"Ayo, kita cari makanan. Ibu laper, nih," ajak Ibu seraya menggandeng lenganku.
Bu Sari tak lagi mempedulikan kakak sepupuku itu. Kasihan juga Mbak Neni. Pasti dia malu kalau sampai tidak jadi membeli semua pakaian yang sudah dipilih olehnya.
Dia itu paling pantang kalau sudah memilih sesuatu tapi tidak dibelinya. Apa yang sudah ditunjuk, biasanya selalu dibayar olehnya.
"Bu, jangan begitu dong. Ini belanjaanku gimana?" teriak Mbak Neni yang kebingungan.
Aku bisa melihat dia bolak-balik melihat ke arah bajunya dan ke arah kami. Dia pasti sangat menginginkan pakaian itu. Antara ingin tertawa dan juga sedih melihat Mbak Neni seperti itu.
"Kalau kamu nggak punya uang, ya, tinggalkan saja! Gitu aja kok repot," sahut Ibu tak mau ambil pusing dengan urusan Mbak Neni.
Duh, gimana ya? Aku nggak mungkin meminta calon mertuaku ini untuk membayarnya. Belanjaan untukku saja sudah sebanyak itu. Apalagi kalau ditambah barang Mbak Neni. Mau habis berapa lagi.
"Ayo, Nak. Sudah, biarkan saja Mbakmu itu. Dia 'kan sudah sering dibelikan baju sama Nenek dan Ibunya. Nanti biar dia minta dibelikan sama mereka lagi." Ibu kembali menarik lenganku.
Aku mengikuti Ibu mertua dan membiarkan Mbak Neni yang sepertinya sedang menjelaskan sesuatu pada penjaga toko. Tampak terjadi perdebatan di antara mereka. Dan setelahnya, Mbak Neni seperti memarahi mereka lalu pergi begitu saja.
Meskipun sedang berjalan, sesekali aku menoleh ke belakang melihat Mbak Neni yang mengekor dengan menghentakkan kakinya. Dia pasti sangat kesal karena keinginannya tidak tercapai.
***
"Mbak Menik, kami pulang dulu, ya," pamit Bu Sari, sesaat setelah kami sampai di rumah dan berbincang-bincang sebentar dengan Nenek.
Bu Sari mengatakan pada Nenek, seminggu lagi Ia dan keluarganya akan datang untuk melamarku secara resmi.
Nenek sudah menyetujui semuanya, dan dengan senang hati menerimanya. Ya, aku tau. Nenek pasti senang karena aku sudah akan pergi dari rumah ini dan tidak lagi menjadi parasit di hidup Nenek.
"Kok buru-buru, toh, Dek Sari," jawab Nenek berbasa-basi.
"Iya, Mbak. Sudah lumayan lama saya ninggalin rumah. Takutnya nanti dicariin sama cucu." Ibu tertawa tak enak.
Setelah acara salam-salaman sebagai pertanda perpisahan, Nenek mengantar Bu Sari sampai di depan teras.
Pakaian yang tadi dibelikan oleh Bu Sari, semuanya ditinggal di rumah. Calon mertuaku itu juga mengatakanpada Nenek jika semua pakaian itu milikku.
Mbak Neni tak henti-hentinya cemberut sepanjang perjalanan pulang tadi. Bahkan saat kami makan, Mbak Neni tidak mau makan meski sudah ditawarin oleh Bu Sari. Dia masih sakit hati dan mengatakan jika takut makanan yang dipilihnya tidak akan dibayarkan lagi oleh Ibu.
Saat sampai di rumah, Mbak Neni juga langsung pulang ke rumahnya tanpa berpamitan pada kami.
"Enak banget, ya, dibelikan baju sama calon mertua!" seru Mbak Neni, sewot. Ia baru saja masuk ke dalam rumah Nenek saat mobil Bu Sari sudah pergi.
Mbak Neni juga terlihat sudah berganti pakaian. Sepertinya ia sudah selesai mandi.
"Mana banyak banget lagi." Mbak Neni membongkar semua pakaian yang masih berada di dalam plastik besar.
"Kamu jangan malu-maluin, Rah. Minta dibelikan pakaian sebanyak itu!" sungut Nenek saat ia sudah masuk ke dalam rumah.
"Bukan Sarah yang minta kok, Nek. Semua ini Bi Sari sendiri yang membelikannya. Padahal Sarah sudah menolaknya."
"Jangan banyak alasan kamu! Nenek nggak suka nanti keluarga kita direndahkan oleh mereka."
"Tapi, Nek. Sarah bener-bener udah nolak, kok." Aku kembali membela diri. Karena semua ini juga bukan mauku. Tapi Bu Sari sendiri yang berinisiatif membelikannya.
