"Karena Ibu nggak tau seberapa ukuran jarimu, hari ini kita ke toko emas, ya," ucap Bu Sari yang sudah datang ke rumah Nenek pagi-pagi sekali.
Bagaimana tidak pagi-pagi sekali. Ini baru pukul delapan pagi. Dan Bu Sari sudah datang bersama supirnya.
Sudah dua minggu sejak Bu Sari pertama kali berkunjung ke rumah Nenek. Aku pikir, perjodohan ini dibatalkan. Karena, setelah ucapan Mbak Neni yang terkesan merendahkan. Bu Sari tak lama memutuskan untuk pulang. Dan sejak saat itu, tidak ada lagi kabar dari mereka tentang perjodohan ini. Tapi ternyata semua tetap berjalan sesuai rencana mereka.
"Kok malah ngelamun. Ayo, kita pergi sekarang," ucap Bu Sari lagi seraya memegang pundakku dan mengguncangkannya pelan.
"Tapi, Bu, saya ganti baju dulu, ya," tawarku, melihat pakaian yang kupakai sungguh sangat memprihatinkan. Warnanya sudah memudar. Aku sengaja memakai pakaian ini karena hendak pergi kerja.
Tak kusangka, ternyata harus batal karena kedatangan Bu Sari. Tadi, ia sempat ngobrol sebentar dengan Nenek. Setelah itu, ia datang menemuiku yang hendak pergi kerja.
"Iya, ya, sudah. Ibu tunggu, ya," sahutnya seraya mengukir senyum manis.
Ah, kenapa aku jadi merasa punya Ibu lagi, ya, setelah diperlakukan baik oleh Bu Sari. Apakah Bu Sari bisa menjadi mertua serasa Ibu sendiri?
Dari cerita teman yang sering kudengar, banyak mertua dan menantu yang tidak cocok. Aku takut, itu juga terjadi padaku.
Tapi, melihat perlakuan Bu Sari, sepertinya Ia berbeda dari yang kebanyakan.
Dengan cepat, aku berganti pakaian. Setelah itu, memakai bedak bayi tipis, dan lipgloss.
Nenek sedang bercengkrama dengan Bu Sari saat aku sudah keluar dan berdiri di ambang pintu.
Menyadari keberadaanku, Bu Sari kembali tersenyum padaku.
"Ayo, kita pergi sekarang." Ia berdiri, menungguku mendekat.
"Saya bawa dulu, cucunya, ya, Mbak?" pamit Bu Sari pada Nenek.
"Iya, hati-hati di jalan," ucap Nenek, saat kami sudah berada di teras rumah.
Bu Sari memegang tanganku lalu menggandengnya sudah seperti sangat akrab. Aku hanya menurut saja diperlakukan seperti ini.
Aku tentu saja senang. Karena selama ini, aku tak pernah tau bagaimana rasanya kasih sayang seorang ibu. Sejak kecil sudah ditinggal Ibu, dan Ibu tiri juga tidak menerimaku, jadilah aku tak tau bagaimana rasanya punya Ibu.
"Sarah, mau ke mana?" teriak Mbak Neni yang baru saja keluar rumah.
"Mau ke pasar, Mbak," jawabku seraya berbalik untuk melihatnya yang masih mengucek matanya sambil menguap lebar.
Dia masih memakai baju tidur. Rambut juga hanya diikat asal, khas orang bangun tidur.
"Eh, mau ngapain? Aku ikut!" teriaknya lagi seraya berlari mendekat dengan semangat.
Wajah Bu Sari berubah. Aku tahu jika Ia tidak suka dengan keberadaan Mbak Neni.
"Mbak, aku saja diajak Bu Sari. Jadi, kayaknya lebih baik Mbak Neni di rumah saja, deh. Kan juga belum mandi." Aku mencoba nelarangnya agar tidak ikut. Tak enak juga bila dia ikut. Takutnya nggak nyaman dengan omongan dia nantinya di sana.
"Alah, cuma ke pasar ini. Ngapain juga pakai acara mandi. Lagian nih, ya, aku ini sepupumu. Itu artinya aku juga saudaramu. Bu Sari nggak akan keberatan kok kalau aku ikut. Ya, kan, Bu?" Mbak Neni menatap Bu Sari yang masih memasang wajah tidak sukanya.
"Sudahlah. Ayo, pergi. Keburu siang ini!" paksanya, seraya menyeret lenganku ikut bersamanya. Dan kaitan lenganku dengan Bu Sari terlepas begitu saja.
