"Pak Aman sudah pensiun. Sekarang Nak Amri yang akan bekerja menggantikan Ayahnya. Ayo, berkenalan dulu dengan Nak Amri," ucap Ibu saat kami berada di ruang tamu.
Lelaki muda berperawakan tinggi itu tersenyum seraya menjabat tangan kami satu persatu.
Mas Farzan yang berada tepat di sampingku dengan sengaja menyenggol lenganku saat tangan Amri bersentuhan denganku. Raut wajah tidak suka ia tampilkan secara terang-terangan di sana.
"Ada apa?" bisikku saat Amri beralih ke tangan yang lainnya.
"Jangan lama-lama. Aku tak suka," sahutnya juga berbisik.
Sepertinya Mas Farzan cemburu dengan Amri. Alamat tidak boleh pergi tanpa dia nih.
Aku mengulas senyum seraya bergelayut manja di lengannya. Mas Farzan tersenyum manis seraya mengacak rambutku asal.
***
"Hati-hati, Zan! Amri itu masih muda dan lumayan tampan. Jangan biasakan Sarah pergi hanya berdua dengan Amri saja. Takutnya, kamu ditikung oleh supirmu sendiri
"Maaf, Mbak. Farzan nggak bisa."Aku menoleh pada lelakiku. Dia tersenyum sangat manis saat pandangan kami bertemu. Aku segera mengalihkan pandangan karena ingin melihat ekspresi iparku itu. Wajah Mbak Diana ditekuk. Dia melirikku tak suka. "Kamu takut sama Sarah, Zan? Jadi laki-laki kok takut banget sama istri. Mbak cuma minta tolong jemputkan Liana, loh. Bukan yang lainnya. Kamu juga, Rah! Pelit banget sih. Liana nggak akan ngerebut suamimu, kok!" sungut Mbak Diana, jengkel. "Ya, sudah. Kalau begitu minta saja sama Amri. Dia juga nggak akan ganggu Liana, kok walau nomor telpon dikasih ke dia. Kalau Mbak nggak percaya, nanti aku deh yang bilang sama Amri."Mbak Diana cembetut. Bibirnya ia kerucutkan. "Jadi, kamu nggak mau ini, Zan?" tanyanya memastikan. Mas Farzan menggeleng dengan sangat yakin. Mbak Diana langsung membalikkan badan seraya menghentak-hentakkan kakinya. "Kok ada, ya, manusia seperti Mbak Diana?" Aku menggelengkan kepala mengingat kelakuan wanita itu. "Ya, ada
Setelah selesai, aku kembali mengerjakan yang lainnya. Karena Mbak Ani hari ini izin libur, jadi aku lah yang harus mengerjakan semuanya.Tak apalah. Hitung-hitung cari keringat.Sapu lidi yang biasa digunakan untuk menyapu halaman, kini beralih fungsi untuk menyapu rumah Laba-laba yang bertengger di atap luar dapur.Tembok yang tertempel rumah Laba-laba juga kusapu bersih, agar Ibu senang saat nanti pulang dari runah kerabatnya.Lumayan tinggi. Aku mencoba melompat-lompat saat rumah Laba-laba itu tidak kena sapu yang kuayunkan di atas.Tinggi sekali sih? Itu yang tinggi, atau aku yang semekot sih?"Sini Mbak, biar Amri bantu!"Lelaki bertubuh jangkung itu merebut sapu di tanganku, lalu menggerakkannya ke kanan dan ke kiri tanpa memintaku untuk pergi terlebih dahulu. Posisi kami, jika dilihat dari rumah Mbak
Ia melewatiku dan menuju kamar Ibu.Tok!Tok!"Bu, ini Diana!" ujar iparku memberi tahu.Tak perlu disebutkan namanya, ibu pasti tahu kalau yang datang adalah dia. Ibu pasti sudah sangat mengenal suara menantu pertamanya itu.'Cklek!'"Ada, apa?" tanya Ibu, juga ketus.Wajah Ibu juga terlihat tidak suka pada Mbak Diana.Tidak ada senyum, ataupun sekedar basa-basi yang keluar dari mulut Ibu."Ibu pulang dari rumah saudara, apa nggak bawa oleh-oleh untuk Diana dan anak-anak? Biasanya Ibu kan paling sering bawa oleh-oleh untuk kami." Mbak Diana celingukan dan seperti ingin mengintip kamar Ibu. Ia melihat ke arah belakang Ibu, bolak-balik."Nggak ada!" sahut Ibu ketus."Kamu aja kalau pergi nggak pernah bawa oleh-oleh untuk Ibu. Lah kok seenaknya minta dibawakan oleh-oleh. Kalau pingin dibawakan buah tangan tuh, kamu kasih uangnya. Jangan malah uang ng