"Nenek tau, tadi, Neni minta dibayarkan juga beberapa potong baju. Tapi calon mertua Sarah menolaknya. Dia nggak mau membayarkan barang satu pun. Si Sarah juga, bukannya membela, malah dia diam aja. Jadilah semua pilihanku nggak bisa kebeli," cerocos Mbak Neni kesal.
"Kamu itu, Rah. Serakah sekali sama sepupu sendiri. Seharusnya tuh, kamu minta belikan juga untuk Neni. Jadi biar impas, gitu. Bukannya malah mencari keuntungan sendiri aja!" Nenek jadi ikutan memarahiku.
Tadi saja, Nenek seperti menjaga harga dirinya karena aku dibelanjakan obanyak oleh Bu Sari. Tapi sekarang, hanya karena cucu kesayangannya, Nenek rela menjatuhkan harga dirinya dengan cara memintaku untuk Bu Sari membayarkan barang Mbak Neni.
"Sarah nggak enak, Bu. Bu Sari juga kan, masih calon mertua. Jadi Sarah nggak mungkin memintanya untuk membayar pakaian Mbak Neni juga. Semua itu juga dibelikan oleh Bu Sari tanpa sepengetahuan Sarah."
"Banyak sekali alasanmu, Rah!" sungut Mbak Neni sambil merobek kertas pembungkus pakaian yang sudah tak ada plastiknya lagi.
Aku hanya diam, tak lagi menjawabnya. Percuma saja, aku tetap akan salah di mata mereka.
"Ini bajumu lebih dari sepuluh pieces. Kamu bagi aku tiga, ya?" pinta Mbak Neni setelah membongkar habis semuanya, dan melihat satu persatu pakaianku. Ia juga sudah mengepaskan pada tubuhnya.
"Tapi, Mbak. Aku gimana bilangnya, sama Bu Sari? Tadi kan Ia membelikan semuanya untukku."
"Kamu itu, b*doh atau tol-ol, sih? Ya, nggak usah bilang lah sama dia!" bentaknya marah.
Mbak Neni tetap membawa pakaian pilihannya.
Meskipun aku berikan itu padanya. Aku yakin tidak akan muat dipakainya. Tubuh berisi Mbak Neni tidak memungkinkan untuk dia memakainya.
"Sudahlah. Berikan itu pada Mbakmu! Jangan kikir kamu jadi manusia!" ketus Nenek.
"Nek, aku pulang, ya! Mau nyoba baju baru." Mbak Neni berpamitan dengan sangat girang. Ia tetap membawa pakaianku.
Apapun yang sudah menjadi keinginan Mbak Neni, mau tak mau aku harus menurutinya. Kalau tidak, Nenek akan memarahiku bahkan mema-kiku.
Nenek tampak tersenyum melihat Mbak Neni.
Hmmmm. Sabar Sarah, sebentar lagi, kau akan keluar dari rumah ini. Bisik hatiku.
"Bereskan itu semua. Jangan berantakan seperti itu! Sumpek Nenek lihatnya!" gerutu Nenek saat ia hendak berjalan ke belakang.
Pakaian yang tadi sempat diobrak-abrik Mbak Neni, tidak kembali di bereskannya. Semua dibiarkan begitu saja.
Sudah menjadi kebiasaan. Siapa yang buat berantakan, siapa juga yang disuruh bereskan.
Satu-persatu, aku kembali melipat pakaian dan menumpuknya terlebih dahulu sebelum membawanya ke kamar untuk dipindahkan ke dalam lemari pakaian.
Plastik pembungkusnya juga kukumpulkan menjadi satu dan akan segera membuangnya.
Selesai.
Akhirnya semua sudah tertata rapi di kamar.
"Sarah! Sarah!" teriak Mbak Neni dengan gerutuan tak jelasnya.
"Ada apa, Mbak?" tanyaku saat menemuinya di dapur.
"Lihat nih, pakaian yang dibelikan mertuamu semua kaliannya jelek. Lihatlah, baru dibeli sudah sobek!" sungutnya seraya melemparkan pakaian yang tadi sempat ia bawa pulang.
Aku membentangkan pakaian itu ke atas lantai. Ternyata memang benar sudah sobek di bagian resletingnya. Ada juga yang dibagian bawah ketiak.
"Ini sih bukan kainnya yang jelek. Tapi badan Mbak Neni saja yang kebesaran."
