Loh, loh, loh. Kok jadi dia yang mau minjam uang sama aku? Bukannya selama ini dia sudah banyak uang?
Duh, aku kok jadi galau, ya? Apa jangan-jangan dia mau menipuku?
"Maaf, Mas. Adek, tidak punya uang sebanyak itu. Mas, kan, tau sendiri kalau selama ini, Adek belum kerja." Aku mencoba mencari alasan.
Ya, walaupun pada kenyataannya aku memang pengangguran dan tidak punya uang sebanyak itu. Tapi, jika meminta pada Nenek, pasti akan diusahakan olehnya.
"Hmmm, gimana ini, ya, Dek. Padahal, semua ini Mas lakukan juga untuk Adek. Agar nanti, Adek bisa bilang pada teman-teman kalau calon suami adek, adalah tentara yang sudah berpangkat." Mas Fajar terdengar menghembuskan napas panjang.
"Selama ini, sebelum mengenal Dek Neni, Mas juga sudah sering mendapatkan tawaran ini. Tapi selalu Mas tolak. Toh, Mas saat itu belum punya calon istri. Untuk apa berpangkat kalau calon istri saja belum punya. Dan sekarang, setelah mengenal Dek Neni, Mas jadi ingin membuat Dek Neni bahagia dengan membanggakan Mas, pada teman-teman Adek." Mas Fajar kembali berbicara sedikit lebih panjang.
Jadi, semua ini dia lakukan untukku? Benarr-benar untukku?
Duuuhhh, aku jadi terharu mendengarnya. Ternyata dia adalah lelaki yang paling mengerti diriku.
"Hmmmm. Gimana, ya, Mas?" Aku masih menimbang-nimbang untuk meyakinkan diri.
"Tolong usahakan dulu, ya, Dek. Pinjam sama orang tua kamu dulu. Atau, sama Nenek kamu. Ini semua juga demi kita, Dek. Kalau kita sudah menikah nanti, dan jabatan Mas sudah tinggi, kan kamu juga yang untung," ucap Mas Fajar sedikit memaksa.
Iya juga sih. Kalau nanti pangkat dia sudah tinggi, maka aku akan disegani Ibu persit lainnya.
"Apakah keluarga, Mas, tidak ada yang bisa mengusahakannya?" tanyaku yang agak sedikit heran.
Dia kan juga punya keluarga. Kenapa malah minta tolong pada aku, pacarnya? Agak aneh juga.
"Tidak ada, Dek. Kemarin, Ibu Mas baru saja membeli kebun sawit sepuluh hektare. Jadi, uangnya sudah terpakai semuanya. Mau menggadaikan surat tanah tapi sayangnya semua surat kebun yang baru dibeli, masih dalam proses balik nama. Makanya, dengan menekan rasa malu, Mas, minta bantuan kamu dulu," jelasnya.
Kebun sawit sepuluh hektare? Wah, lumayan lebar juga itu. Kalau aku sudah menjadi istri Mas Fajar, kebun itu juga artinya akan menjadi milikku. Sudah dapat suami tentara, dapat juga kebun puluhan hektare. Beruntung sekali nasibku.
Nanti, setelah menikah, itu artinya aku hanya tinggal duduk manis di rumah, tanpa harus repot membantunya mencari nafkah.
Duhhh. Sepertinya aku memang harus mengusahakan uang itu. Anggap saja ini investasi. Dengan uang lima puluh juta, aku bisa mendapatkan kebun sawit puluhan hektare plus calon suami Abdi Negara.
"Oh, jadi begitu ceritanya. Tapi, gimana ya, Mas? Nanti deh, Neni tanya sama Nenek Barangkali Nenek bisa mengusahakannya." Aku harus berpura-pura, bimbang. Agar dia tidak berpikir bahwa aku segampang itu memberikan uang pada lelaki.
Takutnya, nanti dia memanfaatkanku.
"Jangan nanti-nanti Dek. Kalau bisa secepatnya. Soalnya, ini harus cepat," desaknya.
Mungkin naik pangkat ini, sepenting itu bagi pernikahan kami nanti. Makanya dia sampai tidak sabaran.
