Home / Romansa / Diam-Diam Menikmati / Bab 4 Bukan teman biasa

Share

Bab 4 Bukan teman biasa

Author: SILAN
last update Last Updated: 2024-12-15 12:37:32

 

Pagi yang cerah menyambut Jacob, ia keluar menuju balkon dan berdiri disana menikmati pemandangan yang indah. Taman bunga tampak cantik, banyak bunga bermekaran di pertengahan musim semi.

Keindahan ini masih saja belum mampu membuat hatinya bisa lega, sakit yang ia rasakan masih begitu besar hingga setiap kali ia menatap keindahan, pikirannya tertuju pada orang yang ia cintai.

Sejenak Jacob memejamkan mata, tapi pendengarannya segera teralihkan oleh suara gadis yang tertawa. Saat ia membuka mata, tampak Luna sedang berlari mengejar kelinci.

Jacob menatapnya dengan penuh perhatian. "Apakah ini rutinitas paginya?" pikirnya.

Ia diam memperhatikan, Luna masih mengenakan dress tidurnya yang sama seperti kemarin. Dress berlengan panjang dan sebatas lutut berwarna putih. Gadis itu terlihat begitu menikmati hidupnya, dan di pulau tempat Jacob tinggal sekarang memang begitu banyak kelinci yang berkeliaran.

"Melihat kebahagiaannya yang berhasil membuatku iri, disisi lain aku juga kasihan padanya, di pulau ini dia hanya bisa bermain dengan kelinci." gumam Jacob.

Setelah cukup lama memperhatikan Luna, ia pun turun menuju taman dan terus berjalan melewati jalan setapak hingga tiba di kebun apel. Buah apel sangat lebat di sana, dan berbagai jenis apel tertanam dengan baik.

Satu buah apel merah Jacob petik dan menjadikan buah itu sebagai sarapan paginya.

"Buah beri liar sudah mulai bisa dimakan, apa Tuan ingin saya mengambilnya?" 

Jacob berbalik dan mendapati Luna berdiri di belakangnya, wajahnya dihiasi senyum polos. Jacob mengangkat alis, sedikit terkejut. Bukankah kemarin gadis ini takut padanya?

Ia menelan potongan apel di mulutnya sebelum menjawab. "Kau tidak takut padaku?" tanyanya.

Luna menggeleng kecil. "Ibu mengatakan kalau Tuan tidak berbahaya, jadi aku memutuskan untuk tidak takut lagi," jawabnya santai, merujuk pada salah satu pelayan di mansion yang ia panggil "ibu."

Jacob mengangguk pelan sambil menggigit apelnya lagi. "Siapkan wadah siang nanti. Aku ingin memetik buah beri langsung dari pohonnya. Kau bisa tunjukkan jalannya padaku." 

Luna mengangguk antusias, lalu berlari pergi, meninggalkan Jacob yang diam sejenak sebelum melanjutkan sarapannya dengan buah apel segar yang ia petik dari pohonnya.

Saat matahari sudah tinggi, Luna berdiri di halaman belakang dengan sebuah keranjang kecil di tangannya. Ia tampak menunggu dengan sabar hingga akhirnya Jacob muncul, mengenakan pakaian santai, sebuah kaos polo dan celana sepanjang lutut.

"Tunjukkan tempatnya," perintah Jacob singkat.

Luna dengan patuh berjalan lebih dulu, tubuh kecilnya melangkah ringan di depan Jacob yang menjulang tinggi di belakangnya. Kontras tinggi mereka cukup mencolok, Jacob yang tegap dengan tinggi 185 sentimeter, dan Luna yang mungil, hanya sekitar 155 sentimeter. Dalam diam, Jacob sempat khawatir kalau gadis kecil ini akan tersesat di balik semak belukar pulau yang rimbun.

Tak lama, mereka tiba di sebuah area hutan kecil, di mana pohon-pohon beri tumbuh lebat dengan buah yang sudah matang. Luna segera memetik beri dengan cekatan, sementara Jacob memperhatikan sejenak sebelum mulai melakukan hal yang sama.

