Beranda / Romansa / Diam-Diam Menikmati / Bab 1 Kehilangan 

Share

Diam-Diam Menikmati
Diam-Diam Menikmati
Penulis: SILAN

Bab 1 Kehilangan 

Penulis: SILAN
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-15 12:28:40

Suasana pemberkatan pesta pernikahan tampak damai, beberapa tamu sudah hadir dan bersiap untuk menyaksikan pemberkatan pernikahan Christian Jacob Lawson. Ia adalah pria berusia dua puluh lima tahun, di usianya yang masih cukup muda, Jacob telah memiliki segalanya.

Berkat dukungan dari keluarga, Jacob telah mendapatkan kesuksesan yang begitu besar. Sebuah saham kekayaan dari sang kakek dan juga kekayaan dari ayahnya, Jacob mengendalikan semua itu dengan kecerdasannya sehingga membuatnya menjadi salah satu pria termuda yang masuk penghargaan orang terkaya dunia.

Dan hari ini, kebahagiaannya akan lengkap. Ia akan menikah dengan wanita yang sangat dicintainya, Anastasya. Wanita yang kini tengah mengandung anaknya, tentu adalah kebahagiaan yang Jacob nantikan.

Dengan senyum bahagia, Jacob menerima ucapan selamat dari sahabat-sahabatnya. "Selamat, Dude. Hari ini kau resmi menjadi pria beruntung," ucap seorang rekannya sambil menepuk bahunya.

"Terima kasih," Jacob menjawab, matanya berbinar. "Hari ini aku menikahi wanita impianku. Tak ada yang lebih membahagiakan dari itu."

Tak lama seorang gadis datang mendekat, Hazel, adik perempuannya yang cerewet tapi peduli, mendekat sambil menyentuh dasi Jacob. "Dasimu miring, kau harus terlihat sempurna," katanya sambil merapikannya.

Jacob tertawa kecil. "Aku gugup. Ini adalah hari terpenting dalam hidupku."

Hazel menepuk dadanya dengan iseng. "Tenanglah. Jangan buat masalah di hari bahagiamu."

Jacob mengangguk, kebahagiaannya hari ini membuat perasaannya berdebar debar. Sebentar lagi ia akan melihat Anastasya mengenakan gaun pernikahan dan datang padanya, membayangkannya saja berhasil membuat Jacob gugup setengah mati.

Namun, seiring waktu berlalu, kegelisahan Jacob mulai terlihat. Tatapannya terus tertuju ke arah pintu besar di ujung karpet merah. "Kenapa mereka belum datang? Bukankah seharusnya sudah dekat?" tanyanya sambil melirik arloji di pergelangan tangannya.

"Sabarlah," jawab Hazel, mencoba menenangkannya. "Mereka pasti sedang dalam perjalanan."

Saat sedang menantikan kedatangan mempelai wanita, Jacob dirangkul dengan akrab oleh Dustin, ayahnya. "Jadilah suami yang baik untuk istrimu, apalagi Anastasya sekarang sedang hamil bayimu."

Jacob mengangguk, senyum optimis menghiasi wajahnya. "Aku akan melakukan yang terbaik untuk mereka."

Tatapan Jacob kerap kali ke arah pintu besar menunggu pintu itu terbuka dan Anastasya berjalan dari sana. Debaran dada Jacob semakin kuat, karena pasti sebentar lagi wanita yang ia cintai akan tiba.

"Aku tidak pernah segugup ini." batinnya sambil berusaha mengendalikan diri, bersiap melihat kecantikan Anastasya dengan gaun pernikahannya.

Namun, ketegangan yang terselubung di udara memuncak saat pintu besar akhirnya terbuka. Tapi yang muncul bukanlah Anastasya dalam gaun putihnya, melainkan seorang pria dengan wajah pucat dan penuh kepanikan.

"Hei! Ini area sakral. Kau tahu ini pemberkatan pernikahan, bukan?" seru Hazel, marah.

Namun pria itu tak mempedulikan amarah Hazel. Nafasnya tersengal-sengal saat ia berkata, "Maaf... saya minta maaf, tapi mobil yang ditumpangi mempelai wanita mengalami kecelakaan dalam perjalanan kemari."

