"Mengucapkan selamat, bisa di lain waktu. Tidak harus datang ke rumah. Apalagi dengan kondisi Kami baru saja sampai. Apa kamu pikir ini sopan? Bagaimana jika kejadian ini ada di pernikahan kamu? Mantan pacar Malik datang sesaat setelah kalian menikah. Apa kamu akan bersikap biasa saja? Jangan menjadi manusia egois demi keuntunganmu sendiri, Diana! Sebelum melakukan sesuatu, posisikan dulu dirimu di posisi salah satu pihak. Jadi tidak seenaknya kamu mengambil keputusan."
"Kalau mantan Mas Malik yang datang ke pernikahan, kami. Aku akan sangat berterimakasih, dan menyambutnya dengan lapang dada. Kan cuma mantan."
"Huh, kamu yakin? Bukankah saat pesta pernikahan kalian digelar, mantan Malik datang? Lalu apa yang terjadi? Kamu, merajuk masuk ke dalam rumah dan tidak mau keluar lagi. Padahal, kalian masih bersanding di pelaminan."
"Itu beda posisi dong, Bu. Saat itu, banyak para undangan yang datang. Diana malu, dong, mereka
Terus, gimana cara biar air keluar dari sana? Ini mau mandi, atau mau main tebak-tebakan sih? Bikin pusing saja!'Ckek!'Suara seseorang membuka pintu membuatku sedikit waspada. Jangan-jangan Mas Farzan yang masuk. Untung aku belum mandi.Aku segera keluar dari dalam kamar mandi. Dan benar saja, Mas Farzan sudah berdiri di ruang yang berada tepat di samping kamar mandi ini, alias tempat lemari berjejer tadi.Lelaki itu berdiri mematung tanpa memakai bajunya. Hanya celana pendek selutut yang ia kenakan.Ia membalikkan badan mengahap ke arahku. Aku yang sedikit terkejut, sontak menutup wajah dengan kedua tanganku."Ada apa?" tanya Mas Farzan, yang santai saja melihat keterkejutanku."Anu, Mas. Sa-Sarah mau mandi. Tapi, airnya nggak ada," sahutku masih menutup wajah.Terserah deh mau dikatak
"Mas, belum pernah makan handuk yang habis untuk ngupil?" tanyaku, tajam.Mas Farzan menggeleng dengan cepat. Dia juga menarik sudut kanan bibirnya, seperti orang yang merasa jijik."Mau nyoba? Kebetulan Sarah, habis ngupil ini," ucapku seraya menyodorkan handuk di tangan.Mas Farzan memundurkan tubuhnya, hingga ia nyebur ke dalam bak kosong."Aarrkkhh! Sarah ... Menjauh!" teriaknya, dengan tangan dan kaki bergerak mengusirku.Hahahaha. Ternyata lelaki macho ini, jijik sama upil. Awas saja kalau berani mengerjaiku. Akan aku balas pakai upil, kamu Mas."Jadi, sekarang siapa duluan yang mandi?" tanyaku, saat sudah berhenti mengganggunya."Kamu sajalah. Saya, mau lihat paket," jawabnya. Mas Farzan bergegas meninggalkanku sendirian di kamar mandi.Akhirnya, aku bisa bernapas lega, selamat.Aku mengunci rapat-rapat pintu kamar mandi. Pokoknya, aku nggak mau kecolongan lagi. Aku harus
"Kenapa Kevin dan Raffa ada di sini?" tanya Mas Farzan yang baru saja keluar dari kamar. Dia sudah rapi dengan kemeja yang melekat pas di tubuhnya. Ah, aku terlambat datang rupanya."Mbak Diana menitipkannya padaku, Mas. Karena aku tidak bekerja, jadi tidak apalah," jawabku, sambil melepaskan cengkraman di rambutku. Bocah Imut ini sedang berusaha memakan rambutku yang berhasil ia gapai. Mulut kecilnya sudah terbuka lebar hendak melahap tangannya."Jangan, sayang. Nggak boleh makan rambut," ucapku pelan setelah berhasil melepasnya. Bocah itu kembali mencari-cari rambutku, hendak digapainya. "Kenapa harus dititipkan? Bukannya sudah ada baby sister yang disewa Bang Malik?" tanyanya lagi menginterogasi. "Nggak tau, Mas. Katanya baby sister Kevin dan Raffa sudah berhenti bekerja.""Berhenti bekerja? Sejak kapan?""Sejak kemarin mungkin. Sarah, juga nggak tanya sampai mendetail gitu. Takut menyinggung Mbak Diana.""Oh, ya sudah. Hari ini saya harus bekerja. Dan mungkin tidak pulang sel
"Eh, Nak Sarah! Cium tangan suamimu. Lah, kok malah cuma berjabat tangan seperti artis ketemu sama fansnya, saja!" tegur Ibu, lalu tertawa terbahak-bahak. Mas Farzan juga ikut menertawaiku.Eh, ya ampun! Kenapa aku jadi telat mikir sih?Aku kembali meraih tangan Mas Farzan, dan kuarahkan ke bibir. Aku menciumnya sekilas lalu melepaskannya kembali."Nah, begitu. Suami istri itu, harus romantis," ujar Ibu, sesaat setelah menghentikan tawanya."Maaf, Bu." Aku menunduk menahan malu."Ya, sudah. Bu Farzan, pamit." Lelaki itu akhirnya pergi.Dari suara langkah kaki menjauh, aku sudah bisa menebaknya."Ayo, kita masuk." Ibu menggendong Kevin, dan mengajakku masuk.***(Sarah, Nenek sakit dan butuh duit. Tolong kirimkan uang untuk berobat Nenek.) Isi pesan yang baru saja kubuka membuatku bertanya-tanya. Nomor siapakah ini? Tidak ada namanya, tapi meminta uang untuk berobat Nenek.