Bu Sari mengikuti kami dari belakang hingga sampai di tempat mobilnya di parkir.
Aku yang bingung cara membuka pintu mobil hanya diam saja sambil menatap mobil yang sudah berada tepat di depan wajahku.
Senorak ini aku. Soalnya sedari dulu, jarang sekali naik mobil. Kalau pun naik mobil, maka orang lain yang membuka pintunya. Jadi lah sekarang aku bingung sendiri.
"Udah cepetan, buka pintunya!" desak Mbak Neni mendorongku.
"Aku nggak bisa, Mbak," jawabku masih kebingungan.
"Kampungan banget sih, kamu!" gerutunya seraya mendorongku menjauh. Dan setelah itu, dialah yang membuka pintu mobil tersebut dengan mudahnya.
Oh jadi begitu caranya.
Dengan segera, aku masuk setelah Mbak Neni terlebih dulu dan duduk santai di ujung. Sementara Bu Sari duduk di samping Pak supir.
"Mobilnya, bagus. Tapi nih, ya, Bu. Kalau nggak punya unag, nggak usah maksakan nyewa mobil. Lebih baik Ibu naik becak aja datang ke sini. Segala sesuatu yang dipaksakan itu, tidak baik, Bu," celetuk Mbak Neni, seraya melihat ke arah Bu Sari.
Duh, Mbak Neni, kenapa selalu saja mencari masalah sih. Kenapa dia terlalu ikut campur dengan urusan orang lain.
"Terserah saya, dong. Uang, uang, saya. Tidak minta sama kamu juga. Jadi, lebih baik kamu diam saja. Kalau nggak suka, silahkan turun di sini. Saya juga tidak mengajak kamu," ucap Bu Sari sedikit ketus.
Mbak Neni melengos tak suka. Dia menyandarkan tubuhnya dan memainkan ponsel yang sejak tadi tersimpan di saku celananya.
***
"Kamu pilih, yang mana kamu suka, Nak," ucap Bu Sari saat kami sudah berada di toko emas.
Ada banyak bermacam model cincin yang terlihat sangat bagus. Ada yang kecil, sampai yang besar. Aku sampai bingung harus pilih yang mana.
"Yang ini bagus." Bu Sari menunjuk salah satu cincin yang aku taksir beratnya lumayan.
"Itu terlalu besar, Bu. Harganya pasti mahal. Tuh, yang itu cocok untuk Sarah." Mbak Neni menunjuk sebuah cincin yang ukurannya lebih kecil.
"Mbak, tolong ambilkan pilihan saya ini," ucap Bu Sari tetap menunjuk pilihannya. Mbak Neni tersenyum meremehkan.
"Nggak usah terlalu memaksakan diri, Bu. Nanti malu loh, kalau uangnya nggak cukup. Udah pilihan saya aja, tuh cocok sama Sarah." Mbak Neni kembali merendahkan Bu Sari.
Aku menyenggol pelan lengan Mbak Neni. Tapi dia tetap acuh dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Coba kamu, pakai, Nak."
Setelah diambilkan oleh penjaga tokonya. Ibu langsung memintaku untuk mencoba cincin pilihannya.
Dan ternyata sangat pas di jari manisku.
"Wah, cantik sekali. Saya ambil yang ini, Mbak," ucap Ibu pada penjaga toko itu.
"Hati-hati, setelah melamar dan menikahkan anaknya, hutang menumpuk di mana-mana." Mbak Neni kembali bersuara dan tertawa merendahkan.
Bu Sari semakin terlihat tidak suka pada Mbak Neni.
"Mbak, kalung yang itu saya mau, ya. Dan gelang yang itu, saya juga mau. Bandul kalungnya, saya pilih yang itu." Bu Sari kembali menunjuk beberapa emas yang ukurannya lumayan besar.
"Bu, jangan sok orang kaya. Malu ah, kalau sampai udah nunjuk-nunjuk terus nggak jadi beli." Mbak Neni tertawa cekikikan sambil terus memperhatikan Ibu.
"Kamu coba pakai ini, ya." Bu Sari kembali memintaku mencoba memakai kalung dan juga gelang yang tadi ditunjuknya.
Aku menurut saja saat Ibu memakaikannya.
"Wah, cocok sekali untuk kamu." Bu Sari tersenyum saat melihatku sudah memakai emas pilihannya.
