Aku menyambut ponsel itu dan menariknya mendekat agar terlihat jelas.
Ternyata benar. Ada sekitar sebelas nomor yang mengirimkan pesan pada Mbak Neni dengan kata-kata ancaman yang sama.
Ada apa dengan Mbak Neni? Apa dia bermasalah dengan seseorang, makanya saat ini dia mendapatkan ancaman dari orang tak di kenal?
Setelah membaca semuanya, aku mengembalikan ponsel itu pada Mbak Neni.
"Siapa, ya, Mbak?" tanyaku saat ponsel itu sudah diterima olehnya.
"Mbak, nggak tahu, Rah!" ucapnya di sela tangisnya.
Mbak Neni semakin tergugu.
"Apakah selama ini, Mbak Neni bermasalah sama orang? Atau Mbak Neni pernah ribut sama orang gitu?"
"Pak Aman sudah pensiun. Sekarang Nak Amri yang akan bekerja menggantikan Ayahnya. Ayo, berkenalan dulu dengan Nak Amri," ucap Ibu saat kami berada di ruang tamu.Lelaki muda berperawakan tinggi itu tersenyum seraya menjabat tangan kami satu persatu.Mas Farzan yang berada tepat di sampingku dengan sengaja menyenggol lenganku saat tangan Amri bersentuhan denganku. Raut wajah tidak suka ia tampilkan secara terang-terangan di sana."Ada apa?" bisikku saat Amri beralih ke tangan yang lainnya."Jangan lama-lama. Aku tak suka," sahutnya juga berbisik.Sepertinya Mas Farzan cemburu dengan Amri. Alamat tidak boleh pergi tanpa dia nih.Aku mengulas senyum seraya bergelayut manja di lengannya. Mas Farzan tersenyum manis seraya mengacak rambutku asal.***"Hati-hati, Zan! Amri itu masih muda dan lumayan tampan. Jangan biasakan Sarah pergi hanya berdua dengan Amri saja. Takutnya, kamu ditikung oleh supirmu sendiri
"Maaf, Mbak. Farzan nggak bisa."Aku menoleh pada lelakiku. Dia tersenyum sangat manis saat pandangan kami bertemu. Aku segera mengalihkan pandangan karena ingin melihat ekspresi iparku itu. Wajah Mbak Diana ditekuk. Dia melirikku tak suka. "Kamu takut sama Sarah, Zan? Jadi laki-laki kok takut banget sama istri. Mbak cuma minta tolong jemputkan Liana, loh. Bukan yang lainnya. Kamu juga, Rah! Pelit banget sih. Liana nggak akan ngerebut suamimu, kok!" sungut Mbak Diana, jengkel. "Ya, sudah. Kalau begitu minta saja sama Amri. Dia juga nggak akan ganggu Liana, kok walau nomor telpon dikasih ke dia. Kalau Mbak nggak percaya, nanti aku deh yang bilang sama Amri."Mbak Diana cembetut. Bibirnya ia kerucutkan. "Jadi, kamu nggak mau ini, Zan?" tanyanya memastikan. Mas Farzan menggeleng dengan sangat yakin. Mbak Diana langsung membalikkan badan seraya menghentak-hentakkan kakinya. "Kok ada, ya, manusia seperti Mbak Diana?" Aku menggelengkan kepala mengingat kelakuan wanita itu. "Ya, ada
Setelah selesai, aku kembali mengerjakan yang lainnya. Karena Mbak Ani hari ini izin libur, jadi aku lah yang harus mengerjakan semuanya.Tak apalah. Hitung-hitung cari keringat.Sapu lidi yang biasa digunakan untuk menyapu halaman, kini beralih fungsi untuk menyapu rumah Laba-laba yang bertengger di atap luar dapur.Tembok yang tertempel rumah Laba-laba juga kusapu bersih, agar Ibu senang saat nanti pulang dari runah kerabatnya.Lumayan tinggi. Aku mencoba melompat-lompat saat rumah Laba-laba itu tidak kena sapu yang kuayunkan di atas.Tinggi sekali sih? Itu yang tinggi, atau aku yang semekot sih?"Sini Mbak, biar Amri bantu!"Lelaki bertubuh jangkung itu merebut sapu di tanganku, lalu menggerakkannya ke kanan dan ke kiri tanpa memintaku untuk pergi terlebih dahulu. Posisi kami, jika dilihat dari rumah Mbak
