Pagi yang cerah menyambut Jacob, ia keluar menuju balkon dan berdiri disana menikmati pemandangan yang indah. Taman bunga tampak cantik, banyak bunga bermekaran di pertengahan musim semi.
Keindahan ini masih saja belum mampu membuat hatinya bisa lega, sakit yang ia rasakan masih begitu besar hingga setiap kali ia menatap keindahan, pikirannya tertuju pada orang yang ia cintai.
Sejenak Jacob memejamkan mata, tapi pendengarannya segera teralihkan oleh suara gadis yang tertawa. Saat ia membuka mata, tampak Luna sedang berlari mengejar kelinci.
Jacob menatapnya dengan penuh perhatian. "Apakah ini rutinitas paginya?" pikirnya.
Ia diam memperhatikan, Luna masih mengenakan dress tidurnya yang sama seperti kemarin. Dress berlengan panjang dan sebatas lutut berwarna putih. Gadis itu terlihat begitu menikmati hidupnya, dan di pulau tempat Jacob tinggal sekarang memang begitu banyak kelinci yang berkeliaran.
"Melihat kebahagiaannya yang berhasil membuatku iri, disisi lain aku juga kasihan padanya, di pulau ini dia hanya bisa bermain dengan kelinci." gumam Jacob.
Setelah cukup lama memperhatikan Luna, ia pun turun menuju taman dan terus berjalan melewati jalan setapak hingga tiba di kebun apel. Buah apel sangat lebat di sana, dan berbagai jenis apel tertanam dengan baik.
Satu buah apel merah Jacob petik dan menjadikan buah itu sebagai sarapan paginya.
"Buah beri liar sudah mulai bisa dimakan, apa Tuan ingin saya mengambilnya?"
Jacob berbalik dan mendapati Luna berdiri di belakangnya, wajahnya dihiasi senyum polos. Jacob mengangkat alis, sedikit terkejut. Bukankah kemarin gadis ini takut padanya?
Ia menelan potongan apel di mulutnya sebelum menjawab. "Kau tidak takut padaku?" tanyanya.
Luna menggeleng kecil. "Ibu mengatakan kalau Tuan tidak berbahaya, jadi aku memutuskan untuk tidak takut lagi," jawabnya santai, merujuk pada salah satu pelayan di mansion yang ia panggil "ibu."
Jacob mengangguk pelan sambil menggigit apelnya lagi. "Siapkan wadah siang nanti. Aku ingin memetik buah beri langsung dari pohonnya. Kau bisa tunjukkan jalannya padaku."
Luna mengangguk antusias, lalu berlari pergi, meninggalkan Jacob yang diam sejenak sebelum melanjutkan sarapannya dengan buah apel segar yang ia petik dari pohonnya.
Saat matahari sudah tinggi, Luna berdiri di halaman belakang dengan sebuah keranjang kecil di tangannya. Ia tampak menunggu dengan sabar hingga akhirnya Jacob muncul, mengenakan pakaian santai, sebuah kaos polo dan celana sepanjang lutut.
"Tunjukkan tempatnya," perintah Jacob singkat.
Luna dengan patuh berjalan lebih dulu, tubuh kecilnya melangkah ringan di depan Jacob yang menjulang tinggi di belakangnya. Kontras tinggi mereka cukup mencolok, Jacob yang tegap dengan tinggi 185 sentimeter, dan Luna yang mungil, hanya sekitar 155 sentimeter. Dalam diam, Jacob sempat khawatir kalau gadis kecil ini akan tersesat di balik semak belukar pulau yang rimbun.
Tak lama, mereka tiba di sebuah area hutan kecil, di mana pohon-pohon beri tumbuh lebat dengan buah yang sudah matang. Luna segera memetik beri dengan cekatan, sementara Jacob memperhatikan sejenak sebelum mulai melakukan hal yang sama.
"Sudah berapa lama kau tinggal di pulau ini?" Jacob bertanya, mencoba memecah keheningan.