"Sudah berapa lama kau tinggal di pulau ini?" Jacob bertanya, mencoba memecah keheningan.

"Dua tahun," jawab Luna ringan, sambil terus memetik. "Ibu yang membawaku ke sini."

Jacob mengangguk, matanya tak lepas dari gadis itu. "Usiamu masih sangat muda. Apa kau tidak ingin bersekolah?"

Luna berhenti sejenak, lalu menggeleng dengan senyum tipis. "Aku tidak mau. Mereka tidak menyukaiku."

Meski Luna tersenyum, Jacob bisa menangkap ada ketakutan dalam matanya. Ia bisa menebak alasan di balik itu, kemungkinan besar Luna pernah menjadi korban perundungan. Jacob memilih untuk tidak mendesak lebih jauh, dan kembali sibuk memetik beri.

"Kau punya teman?" tanyanya lagi, mencoba menggali lebih banyak tentang gadis itu.

Luna kembali menggeleng, tetapi kali ini matanya berbinar. "Dulu tidak. Tapi sekarang aku punya banyak teman."

Jacob mengerutkan kening. Tidak ada anak lain di pulau ini selain Luna, jadi siapa yang ia maksud sebagai teman? Rasa penasaran Jacob akhirnya terjawab saat Luna melanjutkan.

"Temanku adalah kelinci-kelinci di pulau ini. Mereka banyak sekali, dan aku sangat menyukai mereka!" katanya dengan penuh semangat, membuat wajahnya berseri-seri.

Jacob tersenyum tipis, hampir tidak kentara. "Tapi mereka tidak bisa bicara."

Luna mengangguk, tetap ceria. "Memang benar. Tapi setidaknya, mereka tidak menyakitiku."

Jawaban itu membuat Jacob tertegun. Ada kejujuran yang begitu polos sekaligus menyayat dalam kata-kata gadis kecil itu.

Ketika keranjang Luna hampir penuh, Jacob berdiri dan menatapnya. "Selama dua tahun di sini, kau pasti sudah tahu banyak tentang pulau ini, kan?"

Luna mengangguk bangga. "Iya! Aku tahu hampir semuanya, kecuali area yang Tuan Dustin larang kami kunjungi."

Jacob tersenyum kecil. "Kalau begitu, jadilah temanku."

Luna menatapnya dengan mata membulat, tampak kaget sekaligus bingung. "Teman? Apa itu diperbolehkan? Tuan Dustin tidak akan marah, kan, kalau aku menjadi teman putranya?"

Jacob tertawa kecil, suara tawa yang bahkan ia sendiri tidak sadari telah hilang sejak kematian kekasihnya. "Kenapa ayahku harus marah? Dia tidak akan peduli soal itu."

Akhirnya, Luna tersenyum lebar. "Kalau begitu, aku akan menunjukkan tempat-tempat terbaik di pulau ini pada Anda, Tuan!" katanya dengan semangat.

Jacob mengangguk, dan tanpa dia sadari bahwa gadis di depannya ini berhasil membuat hatinya merasa sedikit lebih ringan dengan caranya yang begitu sederhana.

Related chapters

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 5 Tidak seperti yang dibayangkan

    Keesokan harinya, aktivitas Luna masih sama seperti hari sebelumnya. Saat Jacob keluar dari kamar ke arah balkon, ia akan langsung dihadapkan pemandangan Luna yang berlarian mengejar para kelinci.Wajahnya begitu riang saat dia berhasil mendapatkan kelinci yang dikejarnya, Luna akan menggendong dan mengusap kepala kelinci itu penuh kasih sayang sambil memberi sebuah wortel.“Berteman dengan gadis yang usianya sepuluh tahun lebih muda dariku… aneh juga rasanya,” gumamnya sambil menyandarkan tubuh ke pagar balkon. “Tapi kalau hidup di pulau ini tanpa teman, rasanya terlalu membosankan. Mungkin sudah waktunya aku mengajarkan pada gadis itu bahwa pendidikan itu sama pentingnya dengan bermain.”Sementara itu, Luna tidak sadar bahwa dia sering kali diperhatikan oleh Jacob. Ia terbiasa sendirian selama dua tahun tinggal di pulau itu, teman-temannya adalah para kelinci yang begitu banyak di pulau itu.Seekor kelinci remaja berada dalam dekapannya, ia mengusap bulu lembut kelinci itu sambil me