Kata-kata itu menggema seperti guntur di ruangan yang semula penuh kebahagiaan. Jacob berdiri terpaku, wajahnya berubah pucat seperti kain altar. Ia melangkah maju, mencengkram kerah pria itu dengan erat.

"Jangan bicara omong kosong! Kau mau merusak hari bahagiaku?!" bentaknya dengan mata yang membelalak marah.

"Saya tidak berbohong, Tuan," jawab pria itu gemetar.

Jacob melepaskan cengkeramannya dengan kasar dan segera berlari keluar. Langkahnya tergesa, pikirannya dipenuhi rasa takut yang mencekam. Seorang sahabatnya dengan sigap menawarkan mobil untuk menuju lokasi kecelakaan.

Hanya butuh waktu lima menit untuk sampai. Namun, apa yang dilihat Jacob di sana membuat dunianya runtuh seketika. Sebuah mobil mewah telah ringsek, kaca pecah berserakan, dan sirene ambulans yang terdengar dari kejauhan membuat hatinya semakin mencelos.

"Dimana penumpangnya?!" teriak Jacob pada salah satu petugas di lokasi.

"Mereka sudah dibawa ke rumah sakit, Tuan," jawabnya.

Tanpa membuang waktu, Jacob langsung menuju ke rumah sakit terdekat. Di sana, dengan langkah tergesa gesa ia mencari dimana ruangan Anastasya berada. Setiap langkahnya terasa berat, semoga saja ini tidak benar dan calon istri serta anaknya baik-baik saja.

Setelah mencari, akhirnya Jacob tiba di ruangan Anastasya berada. Namun, pemandangan di sana menghancurkan hatinya. Di depan kamar, kedua orang tua Anastasya menangis histeris.

Jacob membuka pintu dengan tangan bergetar, dan melihat tubuh Anastasya yang terbaring di ranjang, sudah tertutup kain putih. Gaun pernikahan yang indah kini berlumuran darah, menjadi saksi bisu tragedi yang merenggut nyawanya.

Jacob mendekat dengan tubuh lemas. Ia menarik kain yang menutupi wajah Anastasya, berharap ini semua hanya mimpi buruk. Namun, wajah tenang Anastasya yang telah pergi untuk selamanya membuat air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.

"Ini pasti mimpi," ia bergumam lirih, dengan sekuat tenaga berusaha menopangkan diri ke pinggiran tempat tidur.

Tangannya bergetar saat menyentuh wajah calon istrinya, "Kau bercanda, kan? Ini adalah hari bahagia kita, kamu pasti sedang mengujiku." gumam Jacob, suaranya bergetar seiring rasa sakit yang mulai menjalar ke hatinya.

"Anastasya, buka matamu. Kau sudah berjanji, kita akan membesarkan anak yang kau kandung bersamaku." tangis Jacob akhirnya pecah.

Di belakangnya, ibu Anastasya mendekati Jacob dan mengusap bahunya. "Jacob, Anastasya dan calon anak kalian ... sudah tiada." ucapnya dengan suara yang nyaris hilang.

"Tidak!" Jacob mengelak, "Ini pasti tidak benar, Anastasya tidak mungkin meninggalkanku begitu saja, dia membawa bayiku dan kami akan menikah hari ini."

Jacob mulai kehilangan kendali atas dirinya, tapi kenyataannya ia tak berhasil membangunkan calon istrinya yang sudah tidur sangat tenang. Tak lama pintu terbuka, keluarga Jacob datang menenangkannya yang histeris.

Hari ini harusnya menjadi kebahagiaan mereka, tapi semuanya hancur berantakan. Tidak ada pernikahan, Jacob justru dihadapkan oleh kabar duka di detik-detik pernikahan yang membahagiakan.