"Dua tahun," jawab Luna ringan, sambil terus memetik. "Ibu yang membawaku ke sini."
Jacob mengangguk, matanya tak lepas dari gadis itu. "Usiamu masih sangat muda. Apa kau tidak ingin bersekolah?"
Luna berhenti sejenak, lalu menggeleng dengan senyum tipis. "Aku tidak mau. Mereka tidak menyukaiku."
Meski Luna tersenyum, Jacob bisa menangkap ada ketakutan dalam matanya. Ia bisa menebak alasan di balik itu, kemungkinan besar Luna pernah menjadi korban perundungan. Jacob memilih untuk tidak mendesak lebih jauh, dan kembali sibuk memetik beri.
"Kau punya teman?" tanyanya lagi, mencoba menggali lebih banyak tentang gadis itu.
Luna kembali menggeleng, tetapi kali ini matanya berbinar. "Dulu tidak. Tapi sekarang aku punya banyak teman."
Jacob mengerutkan kening. Tidak ada anak lain di pulau ini selain Luna, jadi siapa yang ia maksud sebagai teman? Rasa penasaran Jacob akhirnya terjawab saat Luna melanjutkan.
"Temanku adalah kelinci-kelinci di pulau ini. Mereka banyak sekali, dan aku sangat menyukai mereka!" katanya dengan penuh semangat, membuat wajahnya berseri-seri.
Jacob tersenyum tipis, hampir tidak kentara. "Tapi mereka tidak bisa bicara."
Luna mengangguk, tetap ceria. "Memang benar. Tapi setidaknya, mereka tidak menyakitiku."
Jawaban itu membuat Jacob tertegun. Ada kejujuran yang begitu polos sekaligus menyayat dalam kata-kata gadis kecil itu.
Ketika keranjang Luna hampir penuh, Jacob berdiri dan menatapnya. "Selama dua tahun di sini, kau pasti sudah tahu banyak tentang pulau ini, kan?"
Luna mengangguk bangga. "Iya! Aku tahu hampir semuanya, kecuali area yang Tuan Dustin larang kami kunjungi."
Jacob tersenyum kecil. "Kalau begitu, jadilah temanku."
Luna menatapnya dengan mata membulat, tampak kaget sekaligus bingung. "Teman? Apa itu diperbolehkan? Tuan Dustin tidak akan marah, kan, kalau aku menjadi teman putranya?"
Jacob tertawa kecil, suara tawa yang bahkan ia sendiri tidak sadari telah hilang sejak kematian kekasihnya. "Kenapa ayahku harus marah? Dia tidak akan peduli soal itu."
Akhirnya, Luna tersenyum lebar. "Kalau begitu, aku akan menunjukkan tempat-tempat terbaik di pulau ini pada Anda, Tuan!" katanya dengan semangat.
Jacob mengangguk, dan tanpa dia sadari bahwa gadis di depannya ini berhasil membuat hatinya merasa sedikit lebih ringan dengan caranya yang begitu sederhana.