    Last Updated : 2024-12-15
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 6. Menjadi guru

    Tak pernah terlintas di benak Jacob bahwa pelariannya ke pulau ini akan membawanya pada pengalaman baru, menjadi seorang guru privat bagi gadis berusia enam belas tahun. Niatnya semula sederhana, menjauh dari dunia yang penuh kenangan pahit setelah kehilangan kekasih tercinta. Namun, takdir memiliki rencana lain dan mempertemukannya pada Luna.“Salah lagi. Lakukan dengan cara yang lain!” suara Jacob menggema di ruangan, disertai dentuman keras meja yang dipukulnya. Luna tersentak, matanya melebar, nyalinya hampir ciut oleh ketegasan pria itu.Jacob memperhatikan Luna dengan cermat, lebih cermat dari biasanya. Selama dua puluh lima tahun hidupnya, baru kali ini ia bertemu seseorang yang dalam pandangannya, begitu sulit memahami hal-hal dasar. Perhitungan sederhana saja menjadi tantangan besar bagi Luna."Apa sebenarnya isi kepalamu ini?" gumamnya sambil menekan tongkat kayu sepanjang lima puluh sentimeter ke dahi Luna.Luna menatapnya polos, tanpa rasa bersalah. “Isi kepalaku ini tentu

    Last Updated : 2024-12-15
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 7 Sehari tanpa perdebatan

    Hari demi hari berlalu, namun bagi Jacob, waktu seolah berjalan di tempat. Mengajar Luna terasa seperti menghadapi tembok yang keras kepala. Gadis itu sepertinya lebih tertarik pada hal-hal lain daripada pelajaran yang ia berikan. Setiap kali mereka duduk bersama, Jacob mendapati dirinya di ambang kehilangan kewarasan."Luna! Ini sudah lima bulan sejak aku mengajarimu, tapi kenapa kau tetap saja tidak paham apa yang aku jelaskan?!" serunya sambil mengetukkan tongkat kayu kecil ke kening Luna. "Gunakan otakmu! Apa kau kira belajar itu hanya sekedar duduk-duduk manis?"Luna memanyunkan bibir, mengeluh seperti anak kecil yang dimarahi. "Anda selalu marah-marah. Apa tidak bisa mengajar dengan lebih lembut?"Jacob menggerutu, meletakkan tongkatnya dengan kasar di meja. "Lembut? Bagaimana aku bisa lembut kalau muridku sekeras batu dan seceroboh dirimu?!"Luna menunduk, memainkan jari-jarinya di atas buku. "Angka-angka ini sulit sekali," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Jacob menghela n

    Last Updated : 2024-12-15
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 8. Menuju kedewasaan

    Tiga tahun kemudian.Pagi di pulau itu terasa damai seperti biasa, tapi di sebuah ruangan kecil dengan jendela terbuka, suara perdebatan sudah menjadi sarapan sehari-hari. Jacob dengan sikap santainya, duduk di kursi sambil memperhatikan Luna yang sibuk menulis di atas buku."Akhirnya, setelah bertahun-tahun otakmu menunjukkan perkembangan yang layak diapresiasi. Tidak sia-sia aku mengabdikan diriku sebagai guru privat selama tiga tahun belakangan," ujar Jacob dengan nada setengah menggoda.Luna berhenti menulis sejenak, menatap Jacob dengan tatapan yang nyaris membunuh, sebelum kembali sibuk dengan tugasnya. Meski kesal, ia tidak bisa menyangkal bahwa ucapan Jacob ada benarnya. Tak terasa, tiga tahun sudah berlalu dan kini Luna sudah berusia sembilan belas tahun.Tapi, gadis itu masih mempertahankan penampilannya dengan rambut pendek sebatas leher. Setiap kali rambutnya tampak sedikit panjang, Luna akan memotongnya."Aku sudah selesai," kata Luna, membuyarkan lamunan Jacob. Ia mendor

    Last Updated : 2024-12-18
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 9 Mencari pengganti?