Ia melewatiku dan menuju kamar Ibu.Tok!Tok!"Bu, ini Diana!" ujar iparku memberi tahu.Tak perlu disebutkan namanya, ibu pasti tahu kalau yang datang adalah dia. Ibu pasti sudah sangat mengenal suara menantu pertamanya itu.'Cklek!'"Ada, apa?" tanya Ibu, juga ketus.Wajah Ibu juga terlihat tidak suka pada Mbak Diana.Tidak ada senyum, ataupun sekedar basa-basi yang keluar dari mulut Ibu."Ibu pulang dari rumah saudara, apa nggak bawa oleh-oleh untuk Diana dan anak-anak? Biasanya Ibu kan paling sering bawa oleh-oleh untuk kami." Mbak Diana celingukan dan seperti ingin mengintip kamar Ibu. Ia melihat ke arah belakang Ibu, bolak-balik."Nggak ada!" sahut Ibu ketus."Kamu aja kalau pergi nggak pernah bawa oleh-oleh untuk Ibu. Lah kok seenaknya minta dibawakan oleh-oleh. Kalau pingin dibawakan buah tangan tuh, kamu kasih uangnya. Jangan malah uang ng
Seharian ini Ibu mendiamkanku. Ia sama sekali tak mau menanyaiku. Dan setiap aku yang bertanya, Ibu selalu menjawabnya singkat.Aku jadi serba salah. Ingin menjelaskan apa. yang sebenarnya terjadi tapi Ibu seperti enggan mendengarkannya."Assalamu'alaikum." Suara Mas Farzan terdengar mengucap salam. Aku segera bangkit dan sedikit berlari menemuinya.Mas Farzan tersenyum saat melihatku menyambutnya. Ia menyerahkan kantong plastik di tangannya."Apa ini, Mas?" tanyaku menggandeng lengannya."Bakso," jawabnya seraya membawaku masuk."Ibu mana? Katanya sudah pulang?" tanya Mas Farzan yang tak mendapati Ibunya."Ibu pergi sama Mbak Ani." Aku menundukkan kepala.Entah kenapa, setelah melihat Mas Farzan pulang, aku malah ingin menangis sejadi-jadinya.Sedih yang selama dua hari ini kutahan, rasanya semakin sesak dan hendak dilepaskan."Kamu kenapa?" tany
"Masak apa, Mbak Ani?" tanyaku, melihat Mbak Ani mencuci sesuatu di wastafel.Mbak Ani menoleh dan mengukir senyuman di bibirnya."Ini mau masak tongseng Ayam, Mbak Sarah," jawabnya, sambil meniriskan Ayam yang sudah dicucinya.Bawang baik dan bawang jahat tergeletak begitu saja di atas meja. Sepertinya Mbak Ani hendak membersihkannya dari kulit tipis yang membungkusnya."Mbak, aku yang ngupas bawang-bawangan ini, ya?" tawarku melihat Mbak Ani yang kerepotan."Boleh, Mbak. Kalau Mbak Sarah nggak keberatan. Heheheh." Mbak Ani tertawa."Mbak Ani, ada makanan?" Amri masuk ke dapur sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dia nampak salah tingkah saat melihat kami di dapur."Ada Mas Amri. Lihat aja di tudung saji itu. Ada kue juga. Tadi saya beli untuk sarapan," sahut Mbak Ani menunjuk tudung saji di depanku. 
"Kau tunggu saja, Diana, apa yang bisa diperbuat oleh wanita tak perpendidikan ini!"'BRUK!'Aku mendorong Mbak Diana hingga dia membentur tembok di sampingnya."Aduh!" erangnya, kesakitan.Mbak Diana kembali menyeimbangkan diri dan berdiri dengan wajah garang tepat di hadapanku."Kurang ajar, kau Sarah! Akan kubuat kau menyesal karena sudah berani melawanku. Ingat! Kau sendiri yang akan angkat kaki dari rumah ini!" pungkasnya menunjuk wajahku. Mbak Diana langsung pergi setelah aku menepis tangannya.Maaf, Mas. Kesabaranku sudah habis. Aku tak akan lagi tinggal diam saat Mbak Diana berbuat sesuka hatinya.Kakak iparmu itu, sungguh sudah sangat keterlaluan.***"Mbak Ani.