Dan Mbak Neni, dia tetap saja tersenyum mengejek.
"Mbak, tolong ditotal, ya." Bu Sari dengan santai berbicara pada penjaga toko.
"Sebentar, ya, Bu. Kita lihat dulu berapa beratnya." Penjaga toko itu kembali memintaku membuka semua emasnya. Ia kemudian menimbang semua emas tersebut.
"Bu, total semuanya Lima puluh satu juta, delapan ratus ribu rupiah," ucap penjaga toko memperlihatkan kalkulator di depannya.
Bu Sari membuka tas yang sejak tadi setia berada di lengannya. Ia mengeluarkan beberapa gepok uang dan menaruhnya di atas etalase.
Wajah Mbak Neni terlihat sangat terkejut. Matanya seperti hendak melompat dari tempatnya. Ia benar-benar melotot melihat uang sebanyak itu dengan mulut menganga.
"Mbak, awas air liurnya jatuh," bisikku saat melihat air yang hampir terjatuh di sudut bibir Mbak Neni. Gadis berkulit putih itu segera tersadar. Ia menutup mulutnya lalu membenarkan posisi berdirinya. "Cuma segitu doang. Nanti, nih, ya. Aku akan minta yang lebih banyak sama calon suamiku. Lagian, dapat dari mana uang sebanyak itu, Bu? Awas saja nanti kalau setelah menikah sepupu saya ini sibuk bekerja, dan merepotkan Nenek saya. Nggak sudi kami menerima dia lagi." Mbak Neni berbicara dengan sangat ketus pada Bu Sari. Tidak sopan sekali dia. Padahal dia lebih terpelajar dibandingkan aku. "Kamu tenang saja. Saya tidak akan membiarkan menantu saya ini, kembali merepotkan kalian. Saat dia sudah menikah dengan anak saya. Maka tanggung jawab dia sudah beralih pada anak saya dan juga saya. Asal jangan kebalik saja nanti. Kau yang malah merepotkan menantu saya," ucapan Bu Sari langsung memukul telak Mbak Neni. Dia melengos tak suka seraya membuang pandang. "Ini, Bu. Terimakasih sudah be
"Ayo, kita cari makanan. Ibu laper, nih," ajak Ibu seraya menggandeng lenganku. Bu Sari tak lagi mempedulikan kakak sepupuku itu. Kasihan juga Mbak Neni. Pasti dia malu kalau sampai tidak jadi membeli semua pakaian yang sudah dipilih olehnya. Dia itu paling pantang kalau sudah memilih sesuatu tapi tidak dibelinya. Apa yang sudah ditunjuk, biasanya selalu dibayar olehnya. "Bu, jangan begitu dong. Ini belanjaanku gimana?" teriak Mbak Neni yang kebingungan. Aku bisa melihat dia bolak-balik melihat ke arah bajunya dan ke arah kami. Dia pasti sangat menginginkan pakaian itu. Antara ingin tertawa dan juga sedih melihat Mbak Neni seperti itu. "Kalau kamu nggak punya uang, ya, tinggalkan saja! Gitu aja kok repot," sahut Ibu tak mau ambil pusing dengan urusan Mbak Neni.Duh, gimana ya? Aku nggak mungkin meminta calon mertuaku ini untuk membayarnya. Belanjaan untukku saja sudah sebanyak itu. Apalagi kalau ditambah barang Mbak Neni. Mau habis berapa lagi. "Ayo, Nak. Sudah, biarkan saja Mba
Pov Neni. "Ini sih bukan kainnya yang jelek. Tapi badan Mbak Neni saja yang kayak Singa laut," gumam Sarah dan masih dapat kudengar. "Apa kamu bilang? Kamu ngatain aku kayak singa laut?" bentakku tak terima dibilang Singa laut. Enak saja dia mengataiku singa laut. Tubuh indah seperti Meghan Trainor begini kok dikatain Singa laut. Huuuhh, dasar Lisa bungkring! Body sepertiku ini yang banyak dicari kaum laki-laki. Tidak seperti dia, hanya lung-lit-lut. Iya, tulang, kulit, kentut. "Ehh, nggak kok, Mbak. Ini bajunya ada gambar Singa laut-nya," jawabnya gelagapangelagapan sambil nyengir tidak merasa bersalah. "Mana gambar singa lautnya? Kamu pikir Mbakmu ini rabun? Itu tuh, gambar Gajah terbang!" sungutku dan menatapnya tajam. Dia pikir aku bodoh. Baju itu semuanya sudah kucoba, dan tak ada gambar singa laut seperti ucapannya. Dia pasti memang berniat mengataiku."Eh, iya. Aku pikir gambar Singa, Mbak." Sarah terlihat salah tingkah, sambil menggaruk kepalanya yang berkutu. Entahlah