"Tidak, ini tidak benar. Anastasya tidak mungkin meninggalkanku dengan cara seperti ini," seru Jacob seiring ia menyaksikan kain yang tadi ia lemparkan kembali menutupi sekujur tubuh Anastasia.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Dewi Nomo
Suka sama navel ini
goodnovel comment avatar
SILAN
Yah mana saya tau huhuhu :(
goodnovel comment avatar
Fifi Tasya
ampuuuun dah ini calon istri Jacob nama anak saya loh kak silan... wkwkwkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 2 Hati yang luka

    Hari-hari setelah kepergian Anastasya adalah lautan sunyi yang menelan semangat hidup Jacob. Ia yang dulu dikenal penuh semangat, kini hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu. Wajahnya pucat, matanya tampak kosong, dan kata-katanya nyaris tak terdengar.Di taman belakang rumah, Jacob duduk di bangku kayu, memandang tanpa tujuan ke arah langit yang memancarkan warna senja.Hazel berdiri di ambang pintu, menatap Jacob dengan mata berkaca-kaca."Ayah," bisik Hazel, berbalik menatap Dustin. "Kita harus melakukan sesuatu. Lima hari ini Jacob hanya diam seperti itu."Dustin menggeleng pelan. "Biarkan dia, Hazel. Kehilangan seperti ini tak bisa disembuhkan dengan paksaan. Jacob perlu waktu untuk merelakannya.""Tapi, Ayah..." Hazel menggigit bibirnya, hatinya terlalu sakit melihat kakaknya yang biasanya menjadi tumpuan kekuatan keluarga kini rapuh seperti daun kering di tiupan angin.Tanpa memperdulikan larangan ayahnya, Hazel berjalan mendekati Jacob. Suara langkahnya mengusik keheningan,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 3 Gadis kecil

    Pulau pribadi yang berukuran begitu luas milik Dustin masih terawat dengan baik, beberapa penjaga dan pelayan di tugaskan di tempat tersebut hingga saat kedatangan Jacob.Jacob turun dari helikopter, langkahnya perlahan menyentuh tanah berumput yang lembut. Angin laut menerpa wajahnya, membawa aroma asin yang membangkitkan kenangan pahit di hatinya. Seorang pelayan menyambut dengan sopan, mengambil kopernya, dan memandu pria itu menuju kamar yang telah disiapkan.Jacob menatap mansion itu dari kejauhan. Bangunan megah dengan sentuhan kolonial klasik itu masih terawat sempurna, tetapi baginya, tempat ini menyimpan sesuatu yang kini hanya berupa bayangan.Seharusnya, ia datang ke sini bersama Anastasya. Menciptakan momen kebahagiaan. Tapi kenyataan berkata lain, wanita yang ia cintai telah pergi, meninggalkan kekosongan yang tak tergantikan.“Tuan, mari saya tunjukkan kamar Anda,” ucap pelayan, memecah lamunan Jacob.Tanpa sepatah kata, Jacob mengangguk dan mengikuti langkah pelayan men

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 4 Bukan teman biasa

    Pagi yang cerah menyambut Jacob, ia keluar menuju balkon dan berdiri disana menikmati pemandangan yang indah. Taman bunga tampak cantik, banyak bunga bermekaran di pertengahan musim semi.Keindahan ini masih saja belum mampu membuat hatinya bisa lega, sakit yang ia rasakan masih begitu besar hingga setiap kali ia menatap keindahan, pikirannya tertuju pada orang yang ia cintai.Sejenak Jacob memejamkan mata, tapi pendengarannya segera teralihkan oleh suara gadis yang tertawa. Saat ia membuka mata, tampak Luna sedang berlari mengejar kelinci.Jacob menatapnya dengan penuh perhatian. "Apakah ini rutinitas paginya?" pikirnya.Ia diam memperhatikan, Luna masih mengenakan dress tidurnya yang sama seperti kemarin. Dress berlengan panjang dan sebatas lutut berwarna putih. Gadis itu terlihat begitu menikmati hidupnya, dan di pulau tempat Jacob tinggal sekarang memang begitu banyak kelinci yang berkeliaran."Melihat kebahagiaannya yang berhasil membuatku iri, disisi lain aku juga kasihan padany

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 5 Tidak seperti yang dibayangkan