Pov Neni. "Ini sih bukan kainnya yang jelek. Tapi badan Mbak Neni saja yang kayak Singa laut," gumam Sarah dan masih dapat kudengar. "Apa kamu bilang? Kamu ngatain aku kayak singa laut?" bentakku tak terima dibilang Singa laut. Enak saja dia mengataiku singa laut. Tubuh indah seperti Meghan Trainor begini kok dikatain Singa laut. Huuuhh, dasar Lisa bungkring! Body sepertiku ini yang banyak dicari kaum laki-laki. Tidak seperti dia, hanya lung-lit-lut. Iya, tulang, kulit, kentut. "Ehh, nggak kok, Mbak. Ini bajunya ada gambar Singa laut-nya," jawabnya gelagapangelagapan sambil nyengir tidak merasa bersalah. "Mana gambar singa lautnya? Kamu pikir Mbakmu ini rabun? Itu tuh, gambar Gajah terbang!" sungutku dan menatapnya tajam. Dia pikir aku bodoh. Baju itu semuanya sudah kucoba, dan tak ada gambar singa laut seperti ucapannya. Dia pasti memang berniat mengataiku."Eh, iya. Aku pikir gambar Singa, Mbak." Sarah terlihat salah tingkah, sambil menggaruk kepalanya yang berkutu. Entahlah
Loh, loh, loh. Kok jadi dia yang mau minjam uang sama aku? Bukannya selama ini dia sudah banyak uang? Duh, aku kok jadi galau, ya? Apa jangan-jangan dia mau menipuku?"Maaf, Mas. Adek, tidak punya uang sebanyak itu. Mas, kan, tau sendiri kalau selama ini, Adek belum kerja." Aku mencoba mencari alasan. Ya, walaupun pada kenyataannya aku memang pengangguran dan tidak punya uang sebanyak itu. Tapi, jika meminta pada Nenek, pasti akan diusahakan olehnya. "Hmmm, gimana ini, ya, Dek. Padahal, semua ini Mas lakukan juga untuk Adek. Agar nanti, Adek bisa bilang pada teman-teman kalau calon suami adek, adalah tentara yang sudah berpangkat." Mas Fajar terdengar menghembuskan napas panjang. "Selama ini, sebelum mengenal Dek Neni, Mas juga sudah sering mendapatkan tawaran ini. Tapi selalu Mas tolak. Toh, Mas saat itu belum punya calon istri. Untuk apa berpangkat kalau calon istri saja belum punya. Dan sekarang, setelah mengenal Dek Neni, Mas jadi ingin membuat Dek Neni bahagia dengan membangg
Sudah capek menjelaskan, Nenek tetap saja ngeyel dan tidak setuju dengan rencanaku. Padahal, semua ini juga untuk kami juga. "Ya, sudah. Kalau itu memang maumu, Nenek akan turuti. Tapi, bagaimana dengan pembayaran untuk menebusnya nanti? Apakah calon suamimu itu yang akan membayarnya?" tanya Nenek, terlihat masih khawatir dengan keputusanku. "Ya, iyalah, Nek. Kalau pun tidak, ya, sudah ikhlaskan saja. Anggap saja itu sebagai warisan untukku.""Tapi, Nduk. Nenek masih butuh kebun itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.""Nek, kebun itu cuma digadaikan. Nenek masih bisa menyadapnya dan memetik hasilnya.""Iya, Nenek tau. Tapi, kalau kebun itu tidak ditebus, maka kebun itu akan disita lalu dijual. Terus, bagaimana dengan Nenek.""Jangan khawatir, Nek. Masih ada Sarah. Dia juga kan bekerja di grosir. Jadi, masih ada penghasilan dari dia. Pokoknya, Nenek harus membantuku. Jangan sampai nggak jadi!" sungutku, seraya memajukan bibir. "Hmm, iya. Terserah kamu saja deh." Nenek terl
Pov Sarah. Aku berguling ke kanan dan ke kiri. Sejak tadi, aku sudah mencoba untuk tidur. Namun, mataku rasanya enggan terpejam. Apakah ini karena efek dari perkataan Nenek siang tadi?Katanya, besok Bu Sari dan anak lelakinya yang akan di jodohkan denganku datang untuk melamar secara resmi.Aku masih takut untuk bertemu lelaki itu. Bagaimana jika lelaki itu tidak suka denganku? Aku yang hitam dekil ini, apa bisa menarik perhatian laki-laki? Selama ini, lelaki yang dekat denganku, hanya ingin berteman saja. Tidak ada yang pernah mau menjadi kekasihku. Aku tidak tahu apa yang salah dariku. Tapi, memang seperti itulah kenyataannya. Ah, aku jadi pusing sendiri. Aku tahu Bu Sari itu baik banget. Tapi, apakah anaknya bisa sebaik Bu Sari? Hmmm. Semakin dipikir, kenapa semakin membuat kepala ini nyut-nyutan. Lebih baik aku harus benar-benar tidur. ***"Sarah, apa kamu nggak punya alat make up? Dandananmu itu loh, terlalu sederhana! Wajah kamu juga terlihat kusam." Bi Nining yang baru saj