Seharian ini Ibu mendiamkanku. Ia sama sekali tak mau menanyaiku. Dan setiap aku yang bertanya, Ibu selalu menjawabnya singkat.Aku jadi serba salah. Ingin menjelaskan apa. yang sebenarnya terjadi tapi Ibu seperti enggan mendengarkannya."Assalamu'alaikum." Suara Mas Farzan terdengar mengucap salam. Aku segera bangkit dan sedikit berlari menemuinya.Mas Farzan tersenyum saat melihatku menyambutnya. Ia menyerahkan kantong plastik di tangannya."Apa ini, Mas?" tanyaku menggandeng lengannya."Bakso," jawabnya seraya membawaku masuk."Ibu mana? Katanya sudah pulang?" tanya Mas Farzan yang tak mendapati Ibunya."Ibu pergi sama Mbak Ani." Aku menundukkan kepala.Entah kenapa, setelah melihat Mas Farzan pulang, aku malah ingin menangis sejadi-jadinya.Sedih yang selama dua hari ini kutahan, rasanya semakin sesak dan hendak dilepaskan."Kamu kenapa?" tany
"Masak apa, Mbak Ani?" tanyaku, melihat Mbak Ani mencuci sesuatu di wastafel.Mbak Ani menoleh dan mengukir senyuman di bibirnya."Ini mau masak tongseng Ayam, Mbak Sarah," jawabnya, sambil meniriskan Ayam yang sudah dicucinya.Bawang baik dan bawang jahat tergeletak begitu saja di atas meja. Sepertinya Mbak Ani hendak membersihkannya dari kulit tipis yang membungkusnya."Mbak, aku yang ngupas bawang-bawangan ini, ya?" tawarku melihat Mbak Ani yang kerepotan."Boleh, Mbak. Kalau Mbak Sarah nggak keberatan. Heheheh." Mbak Ani tertawa."Mbak Ani, ada makanan?" Amri masuk ke dapur sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dia nampak salah tingkah saat melihat kami di dapur."Ada Mas Amri. Lihat aja di tudung saji itu. Ada kue juga. Tadi saya beli untuk sarapan," sahut Mbak Ani menunjuk tudung saji di depanku. 
"Kau tunggu saja, Diana, apa yang bisa diperbuat oleh wanita tak perpendidikan ini!"'BRUK!'Aku mendorong Mbak Diana hingga dia membentur tembok di sampingnya."Aduh!" erangnya, kesakitan.Mbak Diana kembali menyeimbangkan diri dan berdiri dengan wajah garang tepat di hadapanku."Kurang ajar, kau Sarah! Akan kubuat kau menyesal karena sudah berani melawanku. Ingat! Kau sendiri yang akan angkat kaki dari rumah ini!" pungkasnya menunjuk wajahku. Mbak Diana langsung pergi setelah aku menepis tangannya.Maaf, Mas. Kesabaranku sudah habis. Aku tak akan lagi tinggal diam saat Mbak Diana berbuat sesuka hatinya.Kakak iparmu itu, sungguh sudah sangat keterlaluan.***"Mbak Ani.
"Kemarin, saat Ibu bawa ke rumah sakit, katanya Bapakmu butuh biaya dua ratus juta. Tolong lah Sarah. Minta lah pada mertuamu untuk membantu Bapakmu," imbuhnya berurai air mata.Dasar, tak tahu malu! Apa dia lupa dengan kejadian beberapa tahun silam? Ya, kejadian yang sama saat aku meminta uang pada Bapak untuk membeli obat, tapi tidak dipedulikan.Rasa sakit di hatiku, sampai hari ini masih terasa. Aku tidak bisa melupakan apa yang telah terjadi padaku. Di sia-siakan Bapak. Tidak disukai Nenek. Dan masih banyak lagi perlakuan mereka yang membekas di hati dan kenangannya tak akan bisa hilang dari ingatan. Ibarat luka, bagian yang terluka mungkin saja sudah sembuh dan mengering. Namun, bekas lukanya tetap masih ada dan tidak bisa dihilangkan."Maaf, Bu. Aku tidak berani meminta Ibu mertua membiayai Bapak. Jadi, aku tidak bisa membantu kalian," tolakku, langsung tanpa basa-basi.Wajah Ibu terlihat kecewa. Air mata semakin deras mengalir. Ibu luruh ke lantai. Memeluk lututku dan m
Aku memiringkan senyum, mengejek wanita di hadapanku ini."Pergilah, dan jangan pernah kembali. Aku bisa mengusir kalian jika nekat datang ke rumah ini. Urus suamimu, dan jangan meminta bantuan kami. Aku tidak akan pernah memberikannya, meski kau menangis darah.""Dasar anak Durhaka! Tunggu saja Karma yang akan datang padamu, karena tak mau membantu orang tua yang sedang kesusahan. Kudoakan, hidupmu akan menderita selamanya!" kutukknya, dan tidak membuatku takut."Jangan lupa, Bu. Semua yang terjadi padamu saat ini, adalah Karma karena Ibu dan Bapak telah menelantarkanku selama bertahun-tahun. Jadi, jangan bicara soal Karma di sini. Karena kalianlah, yang sedang mendapatkan Karma atas perbuatan kalian." Aku tersenyum sinis pada Ibu.Wanita itu tak lagi berkata-kata. Dia bangkit, lalu pergi tanpa mengucap salam.Aku juga berdiri, dan mata ini tetap mengawasinya."Cuuiihh!" Dia meludah, saat kepalanya berbalik men