Pov Neni.
"Ini sih bukan kainnya yang jelek. Tapi badan Mbak Neni saja yang kayak Singa laut," gumam Sarah dan masih dapat kudengar.
"Apa kamu bilang? Kamu ngatain aku kayak singa laut?" bentakku tak terima dibilang Singa laut.
Enak saja dia mengataiku singa laut. Tubuh indah seperti Meghan Trainor begini kok dikatain Singa laut. Huuuhh, dasar Lisa bungkring! Body sepertiku ini yang banyak dicari kaum laki-laki. Tidak seperti dia, hanya lung-lit-lut. Iya, tulang, kulit, kentut.
"Ehh, nggak kok, Mbak. Ini bajunya ada gambar Singa laut-nya," jawabnya gelagapangelagapan sambil nyengir tidak merasa bersalah.
"Mana gambar singa lautnya? Kamu pikir Mbakmu ini rabun? Itu tuh, gambar Gajah terbang!" sungutku dan menatapnya tajam.
Dia pikir aku bodoh. Baju itu semuanya sudah kucoba, dan tak ada gambar singa laut seperti ucapannya. Dia pasti memang berniat mengataiku.
"Eh, iya. Aku pikir gambar Singa, Mbak." Sarah terlihat salah tingkah, sambil menggaruk kepalanya yang berkutu.
Entahlah ada kutunya atau tidak. Tapi kalau sudah garuk-garuk, berarti ya berkutu.
"Kamu, nggak bisa bedain, mana singa, mana gajah?" gerutuku emosi.
Ingin sekali rasanya kutimpuk dia pakai sendal. Kenapa sih dia itu pura-pura lugu?
Aku tau, dia itu licik, selicik Almarhum Ibunya.
"Bukan beg-"
"Ahh, sudahlah. Males ngomong sama kamu!" Aku berbalik dan pergi dari dapur rumah Nenek.
Setiap melihat wajah Sarah, aku tuh bawaannya pengen menindas dia aja. Entah kenapa, wajah melasnya bikin aku emosi terus.
'Ting!'
Suara ponsel yang sedang kutaruh di dalam saku terdengar berdenting. Sepertinya pesan w******p masuk.
Ah, benar. Ternyata Mas Fajar yang mengirimkan pesan.
(Sayang, lagi apa? Sudah makan kah siang ini?)
Duhh, kekasih hatiku. Bisa saja membuatku berbunga-bunga.
(Belum, sayang. Adek lagi nggak selera makan, nih.)
Balasku dengan semangat.
Sesekali berbohong demi mencari perhatiannya kan nggak papa.
Padahal, tadi aku sudah makan. Bahkan sampai nambah dua piring penuh. Habisnya, saat pergi dengan calon mertua si Sarah tadi, aku nggak makan. Takut aja wanita peyot itu tidak mau membayarkan makananku. Kan bisa malu untuk ke dua kalinya aku. Sudah malu gara-gara pakaian, malu lagi gara-gara makan.
Walaupun mereka sudah menawariku makanan tadi, aku tetap ogah memesannya. Nanti Bu Sari ngeprank aku pula. Padahal, cacingku sudah berjoget ria sambil menggerogoti ususku.
(Uluh-uluh. Tini tayang, biar di cuapin.)
Aawwww!
Aku melompat-lompat kegirangan mendapat pesan dari Mas Fajar lagi.
Perhatian banget sih, calon suamiku ini. Meski kami belum sempat bertemu, tapi, aku sudah sering video call dengannya. Jadi dia nggak mungkin berbohong padaku tentang status pekerjaannya.
Mas Fajar ini, setiap kali Video call, dia selalu memakai seragam kerjanya. Bukan bermaksud pamer. Tapi, dia selalu menghubungiku setelah pulang dari tugas.
Untuk wajah, Mas Fajar tidak terlalu ganteng. Bahkan tubuhnya terlihat sama gempalnya denganku. Tapi tidak apalah. Yang penting cita-citaku menjadi istri seorang abdi Negara akan tercapai.
Aku sudah membayangkan saat kami foto prewedding nanti. Duh, aku pakai baju Ibu persit, dia pakai baju dinas. Ihh, pokoknya ada kebanggaan tersendiri, deh.
(Uuncchh, cayang. Aku jadi rindu, deh.) balasku sambil senyum-senyum seperti orang gi-la yang kutemui di pasar.