Kalau lelaki yang akan dijodohkan denganku setampan itu, apakah dia mau memiliki istri biasa saja seperti diriku? Belum juga apa-apa, aku sudah insecure duluan. "Ayo, Rah, kita duduk di sana." Bi Nining membawaku duduk di pojok ruangan. Tak lama, para tamu juga masuk dibarengi dengan Nenek dan juga Bude Arum, ibunya Mbak Neni.Sementara Bapak, lelaki yang akan menjadi waliku jika menikah nanti, tak kulihat di mana keberadaannya. Apakah bapak tidak datang? Apakah aku tidak penting dalam hidupnya? Sampai-sampai, di acara sepenting ini saja, ia tidak mau datang. Bu Sari dan lelaki yang tadi berjalan bersamanya, kini sudah duduk tepat di hadapanku dengan jarak yang lumayan jauh. Wanita paruh baya itu, tersenyum saat pandangannya bertemu denganku. Tak seperti ibunya, lelaki di sampingnya malah sibuk dengan ponselnya. Dia sama sekali tidak terlihat antusias dengan acara ini."Maaf, acaranya sudah dimulai, ya?" Mbak Neni yang tadi sempat menghilang, kini dia datang dengan dandanan yang
"Maaf, ya, Nak Neni. Saya ini, carinya menantu, bukan pembantu. Jadi, saya nggak butuh kelebihan kamu itu!" tegasnya, seraya menarik kedua tangannya dari genggaman Mbak Neni. Sepupuku itu tampak kesal. Matanya melotot tak suka. "Sombong amat, sih, Bu! Lah, terus, gunanya Sarah menjadi menantu Ibu, itu, apa? Semua orang menikah, kan, hanya untuk membantu suaminya di rumah. Seperti semua pekerjaan yang aku sebutkan tadi!" sungut Mbak Neni seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Saya menikahkan anak saya dan Sarah, karena ingin mendapatkan keturunan yang baik. Saya masih mampu menyewa jasa Art di rumah. Jadi, menantu saya tidak perlu melakukan itu semua. Dia hanya cukup melayani suaminya, dan mengurus anaknya dengan benar, bila suatu saat nanti mereka sudah memiliki anak," ucap Ibu dengan entengnya. Mbak Neni semakin kepanasan. Dadanya naik turun seperti menahan emosi. Sementara aku, hanya bisa menahan tawa saja.Kalau sudah berhadapan dengan Bu Sari, Mbak Neni pasti akan kala
"Kita, mau ke mana sih, Bu?" tanyaku saat kami sudah dalam perjalanan yang aku tak tau mau ke mana. "Kita mau jalan-jalan saja. Pokoknya, kamu cukup duduk manis, dan diam saja. Ikut ke mana pun Ibu bawa kamu pergi," jawab Ibu seraya mengelus kepalaku penuh sayang. Aku mengangguk seraya tersenyum. Baiklah, aku akan ikut ke mana pun Ibu membawaku pergi. Tadi, Ibu juga sudah berpamitan dan Izin pada Nenek. Jadi, aku tak perlu khawatir dimarahi Nenek jika pergi jalan seharian. ***Mobil yang aku tumpangi berbelok ke sebuah konter ponsel terbesar di kotaku. Apakah Ibu ingin membeli ponsel? "Ayo, turun, Rah!" ajak Ibu yang terlebih dahulu turun dari mobil. Aku menikuti Ibu turun, dan berjalan mendekat ke konter tersebut."Selamat pagi, menjelang siang. Ada yang bisa saya bantu? Mau cari ponsel apa, Bu?" tanya salah satu wanita yang aku yakini adalah pekerja di konter tersebut. "Samsul keluaran terbaru, ada Mbak?" jawab Ibu, dan balik bertanaya pada Mbak-Mbak berwajah cantik itu. "A
"Sarah bukan anak yang seperti itu, Mbak Menik. Dia tau caranya membalas budi pada Neneknya. Lihatlah dia, kerja pontang panting dari subuh, hingga sore. Semua itu dia lakukan demi Mbak Menik. Tapi apa balasan yang dia dapat? Mbak Menik masih saja memperlakukan dia dengan tidak adil," gerutu Ibu, marah. Padahal aku hanya calon mantu, tapi ibu sudah berani membelaku di depan keluargaku sendiri. Andai saja aku jadi anak kandung Bu Sari, mungkin aku tidak akan pernah merasakan seperti sekarang ini. Selalu dibedakan, dan hanya dianggap mesin pencetak uang. "Tidak adil bagaimana? Kamu jangan sok tau Dek Sari!" sahut Nenek sewot. "Saya bukan sok tau, Mbak. Tapi, saya memang tahu semuanya. Mulai hari ini, Mbak Menik jangan lagi memintanya untuk bekerja. Semua kebutuhan kalian, saya yang akan menanggungnya. Dan semua itu saya lakukan sampai Sarah menikah dan menjadi tanggung jawab keluarga saya sepenuhnya." Dengan tegas, Ibu mengatakan itu semua dan membuat nenek tersenyum miring. "Janga