Beranda / Fantasi / Diam-Diam Menjadi Hunter Terkuat / 2. Namanya Adalah Orion Black

Share

2. Namanya Adalah Orion Black

Orion tidak pernah meragukan kualitas barang yang dijual pada sistem mall. Semua barang yang ada di sana memiliki kualitas bagus dan sangat efektif untuk digunakan, seperti ramuan penyembuh yang Orion beli barusan.

Setelah dia meminum dua botol ramuan penyembuh, tubuhnya yang terluka parah kini sudah kembali sembuh, bahkan luka menganga yang membuat organ dalam serta tulangnya kelihatan pun menutup sempurna seperti tidak ada luka di sana sebelumnya. Hanya baju compang-camping serta noda darah sisa lukanya saja yang memperlihatkan kalau Orion barusan terluka parah.

Orion melemparkan dua botol kaca bekas ramuan penyembuh ke arah manusia serigala yang berjarak sepuluh meter dari pohon tempatnya berada. Dua botol itu menukik tajam, lalu mendarat sempurna pada kepala manusia serigala itu. Ketika dua botol kaca itu pecah, sisa pecahannya tidak berpengaruh terlalu banyak pada si manusia serigala, karena pada dasarnya manusia serigala memiliki rambut tebal yang menutupi sekujur tubuh mereka, dan di bawah rambut juga terdapat kulit yang tebal.

“GAAAAKKKHHHH!!!” Raungan kesakitan yang terdengar begitu keras keluar dari mulut besar si manusia serigala yang kepalanya dilempari botol kaca oleh Orion. Walaupun kulit manusia serigala itu tebal, namun ada beberapa bagian tertentu yang mudah terluka karena tidak dilindungi oleh kulit tebal tersebut.

Salah satunya adalah mata si manusia serigala yang terkena pecahan kaca dari botol yang Orion lempar padanya.

Si manusia serigala mengibaskan kepalanya, mencoba untuk membuang sisa pecahan kaca yang tersangkut di rambut tebalnya. Aliran darah warna merah turun dari bagian bawah kedua mata si manusia serigala yang kini tidak bisa dibuka. Monster itu masih meraung kesakitan. Suaranya yang keras semakin menarik perhatian monster dari kawanan manusia serigala yang ada di sana. Mereka datang mendekat.

Ketika manusia serigala masih terus mencoba mengibaskan pecahan kaca dari kepala dan matanya, Orion yang sedari tadi mengincarnya pun mulai bergerak. Dengan tangan kanan yang memegang belati perak, ia segera melesat cepat ke arah monster itu lalu memberikan beberapa tebasan pada tubuhnya dengan keras. Akibat tebasan itu, tidak hanya kepala manusia serigala yang terpisah dari tubuhnya, kedua tangan dan tubuh bagian bawahnya juga ikut terpisah.

Orion yang mendarat tidak jauh dari manusia serigala yang termutilasi itu tidak langsung berhenti di sana saja. Pemuda itu kembali bergerak cepat, Orion mengeksekusi keenam manusia serigala yang datang mendekat ke arahnya.

Pertarungan itu tidak berlangsung lama. Dengan kekuatan dan kecepatan yang Orion miliki, ia berhasil mengeksekusi semua manusia serigala yang tersisa dalam waktu kurang dari lima menit lamanya. Saat tubuh manusia serigala terakhir tumbang, Orion yang keluar sebagai pemenang terlihat seperti korban yang menyedihkan karena dari atas sampai bawah dirinya bersimbah darah. Bukan miliknya, namun milik manusia serigala yang ia bantai.

Setelah menyimpan belati perak ke ruang portabel, Orion mengusap wajah untuk membersihkan ceceran darah dari sana. Ekspresinya begitu tenang. Tidak lama kemudian, pemuda itu mengedarkan kedua matanya ke segala arah. Sepanjang mata memandang, kecuali dirinya di sana hanya ada tumpukan mayat —manusia dan monster bernama manusia serigala— yang terlihat.

“Tempat macam apa ini?” tanyanya pada diri sendiri. Orion mengambil beberapa lembar kertas tisu dari ruang portabel dan menggunakannya untuk mengelap kedua tangannya.