    Keesokan harinya, aktivitas Luna masih sama seperti hari sebelumnya. Saat Jacob keluar dari kamar ke arah balkon, ia akan langsung dihadapkan pemandangan Luna yang berlarian mengejar para kelinci.Wajahnya begitu riang saat dia berhasil mendapatkan kelinci yang dikejarnya, Luna akan menggendong dan mengusap kepala kelinci itu penuh kasih sayang sambil memberi sebuah wortel.“Berteman dengan gadis yang usianya sepuluh tahun lebih muda dariku… aneh juga rasanya,” gumamnya sambil menyandarkan tubuh ke pagar balkon. “Tapi kalau hidup di pulau ini tanpa teman, rasanya terlalu membosankan. Mungkin sudah waktunya aku mengajarkan pada gadis itu bahwa pendidikan itu sama pentingnya dengan bermain.”Sementara itu, Luna tidak sadar bahwa dia sering kali diperhatikan oleh Jacob. Ia terbiasa sendirian selama dua tahun tinggal di pulau itu, teman-temannya adalah para kelinci yang begitu banyak di pulau itu.Seekor kelinci remaja berada dalam dekapannya, ia mengusap bulu lembut kelinci itu sambil me

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 6. Menjadi guru

    Tak pernah terlintas di benak Jacob bahwa pelariannya ke pulau ini akan membawanya pada pengalaman baru, menjadi seorang guru privat bagi gadis berusia enam belas tahun. Niatnya semula sederhana, menjauh dari dunia yang penuh kenangan pahit setelah kehilangan kekasih tercinta. Namun, takdir memiliki rencana lain dan mempertemukannya pada Luna.“Salah lagi. Lakukan dengan cara yang lain!” suara Jacob menggema di ruangan, disertai dentuman keras meja yang dipukulnya. Luna tersentak, matanya melebar, nyalinya hampir ciut oleh ketegasan pria itu.Jacob memperhatikan Luna dengan cermat, lebih cermat dari biasanya. Selama dua puluh lima tahun hidupnya, baru kali ini ia bertemu seseorang yang dalam pandangannya, begitu sulit memahami hal-hal dasar. Perhitungan sederhana saja menjadi tantangan besar bagi Luna."Apa sebenarnya isi kepalamu ini?" gumamnya sambil menekan tongkat kayu sepanjang lima puluh sentimeter ke dahi Luna.Luna menatapnya polos, tanpa rasa bersalah. “Isi kepalaku ini tentu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 7 Sehari tanpa perdebatan

    Hari demi hari berlalu, namun bagi Jacob, waktu seolah berjalan di tempat. Mengajar Luna terasa seperti menghadapi tembok yang keras kepala. Gadis itu sepertinya lebih tertarik pada hal-hal lain daripada pelajaran yang ia berikan. Setiap kali mereka duduk bersama, Jacob mendapati dirinya di ambang kehilangan kewarasan."Luna! Ini sudah lima bulan sejak aku mengajarimu, tapi kenapa kau tetap saja tidak paham apa yang aku jelaskan?!" serunya sambil mengetukkan tongkat kayu kecil ke kening Luna. "Gunakan otakmu! Apa kau kira belajar itu hanya sekedar duduk-duduk manis?"Luna memanyunkan bibir, mengeluh seperti anak kecil yang dimarahi. "Anda selalu marah-marah. Apa tidak bisa mengajar dengan lebih lembut?"Jacob menggerutu, meletakkan tongkatnya dengan kasar di meja. "Lembut? Bagaimana aku bisa lembut kalau muridku sekeras batu dan seceroboh dirimu?!"Luna menunduk, memainkan jari-jarinya di atas buku. "Angka-angka ini sulit sekali," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Jacob menghela n

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 8. Menuju kedewasaan

    Tiga tahun kemudian.Pagi di pulau itu terasa damai seperti biasa, tapi di sebuah ruangan kecil dengan jendela terbuka, suara perdebatan sudah menjadi sarapan sehari-hari. Jacob dengan sikap santainya, duduk di kursi sambil memperhatikan Luna yang sibuk menulis di atas buku."Akhirnya, setelah bertahun-tahun otakmu menunjukkan perkembangan yang layak diapresiasi. Tidak sia-sia aku mengabdikan diriku sebagai guru privat selama tiga tahun belakangan," ujar Jacob dengan nada setengah menggoda.Luna berhenti menulis sejenak, menatap Jacob dengan tatapan yang nyaris membunuh, sebelum kembali sibuk dengan tugasnya. Meski kesal, ia tidak bisa menyangkal bahwa ucapan Jacob ada benarnya. Tak terasa, tiga tahun sudah berlalu dan kini Luna sudah berusia sembilan belas tahun.Tapi, gadis itu masih mempertahankan penampilannya dengan rambut pendek sebatas leher. Setiap kali rambutnya tampak sedikit panjang, Luna akan memotongnya."Aku sudah selesai," kata Luna, membuyarkan lamunan Jacob. Ia mendor

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 9 Mencari pengganti?