    Pagi itu, udara pulau terasa lebih sejuk dari biasanya. Luna masih berbaring malas di tempat tidur menikmati ketenangan pagi tanpa gangguan Jacob. Tapi ketenangan itu segera pecah oleh suara bising helikopter yang mendadak terdengar semakin mendekat.Ia melompat dari ranjang, mengenakan sandal buru-buru lalu berlari keluar. Di halaman mansion, angin kencang dari baling-baling helikopter membuat dedaunan dan debu beterbangan, memaksa Luna menutup wajahnya dengan tangan.Pandangannya tertuju ke arah Jacob, pria itu sempat menoleh ke arahnya sebelum terbang tinggi bersama helikopter yang di naikinya. Luna mendongak, melihat kendaraan udara itu perlahan menjauh ke udara."Aku tidak mengira, doaku semalam langsung dikabulkan hari ini." batinnya senang.Sementara itu, Jacob duduk tenang di dalam helikopter. Tatapannya kosong, melihat pemandangan laut yang terbentang luas. Tiga tahun ia menghabiskan waktu di pulau itu, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar.Sesampainya di New Jersey, Jacob langsu

    Last Updated : 2024-12-19
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 10 Perasaan gamang

    Suara helikopter kembali terdengar setelah dua hari Jacob meninggalkan pulau, Luna yang berada di kebun bersama pelayan lain segera melihat siapa yang datang kali ini. Tapi ia terkejut karena Jacob yang ia kira tidak akan kembali, justru datang lagi.Tatapan mereka bertemu dalam sekejap, tapi Jacob cepat-cepat memalingkan wajahnya. Ia sibuk memberi instruksi pada orang-orang di helikopter untuk menurunkan barang-barang yang ia bawa.Luna memperhatikannya dari kejauhan, namun suara Maci memotong lamunannya. "Jangan hanya berdiri bengong, Luna. Kalau kau tak mau membantu, paling tidak tunjukkan kalau kau peduli. Bukankah kau dan Tuan Muda punya hubungan yang... baik?"Seketika Luna langsung menoleh, mengingat cara Jacob yang kerap menjahilinya dan juga suka bersikap menyebalkan, apakah itu bisa dikatakan sebagai hubungan yang baik? Luna mendengus, berbalik badan kembali ke ladang tanpa membantu Jacob sedikitpun. Jacob masuk ke dalam mansion, setelah beberapa saat pria itu keluar lagi

    Last Updated : 2024-12-20
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 11 Membatasi diri

    Beberapa buku sudah Luna siapkan, ia juga duduk dengan tenang dan belajar sambil menunggu Jacob datang untuk mengajarinya seperti biasa. Karena pria itu tak suka keterlambatan, akhirnya Luna berusaha datang lebih dulu agar Jacob tidak marah-marah seperti biasanya.Namun, satu jam berlalu, dan Jacob tak kunjung muncul. Jantung Luna mulai terasa tidak tenang. Ia melirik jam di dinding untuk kesekian kali. Apa dia marah padaku? pikirnya.Luna akhirnya menutup buku dengan desahan kecil, lalu berdiri. Tidak biasanya Jacob melewatkan rutinitas yang sudah ia tetapkan sendiri, terlebih untuk sesuatu yang dianggap penting seperti mengajari Luna. Pria itu selalu menjadi orang yang tegas dan disiplin. Jadi, mengapa kali ini berbeda?"Luna, mau ke mana kau?" tegur Maci saat melewati ruangan.Luna menoleh cepat. "Bu, sepertinya aku membuat kesalahan. Tuan pemburu kelinci itu tidak mengajariku hari ini," jawabnya dengan nada ragu.Maci hanya menggeleng sambil tertawa kecil. "Bukankah kau sering ber

