Malik, sementara aku masuk ke rumah Ibu.Rumah Mas Malik juga terbuka, sepertinya Mas Malik memang sedang berada di rumah.Aku dengan segera menuju kamar Ibu. Dan benar saja, kamar Ibu tidak dikunci. Pintu depan juga tidak dikunci tadi. Mungkin Ibu banyak pikiran, sampai lupa mengunci pintu."ASTAGHFIRULLAHHALAZIM ... APA YANG KAU LAKUKAN DIANA!" Suara Ibu terdengar sampai ke dalam kamar.Aku segera berlari meski belum menemukan ATM milik Ibu. Rumah Mbak Diana sudah permanen. Jika suara Ibu sampai terdengar ke dalam kamar, pasti sesuatu sedang terjadi pada Ibu.'DUAK!'"Awww!"Kakiku tersandung sofa."Suami pergi bekerja, kau malah enak-enakkan berbuat maksiat!" suara Ibu kembali terdengar saat aku sa
"Maaf, Nak. Sarah. Bukan maksud Ibu tak menganggap Nak Sarah anak. Tapi, Ibu takut merepotkan kamu." Ibu mengusap-usap punggungku. Tangisku semakin pecah mendengar penuturan Ibu."Bu, tidak ada yang namanya orang tua merepotkan anak. Karena setiap anak, pasti ingin merawat orang tuanya. Sama seperti tujuan orang tua membesarkan anaknya, seorang anak juga ingin membalas apa yang telah dilakukan orang tuanya," ucapku seraya mengurai pelukan. Kalau saja Ibuku masih ada, ingin rasanya aku membahagiakan dia seperti dia membahagiakanku. Tapi itu semua sudah tidak mungkin. Yang aku punya saat ini adalah Ibu mertua. Maka aku harus memperlakukannya sama seperti Ibuku sendiri. Karena sejak awal, Ibu sudah baik padaku. Aku ingin membalas semua kebaikan Ibu.Meski aku tahu, kalau aku tidak mungkin bisa membalasnya."Terimakasih, Nak Sarah. Maaf, karena telah menyembunyikan semuanya dari kalian." Ibu menghapus air mataku yang mengenai pipi.Aku berusaha untuk tidak menangis lagi. Walau di hati m
Pak Rt mengangguk seraya membalas senyum Mas Malik. "Baiklah Pak Malik. Kalau begitu, saya juga ingin berpamitan. Mbak Sarah, saya juga meminta maaf atas nama para warga karena sudah salah paham. Lain kali, kalau ada tamu Mbak Sarah bisa lapor dulu ke saya, agar tak terjadi hal yang seperti ini lagi.""Saya ingin melapor, Pak. Tapi kemarin posisinya sudah malam. Jadi takut mengganggu istirahat Bapak. Makanya saya tak jadi melapor. Pagi ini rencananya saya mau datang ke rumah Bapak, tapi belum juga datang, Bapak dan warga malah udah datang berbondong-bondong," sahut Mbak Ani menimpali."Wah, maaf, ya, Mbak Ani. Saya juga kalau tidak mendapat laporan, nggak akan datang. Para warga juga bukan saya yang mengerahkan. Mereka datang sendiri.""Ya, sudah, Pak. Saya minta nomor Bapak sajaJadi kalau ada tamu lagi, tinggal langsung telepon." Mbak Ani mengeluarkan ponselnya. Ia mencatat saat Pak Rt dengan pelan menyebutkan nomor ponselnya."Saya pam
"Jangan banyak alasan, Kamu! Kalian berdua tuh sama aja!" Mbak Neni memotong ucapan Mbak Diana.Aku memegangi tangan Mbak Diana agar dia bisa sedikit tenang."Mas, tolong percaya sama aku, ya? Kejadian ini benar-benar terjadi begitu saja. Namanya manusia kan bisa aja khilaf. Aku takut Sarah khilaf, dan memasukkan penjahat. Makanya aku langsung lapor Pak Rt-""Dan lapor suami beserta Ibu mertua Sarah, agar mereka dengan cepat mengusir Sarah. Iya, kan?" potong Mbak Neni lagi, tak memberi kesempatan untuk Mbak Diana menyelesaikan ucapannya."Kamu, kenapa sih ikut campur saja? Kamu itu orang luar, jangan ikut campur masalah kami!" bentak Mbak Diana, menatap sinis Mbak Neni."Kalau kamu tidak membawaku dalam masalahmu, aku juga tidak akan ikut campur masalah kalian. Tapi sayangnya, kamu terlanjur memasukkanku ke dalam masalah ini, jadi tak ada salahnya aku ikut campu