    Pagi itu, udara pulau terasa lebih sejuk dari biasanya. Luna masih berbaring malas di tempat tidur menikmati ketenangan pagi tanpa gangguan Jacob. Tapi ketenangan itu segera pecah oleh suara bising helikopter yang mendadak terdengar semakin mendekat.Ia melompat dari ranjang, mengenakan sandal buru-buru lalu berlari keluar. Di halaman mansion, angin kencang dari baling-baling helikopter membuat dedaunan dan debu beterbangan, memaksa Luna menutup wajahnya dengan tangan.Pandangannya tertuju ke arah Jacob, pria itu sempat menoleh ke arahnya sebelum terbang tinggi bersama helikopter yang di naikinya. Luna mendongak, melihat kendaraan udara itu perlahan menjauh ke udara."Aku tidak mengira, doaku semalam langsung dikabulkan hari ini." batinnya senang.Sementara itu, Jacob duduk tenang di dalam helikopter. Tatapannya kosong, melihat pemandangan laut yang terbentang luas. Tiga tahun ia menghabiskan waktu di pulau itu, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar.Sesampainya di New Jersey, Jacob langsu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19

Bab terbaru

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 173 Hal tidak diinginkan

    Beberapa hari berlalu, dan Luna masih setia merawat Nico yang masih terbaring di rumah sakit. Sikap keras kepalanya masih tidak luntur, kadang lelaki itu berniat untuk kabur dari rumah sakit, tapi selalu ketahuan oleh Luna.Hari ini, pagi bahkan belum lama menyapa, tapi Nico sudah duduk bersandar dengan wajah jenuh yang tak bisa ditutupi. “Bisakah kau segera membiarkan aku keluar dari rumah sakit?” keluhnya dengan nada malas.“Kau masih sakit, Nico,” jawab Luna tenang, sudah hafal alur pembicaraan ini.“Ini sudah hari keempat!” serunya, hampir seperti anak kecil yang protes karena tak dibelikan mainan. “Aku merasa seperti tahanan. Kalau kau benar-benar tidak mau membiarkanku keluar dari tempat ini, setidaknya bawakan komputerku. Banyak hal yang harus aku kerjakan.”Luna menahan tawa, lalu menggeleng pelan. “Apa kau yakin sudah sehat? Jangan sampai kau pingsan lagi hanya karena menatap layar terlalu lama.”Nico mendengus. “Kau pikir aku selemah itu?”Luna menaikkan satu alisnya, lalu t

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 172 Karena kau adikku

    "Ada denganmu?" tanya Jacob setibanya di rumah sakit. Wajahnya menegang, langkahnya tergesa, dan nafasnya masih belum stabil sejak menerima kabar bahwa Luna tengah berada di rumah sakit.Pikiran terburuk sempat terlintas di benaknya. Ia mengira sesuatu telah terjadi pada Luna, hingga akhirnya, ia mendapati perempuan itu berdiri di depan ruang perawatan dengan wajah lelah dengan sedikit kekhawatiran.“Bukan aku yang dirawat,” ucap Luna, mencoba tersenyum untuk meredakan kekhawatiran pria itu.Jacob akhirnya bisa bernafas lega, meski jantungnya masih berdetak cepat.“Jadi... siapa?”Luna menoleh ke arah ruang perawatan di belakangnya. “Nico.”Jacob mengerutkan alis. Ia tak mengira remaja keras kepala itu yang kini justru terbaring lemah di ranjang rumah sakit. "Ada apa dengan adikmu?"“Dia mengalami dehidrasi berat,” jelas Luna lirih. “Kondisinya drop karena sudah lima hari berturut-turut tak tidur. Di apartemennya aku menemukan kaleng-kaleng minuman energi berserakan, catatan kerja, fil

