Ucapan Nenek sungguh sangat mengiris hatiku. Bulir-bulir bening jatuh mengenai wajahku. Saat ini aku sudah berada di kamar. Setelah ucapan Nenek yang menyakitkan itu terlontar dari bibirnya, aku langsung berlari ke kamar dan mengurung diri. Nenek hanya mencibirku dan mengatakan aku cengeng.
Aku tau jika selama ini aku tidak diinginkan oleh Nenek. Tapi, kenapa Nenek tega mengatakan itu. Apakah semua yang kulakukan selama ini tidak pernah berarti di mata Nenek?
Aku sudah berusaha untuk tidak menyusahkan Nenek. Sejak usiaku sepuluh tahun, aku sudah ikut tetangga bekerja apa saja di kebunnya. Dari mulai mengutip singkong, mengutip kacang, dan apapun itu yang bisa menghasilkan uang untuk bisa membeli keperluan sekolahku.
Sedikitpun, aku tidak pernah meminta Nenek untuk membelikan buku, walau hanya satu lembar saja. Aku tahu diri. Aku sudah tidak diinginkan oleh Bapakku, dan hanya nenek yang mau menerimaku. Aku sudah sangat bersyukur dan selalu berusaha untuk tidak menyusahkannya.
Tapi, ternyata semua masih sama saja. Aku hanya dianggap beban.
Saat sudah lulus SMA, aku bekerja di kebun karet milik Nenek. Semua hasilnya aku serahkan pada Nenek dan aku tidak memintanya sedikitpun. Aku juga masih bekerja di warung sembako setelah selesai menyadap karet. Uang gajinya juga masih kuserahkan pada Nenek. Aku hanya mengambil seperlunya saja. Hanya jika ramadhan tiba, semua uang gajiku kupegang sendiri untuk membeli pakaian. Itu juga masih harus membelikan pakaian Nenek juga.
Aku sudah berusaha semandiri itu. Tapi, kenapa Nenek masih menganggapku beban?
Mungkin, aku memang harus pergi dari rumah ini. Jika menurut Nenek baktiku yang terakhir adalah menikah dengan lelaki pilihannya. Maka aku akan menikah saja. Setelah itu, aku tidak akan lagi mengganggu kehidupannya.
****
"Sarah, lekaslah mandi. Sebentar lagi calon suamimu datang," ucap Bude Wati mengambil alih pisau yang kupegang dan melanjutkan pekerjaanku.
Hari ini, setelah tiga hari Nenek mengatakan jika ingin menjodohkan cucunya, lelaki itu akan datang bersama keluarganya. Bukan untuk lamaran. Tapi, hanya untuk saling mengenal saja.
Mbak Neni benar-benar menolak mentah-mentah lelaki itu. Jadi, sebagai gantinya. Akulah yang harus menerima perjodohan ini.
"Pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Nenek, saat aku hendak masuk ke kamar mandi.
"Belum, Nek. Tadi diambil Bude Wati. Katanya, aku diminta mandi," jawabku.
"Halah. Ngapain mandi. Mau mandi atau enggak, wajah kamu tetap gitu aja, nggak akan berubah!" ketus Mbak Neni yang sudah cantik dan rapih dengan pakaian dan make upnya.
Aku hanya bisa menghela napas. Jika menjawab omongannya, pasti Nenek marah padaku. Jadi, lebih baik aku diam saja.
"Sudah cepat sana mandi! Ngapan lagi pakai ngelamun di situ!" seru Nenek dan membuatku menoleh padanya.
Aku sedikit membungkukkan badan dan melewatinya menuju kamar mandi.
Tak butuh waktu lama, aku segera menyelesaikan acara mandiku. Setelah itu, aku berganti pakaian yang menurutku masih bagus dan warnanya belum memudar.
Mau bagaimana lagi. Semua pakaianku tidak ada yang bagus. Aku hanya membeli pakaian bagus jika hanya lebaran tiba saja.