'BRAK!'
"Semprul!" ma-kiku saat tubuh ini menubruk pintu masuk, karena aku terlalu fokus pada ponsel dan tidak melihat pintu segede itu setengah tertutup. Bibir seksiku ini, juga dengan tidak sabaran mencium daun pintu sampai benturannya terasa ke gigi.
Berdarah nggak ya, nih, gigi?
Aku menggerakkan lidahku untuk merasai darah yang keluar dari gusi. Ternyata tidak ada. Berarti masih aman.
"Neni, kamu tau gelang Mama yang kemarin ditaruh di atas kulkas, nggak?" tanya Mama saat aku baru saja masuk.
"Nggak tau, Ma."
"Kok nggak tau? Kemarin Mama taruh di sini loh?" Mama masih saja ngotot dengan pertanyaannya.
"Neni, nggak tau, Ma. Coba tanya Papa." Aku langsung saja kabur ke kamar. Malas mendengar pertanyaan Mama yang akan semakin panjang bila dia tidak menemukan barang yang dicarinya.
Gara-gara gelang Mama, aku jadi ingat dengan calon Ibu mertua Si Sarah yang sok kaya itu.
Gampang banget dia ngeluarin uang sebanyak itu hanya untuk membeli emas saja. Apa ada petani yang sekaya itu? Aku yakin, semua uangnya itu hasil ngutang. Dia pasti ingin memameriku karena berharap aku berubah pikiran dan mau menggantikan posisi Sarah menjadi menantunya.
Emang siapa sih, yang bisa menolak gadis berpendidikan sepertiku?
Kasihan sekali Bu Sari. Aku tetap tidak akan goyah meski dia sudah banyak keluar uang. Aku tidak akan mau menjadi menantunya yang nantinya akan menjadi kacung, dan diminta bayarin semua hutangnya setelah menikah.
Pokoknya, aku tidak akan pernah mau jadi manantunya. Titik!
Tapi ... aku masih heran dengan anak Bu Sari. Sudah dua kali dia datang ke sini. Tapi, belum pernah sekalipun sang anak ikut.
Aku curiga. Jangan-jangan calon suami Sarah sama dekilnya dengan Sarah. Hitam, berkumis, berjenggot, jerawat di mana-mana. Iuuhhh, bukan tipeku banget.
Mungkin saja Bu Sari sengaja membawa anaknya saat akan menikah nanti, agar Sarah tidak bisa menolak saat tau calon suaminya buruk rupa.
Duh, malang sekali nasibmu Sarah, akan dinikahkan dengan pemuda yang tak pernah tau wujudnya.
(Cama sayang. Mas juga kangen sama, kamu.) balas Mas Fajar lagi, disertai emoticon love.
(I Love you, sayang.) Aku mengirimkan kata cinta beserta foto yang kuambil saat di dalam mobil sewaan calon mertua Sarah tadi.
Posenya dengan satu mata berkedip manja.
(I love you too, tayang.) Mas Fajar juga mengirimkan fotonya saat ia sedang duduk bersandar di tiang ya v ada di sampingnya.
***
"Hallo, sayang, kamu lagi sibuk nggak?" tanyaku Saat Mas Fajar baru saja pulang bekerja.
Bagaimana aku tau kalau dia baru pulang kerja? Itu semua karena sudah menjadi kebiasaan kami, jika di jam segini biasanya lelaki itu akan menelponku.
"Enggak, sayang. Ada apa?" tanyanya dengan suara yang sangat lembut.
"Jadi, gini. Tadi sepupu Adek baru saja dibelikan emas sama calon mertuanya. Nah, terus, Adek nggak mau dong kalah saing. Masa calon istri petani bisa memakai emas sebanyak itu. Jadi, Adek minta, kalau nanti Mas mau melamar, Mas juga harus memberikan emas padaku, ya? Bahkan harus lebih dari itu. Pokoknya, kita nggak boleh terlihat dibawah mereka. Kalau bisa, foto prewedding kita di tempat yang bagus. Biar semakin iri dia."
"Iya, sayang. Semua yang kamu inginkan, pasti akan dikabulkan," ucapnya sangat yakin.
Yes! Akhirnya aku bisa membalaskan perbuatan mereka tadi. Akan kuberi tau mereka semua, siapa suamiku.