Loh, loh, loh. Kok jadi dia yang mau minjam uang sama aku? Bukannya selama ini dia sudah banyak uang? Duh, aku kok jadi galau, ya? Apa jangan-jangan dia mau menipuku?"Maaf, Mas. Adek, tidak punya uang sebanyak itu. Mas, kan, tau sendiri kalau selama ini, Adek belum kerja." Aku mencoba mencari alasan. Ya, walaupun pada kenyataannya aku memang pengangguran dan tidak punya uang sebanyak itu. Tapi, jika meminta pada Nenek, pasti akan diusahakan olehnya. "Hmmm, gimana ini, ya, Dek. Padahal, semua ini Mas lakukan juga untuk Adek. Agar nanti, Adek bisa bilang pada teman-teman kalau calon suami adek, adalah tentara yang sudah berpangkat." Mas Fajar terdengar menghembuskan napas panjang. "Selama ini, sebelum mengenal Dek Neni, Mas juga sudah sering mendapatkan tawaran ini. Tapi selalu Mas tolak. Toh, Mas saat itu belum punya calon istri. Untuk apa berpangkat kalau calon istri saja belum punya. Dan sekarang, setelah mengenal Dek Neni, Mas jadi ingin membuat Dek Neni bahagia dengan membangg
Sudah capek menjelaskan, Nenek tetap saja ngeyel dan tidak setuju dengan rencanaku. Padahal, semua ini juga untuk kami juga. "Ya, sudah. Kalau itu memang maumu, Nenek akan turuti. Tapi, bagaimana dengan pembayaran untuk menebusnya nanti? Apakah calon suamimu itu yang akan membayarnya?" tanya Nenek, terlihat masih khawatir dengan keputusanku. "Ya, iyalah, Nek. Kalau pun tidak, ya, sudah ikhlaskan saja. Anggap saja itu sebagai warisan untukku.""Tapi, Nduk. Nenek masih butuh kebun itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.""Nek, kebun itu cuma digadaikan. Nenek masih bisa menyadapnya dan memetik hasilnya.""Iya, Nenek tau. Tapi, kalau kebun itu tidak ditebus, maka kebun itu akan disita lalu dijual. Terus, bagaimana dengan Nenek.""Jangan khawatir, Nek. Masih ada Sarah. Dia juga kan bekerja di grosir. Jadi, masih ada penghasilan dari dia. Pokoknya, Nenek harus membantuku. Jangan sampai nggak jadi!" sungutku, seraya memajukan bibir. "Hmm, iya. Terserah kamu saja deh." Nenek terl
Pov Sarah. Aku berguling ke kanan dan ke kiri. Sejak tadi, aku sudah mencoba untuk tidur. Namun, mataku rasanya enggan terpejam. Apakah ini karena efek dari perkataan Nenek siang tadi?Katanya, besok Bu Sari dan anak lelakinya yang akan di jodohkan denganku datang untuk melamar secara resmi.Aku masih takut untuk bertemu lelaki itu. Bagaimana jika lelaki itu tidak suka denganku? Aku yang hitam dekil ini, apa bisa menarik perhatian laki-laki? Selama ini, lelaki yang dekat denganku, hanya ingin berteman saja. Tidak ada yang pernah mau menjadi kekasihku. Aku tidak tahu apa yang salah dariku. Tapi, memang seperti itulah kenyataannya. Ah, aku jadi pusing sendiri. Aku tahu Bu Sari itu baik banget. Tapi, apakah anaknya bisa sebaik Bu Sari? Hmmm. Semakin dipikir, kenapa semakin membuat kepala ini nyut-nyutan. Lebih baik aku harus benar-benar tidur. ***"Sarah, apa kamu nggak punya alat make up? Dandananmu itu loh, terlalu sederhana! Wajah kamu juga terlihat kusam." Bi Nining yang baru saj