"Aawwcchh, sakit. Mas Farzan, tolongin aku dong!" Liana mengulurkan tangannya pada Mas Farzan. Rengekannya terdengar sangat manja. Ingin rasanya kutimpuk kepalanya menggunakan sandal ini, agar dia sadar bahwa lelaki yang ia mintai tolong adalah suami orang. 'PLAK!'"Minta tolong, noh sama tai ayam!" Mbak Neni menepis tangan Liana yang ia ulurkan pada suamiku.Gadis cantik itu semakin merengut menahan tangisnya. "Aaaaa! Kurang ajar kamu!" pekik Liana sambil memandangi tangannya yang mengenai eek Ayam di sampingnya. Liana bangkit. Ia berdiri berhadapan langsung dengan Mbak Neni. Kakak sepupuku berkacak pinggang. Mata tajamnya ia arahkan pada wanita di hadapannya. "Bukan cuma kamu yang bisa bar-bar! Aku juga bisa!" sentak Liana, seraya mengarahkan kedua tangannya pada rambut Mbak Neni. Mbak Neni menangkis tangan Liana yang hendak mencapai rambutnya.Meski memiliki tubuh agak berisi, Mbak N
"Mbak, Bude berkata seperti itu, pasti karena Ia terbawa emosi. Jauh di lubuk hatinya, Sarah yakin Bude sangat menyayangi Mbak Neni. Coba lah Mbak Neni cari pekerjaan, yang sesuai dengan keahlian Mbak Sendiri. Tidak apa dimulai dari posisi paling bawah. Suatu saat nanti, pasti naik juga kok. Yang penting, Mbak harus yakin dengan pekerjaan yang sedang digeluti. Jangan menyerah sebelum berperang. Mulailah hidup baru tanpa Mas Deva. Sarah yakin, Mbak pasti bisa." Aku menaruh bawang yang sudah selesai dikupas. Kugenggam kedua tangan Mbak Neni untuk menguatkannya."Kamu, kenapa masih baik sama Mbak, sih? Padahal selama ini, Mbak selalu jahatin kamu. Sebelum kamu menikah, dan kita tinggal berdekatan, bahkan Mbak nggak pernah sekalipin berbuat baik sama kamu. Apapun yang kamu mau, semuanya pasti Mbak ambil. Kalaupun kamu nggak salah, Mbak selalu mengadu pada Nenek agar menyalahkanmu. Mulut ini juga, selalu berkata buruk tentang Ibumu. Kenapa sekarang kamu nggak membalas semua
Aku memiringkan senyum, mengejek wanita di hadapanku ini."Pergilah, dan jangan pernah kembali. Aku bisa mengusir kalian jika nekat datang ke rumah ini. Urus suamimu, dan jangan meminta bantuan kami. Aku tidak akan pernah memberikannya, meski kau menangis darah.""Dasar anak Durhaka! Tunggu saja Karma yang akan datang padamu, karena tak mau membantu orang tua yang sedang kesusahan. Kudoakan, hidupmu akan menderita selamanya!" kutukknya, dan tidak membuatku takut."Jangan lupa, Bu. Semua yang terjadi padamu saat ini, adalah Karma karena Ibu dan Bapak telah menelantarkanku selama bertahun-tahun. Jadi, jangan bicara soal Karma di sini. Karena kalianlah, yang sedang mendapatkan Karma atas perbuatan kalian." Aku tersenyum sinis pada Ibu.Wanita itu tak lagi berkata-kata. Dia bangkit, lalu pergi tanpa mengucap salam.Aku juga berdiri, dan mata ini tetap mengawasinya."Cuuiihh!" Dia meludah, saat kepalanya berbalik men