"Tapi, setelah ini, kita benar-benar akan menikah, kan?" tanyaku memastikan. Takutnya, dia malah kabur setelah mendapatkan uang dan naik pangkat.
"Iya, sayang. Nanti, setelah selesai semua urusan, Mas. Kita akan langsung menikah. Mas akan langsung datang ke rumah kamu bersama keluarga besar untuk melamar terlebih dahulu," jawabnya meyakinkan.
"Beneran, ya, Mas?"
"Iya, sayang. Apapun, pasti akan Mas lakukan untuk kebahagiaanmu," ucapnya lembut.
"Terus, Mas juga akan buat acara pesta pernikahan kita, mewah kan?"
"Iya, sayangku, cintaku, belahan jiwaku. Pokoknya, apapun yang kamu inginkan. Akan Mas kabulkan." Sekli lagi dia meyakinkanku.
"Mas, janji, tidak akan ada wanita lain selain aku?"
"Iya, sayang. Mas akan berjanji hanya kamu yang ada di hati, Mas. Tidak ada wanita lain. Kamu itu, sudah sangat sempurna di mata, Mas. Sudah cantik, baik, rajin, body nagus. Apalagi yang bisa membuat Mas bisa berpaling dari kamu? Kalai kamu saja sudah sesempurna ini?"
"Iihh, Mas, gombal deh!"
"Mas, nggak pintar menggombal, Dek. Semua yang Mas katakan, adalah kebenarannya. Semenjak mengenal kamu, Mas serasa tidak ingin mengenal wanita lain. Mas, hanya menginginkan kamu di kehidupan saat ini, nanti, dan selamanya. Mas tidak akan tau, bagaimana hidup Mas, bila tanpa adanya kamu. Tidak mendengar kabarmu sehari saja, Mas rasanya sudah ingin cepat-cepat datang ke rumah, untuk melamarmu. Agar kita bisa selalu bersama-sama setiap waktu." Mas Fajar terdengar sangat serius saat mengatakannya.
Aku jadi semakin jatuh cinta padanya. Semua kata-katanya sangat manis melebihi madu yang baru di ambil dari sarangnya.
"Mbak Neni! Ngapain gagang sapu digigitin sampai pecah begitu?" tanya Sarah si pengganggu, yang tiba-tiba saja sudah nongol di depan pintu rumahku.
Aku melihat sapu yang saat ini sedang kupegang. Ternyata benar. Ujungnya sudah pecah seribu.
"Iisshh, mengganggu saja kamu itu! Terserahku dong, mau kuapakan gagang sapu ini. Mau aku telan sekalipun, itu bukan urusanmu!" sungutku pada Sarah yang masih terbengong.
Tadi, rencanaya aku hendak menyapu. Karena terlalu rindu pada Mas Fajar, sekalian saja aku menelponnya. Tapi, ternyata aku sampai lupa diri dan malah mengigiti gagang sapu ini.
"Ya, Maaf, Mbak. Tapi, tadi Mbak Neni dipanggil, Nenek."
"Ada apa Nenek memanggilku?" tanyaku sewot.
"Mana Sarah tahu. Coba aja datang ke sana." Gadis bertubuh cungkring itu berbalik, lalu kembali ke rumahnya.
Astaga! Gara-gara Sarah, aku sampai lupa kalau sedang bertelepon dengan Mas Fajar.
"Hallo, Mas. Sudah dulu, ya. Adek mau ke rumah Nenek, dulu. Nanti, Adek kabari kalau sudah ada uangnya."
"Iya sayang. Kalau bisa secepatnya, ya?"
"Iya, sayang. Ya, sudah dulu, ya."
"Iya. I love you, sayangku,"
"Love you too," jawabku dan setelahnya menutup telepon.
***
"Nek, bisa tolong usahkan uang lima puluh juta?" tanyaku merayu Nenek yang sedang duduk selonjoran dan aku memijit pelan kakinya.
Tadi, Nenek memintaku datang ke rumahnya hanya untuk makan masakannya. Ia tadi membeli hati ampela dan disambal pakai cabe hijau, kesukaanku.