Kalau lelaki yang akan dijodohkan denganku setampan itu, apakah dia mau memiliki istri biasa saja seperti diriku? Belum juga apa-apa, aku sudah insecure duluan. "Ayo, Rah, kita duduk di sana." Bi Nining membawaku duduk di pojok ruangan. Tak lama, para tamu juga masuk dibarengi dengan Nenek dan juga Bude Arum, ibunya Mbak Neni.Sementara Bapak, lelaki yang akan menjadi waliku jika menikah nanti, tak kulihat di mana keberadaannya. Apakah bapak tidak datang? Apakah aku tidak penting dalam hidupnya? Sampai-sampai, di acara sepenting ini saja, ia tidak mau datang. Bu Sari dan lelaki yang tadi berjalan bersamanya, kini sudah duduk tepat di hadapanku dengan jarak yang lumayan jauh. Wanita paruh baya itu, tersenyum saat pandangannya bertemu denganku. Tak seperti ibunya, lelaki di sampingnya malah sibuk dengan ponselnya. Dia sama sekali tidak terlihat antusias dengan acara ini."Maaf, acaranya sudah dimulai, ya?" Mbak Neni yang tadi sempat menghilang, kini dia datang dengan dandanan yang
"Maaf, ya, Nak Neni. Saya ini, carinya menantu, bukan pembantu. Jadi, saya nggak butuh kelebihan kamu itu!" tegasnya, seraya menarik kedua tangannya dari genggaman Mbak Neni. Sepupuku itu tampak kesal. Matanya melotot tak suka. "Sombong amat, sih, Bu! Lah, terus, gunanya Sarah menjadi menantu Ibu, itu, apa? Semua orang menikah, kan, hanya untuk membantu suaminya di rumah. Seperti semua pekerjaan yang aku sebutkan tadi!" sungut Mbak Neni seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Saya menikahkan anak saya dan Sarah, karena ingin mendapatkan keturunan yang baik. Saya masih mampu menyewa jasa Art di rumah. Jadi, menantu saya tidak perlu melakukan itu semua. Dia hanya cukup melayani suaminya, dan mengurus anaknya dengan benar, bila suatu saat nanti mereka sudah memiliki anak," ucap Ibu dengan entengnya. Mbak Neni semakin kepanasan. Dadanya naik turun seperti menahan emosi. Sementara aku, hanya bisa menahan tawa saja.Kalau sudah berhadapan dengan Bu Sari, Mbak Neni pasti akan kala
"Maaf, Bu. Anda bisa menjelaskan semuanya di kantor polisi." Polisi wanita itu tetap menggeret Mbak Diana."Tidak mau! Saya tidak mau dipenjara!" teriaknya lagi, sambil terus meronta.Kedua tangan Mbak Diana yang dipegang oleh polisi wanita itu, terus bergerak hendak melepaskan diri."Tolong kerja samanya, Bu! Atau kami akan mengambil tindakan tegas!" seru polisi wanita itu dengan wajah seram.Nyali Mbak Diana menciut. Mulutnya seketika berhenti meronta. Tapi matanya terus saja mengeluarkan air."Kami, permisi dulu, Pak, Bu!"Setelah berpamitan, semua polisi itu pergi dari rumah dengan membawa kakak iparku.Mas Malik terlihat kuyu. Dia pasti sangat lelah atas semua yang terjadi pada keluarganya."Aku tidak menyangka Diana sampai berbuat sejauh ini. Mungkin aku juga bersalah karena terlalu sibuk bekerja, sehingga dia tega menduakanku." Mas Malik menunduk, sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ini semua gara-gara kamu, Mbak!" celetukku saat kulihat Mbak Diana berada di dalam kamar Ibu. Dia masih menangis sambil memegang bingkai foto Ibu.Sebentar ia menatap foto itu, kemudian memeluknya."Diam kamu, Sarah! Kalau saja kau tidak kembali ke sini, semua ini tidak akan terjadi. Ibu tidak akan datang dan masuk ke dalam rumah, memergokiku bersama Danu. Hingga akhirnya aku tak sengaja mendorongnya!" ujarnya sinis.Mbak Diana menatapku dengan tajam. Wajahnya yang masih terdapat jejak air mata terlihat sangat berantakan.Dia itu menangisi kepergian Ibu, atau menangis karena takut diusir oleh Mas Malik"Tidak sengaja katamu? Sudah mendorongnya dengan kuat, kamu bilang tidak sengaja? Dasar perempuan tak punya hati!" sungutku, menatap wajahnya dengan tatapan menantang."Aku memang tidak sengaja. Karena panik, aku jadi mendorong Ibu. Pasti kamu kan yang meminta Ibu masuk ke dalam rumahku?" cecarnya galak."Hey, Diana! Sepa
