Kalau lelaki yang akan dijodohkan denganku setampan itu, apakah dia mau memiliki istri biasa saja seperti diriku? Belum juga apa-apa, aku sudah insecure duluan. "Ayo, Rah, kita duduk di sana." Bi Nining membawaku duduk di pojok ruangan. Tak lama, para tamu juga masuk dibarengi dengan Nenek dan juga Bude Arum, ibunya Mbak Neni.Sementara Bapak, lelaki yang akan menjadi waliku jika menikah nanti, tak kulihat di mana keberadaannya. Apakah bapak tidak datang? Apakah aku tidak penting dalam hidupnya? Sampai-sampai, di acara sepenting ini saja, ia tidak mau datang. Bu Sari dan lelaki yang tadi berjalan bersamanya, kini sudah duduk tepat di hadapanku dengan jarak yang lumayan jauh. Wanita paruh baya itu, tersenyum saat pandangannya bertemu denganku. Tak seperti ibunya, lelaki di sampingnya malah sibuk dengan ponselnya. Dia sama sekali tidak terlihat antusias dengan acara ini."Maaf, acaranya sudah dimulai, ya?" Mbak Neni yang tadi sempat menghilang, kini dia datang dengan dandanan yang
"Maaf, ya, Nak Neni. Saya ini, carinya menantu, bukan pembantu. Jadi, saya nggak butuh kelebihan kamu itu!" tegasnya, seraya menarik kedua tangannya dari genggaman Mbak Neni. Sepupuku itu tampak kesal. Matanya melotot tak suka. "Sombong amat, sih, Bu! Lah, terus, gunanya Sarah menjadi menantu Ibu, itu, apa? Semua orang menikah, kan, hanya untuk membantu suaminya di rumah. Seperti semua pekerjaan yang aku sebutkan tadi!" sungut Mbak Neni seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Saya menikahkan anak saya dan Sarah, karena ingin mendapatkan keturunan yang baik. Saya masih mampu menyewa jasa Art di rumah. Jadi, menantu saya tidak perlu melakukan itu semua. Dia hanya cukup melayani suaminya, dan mengurus anaknya dengan benar, bila suatu saat nanti mereka sudah memiliki anak," ucap Ibu dengan entengnya. Mbak Neni semakin kepanasan. Dadanya naik turun seperti menahan emosi. Sementara aku, hanya bisa menahan tawa saja.Kalau sudah berhadapan dengan Bu Sari, Mbak Neni pasti akan kala
"Kita, mau ke mana sih, Bu?" tanyaku saat kami sudah dalam perjalanan yang aku tak tau mau ke mana. "Kita mau jalan-jalan saja. Pokoknya, kamu cukup duduk manis, dan diam saja. Ikut ke mana pun Ibu bawa kamu pergi," jawab Ibu seraya mengelus kepalaku penuh sayang. Aku mengangguk seraya tersenyum. Baiklah, aku akan ikut ke mana pun Ibu membawaku pergi. Tadi, Ibu juga sudah berpamitan dan Izin pada Nenek. Jadi, aku tak perlu khawatir dimarahi Nenek jika pergi jalan seharian. ***Mobil yang aku tumpangi berbelok ke sebuah konter ponsel terbesar di kotaku. Apakah Ibu ingin membeli ponsel? "Ayo, turun, Rah!" ajak Ibu yang terlebih dahulu turun dari mobil. Aku menikuti Ibu turun, dan berjalan mendekat ke konter tersebut."Selamat pagi, menjelang siang. Ada yang bisa saya bantu? Mau cari ponsel apa, Bu?" tanya salah satu wanita yang aku yakini adalah pekerja di konter tersebut. "Samsul keluaran terbaru, ada Mbak?" jawab Ibu, dan balik bertanaya pada Mbak-Mbak berwajah cantik itu. "A
"Sarah bukan anak yang seperti itu, Mbak Menik. Dia tau caranya membalas budi pada Neneknya. Lihatlah dia, kerja pontang panting dari subuh, hingga sore. Semua itu dia lakukan demi Mbak Menik. Tapi apa balasan yang dia dapat? Mbak Menik masih saja memperlakukan dia dengan tidak adil," gerutu Ibu, marah. Padahal aku hanya calon mantu, tapi ibu sudah berani membelaku di depan keluargaku sendiri. Andai saja aku jadi anak kandung Bu Sari, mungkin aku tidak akan pernah merasakan seperti sekarang ini. Selalu dibedakan, dan hanya dianggap mesin pencetak uang. "Tidak adil bagaimana? Kamu jangan sok tau Dek Sari!" sahut Nenek sewot. "Saya bukan sok tau, Mbak. Tapi, saya memang tahu semuanya. Mulai hari ini, Mbak Menik jangan lagi memintanya untuk bekerja. Semua kebutuhan kalian, saya yang akan menanggungnya. Dan semua itu saya lakukan sampai Sarah menikah dan menjadi tanggung jawab keluarga saya sepenuhnya." Dengan tegas, Ibu mengatakan itu semua dan membuat nenek tersenyum miring. "Janga