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 171 Persaudaraan

    Keesokan paginya, aroma roti panggang dan kopi hitam menyambut pagi yang tenang di rumah keluarga Dustin. Sarapan pagi dilakukan bersama di meja makan, suasananya santai dan akrab. Tawa kecil sesekali terdengar di antara obrolan ringan, menciptakan kehangatan yang jarang Luna rasakan selama bertahun-tahun.Sebelum berangkat kerja, Dustin seperti biasa tak lupa menunjukkan kemesraannya. Ia mencium kening Elsa dengan lembut, kemudian merangkul pinggang istrinya sambil berbisik sesuatu yang membuat Elsa terkekeh geli. Di ujung meja, Luna memperhatikan adegan itu dengan kagum, tak menyangka pria yang tampak menakutkan, tegas dan berwibawa, ternyata begitu hangat dan romantis terhadap istrinya.“Mereka memang selalu seperti itu,” bisik Jacob pelan sambil menyendok sarapan. Ia menyadari sorot mata Luna yang terpaku pada orang tuanya.Luna tersenyum malu, lalu menoleh ke arah Jacob. Namun begitu Jacob membalas tatapannya, Luna buru-buru mengalihkan pandangan, wajahnya memerah.Jacob mengangk

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 170  Sisi liarnya pun sama

    Usai makan malam yang hangat dan penuh tawa, mereka berpindah ke ruang keluarga. Sofa empuk, cahaya lampu yang temaram, dan secangkir teh hangat di tangan masing-masing menciptakan suasana santai yang jarang ditemukan Luna dalam kehidupannya yang penuh gejolak. Malam itu terasa berbeda, penuh kehangatan dan penerimaan yang diam-diam menyentuh hatinya."Jadi..." Elsa membuka percakapan sambil menatap Luna dengan senyum penasaran, "cukup mengejutkan ya, ternyata Tuan Calderon memiliki seorang putri. Kami semua tidak pernah menduganya."Luna tersenyum kaku, masih canggung setiap kali nama keluarga Calderon disebut. "Aku sendiri pun terkejut, terakhir kali aku melihat ayahku itu saat aku masih berusia delapan tahun. Wajahnya pun sudah samar di ingatan."Elsa mengangguk penuh simpati, sementara Dustin yang duduk bersebelahan dengan istrinya, mengalihkan pandangannya ke arah pasangan muda itu. Jacob dan Luna duduk berdampingan di sofa seberang, tampak serasi meski keduanya berusaha menyembun

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 169 Disambut baik 

    Pertanyaan Elsa begitu tiba-tiba, membuat Luna langsung terperanjat. “Hah… apa? Hamil?” ulangnya dengan ekspresi terkejut, alis terangkat dan suara nyaris melengking.Elsa justru menanggapinya dengan santai, bahkan dengan senyum menggoda yang seolah menyimpan seribu makna. “Benar. Aku hanya memastikan, Jacob itu anak paling keras kepala saat disuruh mengenalkan seorang wanita ke rumah ini. Tapi tiba-tiba saja, ia membawamu. Jadi aku sempat curiga, mungkin kau sedang mengandung cucuku, makanya ia berubah begitu drastis.”Luna tertawa kaku. Tangan refleks menyentuh perutnya, mengingat hasil pemeriksaan singkat saat mereka masih di kapal pesiar. Hasilnya… negatif. Ia tidak sedang hamil, dan mendengar dugaan Elsa barusan, rasanya jantungnya hampir lompat keluar.“Maaf sebelumnya… tapi aku tidak hamil,” jawabnya dengan suara pelan, nada bicaranya agak ragu-ragu, seolah takut mengecewakan.Elsa mengangguk pelan, masih dengan senyum yang tak luntur. “Tak perlu khawatir, sayang. Aku hanya bert

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 168 Pertemuan pertama

    Luna tak tahu kemana Jacob membawanya. Sejak mereka keluar dari rumah sakit, pria itu hanya diam, tapi ekspresi wajahnya yang penuh antusias dan senyum yang tak pernah hilang membuat Luna semakin penasaran. Mobil terus melaju, membelah jalanan kota, meninggalkan hiruk-pikuk dan menuju arah yang semakin asing baginya."Apa tujuan kita masih jauh?" tanya Luna, melirik Jacob dengan rasa ingin tahu yang tak bisa dibendung.Jacob hanya menoleh sekilas dan tersenyum, seperti menyimpan rahasia besar yang sebentar lagi akan terungkap. Namun ia tak mengucap sepatah kata pun.Hingga akhirnya, lebih dari dua jam perjalanan, Luna melihat mobil memasuki sebuah kawasan perumahan elit. Rumah-rumah mewah berjejer rapi, masing-masing dikelilingi taman luas dan pagar artistik. Mobil Jacob melambat, lalu berhenti di depan rumah paling ujung, halamannya paling luas, dengan taman belakang yang tampak hijau dan terawat dari samping.Jacob keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuknya. “Ayo,” katanya sambi