    Last Updated : 2024-12-21
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 12 Tindakan yang salah

    Hari-hari berlalu dengan lambat, dan Jacob masih menjaga jarak. Sikap pria itu yang terus-menerus menghindar mulai mengusik pikiran Luna. Kecemasannya tumbuh semakin besar. Bagaimana jika Jacob benar-benar mengusirnya dari pulau ini? Namun, Luna sendiri tak tahu apa yang telah ia lakukan hingga membuat Jacob begitu marah.Luna melangkah keluar, ia hanya melihat Jacob memberi makan kelinci siang ini. Pria itu tampak jauh lebih pendiam dari biasanya yang suka marah-marah, jelas bagi Luna ini ada yang tidak beres."Kau ada masalah dengan Tuan Muda?" suara Maci memecah lamunannya. Wanita itu muncul dari arah halaman belakang, membawa keranjang penuh buah-buahan segar.Luna menggeleng pelan, tampak bingung. "Aku tidak tahu. Tapi sepertinya dia benar-benar marah padaku.""Kalau begitu, kau harus minta maaf. Kalau tidak, mungkin kau harus meninggalkan pulau ini," ujar Maci santai sebelum melenggang pergi, meninggalkan Luna yang tertegun.Kata-kata itu menghantam Luna seperti badai. Meninggal

    Last Updated : 2024-12-21

Latest chapter

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 112 Luna sakit

    Sekitar pukul dua dini hari, Jacob mendengar kabar kalau Luna sudah tiba di rumah sakit. Jantungnya berdegup kencang, darahnya serasa membeku. Tanpa berpikir panjang, ia melesat keluar apartemen hingga akhirnya tiba di rumah sakit.Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara mesin yang berdetak monoton. Jacob melangkah pelan, matanya langsung tertuju pada sosok Luna yang terbaring lemas di atas tempat tidur. Wajahnya pucat bagai bulan yang kehilangan cahaya, tubuhnya lemas tak berdaya.Ketika Jacob menyentuh tangannya, ia merasakan dingin yang menusuk. Tangan Luna terasa tak bertenaga, seperti jelly yang kehilangan bentuknya. Tidak ada kekuatan, tak ada kehangatan. Jacob menahan nafas, dadanya sesak. Ia menoleh ke arah dokter yang baru saja selesai memeriksa Luna, matanya memancarkan kecemasan yang tak terbendung.“Apa yang terjadi padanya?” tanya Jacob.Dokter itu menghela nafas sebelum menjawab, “Pasien mengalami tekanan darah yang sangat rendah, membuat kondisinya tidak stabil. Kami p

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 111 Dihadapkan pilihan sulit

    Jacob merasa seperti terjebak dalam pusaran yang tak berujung. Pekerjaannya semakin menumpuk, bukannya berkurang, meski ia sudah mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk melawan Russel.Tapi kali ini, segalanya terasa berbeda. Russel bukan lagi musuh yang bisa diremehkan. Dia telah berkembang, menjadi lebih kuat, lebih licik, dan lebih berbahaya. Setiap langkah yang Jacob ambil seakan sudah diantisipasi oleh Russel, membuatnya seperti bermain catur dengan langkah yang selalu tertebak.Saat Jacob baru saja tiba di lobi, Hazel yang melihatnya langsung mengejar saudaranya yang terlihat buru-buru keluar. Wajah Hazel dipenuhi kekhawatiran, matanya menyiratkan pertanyaan yang tak terucap."Jacob, kau mau kemana?!" seru Hazel, suaranya memecah kesunyian lobi yang megah.Jacob tidak menjawab. Alih-alih berhenti, ia justru melangkah lebih cepat, masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu dengan asistennya siap membukakan pintu. Namun, sebelum pintu tertutup rapat, Hazel dengan gesit menerobos