"Hallo, sayang!" panggil Mas Fajar saat aku sibuk melamun.
"Eh, iya. Hallo, Mas."
"Maaf sebelumnya. Tapi, Mas nggak tau lagi harus gimana. Jadi, Mas bisa minta tolong?"
"Minta tolong apa, Mas?"
"Mas, lagi butuh uang untuk naik pangkat sayang. Bolehkan, Mas pinjam uang kamu, dulu? Sedikit, kok, Nggak banyak. Cuma lima puluh juta aja."
Loh, loh, loh. Kok jadi dia yang mau minjam uang sama aku? Bukannya selama ini dia sudah banyak uang? Duh, aku kok jadi galau, ya? Apa jangan-jangan dia mau menipuku?"Maaf, Mas. Adek, tidak punya uang sebanyak itu. Mas, kan, tau sendiri kalau selama ini, Adek belum kerja." Aku mencoba mencari alasan. Ya, walaupun pada kenyataannya aku memang pengangguran dan tidak punya uang sebanyak itu. Tapi, jika meminta pada Nenek, pasti akan diusahakan olehnya. "Hmmm, gimana ini, ya, Dek. Padahal, semua ini Mas lakukan juga untuk Adek. Agar nanti, Adek bisa bilang pada teman-teman kalau calon suami adek, adalah tentara yang sudah berpangkat." Mas Fajar terdengar menghembuskan napas panjang. "Selama ini, sebelum mengenal Dek Neni, Mas juga sudah sering mendapatkan tawaran ini. Tapi selalu Mas tolak. Toh, Mas saat itu belum punya calon istri. Untuk apa berpangkat kalau calon istri saja belum punya. Dan sekarang, setelah mengenal Dek Neni, Mas jadi ingin membuat Dek Neni bahagia dengan membangg
Sudah capek menjelaskan, Nenek tetap saja ngeyel dan tidak setuju dengan rencanaku. Padahal, semua ini juga untuk kami juga. "Ya, sudah. Kalau itu memang maumu, Nenek akan turuti. Tapi, bagaimana dengan pembayaran untuk menebusnya nanti? Apakah calon suamimu itu yang akan membayarnya?" tanya Nenek, terlihat masih khawatir dengan keputusanku. "Ya, iyalah, Nek. Kalau pun tidak, ya, sudah ikhlaskan saja. Anggap saja itu sebagai warisan untukku.""Tapi, Nduk. Nenek masih butuh kebun itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.""Nek, kebun itu cuma digadaikan. Nenek masih bisa menyadapnya dan memetik hasilnya.""Iya, Nenek tau. Tapi, kalau kebun itu tidak ditebus, maka kebun itu akan disita lalu dijual. Terus, bagaimana dengan Nenek.""Jangan khawatir, Nek. Masih ada Sarah. Dia juga kan bekerja di grosir. Jadi, masih ada penghasilan dari dia. Pokoknya, Nenek harus membantuku. Jangan sampai nggak jadi!" sungutku, seraya memajukan bibir. "Hmm, iya. Terserah kamu saja deh." Nenek terl
Pov Sarah. Aku berguling ke kanan dan ke kiri. Sejak tadi, aku sudah mencoba untuk tidur. Namun, mataku rasanya enggan terpejam. Apakah ini karena efek dari perkataan Nenek siang tadi?Katanya, besok Bu Sari dan anak lelakinya yang akan di jodohkan denganku datang untuk melamar secara resmi.Aku masih takut untuk bertemu lelaki itu. Bagaimana jika lelaki itu tidak suka denganku? Aku yang hitam dekil ini, apa bisa menarik perhatian laki-laki? Selama ini, lelaki yang dekat denganku, hanya ingin berteman saja. Tidak ada yang pernah mau menjadi kekasihku. Aku tidak tahu apa yang salah dariku. Tapi, memang seperti itulah kenyataannya. Ah, aku jadi pusing sendiri. Aku tahu Bu Sari itu baik banget. Tapi, apakah anaknya bisa sebaik Bu Sari? Hmmm. Semakin dipikir, kenapa semakin membuat kepala ini nyut-nyutan. Lebih baik aku harus benar-benar tidur. ***"Sarah, apa kamu nggak punya alat make up? Dandananmu itu loh, terlalu sederhana! Wajah kamu juga terlihat kusam." Bi Nining yang baru saj
