Mata Mas Fajar memicing sinis.
"Loh, Mas, nggak bisa gitu dong! Aku ini istrimu dan sudah seharusnya menjadi tanggung jawabmu!" bantahku.
"Turuti saja perkataanku. Aku ini suamimu. Dan semua ucapanku tak bisa dibantah!" bentaknya seraya membanting tusuk gigi di tangannya.
Mata Mas Fajar melotot tajam padaku. Kalau sudah begini, mau tak mau aku harus mau. Menolak pun akan percuma. Karena dia jelas tidak akan menerima penolakan dariku.
Huuffftt. Suami nggak guna! Tunggu saja pembalasan dariku Fajar! Hari ini aku mengalah. Tetapi tidak selamanya. Akan ada saat di mana aku lah yang menjadikanmu budak!
Aku membuang pandang, agar tak melihat matanya yang terlihat sangat besar dan hampir keluar.
"Cepatlah kau bersihkan semua. Setelah itu temani aku di
Pov Sarah"Menikah sudah hampir setahun, tapi perut belum isi juga. Coba periksakan ke dokter, jangan-jangan ada masalah dengan rahimmu, Sarah!" sindir Mbak Diana, saat kami sedang duduk sambil mengupas kulit bawang."Loh, istri Farzan belum 𝘯𝘨𝘪𝘴𝘪 juga toh?" tanya Bi Ningrum menimpali.Hari ini, di rumah Ibu sedang mengadakan pengajian untuk mendoakan almarhum keluarga yang sudah terlebih dahulu menghadap sang ilahi.Bi Ningrum dan Bude Rini, juga diundang datang oleh Ibu untuk bantu-bantu atau sekedar berkumpul keluarga. Tapi aku tidak menyangka jika Mbak Diana akan membahas soal aku yang belum juga dipercayakan untuk mengandung anak Mas Farzan.Pernikahanku belum genap setahun. Jadi aku rasa wajar saja jika belum hamil. Tapi tidak dengan mulut lebih-nya Mbak Diana. Dia seakan senang bila aku jadi gunjingan keluarga dan tetangga di sini.Mbak Diana sepertinya sangat senang jika aku diolok-olok.
"Bu, sayur nangka, dan mienya nggak ada rasanya. Tadi Sarah sudah icip sedikit," bisikku pada Ibu yang sedang sibuk membungkus nasi.Biasanya Ibu tak mau repot. Ia lebih memilih memesan makanan dari salah satu temannya. Tapi khusus hari ini, Ia terpaksa repot gara-gara paksaan Bude Rini. Katanya sesekali nggak apa masak sendiri. Sekalian kumpul keluarga dan tetangga.Ibu hanya bisa menurut saja, daripada berselisih paham dengan kakak iparnya itu. Ibu takut, ia akan dikatai pelit gara-gara tak mau mengundang tetangga dan keluarga untuk memasak."Sudah biarkan saja. Nanti kalau kita protes, Budemu bisa marah," sahut Ibu dengan berbisik juga.Aku tak bisa melakukan apa-apa jika Ibu sudah berkata seperti itu. Mungkin Ibu lebih baik mengalah daripada harus ribut. Apalagi hari ini sedang ada acara."Tin!""Tinnn!"Suara klakso
"Iseng gimana? Kalau cuma satu pesan, mungkin iya cuma iseng. Tapi ini berkali-kali, bahkan bukan cuma satu nomor aja. Ada banyak nomor yang ngechat dengan kata-kata yang sama. Lihat ini kalau nggak percaya!" Mbak Neni kembali menyodorkan ponselnya.Aku menyambut ponsel itu dan menariknya mendekat agar terlihat jelas.Ternyata benar. Ada sekitar sebelas nomor yang mengirimkan pesan pada Mbak Neni dengan kata-kata ancaman yang sama.Ada apa dengan Mbak Neni? Apa dia bermasalah dengan seseorang, makanya saat ini dia mendapatkan ancaman dari orang tak di kenal?Setelah membaca semuanya, aku mengembalikan ponsel itu pada Mbak Neni."Siapa, ya, Mbak?" tanyaku saat ponsel itu sudah diterima olehnya."Mbak, nggak tahu, Rah!" ucapnya di sela tangisnya.Mbak Neni semakin tergugu."Apakah selama ini, Mbak Neni bermasalah sama orang? Atau Mbak Neni pernah ribut sama orang gitu?"