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 110 Perang dimulai 

    Dua hari telah berlalu, dan ancaman yang dilontarkan Russel bukanlah sekadar gertakan. Jacob tahu itu. Ia juga tahu bahwa ia harus menyiapkan sesuatu untuk melawan. Menyerah bukanlah pilihan, apalagi jika itu menyangkut Luna. Gadis itu memiliki sesuatu yang tak dimiliki orang lain, sesuatu yang membuat Jacob rela mempertaruhkan segalanya untuk mempertahankannya.Tapi, tindakannya ini bisa dibilang nekat. Taruhannya bukan main-main, perusahaan yang ia kelola selama bertahun-tahun. Orang lain pasti akan menganggapnya gila jika tahu ia rela mempertaruhkan bisnisnya hanya demi seorang perempuan. Luna bahkan tidak bisa membantunya dalam urusan bisnis. Tapi entah mengapa, Jacob tidak bisa berhenti. Ia sudah tahu seperti apa masa lalu Luna, tahu bahwa gadis itu hanya menginginkan kebebasan. Dan jika Luna jatuh ke tangan Russel, kebebasan itu mungkin akan hilang selamanya.Yang lebih mengkhawatirkan, Jacob curiga Russel telah menyiapkan sesuatu sebelum Luna kembali, sesuatu yang akan membeleng

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 109 Bendera perang

    Suasana ruangan terasa seperti ruang hampa, udara yang seharusnya mengalir justru terasa membeku, menekan dada Jacob hingga nafasnya terasa berat. Namun, di balik ketegangan yang menggumpal, Jacob berusaha keras untuk tetap tenang. Dia tahu, percakapan ini tak akan berakhir hanya karena Russel meminta Luna dengan nada memaksa. Ini lebih dari sekadar permintaan, ini adalah pertarungan."Apa sebenarnya yang ingin kau katakan, Tuan Calderon? Kenapa aku harus menyerahkan Luna padamu?" tanya Jacob, suaranya datar namun sarat dengan pertahanan.Russel mengambil jeda, membiarkan Jacob duduk lebih dulu sebelum melanjutkan. Nafasnya teratur, tapi matanya menyala dengan intensitas yang tak terbendung. "Aku hanya ingin putriku kembali. Luna yang kau akui sebagai wanitamu, adalah anak kandungku.""Dia tidak bersamaku saat ini," jawab Jacob singkat, mencoba menahan gejolak dalam hatinya.Russel terkekeh, suaranya dingin seperti es yang menusuk tulang. "Kau menyembunyikannya karena kau tahu aku tak

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 108 Sehari sebelum badai 

    Malam itu, udara terasa hangat meski langit telah gelap. Jacob dengan lembut membawa Luna naik dari kolam, tubuhnya yang basah diturunkan perlahan ke kursi santai. Refleks, Luna menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menyadari bahwa pakaiannya entah sejak kapan telah terlepas. Rasa malu menyergapnya, tapi Jacob tak memberinya kesempatan untuk bersembunyi.Dengan gerakan halus, Jacob meraih tangan Luna, menariknya perlahan. "Aku sudah melihat semuanya, Luna. Bagian mana lagi dari dirimu yang belum aku lihat?" ucapnya dengan seringai menggoda.Wajah Luna memerah, panas menyebar dari pipinya hingga ke seluruh tubuh. Pandangan Jacob menyusuri setiap lekuk tubuhnya, seolah-olah ia sedang mengagumi sebuah mahakarya. Luna merasa terbakar, tapi di saat yang sama, ada sesuatu yang membuatnya tak bisa menarik diri. Jacob sudah melihat segalanya, bahkan sudah menyentuh bagian-bagian yang paling rahasia dari dirinya."Cukup!" Luna menutup wajah Jacob dengan telapak tangannya, mencoba mengalih