Dan setelah makan, aku akan mengutarakan niatku. Untung-untung Nenek bisa memberikannya.
"Untuk apa uang sebanyak itu, Nduk? Nenek mana punya uang sebanyak itu," jawab Nenek seraya menatapku serius.
"Untuk membantu calon suamiku naik pangkat, Nek. Katanya, setelah urusannya selesai, dia akan datang melamarku. Semua ini dia lakukan juga untukku, Nek."
"Tapi, itu uang nggak sedikit, Nduk. Nenek nggak punya."
"Gadaikan saja kebun karet, Nenek."
"Loh, jangan toh, Nduk. Cuma itu saja harta yang masih Nenek punya."
"Ihh, Nek. Pilih mana. Punya cucu menantu seorang TNI berpangkat tinggi, atau kebun karet Nenek yang nggak seberapa itu?" tanyaku kesal.
Kebun karet selebar lidah kadal aja, dipertahankan. Seharusnya, Nenek itu memikirkan kebahagiaanku. Dia kan sudah tua, tak butuh lagi harta. Sebetar lagi juga sudah menghadap Tuhan.
Nenek hanya diam tidak menjawabku.
"Nih, bayangin ya, Nek. Nanti, kalau ada tetangga atau teman Nenek yang tanya, tuh si Neni suaminya kerja apa? Nenek tinggal jawab dengan bangga, TNI. Nah, pasti mereka iri sama Nenek, karena beruntung punya cucu menantu TNI." Aku mulai mengompori Nenek.
"Tapi, Nduk-"
"Sudahlah, Nek. Jangan banyak tapi. Pokoknya, nanti sediakan surat kebun karet Nenek. Kita ajukan pinjaman ke Bank. Neni nggak mau tau. Kalau Nenek nggak setuju, Neni sendiri yang akan bawa surat itu ke Bank atau pegadaian."
Sudah capek menjelaskan, Nenek tetap saja ngeyel dan tidak setuju dengan rencanaku. Padahal, semua ini juga untuk kami juga. "Ya, sudah. Kalau itu memang maumu, Nenek akan turuti. Tapi, bagaimana dengan pembayaran untuk menebusnya nanti? Apakah calon suamimu itu yang akan membayarnya?" tanya Nenek, terlihat masih khawatir dengan keputusanku. "Ya, iyalah, Nek. Kalau pun tidak, ya, sudah ikhlaskan saja. Anggap saja itu sebagai warisan untukku.""Tapi, Nduk. Nenek masih butuh kebun itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.""Nek, kebun itu cuma digadaikan. Nenek masih bisa menyadapnya dan memetik hasilnya.""Iya, Nenek tau. Tapi, kalau kebun itu tidak ditebus, maka kebun itu akan disita lalu dijual. Terus, bagaimana dengan Nenek.""Jangan khawatir, Nek. Masih ada Sarah. Dia juga kan bekerja di grosir. Jadi, masih ada penghasilan dari dia. Pokoknya, Nenek harus membantuku. Jangan sampai nggak jadi!" sungutku, seraya memajukan bibir. "Hmm, iya. Terserah kamu saja deh." Nenek terl
Pov Sarah. Aku berguling ke kanan dan ke kiri. Sejak tadi, aku sudah mencoba untuk tidur. Namun, mataku rasanya enggan terpejam. Apakah ini karena efek dari perkataan Nenek siang tadi?Katanya, besok Bu Sari dan anak lelakinya yang akan di jodohkan denganku datang untuk melamar secara resmi.Aku masih takut untuk bertemu lelaki itu. Bagaimana jika lelaki itu tidak suka denganku? Aku yang hitam dekil ini, apa bisa menarik perhatian laki-laki? Selama ini, lelaki yang dekat denganku, hanya ingin berteman saja. Tidak ada yang pernah mau menjadi kekasihku. Aku tidak tahu apa yang salah dariku. Tapi, memang seperti itulah kenyataannya. Ah, aku jadi pusing sendiri. Aku tahu Bu Sari itu baik banget. Tapi, apakah anaknya bisa sebaik Bu Sari? Hmmm. Semakin dipikir, kenapa semakin membuat kepala ini nyut-nyutan. Lebih baik aku harus benar-benar tidur. ***"Sarah, apa kamu nggak punya alat make up? Dandananmu itu loh, terlalu sederhana! Wajah kamu juga terlihat kusam." Bi Nining yang baru saj