"Sarah, cepatlah. Calon mertuamu sudah sampai itu. Kamu dandan seperti apapun, hasilnya tetap gitu-gitu saja!" Mbak Neni menggedor pintu kamarku seraya berteriak, tidak sabaran.
"Iya, Mbak. Aku udah selesai, kok," sahutku setelah memoleskan lipgloss pada bibir keringku.
Aku keluar dan berjalan bersama Mbak Neni. Kami berdua menuju ruang tamu di mana para tamu sudah duduk di sana.
Aku menyapukan pandangan ke para tamu. Lelaki mana yang akan dijodohkan denganku? Di sana hanya ada dua lelaki. Dan semua wajahnya tampak sudah berumur. Apakah usia tiga puluh dua tahun sudah setua itu?
Ya Tuhan. Aku pikir, tidak setua itu. Apakah aku harus melarikan diri saja, saat pernikahan nanti?
Bahkan, dari keduanya lebih cocok jadi bapakku ketimbang suamiku. Apakah dia miliki penyakit penuaan dini?
Aaiihh, pikiranku. sudah berkecamuk tidak karuan.
"Duduklah, di sini," ucap Nenek, seraya menepuk sofa kosong di sampingnya.
Mbak Neni langsung menjatuhkan b* kongnya di sebelah Nenek. Dan aku duduk di sebelah Mbak Neni.
"Mereka berdua ini, cucuku," ucap Nenek, diiringi suara tawa renyahnya.
Wanita di depanku juga tertawa dan tersenyum mentap kami bergantian.
"Cantik, cantik sekali cucu Mbak Menik," ucap wanita yang kutaksir usianya lebih muda jika di bandingkan Nenek.
Wanita itu cantik dan anggun di usianya yang tak lagi muda. Kulitnya juga putih dan bersih bila dibandingkan denganku yang lumayan gelap karena sering menyadap karet di kebun.
"Wah, kamu itu, Dek Sari. Bisa saja memujinya." Nenek kembali tertawa, ramah.
"Jadi, apakah dua-duanya mau jadi mantu saya?" tanya wanita yang dipanggil Nenek dengan sebutan Sari, itu.
"Ah, tidak dong, Bu. Saya tidak mau. Anak Ibu, bukan level saya. Kalau petani seperti anak Ibu, cocoknya disandingkan dengan adik sepupu saya ini." Mbak. Neni memegang pundakku dan sedikit mendorongnya ke depan.
"Dia kerjanya di kebun, pendidikan juga cuma tamat SMA. Nah, kalau saya ini lulusan kebidanan. Jadi, yang cocok menjadi suami saya adalah Polisi, tentara, PNS, Anggota DPR, ya, pokoknya yang setara lah." Mbak. Neni tersenyum dipaksakan sambil mengibaskan tangannya.
Wajah Bu Sari langsung berubah. Ada guratan ketidaksukaan saat melihat tingkah Mbak Neni. Mungkin ia tersinggung anaknnya direndahkan seperti itu.
Kedua lelaki di samping Bu Sari juga sudah terlihat sedikit tidak bersahabat.
"Neni!" tegur Nenek, menyenggol pelan pundak Mbak. Neni.
"Maaf, ya, Dek Sari. Cucu saya ini, kalau ngomong suka ceplas-ceplos." Nenek menatap Bu Sari tak enak.
Wanita itu berusaha tersenyum meski dipaksakan.
"Bu, Pak, silahkan diminum dulu teh-nya." Aku mencoba mencairkan suasana dengan meminta mereka meminum teh yang sudah disuguhkan.
Bu Sari menatapku. Ia kemudian mengangguk dan tersenyum padaku.
Aku juga membalasnya dengan senyuman.
"Dia, yang akan saya jodohkan dengan anakmu, Dek Sari," ucap Nenek seraya menunjukku.
"Ah, iya, Mbak Menik. Dia juga cantik dan sederhana." Bu Sari kembali menatapku dengan senyuman di wajahnya.