"Iya, Bu. Kamar Ibu nggak dikunci kan?""Enggak kayaknya. Kalaupun di kunci, pasti kuncinya masih gantung di pintu. Karena di dompet Ibu nggak ada kunci."Aku mengangguk. Ibu berjalan ke rumah Mas Malik, sementara aku masuk ke rumah Ibu.Rumah Mas Malik juga terbuka, sepertinya Mas Malik memang sedang berada di rumah.Aku dengan segera menuju kamar Ibu. Dan benar saja, kamar Ibu tidak dikunci. Pintu depan juga tidak dikunci tadi. Mungkin Ibu banyak pikiran, sampai lupa mengunci pintu."ASTAGHFIRULLAHHALAZIM ... APA YANG KAU LAKUKAN DIANA!" Suara Ibu terdengar sampai ke dalam kamar.Aku segera berlari meski belum menemukan ATM milik Ibu. Rumah Mbak Diana sudah permanen. Jika suara Ibu sampai terdengar ke dalam kamar, pasti sesuatu sedang terjadi pada Ibu.'DUAK!'"Awww!"Kakiku tersandung sofa."Suami pergi bekerja, kau malah enak-enakkan berbuat maksiat!" suara Ibu kembali terdengar saat aku sa
"Maaf, Nak. Sarah. Bukan maksud Ibu tak menganggap Nak Sarah anak. Tapi, Ibu takut merepotkan kamu." Ibu mengusap-usap punggungku. Tangisku semakin pecah mendengar penuturan Ibu."Bu, tidak ada yang namanya orang tua merepotkan anak. Karena setiap anak, pasti ingin merawat orang tuanya. Sama seperti tujuan orang tua membesarkan anaknya, seorang anak juga ingin membalas apa yang telah dilakukan orang tuanya," ucapku seraya mengurai pelukan. Kalau saja Ibuku masih ada, ingin rasanya aku membahagiakan dia seperti dia membahagiakanku. Tapi itu semua sudah tidak mungkin. Yang aku punya saat ini adalah Ibu mertua. Maka aku harus memperlakukannya sama seperti Ibuku sendiri. Karena sejak awal, Ibu sudah baik padaku. Aku ingin membalas semua kebaikan Ibu.Meski aku tahu, kalau aku tidak mungkin bisa membalasnya."Terimakasih, Nak Sarah. Maaf, karena telah menyembunyikan semuanya dari kalian." Ibu menghapus air mataku yang mengenai pipi.Aku berusaha untuk tidak menangis lagi. Walau di hati m
Pak Rt mengangguk seraya membalas senyum Mas Malik. "Baiklah Pak Malik. Kalau begitu, saya juga ingin berpamitan. Mbak Sarah, saya juga meminta maaf atas nama para warga karena sudah salah paham. Lain kali, kalau ada tamu Mbak Sarah bisa lapor dulu ke saya, agar tak terjadi hal yang seperti ini lagi.""Saya ingin melapor, Pak. Tapi kemarin posisinya sudah malam. Jadi takut mengganggu istirahat Bapak. Makanya saya tak jadi melapor. Pagi ini rencananya saya mau datang ke rumah Bapak, tapi belum juga datang, Bapak dan warga malah udah datang berbondong-bondong," sahut Mbak Ani menimpali."Wah, maaf, ya, Mbak Ani. Saya juga kalau tidak mendapat laporan, nggak akan datang. Para warga juga bukan saya yang mengerahkan. Mereka datang sendiri.""Ya, sudah, Pak. Saya minta nomor Bapak sajaJadi kalau ada tamu lagi, tinggal langsung telepon." Mbak Ani mengeluarkan ponselnya. Ia mencatat saat Pak Rt dengan pelan menyebutkan nomor ponselnya."Saya pam