Kalau lelaki yang akan dijodohkan denganku setampan itu, apakah dia mau memiliki istri biasa saja seperti diriku? Belum juga apa-apa, aku sudah insecure duluan. "Ayo, Rah, kita duduk di sana." Bi Nining membawaku duduk di pojok ruangan. Tak lama, para tamu juga masuk dibarengi dengan Nenek dan juga Bude Arum, ibunya Mbak Neni.Sementara Bapak, lelaki yang akan menjadi waliku jika menikah nanti, tak kulihat di mana keberadaannya. Apakah bapak tidak datang? Apakah aku tidak penting dalam hidupnya? Sampai-sampai, di acara sepenting ini saja, ia tidak mau datang. Bu Sari dan lelaki yang tadi berjalan bersamanya, kini sudah duduk tepat di hadapanku dengan jarak yang lumayan jauh. Wanita paruh baya itu, tersenyum saat pandangannya bertemu denganku. Tak seperti ibunya, lelaki di sampingnya malah sibuk dengan ponselnya. Dia sama sekali tidak terlihat antusias dengan acara ini."Maaf, acaranya sudah dimulai, ya?" Mbak Neni yang tadi sempat menghilang, kini dia datang dengan dandanan yang
"Maaf, ya, Nak Neni. Saya ini, carinya menantu, bukan pembantu. Jadi, saya nggak butuh kelebihan kamu itu!" tegasnya, seraya menarik kedua tangannya dari genggaman Mbak Neni. Sepupuku itu tampak kesal. Matanya melotot tak suka. "Sombong amat, sih, Bu! Lah, terus, gunanya Sarah menjadi menantu Ibu, itu, apa? Semua orang menikah, kan, hanya untuk membantu suaminya di rumah. Seperti semua pekerjaan yang aku sebutkan tadi!" sungut Mbak Neni seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Saya menikahkan anak saya dan Sarah, karena ingin mendapatkan keturunan yang baik. Saya masih mampu menyewa jasa Art di rumah. Jadi, menantu saya tidak perlu melakukan itu semua. Dia hanya cukup melayani suaminya, dan mengurus anaknya dengan benar, bila suatu saat nanti mereka sudah memiliki anak," ucap Ibu dengan entengnya. Mbak Neni semakin kepanasan. Dadanya naik turun seperti menahan emosi. Sementara aku, hanya bisa menahan tawa saja.Kalau sudah berhadapan dengan Bu Sari, Mbak Neni pasti akan kala
"Kita, mau ke mana sih, Bu?" tanyaku saat kami sudah dalam perjalanan yang aku tak tau mau ke mana. "Kita mau jalan-jalan saja. Pokoknya, kamu cukup duduk manis, dan diam saja. Ikut ke mana pun Ibu bawa kamu pergi," jawab Ibu seraya mengelus kepalaku penuh sayang. Aku mengangguk seraya tersenyum. Baiklah, aku akan ikut ke mana pun Ibu membawaku pergi. Tadi, Ibu juga sudah berpamitan dan Izin pada Nenek. Jadi, aku tak perlu khawatir dimarahi Nenek jika pergi jalan seharian. ***Mobil yang aku tumpangi berbelok ke sebuah konter ponsel terbesar di kotaku. Apakah Ibu ingin membeli ponsel? "Ayo, turun, Rah!" ajak Ibu yang terlebih dahulu turun dari mobil. Aku menikuti Ibu turun, dan berjalan mendekat ke konter tersebut."Selamat pagi, menjelang siang. Ada yang bisa saya bantu? Mau cari ponsel apa, Bu?" tanya salah satu wanita yang aku yakini adalah pekerja di konter tersebut. "Samsul keluaran terbaru, ada Mbak?" jawab Ibu, dan balik bertanaya pada Mbak-Mbak berwajah cantik itu. "A