"Siapa nama kamu, Nak?" tanya Bu Sari saat pandangan kami bertemu.
"Sarah, Bu," jawabku tak lupa mengukir senyum.
"Kamu memang cocok jadi menantu saya." Bu Sari menyeruput tehnya lalu ia letakkan kembali ke meja.
Aku mencoba memberanikan diri melihat ke arah samping Bu Sari, untuk meyakinkan diri bahwa salah satu dari mereka adalah calon suamiku. Tapi ternyata, aku tetap sedikit bergidik membayangkannya.
"Nak Sarah, kamu jangan berpikir salah satu dari mereka adalah calon suamimu. Anak ibu hari ini tidak ikut karena masih sibuk dengan pekerjaannya."
Seperti bisa membaca isi hatiku, Bu Sari menjelaskan apa yang sudah memjadi pertanyaanku sedari tadi. Syukurlah jika bukan mereka.
Wanita itu tampak tertawa dan diikuti kedua lelaki di sampingnya.
"Kamu belum tau, ya, siapa mereka? Jadi, Bapak yang di sebelah sana, adalah supir keluarga kami. Dan Bapak ini, adalah adiknya Ibu," jelasnya seraya menunjuk kedua lelaki itu dengan sopan.
"Yang mau jadi suami siapa, yang dibawa siapa? Emangnya, sesibuk apa sih petani itu? Palingan juga kerjanya cuma nyangkul doang. Masa iya, nggak ada waktu barang sebentar," ucap mbak Neni ketus.
"Karena Ibu nggak tau seberapa ukuran jarimu, hari ini kita ke toko emas, ya," ucap Bu Sari yang sudah datang ke rumah Nenek pagi-pagi sekali. Bagaimana tidak pagi-pagi sekali. Ini baru pukul delapan pagi. Dan Bu Sari sudah datang bersama supirnya.Sudah dua minggu sejak Bu Sari pertama kali berkunjung ke rumah Nenek. Aku pikir, perjodohan ini dibatalkan. Karena, setelah ucapan Mbak Neni yang terkesan merendahkan. Bu Sari tak lama memutuskan untuk pulang. Dan sejak saat itu, tidak ada lagi kabar dari mereka tentang perjodohan ini. Tapi ternyata semua tetap berjalan sesuai rencana mereka. "Kok malah ngelamun. Ayo, kita pergi sekarang," ucap Bu Sari lagi seraya memegang pundakku dan mengguncangkannya pelan. "Tapi, Bu, saya ganti baju dulu, ya," tawarku, melihat pakaian yang kupakai sungguh sangat memprihatinkan. Warnanya sudah memudar. Aku sengaja memakai pakaian ini karena hendak pergi kerja. Tak kusangka, ternyata harus batal karena kedatangan Bu Sari. Tadi, ia sempat ngobrol sebe
"Mbak, awas air liurnya jatuh," bisikku saat melihat air yang hampir terjatuh di sudut bibir Mbak Neni. Gadis berkulit putih itu segera tersadar. Ia menutup mulutnya lalu membenarkan posisi berdirinya. "Cuma segitu doang. Nanti, nih, ya. Aku akan minta yang lebih banyak sama calon suamiku. Lagian, dapat dari mana uang sebanyak itu, Bu? Awas saja nanti kalau setelah menikah sepupu saya ini sibuk bekerja, dan merepotkan Nenek saya. Nggak sudi kami menerima dia lagi." Mbak Neni berbicara dengan sangat ketus pada Bu Sari. Tidak sopan sekali dia. Padahal dia lebih terpelajar dibandingkan aku. "Kamu tenang saja. Saya tidak akan membiarkan menantu saya ini, kembali merepotkan kalian. Saat dia sudah menikah dengan anak saya. Maka tanggung jawab dia sudah beralih pada anak saya dan juga saya. Asal jangan kebalik saja nanti. Kau yang malah merepotkan menantu saya," ucapan Bu Sari langsung memukul telak Mbak Neni. Dia melengos tak suka seraya membuang pandang. "Ini, Bu. Terimakasih sudah be