Kalau lelaki yang akan dijodohkan denganku setampan itu, apakah dia mau memiliki istri biasa saja seperti diriku? Belum juga apa-apa, aku sudah insecure duluan. "Ayo, Rah, kita duduk di sana." Bi Nining membawaku duduk di pojok ruangan. Tak lama, para tamu juga masuk dibarengi dengan Nenek dan juga Bude Arum, ibunya Mbak Neni.Sementara Bapak, lelaki yang akan menjadi waliku jika menikah nanti, tak kulihat di mana keberadaannya. Apakah bapak tidak datang? Apakah aku tidak penting dalam hidupnya? Sampai-sampai, di acara sepenting ini saja, ia tidak mau datang. Bu Sari dan lelaki yang tadi berjalan bersamanya, kini sudah duduk tepat di hadapanku dengan jarak yang lumayan jauh. Wanita paruh baya itu, tersenyum saat pandangannya bertemu denganku. Tak seperti ibunya, lelaki di sampingnya malah sibuk dengan ponselnya. Dia sama sekali tidak terlihat antusias dengan acara ini."Maaf, acaranya sudah dimulai, ya?" Mbak Neni yang tadi sempat menghilang, kini dia datang dengan dandanan yang
"Maaf, ya, Nak Neni. Saya ini, carinya menantu, bukan pembantu. Jadi, saya nggak butuh kelebihan kamu itu!" tegasnya, seraya menarik kedua tangannya dari genggaman Mbak Neni. Sepupuku itu tampak kesal. Matanya melotot tak suka. "Sombong amat, sih, Bu! Lah, terus, gunanya Sarah menjadi menantu Ibu, itu, apa? Semua orang menikah, kan, hanya untuk membantu suaminya di rumah. Seperti semua pekerjaan yang aku sebutkan tadi!" sungut Mbak Neni seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Saya menikahkan anak saya dan Sarah, karena ingin mendapatkan keturunan yang baik. Saya masih mampu menyewa jasa Art di rumah. Jadi, menantu saya tidak perlu melakukan itu semua. Dia hanya cukup melayani suaminya, dan mengurus anaknya dengan benar, bila suatu saat nanti mereka sudah memiliki anak," ucap Ibu dengan entengnya. Mbak Neni semakin kepanasan. Dadanya naik turun seperti menahan emosi. Sementara aku, hanya bisa menahan tawa saja.Kalau sudah berhadapan dengan Bu Sari, Mbak Neni pasti akan kala
"Kita, mau ke mana sih, Bu?" tanyaku saat kami sudah dalam perjalanan yang aku tak tau mau ke mana. "Kita mau jalan-jalan saja. Pokoknya, kamu cukup duduk manis, dan diam saja. Ikut ke mana pun Ibu bawa kamu pergi," jawab Ibu seraya mengelus kepalaku penuh sayang. Aku mengangguk seraya tersenyum. Baiklah, aku akan ikut ke mana pun Ibu membawaku pergi. Tadi, Ibu juga sudah berpamitan dan Izin pada Nenek. Jadi, aku tak perlu khawatir dimarahi Nenek jika pergi jalan seharian. ***Mobil yang aku tumpangi berbelok ke sebuah konter ponsel terbesar di kotaku. Apakah Ibu ingin membeli ponsel? "Ayo, turun, Rah!" ajak Ibu yang terlebih dahulu turun dari mobil. Aku menikuti Ibu turun, dan berjalan mendekat ke konter tersebut."Selamat pagi, menjelang siang. Ada yang bisa saya bantu? Mau cari ponsel apa, Bu?" tanya salah satu wanita yang aku yakini adalah pekerja di konter tersebut. "Samsul keluaran terbaru, ada Mbak?" jawab Ibu, dan balik bertanaya pada Mbak-Mbak berwajah cantik itu. "A