Orion menengadahkan kepala ke atas, ia menatap bulan purnama yang berpendar kemerahan di langit malam. Warna bulan yang mengingatkan Orion akan darah tidak membuatnya terkejut, karena pada dasarnya bulan di Paradis sering berwarna merah darah seperti ini. Meskipun Orion melihat bulan yang sedikit familier baginya, ia tidak menganggap tempat di mana ia berada saat ini sebagai Paradis yang ia kenal selama ratusan tahun.

Tempat ini jauh lebih damai bila dibandingkan dengan Paradis yang penuh akan horor, seratus delapan puluh derajat berbeda.

“Hah… hah… hah…”

Dalam kesunyian malam di tempat itu, suara lirih dari napas yang terengah-engah terdengar. Suara itu menarik perhatian Orion. Karena merasa penasaran, Orion memutuskan untuk berjalan ke arah sumber suara yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempatnya berada. Pemuda itu berjalan melewati tumpukan mayat, sepatunya beberapa kali menginjak genangan darah yang terbentuk di atas tanah. Ia menghiraukannya.

Setibanya di sana, Orion melihat sebuah tangan menyembul ke atas di antara tumpukan mayat setinggi hampir satu meter. Tangan itu bergetar, mencoba menggapai apapun untuk membantu si empunya keluar dari bawah sana.

Orion memperhatikan usaha yang si pemilik tangan lakukan dalam diam. Setelah tiga menit berlalu dan si pemilik tangan belum berhasil keluar, Orion menghela napas lelah, dirinya merasa capek sendiri melihat usaha yang tidak membuahkan hasil tersebut. Ia menghampiri si pemilik tangan dan membantunya menyingkirkan beberapa mayat yang tertumpuk di sana. Tidak berselang lama setelah itu, Orion berhasil melihat wujud dari si pemilik tangan yang rupanya merupakan seorang pemuda berusia dua puluhan tahun. Pemuda itu terlihat menyedihkan sekali dengan tubuh yang dipenuhi luka, bahkan warna awal pakaiannya tidak bisa diidentifikasi lagi karena warna gelap darah yang membasahinya.

“Ahh… terima kasih telah menolongku,” ujar si pemuda. Suaranya parau dan terdengar tidak mengenakkan, namun dengan senyuman lebar yang bertengger di bibirnya itu membuat siapapun yang melihatnya merasa iba.

Si pemilik tangan benar-benar terlihat seperti korban yang selamat dari kejadian tragis. Namun, mengingat tumpukan mayat yang tercecer di mana-mana di tempat itu, rasanya tidak ada yang salah dengan menyebutnya sebagai kejadian tragis.

Setelah bersusah payah bangkit dari posisinya yang —tadinya— terhimpit oleh banyak mayat di bawah sana, si pemuda itu baru bisa melihat sosok Orion. Tiba-tiba saja sepasang mata pemuda itu terbelalak lebar, kemudian dia menelan ludah seperti tengah menelan ucapan yang barusan ingin dikatakannya pada Orion.

“Kau… Orion Black?” Si pemuda yang terlihat kesusahan menelan perkataannya itu kini kembali bersuara. Dia terdengar ragu, seolah-olah dia tidak yakin kalau orang yang menolongnya bernama Orion Black.

Orion mengangkat satu alisnya ke atas. Ekspresi wajahnya tidak mengucapkan apa yang dirasakannya. Bibir pemuda itu juga mengatup pelan, membentuk satu garis datar. Dia mirip seperti sebuah buku tertutup yang diselimuti oleh tabir misteri.

Orion Black? Apakah itu identitas sebenarnya dari tubuh yang Orion gunakan?

Kelihatannya pemuda itu mengenal si pemilik tubuh asli, Orion menyimpulkannya dalam diam.

“Kau mengenalku?” tanya Orion tidak lama kemudian.

Pemuda itu mengangguk. “Yeah, bisa dikatakan begitu. Di SMA Vista tidak ada yang tidak mengenal siapa dirimu, Orion, bahkan petugas kebersihan yang bekerja di sekolah pun tahu dirimu.”

Mendengar pengakuan si pemuda, Orion menyimpulkan kalau si pemilik tubuh yang digunakannya adalah sosok siswa yang populer di sekolahnya. Walaupun Orion tidak mendapatkan ingatan asli dari tubuh yang digunakannya, kini dia tahu kalau namanya adalah Orion Black. Setidaknya nama yang dimiliki oleh tubuh ini masih sama dengan dirinya, ungkap Orion dalam hati.

“Aku tidak mengetahui siapa namamu,” tutur Orion dengan jujur.