Keesokan harinya, aktivitas Luna masih sama seperti hari sebelumnya. Saat Jacob keluar dari kamar ke arah balkon, ia akan langsung dihadapkan pemandangan Luna yang berlarian mengejar para kelinci.Wajahnya begitu riang saat dia berhasil mendapatkan kelinci yang dikejarnya, Luna akan menggendong dan mengusap kepala kelinci itu penuh kasih sayang sambil memberi sebuah wortel.“Berteman dengan gadis yang usianya sepuluh tahun lebih muda dariku… aneh juga rasanya,” gumamnya sambil menyandarkan tubuh ke pagar balkon. “Tapi kalau hidup di pulau ini tanpa teman, rasanya terlalu membosankan. Mungkin sudah waktunya aku mengajarkan pada gadis itu bahwa pendidikan itu sama pentingnya dengan bermain.”Sementara itu, Luna tidak sadar bahwa dia sering kali diperhatikan oleh Jacob. Ia terbiasa sendirian selama dua tahun tinggal di pulau itu, teman-temannya adalah para kelinci yang begitu banyak di pulau itu.Seekor kelinci remaja berada dalam dekapannya, ia mengusap bulu lembut kelinci itu sambil me
Tak pernah terlintas di benak Jacob bahwa pelariannya ke pulau ini akan membawanya pada pengalaman baru, menjadi seorang guru privat bagi gadis berusia enam belas tahun. Niatnya semula sederhana, menjauh dari dunia yang penuh kenangan pahit setelah kehilangan kekasih tercinta. Namun, takdir memiliki rencana lain dan mempertemukannya pada Luna.“Salah lagi. Lakukan dengan cara yang lain!” suara Jacob menggema di ruangan, disertai dentuman keras meja yang dipukulnya. Luna tersentak, matanya melebar, nyalinya hampir ciut oleh ketegasan pria itu.Jacob memperhatikan Luna dengan cermat, lebih cermat dari biasanya. Selama dua puluh lima tahun hidupnya, baru kali ini ia bertemu seseorang yang dalam pandangannya, begitu sulit memahami hal-hal dasar. Perhitungan sederhana saja menjadi tantangan besar bagi Luna."Apa sebenarnya isi kepalamu ini?" gumamnya sambil menekan tongkat kayu sepanjang lima puluh sentimeter ke dahi Luna.Luna menatapnya polos, tanpa rasa bersalah. “Isi kepalaku ini tentu
Hari demi hari berlalu, namun bagi Jacob, waktu seolah berjalan di tempat. Mengajar Luna terasa seperti menghadapi tembok yang keras kepala. Gadis itu sepertinya lebih tertarik pada hal-hal lain daripada pelajaran yang ia berikan. Setiap kali mereka duduk bersama, Jacob mendapati dirinya di ambang kehilangan kewarasan."Luna! Ini sudah lima bulan sejak aku mengajarimu, tapi kenapa kau tetap saja tidak paham apa yang aku jelaskan?!" serunya sambil mengetukkan tongkat kayu kecil ke kening Luna. "Gunakan otakmu! Apa kau kira belajar itu hanya sekedar duduk-duduk manis?"Luna memanyunkan bibir, mengeluh seperti anak kecil yang dimarahi. "Anda selalu marah-marah. Apa tidak bisa mengajar dengan lebih lembut?"Jacob menggerutu, meletakkan tongkatnya dengan kasar di meja. "Lembut? Bagaimana aku bisa lembut kalau muridku sekeras batu dan seceroboh dirimu?!"Luna menunduk, memainkan jari-jarinya di atas buku. "Angka-angka ini sulit sekali," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Jacob menghela n