"Sarah bukan anak yang seperti itu, Mbak Menik. Dia tau caranya membalas budi pada Neneknya. Lihatlah dia, kerja pontang panting dari subuh, hingga sore. Semua itu dia lakukan demi Mbak Menik. Tapi apa balasan yang dia dapat? Mbak Menik masih saja memperlakukan dia dengan tidak adil," gerutu Ibu, marah. Padahal aku hanya calon mantu, tapi ibu sudah berani membelaku di depan keluargaku sendiri. Andai saja aku jadi anak kandung Bu Sari, mungkin aku tidak akan pernah merasakan seperti sekarang ini. Selalu dibedakan, dan hanya dianggap mesin pencetak uang. "Tidak adil bagaimana? Kamu jangan sok tau Dek Sari!" sahut Nenek sewot. "Saya bukan sok tau, Mbak. Tapi, saya memang tahu semuanya. Mulai hari ini, Mbak Menik jangan lagi memintanya untuk bekerja. Semua kebutuhan kalian, saya yang akan menanggungnya. Dan semua itu saya lakukan sampai Sarah menikah dan menjadi tanggung jawab keluarga saya sepenuhnya." Dengan tegas, Ibu mengatakan itu semua dan membuat nenek tersenyum miring. "Janga
"Jangan suka memanfaatkan keadaan, Mbak. Nggak baik. Nanti kalau Mbak dimanfaatkan orang lain gimana?" Aku yang geregetan pada Mbak Neni ikut bersuara. Kenapa dia suka sekali mencari kesempatan dalam kesempitan. Hidup ini, pasti ada timbal baliknya. Apa yang kita perbuat, pasti akan ada balasannya. Jadi, aku tidak pernah berpikir untuk berbuat sesuatu yang buruk. Takut semua akan berbalik padaku. "Kamu, itu diam saja, Sarah! Nggak usah sok baik, deh! Manusia hidup itu, butuh duit. Selagi ada kesempatan, kenapa tidak dipergunakan dengan baik?""Kesempatan kalau memanfaatkan orang lain, untuk apa Mbak?""Hiisshhh. Udah deh, nggak usah ikut ngomong kamu, Rah! Bikin orang darah tinggi aja!" omelnya seraya melirikku tak suka. "Sudah, Nduk. Nggak usah kamu hiraukan Sarah, yang ada bikin pusing saja dia itu," timpal Nenek. "Iya, Nek. Ngomong-ngomong, apakah Bu Sari itu orang kaya, Nek? Kok uangnya banyak banget?" tanya Mbak Neni. Aku sudah tidak mau lagi ikutan ngomong. Aku fokus pada
"Maaf, Bu. Anda bisa menjelaskan semuanya di kantor polisi." Polisi wanita itu tetap menggeret Mbak Diana."Tidak mau! Saya tidak mau dipenjara!" teriaknya lagi, sambil terus meronta.Kedua tangan Mbak Diana yang dipegang oleh polisi wanita itu, terus bergerak hendak melepaskan diri."Tolong kerja samanya, Bu! Atau kami akan mengambil tindakan tegas!" seru polisi wanita itu dengan wajah seram.Nyali Mbak Diana menciut. Mulutnya seketika berhenti meronta. Tapi matanya terus saja mengeluarkan air."Kami, permisi dulu, Pak, Bu!"Setelah berpamitan, semua polisi itu pergi dari rumah dengan membawa kakak iparku.Mas Malik terlihat kuyu. Dia pasti sangat lelah atas semua yang terjadi pada keluarganya."Aku tidak menyangka Diana sampai berbuat sejauh ini. Mungkin aku juga bersalah karena terlalu sibuk bekerja, sehingga dia tega menduakanku." Mas Malik menunduk, sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ini semua gara-gara kamu, Mbak!" celetukku saat kulihat Mbak Diana berada di dalam kamar Ibu. Dia masih menangis sambil memegang bingkai foto Ibu.Sebentar ia menatap foto itu, kemudian memeluknya."Diam kamu, Sarah! Kalau saja kau tidak kembali ke sini, semua ini tidak akan terjadi. Ibu tidak akan datang dan masuk ke dalam rumah, memergokiku bersama Danu. Hingga akhirnya aku tak sengaja mendorongnya!" ujarnya sinis.Mbak Diana menatapku dengan tajam. Wajahnya yang masih terdapat jejak air mata terlihat sangat berantakan.Dia itu menangisi kepergian Ibu, atau menangis karena takut diusir oleh Mas Malik"Tidak sengaja katamu? Sudah mendorongnya dengan kuat, kamu bilang tidak sengaja? Dasar perempuan tak punya hati!" sungutku, menatap wajahnya dengan tatapan menantang."Aku memang tidak sengaja. Karena panik, aku jadi mendorong Ibu. Pasti kamu kan yang meminta Ibu masuk ke dalam rumahku?" cecarnya galak."Hey, Diana! Sepa