Si pemuda meringis kecil, setengah merasa kagum dan setengahnya lagi karena tengah menahan sakit.

“Itu wajar kau tidak mengenalku. Selain karena kita tidak sekelas, kau yang merupakan siswa terpandai di sekolah dan merupakan anak emas para guru pasti tidak akan tahu diriku yang merupakan siswa urakan di kelas sebelah,” ungkap si pemuda. Dia mengatakannya dengan penuh canda untuk menghiraukan rasa sakit yang tengah ditahannya.

Selain namanya Orion Black, si pemilik tubuh yang Orion gunakan tersebut juga merupakan siswa terpandai di sekolah. Dan pemuda yang barusan dia tolong dari tumpukan mayat ini merupakan teman satu sekolahnya.

“Hadrian Welsh, kau bisa memanggilku Harry seperti yang lainnya. Oh ya… apakah kau orang yang membunuh manusia serigala di tempat ini?” tanya si pemuda —Harry— kemudian.

Harry mengedarkan pandangannya ke sekeliling, lalu bergidik ngeri setelah melihat banyaknya mayat yang tergeletak di tempat itu. Tempat di mana mereka berada lebih mirip seperti kuburan masal. Karena banyaknya mayat yang berada di sana, aura yang menyelimuti tempat itu menjadi lebih suram dari biasanya. Walaupun Harry tidak merasakan temperatur di sana begitu dingin, namun reaksi psikologisnya sontak membuatnya menggigil dan takut.

“Uggh… perutku terasa mual, aku ingin muntah.” Sebelum Harry menyelesaikan kata-katanya, ia terlebih dahulu berlari —dengan langkah yang terseok-seok— menjauh dari Orion untuk menuju ke belakang sebuah pohon besar lalu memuntahkan semua isi perutnya.

Orion hanya mengembuskan napas kecil ketika melihat tingkah Harry. Tidak heran Harry merasa mual karena reaksi psikologis yang dimilikinya, apabila Orion merupakan orang biasa dan berdiri di tengah tumpukan mayat —dan akan menjadi salah satunya apabila kurang beruntung— maka ia akan memiliki reaksi yang sama seperti Harry.

Ia mengalihkan pandangannya dari tempat Harry berada. Bulan besar yang ada di atas sana terasa lebih menarik perhatiannya. Bulan itu besar dan berwarna merah. Sinarnya juga terasa lembut apabila kau menghiraukan perasaan mencekam apabila terlalu lama memperhatikannya.

Perhatian Orion tertuju pada bulan merah di atas sana bukan karena keindahan yang dimiliki benda itu. Dia tertarik karena Orion merasakan sebuah energi yang begitu ia kenal berada pada bulan merah.

“Energi itu seperti energi yang pernah kurasakan di Paradis,” gumamnya pada diri sendiri.

Tidak sekali pun Orion mengalihkan perhatiannya dari bulan merah. Ia mengangkat tangan kanannya ke atas, lalu jemarinya membentuk gerakan kecil seperti akan meraih bulan merah di atas sana.

“Orion, apa yang kau lakukan?” Harry yang sudah merasa baikan setelah mengeluarkan isi perutnya pun beranjak dari belakang pohon. Dia menemukan Orion masih berdiri di tempat yang sama, namun tangan pemuda itu terangkat ke atas seperti ia ingin menyentuh atau menggapai sesuatu.

Tatapan penuh keraguan Harry lemparkan kepada Orion.

Walaupun Harry penuh dengan tanda tanya dan sesekali melemparkan pertanyaan itu kepada Orion, orang yang bersangkutan tidak sekali pun membalasnya. Perhatian Orion masih tertuju pada bulan purnama merah di atas sana. Sepasang mata emerald yang Orion miliki berkilat untuk sesaat, dia tidak berkedip, dan senyuman kecil yang hampir tidak terlihat mulai tersungging pada bibirnya.

Harry mengaku kalau dirinya merasa bingung dan penasaran, bahkan tidak jarang ia berpikir kalau otak Orion mulai rusak akibat membunuh manusia serigala yang berbahaya. Namun, keraguan yang Harry miliki berubah menjadi rasa penuh kejut. Kedua mata pemuda itu terbuka lebar dan mulutnya ternganga membentuk huruf O.

“Fuck!!” umpatan kecil pada akhirnya keluar dari mulut Harry.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status