Tiga tahun kemudian.Pagi di pulau itu terasa damai seperti biasa, tapi di sebuah ruangan kecil dengan jendela terbuka, suara perdebatan sudah menjadi sarapan sehari-hari. Jacob dengan sikap santainya, duduk di kursi sambil memperhatikan Luna yang sibuk menulis di atas buku."Akhirnya, setelah bertahun-tahun otakmu menunjukkan perkembangan yang layak diapresiasi. Tidak sia-sia aku mengabdikan diriku sebagai guru privat selama tiga tahun belakangan," ujar Jacob dengan nada setengah menggoda.Luna berhenti menulis sejenak, menatap Jacob dengan tatapan yang nyaris membunuh, sebelum kembali sibuk dengan tugasnya. Meski kesal, ia tidak bisa menyangkal bahwa ucapan Jacob ada benarnya. Tak terasa, tiga tahun sudah berlalu dan kini Luna sudah berusia sembilan belas tahun.Tapi, gadis itu masih mempertahankan penampilannya dengan rambut pendek sebatas leher. Setiap kali rambutnya tampak sedikit panjang, Luna akan memotongnya."Aku sudah selesai," kata Luna, membuyarkan lamunan Jacob. Ia mendor
Pagi itu, udara pulau terasa lebih sejuk dari biasanya. Luna masih berbaring malas di tempat tidur menikmati ketenangan pagi tanpa gangguan Jacob. Tapi ketenangan itu segera pecah oleh suara bising helikopter yang mendadak terdengar semakin mendekat.Ia melompat dari ranjang, mengenakan sandal buru-buru lalu berlari keluar. Di halaman mansion, angin kencang dari baling-baling helikopter membuat dedaunan dan debu beterbangan, memaksa Luna menutup wajahnya dengan tangan.Pandangannya tertuju ke arah Jacob, pria itu sempat menoleh ke arahnya sebelum terbang tinggi bersama helikopter yang di naikinya. Luna mendongak, melihat kendaraan udara itu perlahan menjauh ke udara."Aku tidak mengira, doaku semalam langsung dikabulkan hari ini." batinnya senang.Sementara itu, Jacob duduk tenang di dalam helikopter. Tatapannya kosong, melihat pemandangan laut yang terbentang luas. Tiga tahun ia menghabiskan waktu di pulau itu, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar.Sesampainya di New Jersey, Jacob langsu
Suara helikopter kembali terdengar setelah dua hari Jacob meninggalkan pulau, Luna yang berada di kebun bersama pelayan lain segera melihat siapa yang datang kali ini. Tapi ia terkejut karena Jacob yang ia kira tidak akan kembali, justru datang lagi.Tatapan mereka bertemu dalam sekejap, tapi Jacob cepat-cepat memalingkan wajahnya. Ia sibuk memberi instruksi pada orang-orang di helikopter untuk menurunkan barang-barang yang ia bawa.Luna memperhatikannya dari kejauhan, namun suara Maci memotong lamunannya. "Jangan hanya berdiri bengong, Luna. Kalau kau tak mau membantu, paling tidak tunjukkan kalau kau peduli. Bukankah kau dan Tuan Muda punya hubungan yang... baik?"Seketika Luna langsung menoleh, mengingat cara Jacob yang kerap menjahilinya dan juga suka bersikap menyebalkan, apakah itu bisa dikatakan sebagai hubungan yang baik? Luna mendengus, berbalik badan kembali ke ladang tanpa membantu Jacob sedikitpun. Jacob masuk ke dalam mansion, setelah beberapa saat pria itu keluar lagi
Beberapa buku sudah Luna siapkan, ia juga duduk dengan tenang dan belajar sambil menunggu Jacob datang untuk mengajarinya seperti biasa. Karena pria itu tak suka keterlambatan, akhirnya Luna berusaha datang lebih dulu agar Jacob tidak marah-marah seperti biasanya.Namun, satu jam berlalu, dan Jacob tak kunjung muncul. Jantung Luna mulai terasa tidak tenang. Ia melirik jam di dinding untuk kesekian kali. Apa dia marah padaku? pikirnya.Luna akhirnya menutup buku dengan desahan kecil, lalu berdiri. Tidak biasanya Jacob melewatkan rutinitas yang sudah ia tetapkan sendiri, terlebih untuk sesuatu yang dianggap penting seperti mengajari Luna. Pria itu selalu menjadi orang yang tegas dan disiplin. Jadi, mengapa kali ini berbeda?"Luna, mau ke mana kau?" tegur Maci saat melewati ruangan.Luna menoleh cepat. "Bu, sepertinya aku membuat kesalahan. Tuan pemburu kelinci itu tidak mengajariku hari ini," jawabnya dengan nada ragu.Maci hanya menggeleng sambil tertawa kecil. "Bukankah kau sering ber