"Iya, Bu. Kamar Ibu nggak dikunci kan?""Enggak kayaknya. Kalaupun di kunci, pasti kuncinya masih gantung di pintu. Karena di dompet Ibu nggak ada kunci."Aku mengangguk. Ibu berjalan ke rumah Mas Malik, sementara aku masuk ke rumah Ibu.Rumah Mas Malik juga terbuka, sepertinya Mas Malik memang sedang berada di rumah.Aku dengan segera menuju kamar Ibu. Dan benar saja, kamar Ibu tidak dikunci. Pintu depan juga tidak dikunci tadi. Mungkin Ibu banyak pikiran, sampai lupa mengunci pintu."ASTAGHFIRULLAHHALAZIM ... APA YANG KAU LAKUKAN DIANA!" Suara Ibu terdengar sampai ke dalam kamar.Aku segera berlari meski belum menemukan ATM milik Ibu. Rumah Mbak Diana sudah permanen. Jika suara Ibu sampai terdengar ke dalam kamar, pasti sesuatu sedang terjadi pada Ibu.'DUAK!'"Awww!"Kakiku tersandung sofa."Suami pergi bekerja, kau malah enak-enakkan berbuat maksiat!" suara Ibu kembali terdengar saat aku sa
"Maaf, Nak. Sarah. Bukan maksud Ibu tak menganggap Nak Sarah anak. Tapi, Ibu takut merepotkan kamu." Ibu mengusap-usap punggungku. Tangisku semakin pecah mendengar penuturan Ibu."Bu, tidak ada yang namanya orang tua merepotkan anak. Karena setiap anak, pasti ingin merawat orang tuanya. Sama seperti tujuan orang tua membesarkan anaknya, seorang anak juga ingin membalas apa yang telah dilakukan orang tuanya," ucapku seraya mengurai pelukan. Kalau saja Ibuku masih ada, ingin rasanya aku membahagiakan dia seperti dia membahagiakanku. Tapi itu semua sudah tidak mungkin. Yang aku punya saat ini adalah Ibu mertua. Maka aku harus memperlakukannya sama seperti Ibuku sendiri. Karena sejak awal, Ibu sudah baik padaku. Aku ingin membalas semua kebaikan Ibu.Meski aku tahu, kalau aku tidak mungkin bisa membalasnya."Terimakasih, Nak Sarah. Maaf, karena telah menyembunyikan semuanya dari kalian." Ibu menghapus air mataku yang mengenai pipi.Aku berusaha untuk tidak menangis lagi. Walau di hati m
Pak Rt mengangguk seraya membalas senyum Mas Malik. "Baiklah Pak Malik. Kalau begitu, saya juga ingin berpamitan. Mbak Sarah, saya juga meminta maaf atas nama para warga karena sudah salah paham. Lain kali, kalau ada tamu Mbak Sarah bisa lapor dulu ke saya, agar tak terjadi hal yang seperti ini lagi.""Saya ingin melapor, Pak. Tapi kemarin posisinya sudah malam. Jadi takut mengganggu istirahat Bapak. Makanya saya tak jadi melapor. Pagi ini rencananya saya mau datang ke rumah Bapak, tapi belum juga datang, Bapak dan warga malah udah datang berbondong-bondong," sahut Mbak Ani menimpali."Wah, maaf, ya, Mbak Ani. Saya juga kalau tidak mendapat laporan, nggak akan datang. Para warga juga bukan saya yang mengerahkan. Mereka datang sendiri.""Ya, sudah, Pak. Saya minta nomor Bapak sajaJadi kalau ada tamu lagi, tinggal langsung telepon." Mbak Ani mengeluarkan ponselnya. Ia mencatat saat Pak Rt dengan pelan menyebutkan nomor ponselnya."Saya pam