"Ayo, kita cari makanan. Ibu laper, nih," ajak Ibu seraya menggandeng lenganku. Bu Sari tak lagi mempedulikan kakak sepupuku itu. Kasihan juga Mbak Neni. Pasti dia malu kalau sampai tidak jadi membeli semua pakaian yang sudah dipilih olehnya. Dia itu paling pantang kalau sudah memilih sesuatu tapi tidak dibelinya. Apa yang sudah ditunjuk, biasanya selalu dibayar olehnya. "Bu, jangan begitu dong. Ini belanjaanku gimana?" teriak Mbak Neni yang kebingungan. Aku bisa melihat dia bolak-balik melihat ke arah bajunya dan ke arah kami. Dia pasti sangat menginginkan pakaian itu. Antara ingin tertawa dan juga sedih melihat Mbak Neni seperti itu. "Kalau kamu nggak punya uang, ya, tinggalkan saja! Gitu aja kok repot," sahut Ibu tak mau ambil pusing dengan urusan Mbak Neni.Duh, gimana ya? Aku nggak mungkin meminta calon mertuaku ini untuk membayarnya. Belanjaan untukku saja sudah sebanyak itu. Apalagi kalau ditambah barang Mbak Neni. Mau habis berapa lagi. "Ayo, Nak. Sudah, biarkan saja Mba
Pov Neni. "Ini sih bukan kainnya yang jelek. Tapi badan Mbak Neni saja yang kayak Singa laut," gumam Sarah dan masih dapat kudengar. "Apa kamu bilang? Kamu ngatain aku kayak singa laut?" bentakku tak terima dibilang Singa laut. Enak saja dia mengataiku singa laut. Tubuh indah seperti Meghan Trainor begini kok dikatain Singa laut. Huuuhh, dasar Lisa bungkring! Body sepertiku ini yang banyak dicari kaum laki-laki. Tidak seperti dia, hanya lung-lit-lut. Iya, tulang, kulit, kentut. "Ehh, nggak kok, Mbak. Ini bajunya ada gambar Singa laut-nya," jawabnya gelagapangelagapan sambil nyengir tidak merasa bersalah. "Mana gambar singa lautnya? Kamu pikir Mbakmu ini rabun? Itu tuh, gambar Gajah terbang!" sungutku dan menatapnya tajam. Dia pikir aku bodoh. Baju itu semuanya sudah kucoba, dan tak ada gambar singa laut seperti ucapannya. Dia pasti memang berniat mengataiku."Eh, iya. Aku pikir gambar Singa, Mbak." Sarah terlihat salah tingkah, sambil menggaruk kepalanya yang berkutu. Entahlah
Loh, loh, loh. Kok jadi dia yang mau minjam uang sama aku? Bukannya selama ini dia sudah banyak uang? Duh, aku kok jadi galau, ya? Apa jangan-jangan dia mau menipuku?"Maaf, Mas. Adek, tidak punya uang sebanyak itu. Mas, kan, tau sendiri kalau selama ini, Adek belum kerja." Aku mencoba mencari alasan. Ya, walaupun pada kenyataannya aku memang pengangguran dan tidak punya uang sebanyak itu. Tapi, jika meminta pada Nenek, pasti akan diusahakan olehnya. "Hmmm, gimana ini, ya, Dek. Padahal, semua ini Mas lakukan juga untuk Adek. Agar nanti, Adek bisa bilang pada teman-teman kalau calon suami adek, adalah tentara yang sudah berpangkat." Mas Fajar terdengar menghembuskan napas panjang. "Selama ini, sebelum mengenal Dek Neni, Mas juga sudah sering mendapatkan tawaran ini. Tapi selalu Mas tolak. Toh, Mas saat itu belum punya calon istri. Untuk apa berpangkat kalau calon istri saja belum punya. Dan sekarang, setelah mengenal Dek Neni, Mas jadi ingin membuat Dek Neni bahagia dengan membangg