"Kemarin, saat Ibu bawa ke rumah sakit, katanya Bapakmu butuh biaya dua ratus juta. Tolong lah Sarah. Minta lah pada mertuamu untuk membantu Bapakmu," imbuhnya berurai air mata.Dasar, tak tahu malu! Apa dia lupa dengan kejadian beberapa tahun silam? Ya, kejadian yang sama saat aku meminta uang pada Bapak untuk membeli obat, tapi tidak dipedulikan.Rasa sakit di hatiku, sampai hari ini masih terasa. Aku tidak bisa melupakan apa yang telah terjadi padaku. Di sia-siakan Bapak. Tidak disukai Nenek. Dan masih banyak lagi perlakuan mereka yang membekas di hati dan kenangannya tak akan bisa hilang dari ingatan. Ibarat luka, bagian yang terluka mungkin saja sudah sembuh dan mengering. Namun, bekas lukanya tetap masih ada dan tidak bisa dihilangkan."Maaf, Bu. Aku tidak berani meminta Ibu mertua membiayai Bapak. Jadi, aku tidak bisa membantu kalian," tolakku, langsung tanpa basa-basi.Wajah Ibu terlihat kecewa. Air mata semakin deras mengalir. Ibu luruh ke lantai. Memeluk lututku dan m
"Maaf, Bu. Anda bisa menjelaskan semuanya di kantor polisi." Polisi wanita itu tetap menggeret Mbak Diana."Tidak mau! Saya tidak mau dipenjara!" teriaknya lagi, sambil terus meronta.Kedua tangan Mbak Diana yang dipegang oleh polisi wanita itu, terus bergerak hendak melepaskan diri."Tolong kerja samanya, Bu! Atau kami akan mengambil tindakan tegas!" seru polisi wanita itu dengan wajah seram.Nyali Mbak Diana menciut. Mulutnya seketika berhenti meronta. Tapi matanya terus saja mengeluarkan air."Kami, permisi dulu, Pak, Bu!"Setelah berpamitan, semua polisi itu pergi dari rumah dengan membawa kakak iparku.Mas Malik terlihat kuyu. Dia pasti sangat lelah atas semua yang terjadi pada keluarganya."Aku tidak menyangka Diana sampai berbuat sejauh ini. Mungkin aku juga bersalah karena terlalu sibuk bekerja, sehingga dia tega menduakanku." Mas Malik menunduk, sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ini semua gara-gara kamu, Mbak!" celetukku saat kulihat Mbak Diana berada di dalam kamar Ibu. Dia masih menangis sambil memegang bingkai foto Ibu.Sebentar ia menatap foto itu, kemudian memeluknya."Diam kamu, Sarah! Kalau saja kau tidak kembali ke sini, semua ini tidak akan terjadi. Ibu tidak akan datang dan masuk ke dalam rumah, memergokiku bersama Danu. Hingga akhirnya aku tak sengaja mendorongnya!" ujarnya sinis.Mbak Diana menatapku dengan tajam. Wajahnya yang masih terdapat jejak air mata terlihat sangat berantakan.Dia itu menangisi kepergian Ibu, atau menangis karena takut diusir oleh Mas Malik"Tidak sengaja katamu? Sudah mendorongnya dengan kuat, kamu bilang tidak sengaja? Dasar perempuan tak punya hati!" sungutku, menatap wajahnya dengan tatapan menantang."Aku memang tidak sengaja. Karena panik, aku jadi mendorong Ibu. Pasti kamu kan yang meminta Ibu masuk ke dalam rumahku?" cecarnya galak."Hey, Diana! Sepa