"Jangan banyak alasan, Kamu! Kalian berdua tuh sama aja!" Mbak Neni memotong ucapan Mbak Diana.Aku memegangi tangan Mbak Diana agar dia bisa sedikit tenang."Mas, tolong percaya sama aku, ya? Kejadian ini benar-benar terjadi begitu saja. Namanya manusia kan bisa aja khilaf. Aku takut Sarah khilaf, dan memasukkan penjahat. Makanya aku langsung lapor Pak Rt-""Dan lapor suami beserta Ibu mertua Sarah, agar mereka dengan cepat mengusir Sarah. Iya, kan?" potong Mbak Neni lagi, tak memberi kesempatan untuk Mbak Diana menyelesaikan ucapannya."Kamu, kenapa sih ikut campur saja? Kamu itu orang luar, jangan ikut campur masalah kami!" bentak Mbak Diana, menatap sinis Mbak Neni."Kalau kamu tidak membawaku dalam masalahmu, aku juga tidak akan ikut campur masalah kalian. Tapi sayangnya, kamu terlanjur memasukkanku ke dalam masalah ini, jadi tak ada salahnya aku ikut campu
"Aawwcchh, sakit. Mas Farzan, tolongin aku dong!" Liana mengulurkan tangannya pada Mas Farzan. Rengekannya terdengar sangat manja. Ingin rasanya kutimpuk kepalanya menggunakan sandal ini, agar dia sadar bahwa lelaki yang ia mintai tolong adalah suami orang. 'PLAK!'"Minta tolong, noh sama tai ayam!" Mbak Neni menepis tangan Liana yang ia ulurkan pada suamiku.Gadis cantik itu semakin merengut menahan tangisnya. "Aaaaa! Kurang ajar kamu!" pekik Liana sambil memandangi tangannya yang mengenai eek Ayam di sampingnya. Liana bangkit. Ia berdiri berhadapan langsung dengan Mbak Neni. Kakak sepupuku berkacak pinggang. Mata tajamnya ia arahkan pada wanita di hadapannya. "Bukan cuma kamu yang bisa bar-bar! Aku juga bisa!" sentak Liana, seraya mengarahkan kedua tangannya pada rambut Mbak Neni. Mbak Neni menangkis tangan Liana yang hendak mencapai rambutnya.Meski memiliki tubuh agak berisi, Mbak N
"Mbak, Bude berkata seperti itu, pasti karena Ia terbawa emosi. Jauh di lubuk hatinya, Sarah yakin Bude sangat menyayangi Mbak Neni. Coba lah Mbak Neni cari pekerjaan, yang sesuai dengan keahlian Mbak Sendiri. Tidak apa dimulai dari posisi paling bawah. Suatu saat nanti, pasti naik juga kok. Yang penting, Mbak harus yakin dengan pekerjaan yang sedang digeluti. Jangan menyerah sebelum berperang. Mulailah hidup baru tanpa Mas Deva. Sarah yakin, Mbak pasti bisa." Aku menaruh bawang yang sudah selesai dikupas. Kugenggam kedua tangan Mbak Neni untuk menguatkannya."Kamu, kenapa masih baik sama Mbak, sih? Padahal selama ini, Mbak selalu jahatin kamu. Sebelum kamu menikah, dan kita tinggal berdekatan, bahkan Mbak nggak pernah sekalipin berbuat baik sama kamu. Apapun yang kamu mau, semuanya pasti Mbak ambil. Kalaupun kamu nggak salah, Mbak selalu mengadu pada Nenek agar menyalahkanmu. Mulut ini juga, selalu berkata buruk tentang Ibumu. Kenapa sekarang kamu nggak membalas semua
Aku memiringkan senyum, mengejek wanita di hadapanku ini."Pergilah, dan jangan pernah kembali. Aku bisa mengusir kalian jika nekat datang ke rumah ini. Urus suamimu, dan jangan meminta bantuan kami. Aku tidak akan pernah memberikannya, meski kau menangis darah.""Dasar anak Durhaka! Tunggu saja Karma yang akan datang padamu, karena tak mau membantu orang tua yang sedang kesusahan. Kudoakan, hidupmu akan menderita selamanya!" kutukknya, dan tidak membuatku takut."Jangan lupa, Bu. Semua yang terjadi padamu saat ini, adalah Karma karena Ibu dan Bapak telah menelantarkanku selama bertahun-tahun. Jadi, jangan bicara soal Karma di sini. Karena kalianlah, yang sedang mendapatkan Karma atas perbuatan kalian." Aku tersenyum sinis pada Ibu.Wanita itu tak lagi berkata-kata. Dia bangkit, lalu pergi tanpa mengucap salam.Aku juga berdiri, dan mata ini tetap mengawasinya."Cuuiihh!" Dia meludah, saat kepalanya berbalik men