"Jangan banyak alasan, Kamu! Kalian berdua tuh sama aja!" Mbak Neni memotong ucapan Mbak Diana.Aku memegangi tangan Mbak Diana agar dia bisa sedikit tenang."Mas, tolong percaya sama aku, ya? Kejadian ini benar-benar terjadi begitu saja. Namanya manusia kan bisa aja khilaf. Aku takut Sarah khilaf, dan memasukkan penjahat. Makanya aku langsung lapor Pak Rt-""Dan lapor suami beserta Ibu mertua Sarah, agar mereka dengan cepat mengusir Sarah. Iya, kan?" potong Mbak Neni lagi, tak memberi kesempatan untuk Mbak Diana menyelesaikan ucapannya."Kamu, kenapa sih ikut campur saja? Kamu itu orang luar, jangan ikut campur masalah kami!" bentak Mbak Diana, menatap sinis Mbak Neni."Kalau kamu tidak membawaku dalam masalahmu, aku juga tidak akan ikut campur masalah kalian. Tapi sayangnya, kamu terlanjur memasukkanku ke dalam masalah ini, jadi tak ada salahnya aku ikut campu
"Aawwcchh, sakit. Mas Farzan, tolongin aku dong!" Liana mengulurkan tangannya pada Mas Farzan. Rengekannya terdengar sangat manja. Ingin rasanya kutimpuk kepalanya menggunakan sandal ini, agar dia sadar bahwa lelaki yang ia mintai tolong adalah suami orang. 'PLAK!'"Minta tolong, noh sama tai ayam!" Mbak Neni menepis tangan Liana yang ia ulurkan pada suamiku.Gadis cantik itu semakin merengut menahan tangisnya. "Aaaaa! Kurang ajar kamu!" pekik Liana sambil memandangi tangannya yang mengenai eek Ayam di sampingnya. Liana bangkit. Ia berdiri berhadapan langsung dengan Mbak Neni. Kakak sepupuku berkacak pinggang. Mata tajamnya ia arahkan pada wanita di hadapannya. "Bukan cuma kamu yang bisa bar-bar! Aku juga bisa!" sentak Liana, seraya mengarahkan kedua tangannya pada rambut Mbak Neni. Mbak Neni menangkis tangan Liana yang hendak mencapai rambutnya.Meski memiliki tubuh agak berisi, Mbak N
"Mbak, Bude berkata seperti itu, pasti karena Ia terbawa emosi. Jauh di lubuk hatinya, Sarah yakin Bude sangat menyayangi Mbak Neni. Coba lah Mbak Neni cari pekerjaan, yang sesuai dengan keahlian Mbak Sendiri. Tidak apa dimulai dari posisi paling bawah. Suatu saat nanti, pasti naik juga kok. Yang penting, Mbak harus yakin dengan pekerjaan yang sedang digeluti. Jangan menyerah sebelum berperang. Mulailah hidup baru tanpa Mas Deva. Sarah yakin, Mbak pasti bisa." Aku menaruh bawang yang sudah selesai dikupas. Kugenggam kedua tangan Mbak Neni untuk menguatkannya."Kamu, kenapa masih baik sama Mbak, sih? Padahal selama ini, Mbak selalu jahatin kamu. Sebelum kamu menikah, dan kita tinggal berdekatan, bahkan Mbak nggak pernah sekalipin berbuat baik sama kamu. Apapun yang kamu mau, semuanya pasti Mbak ambil. Kalaupun kamu nggak salah, Mbak selalu mengadu pada Nenek agar menyalahkanmu. Mulut ini juga, selalu berkata buruk tentang Ibumu. Kenapa sekarang kamu nggak membalas semua
Aku memiringkan senyum, mengejek wanita di hadapanku ini."Pergilah, dan jangan pernah kembali. Aku bisa mengusir kalian jika nekat datang ke rumah ini. Urus suamimu, dan jangan meminta bantuan kami. Aku tidak akan pernah memberikannya, meski kau menangis darah.""Dasar anak Durhaka! Tunggu saja Karma yang akan datang padamu, karena tak mau membantu orang tua yang sedang kesusahan. Kudoakan, hidupmu akan menderita selamanya!" kutukknya, dan tidak membuatku takut."Jangan lupa, Bu. Semua yang terjadi padamu saat ini, adalah Karma karena Ibu dan Bapak telah menelantarkanku selama bertahun-tahun. Jadi, jangan bicara soal Karma di sini. Karena kalianlah, yang sedang mendapatkan Karma atas perbuatan kalian." Aku tersenyum sinis pada Ibu.Wanita itu tak lagi berkata-kata. Dia bangkit, lalu pergi tanpa mengucap salam.Aku juga berdiri, dan mata ini tetap mengawasinya."Cuuiihh!" Dia meludah, saat kepalanya berbalik men