Hari-hari berlalu dengan lambat, dan Jacob masih menjaga jarak. Sikap pria itu yang terus-menerus menghindar mulai mengusik pikiran Luna. Kecemasannya tumbuh semakin besar. Bagaimana jika Jacob benar-benar mengusirnya dari pulau ini? Namun, Luna sendiri tak tahu apa yang telah ia lakukan hingga membuat Jacob begitu marah.Luna melangkah keluar, ia hanya melihat Jacob memberi makan kelinci siang ini. Pria itu tampak jauh lebih pendiam dari biasanya yang suka marah-marah, jelas bagi Luna ini ada yang tidak beres."Kau ada masalah dengan Tuan Muda?" suara Maci memecah lamunannya. Wanita itu muncul dari arah halaman belakang, membawa keranjang penuh buah-buahan segar.Luna menggeleng pelan, tampak bingung. "Aku tidak tahu. Tapi sepertinya dia benar-benar marah padaku.""Kalau begitu, kau harus minta maaf. Kalau tidak, mungkin kau harus meninggalkan pulau ini," ujar Maci santai sebelum melenggang pergi, meninggalkan Luna yang tertegun.Kata-kata itu menghantam Luna seperti badai. Meninggal
Beberapa hari berlalu, dan Luna masih setia merawat Nico yang masih terbaring di rumah sakit. Sikap keras kepalanya masih tidak luntur, kadang lelaki itu berniat untuk kabur dari rumah sakit, tapi selalu ketahuan oleh Luna.Hari ini, pagi bahkan belum lama menyapa, tapi Nico sudah duduk bersandar dengan wajah jenuh yang tak bisa ditutupi. “Bisakah kau segera membiarkan aku keluar dari rumah sakit?” keluhnya dengan nada malas.“Kau masih sakit, Nico,” jawab Luna tenang, sudah hafal alur pembicaraan ini.“Ini sudah hari keempat!” serunya, hampir seperti anak kecil yang protes karena tak dibelikan mainan. “Aku merasa seperti tahanan. Kalau kau benar-benar tidak mau membiarkanku keluar dari tempat ini, setidaknya bawakan komputerku. Banyak hal yang harus aku kerjakan.”Luna menahan tawa, lalu menggeleng pelan. “Apa kau yakin sudah sehat? Jangan sampai kau pingsan lagi hanya karena menatap layar terlalu lama.”Nico mendengus. “Kau pikir aku selemah itu?”Luna menaikkan satu alisnya, lalu t
"Ada denganmu?" tanya Jacob setibanya di rumah sakit. Wajahnya menegang, langkahnya tergesa, dan nafasnya masih belum stabil sejak menerima kabar bahwa Luna tengah berada di rumah sakit.Pikiran terburuk sempat terlintas di benaknya. Ia mengira sesuatu telah terjadi pada Luna, hingga akhirnya, ia mendapati perempuan itu berdiri di depan ruang perawatan dengan wajah lelah dengan sedikit kekhawatiran.“Bukan aku yang dirawat,” ucap Luna, mencoba tersenyum untuk meredakan kekhawatiran pria itu.Jacob akhirnya bisa bernafas lega, meski jantungnya masih berdetak cepat.“Jadi... siapa?”Luna menoleh ke arah ruang perawatan di belakangnya. “Nico.”Jacob mengerutkan alis. Ia tak mengira remaja keras kepala itu yang kini justru terbaring lemah di ranjang rumah sakit. "Ada apa dengan adikmu?"“Dia mengalami dehidrasi berat,” jelas Luna lirih. “Kondisinya drop karena sudah lima hari berturut-turut tak tidur. Di apartemennya aku menemukan kaleng-kaleng minuman energi berserakan, catatan kerja, fil