Ibu berdiri di ambang pintu seraya tersenyum. Ia sudah rapi dengan setelannya dan tas yang menggantung indah di lengannya."Ayo, kita jalan-jalan. Ibu bosan di rumah," ungkapnya, antusias."Jalan ke mana, Bu? Tapi, Mbak Diana minta Sarah untuk menjaga anaknya."Aku bukannya ingin menolak ajakan Ibu. tapi, kedua anak Mbak Diana saat ini menjadi tanggung jawabku. mau tak mau, aku harus menuruti permintaannya."Hari ini Diana libur kerja. Jadi, biar dia yang menjaga anaknya. Kamu, ikut Ibu saja, yuk!" Ibu menarik lenganku. Ia lupa jika pakaian yang kupakai tidak lah pantas untuk dibawa jalan."Tapi, Sarah belum berganti pakaian, Bu." Aku menunjuk pakaian yang kupakai. Hanya daster rumahan yang terlihat sangat santai.Seandainya Ibu mengajakku jalan dengan pakaian ini, mungkin orang-orang yang melihat kami akan menilai jika aku adalah pembantu Ibu. Dari segi pakaian saja, su
Mas Farzan?Aku langsung menajamkan indra penglihatan saat melihat lelaki yang selama seminggu ini berada di luar kota, kini tidur di sampingku dengan wajah menghadap ke arahku. Sangat dekat, sampai aku bisa merasakan embusan napasnya.Kapan dia pulang? Kenapa tiba-tiba sudah berada di dalam kamar? Apa aku lupa mengunci pintu kamar, ya? Dan kenapa aku tidak dengar saat dia masuk ke kamar? Jangan-jangan, ini hanya halusinasiku saja?Aku cubit dia, atau cubit diri sendiri, ya? Untuk membuktikan kalau lelaki yang sedang terlelap di hadapanku ini adalah asli. 'Plak!'Aku memukul pipiku dengan sedikit tenanga. Aw, sakit juga ternyata.Berarti ini bukan mimpi ataupun halusinasi. Ternyata dia sudah pulang. Kenapa tidak memberi kabar padaku, ya? Ah, lupa. Aku ini, hanya istri hasil perjodohan. Tidak mungkin dia akan selalu mengabariku jika ingin melakukan sesuatu. Aku memandangi wajah lelaki yang baru seminggu lebih menjadi suamiku itu. Dia tertidur dengan sangat nyenyak. Napasnya teratur
"Bu, Farzan ke sana dulu, ya." Mas Farzan menunjuk gerombolan laki-laki yang sedang berbincang.Jangan berpikir, jika kami menghadiri pesta di gedung mewah. Itu tidak terjadi. Karena kenyataannya, kami menghadiri pesa di kampung, sama seperti tempat tinggalku dulu.Hanya teratak yang didekorasi sedimikian rupa, hingga membuatnya cantik dan terlihat mewah. Untuk ukuran pesta di kampung, ini sudah termasuk mewah. Untuk meyewa dekorasi secantik ini, mereka bisa saja merogoh kantong puluhan juta rupiah.Belum lagi untuk hidangan. Kemungkinan dana yang harus dikeluarkan, bisa mencapai ratusan juta untuk total semuanya.Dari pesta ini saja, bisa dilihat kalau keluarga Mas Farzan, bukanlah orang sembarangan. Mungkin saja kekuarga mereka sudah kaya tujuh turunan, tanjakan, dan belokan."Boleh. Sarah mau diajak atau ditinggal?" tanya Ibu, melihat ke arahku."Terserah dia saja. Kalau mau ikut
"Hahahah. Oh, ya, Sarah. Kapan-kapan, kita sambung lagi ngobrolnya, ya. Sekarang ada pengganggu, jadi kita tidak bisa leluasa untuk cerita. Nanti, kalau ada waktu senggang, saya akan datang berkunjung ke rumah Bi Sari. Sekalian kita ngobrol banyak. Kalau gitu, saya tinggal dulu.""I-iya," sahutku seraya mengangguk takut-takut.Bagaimana tidak takut, Mas Farzan menoleh ke arahku dan menatap dengan tatapan tajamnya."Kau, menakuti istrimu, Bung!" Afif menepuk pelan pundak Mas Farzan, seraya terkekeh. Ia kemudian pergi meninggalkan kami berdua.Aku terus mperhatikan Afif, sampai tubuhnya menghilang di keramaian. Aku mencoba mengingat diapa dia. Namun, tetap aku belum mengingatnya."Jangan dekat-dekat dengan Afif, saya tidak suka!" Suara Mas Farzan masih terdengar ketus. Dia juga belum melepaskan kaitan tangan kami.Saat aku menoleh, mulut Mas Farzan terkatup rapat. Seperti orang yang sedang merajuk."S