"Pak Aman sudah pensiun. Sekarang Nak Amri yang akan bekerja menggantikan Ayahnya. Ayo, berkenalan dulu dengan Nak Amri," ucap Ibu saat kami berada di ruang tamu.Lelaki muda berperawakan tinggi itu tersenyum seraya menjabat tangan kami satu persatu.Mas Farzan yang berada tepat di sampingku dengan sengaja menyenggol lenganku saat tangan Amri bersentuhan denganku. Raut wajah tidak suka ia tampilkan secara terang-terangan di sana."Ada apa?" bisikku saat Amri beralih ke tangan yang lainnya."Jangan lama-lama. Aku tak suka," sahutnya juga berbisik.Sepertinya Mas Farzan cemburu dengan Amri. Alamat tidak boleh pergi tanpa dia nih.Aku mengulas senyum seraya bergelayut manja di lengannya. Mas Farzan tersenyum manis seraya mengacak rambutku asal.***"Hati-hati, Zan! Amri itu masih muda dan lumayan tampan. Jangan biasakan Sarah pergi hanya berdua dengan Amri saja. Takutnya, kamu ditikung oleh supirmu sendiri
"Maaf, Mbak. Farzan nggak bisa."Aku menoleh pada lelakiku. Dia tersenyum sangat manis saat pandangan kami bertemu. Aku segera mengalihkan pandangan karena ingin melihat ekspresi iparku itu. Wajah Mbak Diana ditekuk. Dia melirikku tak suka. "Kamu takut sama Sarah, Zan? Jadi laki-laki kok takut banget sama istri. Mbak cuma minta tolong jemputkan Liana, loh. Bukan yang lainnya. Kamu juga, Rah! Pelit banget sih. Liana nggak akan ngerebut suamimu, kok!" sungut Mbak Diana, jengkel. "Ya, sudah. Kalau begitu minta saja sama Amri. Dia juga nggak akan ganggu Liana, kok walau nomor telpon dikasih ke dia. Kalau Mbak nggak percaya, nanti aku deh yang bilang sama Amri."Mbak Diana cembetut. Bibirnya ia kerucutkan. "Jadi, kamu nggak mau ini, Zan?" tanyanya memastikan. Mas Farzan menggeleng dengan sangat yakin. Mbak Diana langsung membalikkan badan seraya menghentak-hentakkan kakinya. "Kok ada, ya, manusia seperti Mbak Diana?" Aku menggelengkan kepala mengingat kelakuan wanita itu. "Ya, ada
Setelah selesai, aku kembali mengerjakan yang lainnya. Karena Mbak Ani hari ini izin libur, jadi aku lah yang harus mengerjakan semuanya.Tak apalah. Hitung-hitung cari keringat.Sapu lidi yang biasa digunakan untuk menyapu halaman, kini beralih fungsi untuk menyapu rumah Laba-laba yang bertengger di atap luar dapur.Tembok yang tertempel rumah Laba-laba juga kusapu bersih, agar Ibu senang saat nanti pulang dari runah kerabatnya.Lumayan tinggi. Aku mencoba melompat-lompat saat rumah Laba-laba itu tidak kena sapu yang kuayunkan di atas.Tinggi sekali sih? Itu yang tinggi, atau aku yang semekot sih?"Sini Mbak, biar Amri bantu!"Lelaki bertubuh jangkung itu merebut sapu di tanganku, lalu menggerakkannya ke kanan dan ke kiri tanpa memintaku untuk pergi terlebih dahulu. Posisi kami, jika dilihat dari rumah Mbak
Ia melewatiku dan menuju kamar Ibu.Tok!Tok!"Bu, ini Diana!" ujar iparku memberi tahu.Tak perlu disebutkan namanya, ibu pasti tahu kalau yang datang adalah dia. Ibu pasti sudah sangat mengenal suara menantu pertamanya itu.'Cklek!'"Ada, apa?" tanya Ibu, juga ketus.Wajah Ibu juga terlihat tidak suka pada Mbak Diana.Tidak ada senyum, ataupun sekedar basa-basi yang keluar dari mulut Ibu."Ibu pulang dari rumah saudara, apa nggak bawa oleh-oleh untuk Diana dan anak-anak? Biasanya Ibu kan paling sering bawa oleh-oleh untuk kami." Mbak Diana celingukan dan seperti ingin mengintip kamar Ibu. Ia melihat ke arah belakang Ibu, bolak-balik."Nggak ada!" sahut Ibu ketus."Kamu aja kalau pergi nggak pernah bawa oleh-oleh untuk Ibu. Lah kok seenaknya minta dibawakan oleh-oleh. Kalau pingin dibawakan buah tangan tuh, kamu kasih uangnya. Jangan malah uang ng
Seharian ini Ibu mendiamkanku. Ia sama sekali tak mau menanyaiku. Dan setiap aku yang bertanya, Ibu selalu menjawabnya singkat.Aku jadi serba salah. Ingin menjelaskan apa. yang sebenarnya terjadi tapi Ibu seperti enggan mendengarkannya."Assalamu'alaikum." Suara Mas Farzan terdengar mengucap salam. Aku segera bangkit dan sedikit berlari menemuinya.Mas Farzan tersenyum saat melihatku menyambutnya. Ia menyerahkan kantong plastik di tangannya."Apa ini, Mas?" tanyaku menggandeng lengannya."Bakso," jawabnya seraya membawaku masuk."Ibu mana? Katanya sudah pulang?" tanya Mas Farzan yang tak mendapati Ibunya."Ibu pergi sama Mbak Ani." Aku menundukkan kepala.Entah kenapa, setelah melihat Mas Farzan pulang, aku malah ingin menangis sejadi-jadinya.Sedih yang selama dua hari ini kutahan, rasanya semakin sesak dan hendak dilepaskan."Kamu kenapa?" tany