"Iya, Bu. Kamar Ibu nggak dikunci kan?""Enggak kayaknya. Kalaupun di kunci, pasti kuncinya masih gantung di pintu. Karena di dompet Ibu nggak ada kunci."Aku mengangguk. Ibu berjalan ke rumah Mas Malik, sementara aku masuk ke rumah Ibu.Rumah Mas Malik juga terbuka, sepertinya Mas Malik memang sedang berada di rumah.Aku dengan segera menuju kamar Ibu. Dan benar saja, kamar Ibu tidak dikunci. Pintu depan juga tidak dikunci tadi. Mungkin Ibu banyak pikiran, sampai lupa mengunci pintu."ASTAGHFIRULLAHHALAZIM ... APA YANG KAU LAKUKAN DIANA!" Suara Ibu terdengar sampai ke dalam kamar.Aku segera berlari meski belum menemukan ATM milik Ibu. Rumah Mbak Diana sudah permanen. Jika suara Ibu sampai terdengar ke dalam kamar, pasti sesuatu sedang terjadi pada Ibu.'DUAK!'"Awww!"Kakiku tersandung sofa."Suami pergi bekerja, kau malah enak-enakkan berbuat maksiat!" suara Ibu kembali terdengar saat aku sa
"Maaf, Nak. Sarah. Bukan maksud Ibu tak menganggap Nak Sarah anak. Tapi, Ibu takut merepotkan kamu." Ibu mengusap-usap punggungku. Tangisku semakin pecah mendengar penuturan Ibu."Bu, tidak ada yang namanya orang tua merepotkan anak. Karena setiap anak, pasti ingin merawat orang tuanya. Sama seperti tujuan orang tua membesarkan anaknya, seorang anak juga ingin membalas apa yang telah dilakukan orang tuanya," ucapku seraya mengurai pelukan. Kalau saja Ibuku masih ada, ingin rasanya aku membahagiakan dia seperti dia membahagiakanku. Tapi itu semua sudah tidak mungkin. Yang aku punya saat ini adalah Ibu mertua. Maka aku harus memperlakukannya sama seperti Ibuku sendiri. Karena sejak awal, Ibu sudah baik padaku. Aku ingin membalas semua kebaikan Ibu.Meski aku tahu, kalau aku tidak mungkin bisa membalasnya."Terimakasih, Nak Sarah. Maaf, karena telah menyembunyikan semuanya dari kalian." Ibu menghapus air mataku yang mengenai pipi.Aku berusaha untuk tidak menangis lagi. Walau di hati m
Pak Rt mengangguk seraya membalas senyum Mas Malik. "Baiklah Pak Malik. Kalau begitu, saya juga ingin berpamitan. Mbak Sarah, saya juga meminta maaf atas nama para warga karena sudah salah paham. Lain kali, kalau ada tamu Mbak Sarah bisa lapor dulu ke saya, agar tak terjadi hal yang seperti ini lagi.""Saya ingin melapor, Pak. Tapi kemarin posisinya sudah malam. Jadi takut mengganggu istirahat Bapak. Makanya saya tak jadi melapor. Pagi ini rencananya saya mau datang ke rumah Bapak, tapi belum juga datang, Bapak dan warga malah udah datang berbondong-bondong," sahut Mbak Ani menimpali."Wah, maaf, ya, Mbak Ani. Saya juga kalau tidak mendapat laporan, nggak akan datang. Para warga juga bukan saya yang mengerahkan. Mereka datang sendiri.""Ya, sudah, Pak. Saya minta nomor Bapak sajaJadi kalau ada tamu lagi, tinggal langsung telepon." Mbak Ani mengeluarkan ponselnya. Ia mencatat saat Pak Rt dengan pelan menyebutkan nomor ponselnya."Saya pam
"Jangan banyak alasan, Kamu! Kalian berdua tuh sama aja!" Mbak Neni memotong ucapan Mbak Diana.Aku memegangi tangan Mbak Diana agar dia bisa sedikit tenang."Mas, tolong percaya sama aku, ya? Kejadian ini benar-benar terjadi begitu saja. Namanya manusia kan bisa aja khilaf. Aku takut Sarah khilaf, dan memasukkan penjahat. Makanya aku langsung lapor Pak Rt-""Dan lapor suami beserta Ibu mertua Sarah, agar mereka dengan cepat mengusir Sarah. Iya, kan?" potong Mbak Neni lagi, tak memberi kesempatan untuk Mbak Diana menyelesaikan ucapannya."Kamu, kenapa sih ikut campur saja? Kamu itu orang luar, jangan ikut campur masalah kami!" bentak Mbak Diana, menatap sinis Mbak Neni."Kalau kamu tidak membawaku dalam masalahmu, aku juga tidak akan ikut campur masalah kalian. Tapi sayangnya, kamu terlanjur memasukkanku ke dalam masalah ini, jadi tak ada salahnya aku ikut campu