Keesokan paginya, aroma roti panggang dan kopi hitam menyambut pagi yang tenang di rumah keluarga Dustin. Sarapan pagi dilakukan bersama di meja makan, suasananya santai dan akrab. Tawa kecil sesekali terdengar di antara obrolan ringan, menciptakan kehangatan yang jarang Luna rasakan selama bertahun-tahun.Sebelum berangkat kerja, Dustin seperti biasa tak lupa menunjukkan kemesraannya. Ia mencium kening Elsa dengan lembut, kemudian merangkul pinggang istrinya sambil berbisik sesuatu yang membuat Elsa terkekeh geli. Di ujung meja, Luna memperhatikan adegan itu dengan kagum, tak menyangka pria yang tampak menakutkan, tegas dan berwibawa, ternyata begitu hangat dan romantis terhadap istrinya.“Mereka memang selalu seperti itu,” bisik Jacob pelan sambil menyendok sarapan. Ia menyadari sorot mata Luna yang terpaku pada orang tuanya.Luna tersenyum malu, lalu menoleh ke arah Jacob. Namun begitu Jacob membalas tatapannya, Luna buru-buru mengalihkan pandangan, wajahnya memerah.Jacob mengangk
Usai makan malam yang hangat dan penuh tawa, mereka berpindah ke ruang keluarga. Sofa empuk, cahaya lampu yang temaram, dan secangkir teh hangat di tangan masing-masing menciptakan suasana santai yang jarang ditemukan Luna dalam kehidupannya yang penuh gejolak. Malam itu terasa berbeda, penuh kehangatan dan penerimaan yang diam-diam menyentuh hatinya."Jadi..." Elsa membuka percakapan sambil menatap Luna dengan senyum penasaran, "cukup mengejutkan ya, ternyata Tuan Calderon memiliki seorang putri. Kami semua tidak pernah menduganya."Luna tersenyum kaku, masih canggung setiap kali nama keluarga Calderon disebut. "Aku sendiri pun terkejut, terakhir kali aku melihat ayahku itu saat aku masih berusia delapan tahun. Wajahnya pun sudah samar di ingatan."Elsa mengangguk penuh simpati, sementara Dustin yang duduk bersebelahan dengan istrinya, mengalihkan pandangannya ke arah pasangan muda itu. Jacob dan Luna duduk berdampingan di sofa seberang, tampak serasi meski keduanya berusaha menyembun
Pertanyaan Elsa begitu tiba-tiba, membuat Luna langsung terperanjat. “Hah… apa? Hamil?” ulangnya dengan ekspresi terkejut, alis terangkat dan suara nyaris melengking.Elsa justru menanggapinya dengan santai, bahkan dengan senyum menggoda yang seolah menyimpan seribu makna. “Benar. Aku hanya memastikan, Jacob itu anak paling keras kepala saat disuruh mengenalkan seorang wanita ke rumah ini. Tapi tiba-tiba saja, ia membawamu. Jadi aku sempat curiga, mungkin kau sedang mengandung cucuku, makanya ia berubah begitu drastis.”Luna tertawa kaku. Tangan refleks menyentuh perutnya, mengingat hasil pemeriksaan singkat saat mereka masih di kapal pesiar. Hasilnya… negatif. Ia tidak sedang hamil, dan mendengar dugaan Elsa barusan, rasanya jantungnya hampir lompat keluar.“Maaf sebelumnya… tapi aku tidak hamil,” jawabnya dengan suara pelan, nada bicaranya agak ragu-ragu, seolah takut mengecewakan.Elsa mengangguk pelan, masih dengan senyum yang tak luntur. “Tak perlu khawatir, sayang. Aku hanya bert
Luna tak tahu kemana Jacob membawanya. Sejak mereka keluar dari rumah sakit, pria itu hanya diam, tapi ekspresi wajahnya yang penuh antusias dan senyum yang tak pernah hilang membuat Luna semakin penasaran. Mobil terus melaju, membelah jalanan kota, meninggalkan hiruk-pikuk dan menuju arah yang semakin asing baginya."Apa tujuan kita masih jauh?" tanya Luna, melirik Jacob dengan rasa ingin tahu yang tak bisa dibendung.Jacob hanya menoleh sekilas dan tersenyum, seperti menyimpan rahasia besar yang sebentar lagi akan terungkap. Namun ia tak mengucap sepatah kata pun.Hingga akhirnya, lebih dari dua jam perjalanan, Luna melihat mobil memasuki sebuah kawasan perumahan elit. Rumah-rumah mewah berjejer rapi, masing-masing dikelilingi taman luas dan pagar artistik. Mobil Jacob melambat, lalu berhenti di depan rumah paling ujung, halamannya paling luas, dengan taman belakang yang tampak hijau dan terawat dari samping.Jacob keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuknya. “Ayo,” katanya sambi