Sudah capek menjelaskan, Nenek tetap saja ngeyel dan tidak setuju dengan rencanaku. Padahal, semua ini juga untuk kami juga. "Ya, sudah. Kalau itu memang maumu, Nenek akan turuti. Tapi, bagaimana dengan pembayaran untuk menebusnya nanti? Apakah calon suamimu itu yang akan membayarnya?" tanya Nenek, terlihat masih khawatir dengan keputusanku. "Ya, iyalah, Nek. Kalau pun tidak, ya, sudah ikhlaskan saja. Anggap saja itu sebagai warisan untukku.""Tapi, Nduk. Nenek masih butuh kebun itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.""Nek, kebun itu cuma digadaikan. Nenek masih bisa menyadapnya dan memetik hasilnya.""Iya, Nenek tau. Tapi, kalau kebun itu tidak ditebus, maka kebun itu akan disita lalu dijual. Terus, bagaimana dengan Nenek.""Jangan khawatir, Nek. Masih ada Sarah. Dia juga kan bekerja di grosir. Jadi, masih ada penghasilan dari dia. Pokoknya, Nenek harus membantuku. Jangan sampai nggak jadi!" sungutku, seraya memajukan bibir. "Hmm, iya. Terserah kamu saja deh." Nenek terl
Pov Sarah. Aku berguling ke kanan dan ke kiri. Sejak tadi, aku sudah mencoba untuk tidur. Namun, mataku rasanya enggan terpejam. Apakah ini karena efek dari perkataan Nenek siang tadi?Katanya, besok Bu Sari dan anak lelakinya yang akan di jodohkan denganku datang untuk melamar secara resmi.Aku masih takut untuk bertemu lelaki itu. Bagaimana jika lelaki itu tidak suka denganku? Aku yang hitam dekil ini, apa bisa menarik perhatian laki-laki? Selama ini, lelaki yang dekat denganku, hanya ingin berteman saja. Tidak ada yang pernah mau menjadi kekasihku. Aku tidak tahu apa yang salah dariku. Tapi, memang seperti itulah kenyataannya. Ah, aku jadi pusing sendiri. Aku tahu Bu Sari itu baik banget. Tapi, apakah anaknya bisa sebaik Bu Sari? Hmmm. Semakin dipikir, kenapa semakin membuat kepala ini nyut-nyutan. Lebih baik aku harus benar-benar tidur. ***"Sarah, apa kamu nggak punya alat make up? Dandananmu itu loh, terlalu sederhana! Wajah kamu juga terlihat kusam." Bi Nining yang baru saj
Kalau lelaki yang akan dijodohkan denganku setampan itu, apakah dia mau memiliki istri biasa saja seperti diriku? Belum juga apa-apa, aku sudah insecure duluan. "Ayo, Rah, kita duduk di sana." Bi Nining membawaku duduk di pojok ruangan. Tak lama, para tamu juga masuk dibarengi dengan Nenek dan juga Bude Arum, ibunya Mbak Neni.Sementara Bapak, lelaki yang akan menjadi waliku jika menikah nanti, tak kulihat di mana keberadaannya. Apakah bapak tidak datang? Apakah aku tidak penting dalam hidupnya? Sampai-sampai, di acara sepenting ini saja, ia tidak mau datang. Bu Sari dan lelaki yang tadi berjalan bersamanya, kini sudah duduk tepat di hadapanku dengan jarak yang lumayan jauh. Wanita paruh baya itu, tersenyum saat pandangannya bertemu denganku. Tak seperti ibunya, lelaki di sampingnya malah sibuk dengan ponselnya. Dia sama sekali tidak terlihat antusias dengan acara ini."Maaf, acaranya sudah dimulai, ya?" Mbak Neni yang tadi sempat menghilang, kini dia datang dengan dandanan yang