"Jangan suka memanfaatkan keadaan, Mbak. Nggak baik. Nanti kalau Mbak dimanfaatkan orang lain gimana?" Aku yang geregetan pada Mbak Neni ikut bersuara. Kenapa dia suka sekali mencari kesempatan dalam kesempitan. Hidup ini, pasti ada timbal baliknya. Apa yang kita perbuat, pasti akan ada balasannya. Jadi, aku tidak pernah berpikir untuk berbuat sesuatu yang buruk. Takut semua akan berbalik padaku. "Kamu, itu diam saja, Sarah! Nggak usah sok baik, deh! Manusia hidup itu, butuh duit. Selagi ada kesempatan, kenapa tidak dipergunakan dengan baik?""Kesempatan kalau memanfaatkan orang lain, untuk apa Mbak?""Hiisshhh. Udah deh, nggak usah ikut ngomong kamu, Rah! Bikin orang darah tinggi aja!" omelnya seraya melirikku tak suka. "Sudah, Nduk. Nggak usah kamu hiraukan Sarah, yang ada bikin pusing saja dia itu," timpal Nenek. "Iya, Nek. Ngomong-ngomong, apakah Bu Sari itu orang kaya, Nek? Kok uangnya banyak banget?" tanya Mbak Neni. Aku sudah tidak mau lagi ikutan ngomong. Aku fokus pada
"Jangan mengajari orang tua! Aku lebih dulu lahir ke dunia ini. Jadi, aku lebih tahu mana kewajiban, mana yang bukan." Suara Nenek bergetar. Bukan karena Ia sedih dan ingin menangis. Tapi, karena emosinya yang terlalu tinggi. "Kalau Nenek tau, kenapa Nenek selalu membangkit karena sudah menampungku? Apa masih kurang, pengorbanan Sarah selama ini? Sarah nggak minta banyak, Nek. Cukup Nenek tidak membedakan Sarah dengan cucu lainnya. Dan jangan selalu meminta Sarah untuk mengalah.""Astaga! Ya, Tuhan. Kenapa aku membesarkan anak yang tidak tahu terimakasih! Menyesal aku menampungmu. Kalau aku tau kau menjadi pembangkang setelah dewasa, tak akan aku sudi menerimamu di rumah ini. Biarkan saja kau mau jadi apa di luaran sana!"Selalu ucapan itu yang terlontar dari mulutnya. Aku sudah terbiasa mendengar ucapan itu. Tapi, setiap kali aku mendengarnya. Ada rasa nyeri di dada yang tak bisa aku jelaskan. "Terserah Nenek mau ngatain Sarah apa. Toh, selama ini Sarah menjadi anak penurut, juga m
"Kok, emasnya kayak nggak asli," celetuk Ibu, membuat semua mata tertuju pada kami.Ketegangan begitu terlihat jelas dari para tamu dan juga tetanggaku. Aku menyenggol pelan lengan Ibu, dan membuat wanita yang akan menjadi mertuaku itu, menoleh bingung. Saat aku mengedipkan mata, Ibu seperti mengerti dengan maksudku. "Eh, ini loh. Emas yang dipakai Sarah, kayak nggak asli," ucap Ibu seraya nyengir kuda.Ibu juga langsung memegang tanganku, dan membawanya untuk dilihat secara bersama-sama. Tak lupa, Ibu juga mengelus gelang yang kupakai. "Tuh, kan. Kayak, imitasi ini. Apa Ibu salah beli ya, Nak?" tanya Ibu memulai aktingnya. "Heheheh. Iya, Bu. Mungkin saja, Ibu salah beli. Atau salah ambil di rumah." Aku terpaksa ikut tertawa dan berakting agar suasana kembali mencair. Saat mataku tertuju pada Bude Arum, wanita itu langsung memberikan lirikan tajamnya, membuatku dan juga Ibu berbalik dan hendak kembali ke dapur. "Maaf, ya. Ucapan saya bikin tegang. Saya, nggak ngomongin kalian k
Pov Neni"Iya, akan Nenek anggap lunas uang itu. Sekarang juga, kamu bawa emas itu ke toko. Kalau ternyata itu bukan emas, Nenek akan membawa ini ke jalur hukum! Biar tau rasa si Fajar itu!" sungut Nenek.Aku yang tidak terima Mas Fajar dianggap penipu, langsung saja pergi dari rumah Nenek dan hendak pulang ke rumah. Namun, baru sampai di ruang tamu, kulihat Sarah seperti orang yang ketahuan menguping. Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Dasar, tukang nguping! Sepertinya dia senang melihatku di pojokkan oleh Nenek. Aku melewatinya saja, tanpa menegurnya karena masih malas cekcok. "Loh, mau ke mana, Neni?" tanya Mama yang melihatku hendak keluar lagi. "Mau ke pasar sebentar, Ma," jawabku seraya menyambar kunci sepeda motor yang kuletakkan di dinding. "Mau ngapain?" tanya Mama lagi, sehingga aku menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. "Ada perlu sebentar, Ma," jawabku agak kesal. "Mama nitip martabak telur, ya.""Iya," jawabku singkat dan berbalik lagi. Cuma mau n