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 167 Mencoba untuk berdamai  

    Kekacauan masih berlanjut, berita semakin panas dan kabarnya Russel terancam bangkrut kalau semua masalah ini tak segera dia selesaikan. Semua hal yang sempat dia banggakan bisa hangus dalam semalam, dan kejadian sepuluh tahun lalu mungkin saja akan terulang dimana membuatnya nyaris menjadi gelandangan.Luna duduk di sofa, memeluk lututnya. Ia bukan pebisnis. Bahkan cara membaca laporan keuangan pun tak ia pahami. Tapi setiap hari, jemarinya tak henti menyegarkan laman berita, menyaksikan nilai saham Zenith yang terus merosot, perlahan namun pasti, seolah menarik harapannya ke dasar.Tiba-tiba, rasa dingin menyentuh pipinya. Luna terlonjak kecil, menoleh cepat. Hazel berdiri di sampingnya, menempelkan kaleng minuman dingin ke wajahnya sambil menyunggingkan senyum tipis yang nyaris pahit.“Ayahmu benar-benar sedang sekarat sekarang,” ucap Hazel, seolah menyampaikan berita duka, padahal nada suaranya terdengar nyaris biasa.Luna menggenggam kaleng itu, menatap Hazel lekat-lekat. “Apa ti

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 166 Menerima keadaan 

    Suasana terasa berbeda, ketika Luna membuka mata dengan kepala yang berdenyut, ia mendapati dirinya berada di sebuah kamar asing yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Barang-barang tidak terlalu banyak di dalam kamar tersebut, tapi jelas terlihat kalau kamar itu adalah milik seorang pria."Dimana aku?" gumamnya.Perlahan ia beranjak bangun dan duduk di tempat tidur, mencoba mengenali tempat tersebut, tapi tetap saja ia tidak tau kamar siapa yang ia tempati saat ini. Sementara, sebuah jam digital diatas meja nakas masih menunjukkan pukul enam pagi.Luna akhirnya keluar dari kamar dengan gerakan sangat pelan, ketika ia berada di luar, hal pertama yang menarik perhatiannya ada sosok orang menyebalkan yang kini tidur pulas di atas sofa.Tapi tidak, pria itu tidak lagi menyebalkan seperti sebelumnya. Luna berbalik, mengambil selimut yang sempat ia gunakan untuk menyelimuti tubuh Nico yang tidur di sofa dengan posisi tidak nyaman, tapi saat Luna baru selesai menyelimuti tubuh pria muda itu,

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 165 Kembali ke jalurnya

    "Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja!" suara Russel meledak di tengah ruangan, penuh nada frustasi dan ketidakpercayaan. "Bukankah Anda sendiri yang setuju untuk menjalin hubungan keluarga setelah pernikahan mereka?"Namun George Davis tetap tenang, seperti air yang tak terusik oleh angin. Ia menoleh, tatapannya tajam dan penuh penghakiman."Russel," ucapnya datar namun tegas, "kau sudah tahu sejak awal kalau kedatanganku kemari bukan untuk memberi restu, melainkan untuk mencabutnya. Tidak ada lagi alasan untuk melanjutkan hubungan ini. Semua sudah selesai."Kata-katanya jatuh seperti vonis. Tapi Russel masih mencoba merangkak dari puing-puing egonya yang mulai runtuh."Keputusan ini terlalu sepihak!" serunya lagi, suaranya meninggi. "Bukankah Anda yang berjanji akan membantu membantu perusahaanku? Kita bahkan membicarakan proyek mega bisnis bersama...""Tapi kau gagal!" potong George tajam, suaranya kini meninggi, menggema keras di ruangan yang penuh ketegangan. "Kau gagal, R

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status