"Aawwcchh, sakit. Mas Farzan, tolongin aku dong!" Liana mengulurkan tangannya pada Mas Farzan. Rengekannya terdengar sangat manja. Ingin rasanya kutimpuk kepalanya menggunakan sandal ini, agar dia sadar bahwa lelaki yang ia mintai tolong adalah suami orang. 'PLAK!'"Minta tolong, noh sama tai ayam!" Mbak Neni menepis tangan Liana yang ia ulurkan pada suamiku.Gadis cantik itu semakin merengut menahan tangisnya. "Aaaaa! Kurang ajar kamu!" pekik Liana sambil memandangi tangannya yang mengenai eek Ayam di sampingnya. Liana bangkit. Ia berdiri berhadapan langsung dengan Mbak Neni. Kakak sepupuku berkacak pinggang. Mata tajamnya ia arahkan pada wanita di hadapannya. "Bukan cuma kamu yang bisa bar-bar! Aku juga bisa!" sentak Liana, seraya mengarahkan kedua tangannya pada rambut Mbak Neni. Mbak Neni menangkis tangan Liana yang hendak mencapai rambutnya.Meski memiliki tubuh agak berisi, Mbak N
"Mbak, Bude berkata seperti itu, pasti karena Ia terbawa emosi. Jauh di lubuk hatinya, Sarah yakin Bude sangat menyayangi Mbak Neni. Coba lah Mbak Neni cari pekerjaan, yang sesuai dengan keahlian Mbak Sendiri. Tidak apa dimulai dari posisi paling bawah. Suatu saat nanti, pasti naik juga kok. Yang penting, Mbak harus yakin dengan pekerjaan yang sedang digeluti. Jangan menyerah sebelum berperang. Mulailah hidup baru tanpa Mas Deva. Sarah yakin, Mbak pasti bisa." Aku menaruh bawang yang sudah selesai dikupas. Kugenggam kedua tangan Mbak Neni untuk menguatkannya."Kamu, kenapa masih baik sama Mbak, sih? Padahal selama ini, Mbak selalu jahatin kamu. Sebelum kamu menikah, dan kita tinggal berdekatan, bahkan Mbak nggak pernah sekalipin berbuat baik sama kamu. Apapun yang kamu mau, semuanya pasti Mbak ambil. Kalaupun kamu nggak salah, Mbak selalu mengadu pada Nenek agar menyalahkanmu. Mulut ini juga, selalu berkata buruk tentang Ibumu. Kenapa sekarang kamu nggak membalas semua
Aku memiringkan senyum, mengejek wanita di hadapanku ini."Pergilah, dan jangan pernah kembali. Aku bisa mengusir kalian jika nekat datang ke rumah ini. Urus suamimu, dan jangan meminta bantuan kami. Aku tidak akan pernah memberikannya, meski kau menangis darah.""Dasar anak Durhaka! Tunggu saja Karma yang akan datang padamu, karena tak mau membantu orang tua yang sedang kesusahan. Kudoakan, hidupmu akan menderita selamanya!" kutukknya, dan tidak membuatku takut."Jangan lupa, Bu. Semua yang terjadi padamu saat ini, adalah Karma karena Ibu dan Bapak telah menelantarkanku selama bertahun-tahun. Jadi, jangan bicara soal Karma di sini. Karena kalianlah, yang sedang mendapatkan Karma atas perbuatan kalian." Aku tersenyum sinis pada Ibu.Wanita itu tak lagi berkata-kata. Dia bangkit, lalu pergi tanpa mengucap salam.Aku juga berdiri, dan mata ini tetap mengawasinya."Cuuiihh!" Dia meludah, saat kepalanya berbalik men