"Sarah bukan anak yang seperti itu, Mbak Menik. Dia tau caranya membalas budi pada Neneknya. Lihatlah dia, kerja pontang panting dari subuh, hingga sore. Semua itu dia lakukan demi Mbak Menik. Tapi apa balasan yang dia dapat? Mbak Menik masih saja memperlakukan dia dengan tidak adil," gerutu Ibu, marah. Padahal aku hanya calon mantu, tapi ibu sudah berani membelaku di depan keluargaku sendiri. Andai saja aku jadi anak kandung Bu Sari, mungkin aku tidak akan pernah merasakan seperti sekarang ini. Selalu dibedakan, dan hanya dianggap mesin pencetak uang. "Tidak adil bagaimana? Kamu jangan sok tau Dek Sari!" sahut Nenek sewot. "Saya bukan sok tau, Mbak. Tapi, saya memang tahu semuanya. Mulai hari ini, Mbak Menik jangan lagi memintanya untuk bekerja. Semua kebutuhan kalian, saya yang akan menanggungnya. Dan semua itu saya lakukan sampai Sarah menikah dan menjadi tanggung jawab keluarga saya sepenuhnya." Dengan tegas, Ibu mengatakan itu semua dan membuat nenek tersenyum miring. "Janga
"Jangan suka memanfaatkan keadaan, Mbak. Nggak baik. Nanti kalau Mbak dimanfaatkan orang lain gimana?" Aku yang geregetan pada Mbak Neni ikut bersuara. Kenapa dia suka sekali mencari kesempatan dalam kesempitan. Hidup ini, pasti ada timbal baliknya. Apa yang kita perbuat, pasti akan ada balasannya. Jadi, aku tidak pernah berpikir untuk berbuat sesuatu yang buruk. Takut semua akan berbalik padaku. "Kamu, itu diam saja, Sarah! Nggak usah sok baik, deh! Manusia hidup itu, butuh duit. Selagi ada kesempatan, kenapa tidak dipergunakan dengan baik?""Kesempatan kalau memanfaatkan orang lain, untuk apa Mbak?""Hiisshhh. Udah deh, nggak usah ikut ngomong kamu, Rah! Bikin orang darah tinggi aja!" omelnya seraya melirikku tak suka. "Sudah, Nduk. Nggak usah kamu hiraukan Sarah, yang ada bikin pusing saja dia itu," timpal Nenek. "Iya, Nek. Ngomong-ngomong, apakah Bu Sari itu orang kaya, Nek? Kok uangnya banyak banget?" tanya Mbak Neni. Aku sudah tidak mau lagi ikutan ngomong. Aku fokus pada
"Jangan mengajari orang tua! Aku lebih dulu lahir ke dunia ini. Jadi, aku lebih tahu mana kewajiban, mana yang bukan." Suara Nenek bergetar. Bukan karena Ia sedih dan ingin menangis. Tapi, karena emosinya yang terlalu tinggi. "Kalau Nenek tau, kenapa Nenek selalu membangkit karena sudah menampungku? Apa masih kurang, pengorbanan Sarah selama ini? Sarah nggak minta banyak, Nek. Cukup Nenek tidak membedakan Sarah dengan cucu lainnya. Dan jangan selalu meminta Sarah untuk mengalah.""Astaga! Ya, Tuhan. Kenapa aku membesarkan anak yang tidak tahu terimakasih! Menyesal aku menampungmu. Kalau aku tau kau menjadi pembangkang setelah dewasa, tak akan aku sudi menerimamu di rumah ini. Biarkan saja kau mau jadi apa di luaran sana!"Selalu ucapan itu yang terlontar dari mulutnya. Aku sudah terbiasa mendengar ucapan itu. Tapi, setiap kali aku mendengarnya. Ada rasa nyeri di dada yang tak bisa aku jelaskan. "Terserah Nenek mau ngatain Sarah apa. Toh, selama ini Sarah menjadi anak penurut, juga m