Kekacauan masih berlanjut, berita semakin panas dan kabarnya Russel terancam bangkrut kalau semua masalah ini tak segera dia selesaikan. Semua hal yang sempat dia banggakan bisa hangus dalam semalam, dan kejadian sepuluh tahun lalu mungkin saja akan terulang dimana membuatnya nyaris menjadi gelandangan.Luna duduk di sofa, memeluk lututnya. Ia bukan pebisnis. Bahkan cara membaca laporan keuangan pun tak ia pahami. Tapi setiap hari, jemarinya tak henti menyegarkan laman berita, menyaksikan nilai saham Zenith yang terus merosot, perlahan namun pasti, seolah menarik harapannya ke dasar.Tiba-tiba, rasa dingin menyentuh pipinya. Luna terlonjak kecil, menoleh cepat. Hazel berdiri di sampingnya, menempelkan kaleng minuman dingin ke wajahnya sambil menyunggingkan senyum tipis yang nyaris pahit.“Ayahmu benar-benar sedang sekarat sekarang,” ucap Hazel, seolah menyampaikan berita duka, padahal nada suaranya terdengar nyaris biasa.Luna menggenggam kaleng itu, menatap Hazel lekat-lekat. “Apa ti
Suasana terasa berbeda, ketika Luna membuka mata dengan kepala yang berdenyut, ia mendapati dirinya berada di sebuah kamar asing yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Barang-barang tidak terlalu banyak di dalam kamar tersebut, tapi jelas terlihat kalau kamar itu adalah milik seorang pria."Dimana aku?" gumamnya.Perlahan ia beranjak bangun dan duduk di tempat tidur, mencoba mengenali tempat tersebut, tapi tetap saja ia tidak tau kamar siapa yang ia tempati saat ini. Sementara, sebuah jam digital diatas meja nakas masih menunjukkan pukul enam pagi.Luna akhirnya keluar dari kamar dengan gerakan sangat pelan, ketika ia berada di luar, hal pertama yang menarik perhatiannya ada sosok orang menyebalkan yang kini tidur pulas di atas sofa.Tapi tidak, pria itu tidak lagi menyebalkan seperti sebelumnya. Luna berbalik, mengambil selimut yang sempat ia gunakan untuk menyelimuti tubuh Nico yang tidur di sofa dengan posisi tidak nyaman, tapi saat Luna baru selesai menyelimuti tubuh pria muda itu,
"Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja!" suara Russel meledak di tengah ruangan, penuh nada frustasi dan ketidakpercayaan. "Bukankah Anda sendiri yang setuju untuk menjalin hubungan keluarga setelah pernikahan mereka?"Namun George Davis tetap tenang, seperti air yang tak terusik oleh angin. Ia menoleh, tatapannya tajam dan penuh penghakiman."Russel," ucapnya datar namun tegas, "kau sudah tahu sejak awal kalau kedatanganku kemari bukan untuk memberi restu, melainkan untuk mencabutnya. Tidak ada lagi alasan untuk melanjutkan hubungan ini. Semua sudah selesai."Kata-katanya jatuh seperti vonis. Tapi Russel masih mencoba merangkak dari puing-puing egonya yang mulai runtuh."Keputusan ini terlalu sepihak!" serunya lagi, suaranya meninggi. "Bukankah Anda yang berjanji akan membantu membantu perusahaanku? Kita bahkan membicarakan proyek mega bisnis bersama...""Tapi kau gagal!" potong George tajam, suaranya kini meninggi, menggema keras di ruangan yang penuh ketegangan. "Kau gagal, R