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 107 Bermain di malam hari

    Mansion utama kini benar-benar sunyi. Para pelayan telah kembali ke tempat mereka masing-masing, menjauh dari area tempat tinggal Jacob, memberikan ketenangan yang hampir terasa asing di rumah sebesar ini. Setelah makan malam, Jacob melangkah menuju halaman samping, tempat kolam renang yang jarang digunakan tetap berkilauan di bawah cahaya bulan.Kolam itu memang tidak besar, kedalamannya kurang dari dua meter. Namun, airnya begitu jernih, seolah tetap terjaga meskipun tak ada sistem penyaringan canggih yang bekerja secara rutin.Jacob menjatuhkan tubuhnya di kursi santai, melemaskan otot-ototnya setelah seharian beraktivitas. Namun, baru saja ia hendak memejamkan mata, langkah ringan terdengar mendekat.Luna datang dengan anggun, membawa sebotol wine dan dua gelas di tangannya. Tatapannya menyiratkan sesuatu, bukan sekadar ingin menikmati anggur bersama, tapi juga ada pertanyaan yang mengganjal di benaknya.Jacob hanya menatapnya sekilas sebelum mengambil botol wine itu dan mulai men

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 106 Bersama Luna 

    Suara tawa Luna yang riang bergema di sepanjang pantai, bercampur dengan desiran ombak yang bergulung-gulung menghantam pasir. Gadis itu berlari-lari kecil, memamerkan kerang-kerang hasil tangkapannya dengan wajah yang bersinar penuh kebahagiaan. Sementara itu, Jacob sibuk membongkar bebatuan di tepi pantai, mencari gurita kecil yang bersembunyi di balik celah-celah karang. Matanya fokus, tapi sesekali dia mencuri pandang ke arah Luna, menikmati keceriaan yang terpancar dari gadis itu.Di sekitar mereka, hanya ada kedamaian. Matahari sore yang mulai turun memancarkan cahaya keemasan, menerangi pantai yang sepi. Tak ada yang bisa merusak momen indah ini, setidaknya, untuk saat ini."Apa ini masih belum cukup banyak?" tanya Luna sambil mengangkat keranjang kecil yang berisi kerang hasil tangkapannya. Matanya berbinar penuh harap, seolah ingin mendapatkan pujian dari Jacob.Jacob menoleh, senyum kecil mengembang di bibirnya. Dia memasukkan dua gurita kecil yang berhasil dia tangkap ke da

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 105 Merindukan Luna

    Russel berdiri di tengah ruangan, wajahnya bersinar dengan kegembiraan yang tak terbendung. Akhirnya, setelah sekian lama mencari dia tahu di mana Luna berada. Kebenaran itu seperti angin segar yang menghapus semua keraguan dan kekhawatiran yang selama ini membebani pikirannya. Tak peduli bahwa Luna saat ini sedang menjalin hubungan dengan Jacob, Russel tahu dia harus segera menjemput putrinya. Baginya, tidak ada yang lebih penting daripada memastikan Luna kembali ke pangkuannya.Di dalam ruang tahanan, Nico masih berdiri dengan ekspresi yang sulit dibaca. Dia berusaha menyembunyikan keterkejutannya, tapi matanya yang sedikit melebar dan rahang yang mengeras menunjukkan betapa dia tidak menyangka bahwa Russel ternyata menguping pembicaraan mereka. Keith yang masih terikat, menatap Nico dengan maya menyala-nyala dengan kemarahan.Russel menepuk bahu Nico dengan senyum lebar. "Kau pintar juga membuat perempuan ini berkata jujur," pujinya, suaranya penuh dengan kepuasan. "Sekarang, aku h

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 104 Russel akhirnya tau 

    Mobil hitam yang dikendarai Nico meluncur pelan sebelum akhirnya berhenti tepat di depan gedung perkantoran megah. Saat ia melangkah keluar, pandangannya langsung tertuju pada sebuah mobil mewah yang baru saja berhenti beberapa meter darinya. Dari dalam mobil itu, Jacob Lawson muncul, wajahnya tetap tenang dan penuh dengan aura kepemimpinan yang tak tergoyahkan. Nico mendesis pelan, matanya menyipit seperti predator yang sedang mengincar mangsanya."Jacob Lawson," gumam Nico dalam hati, rasa tidak suka yang mendalam terpancar dari tatapannya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin melihat ekspresi dingin Jacob itu hancur, ingin melihat pria yang selalu tampak sempurna itu terjatuh dari singgasananya.Tanpa disadari oleh Jacob, Nico mengikuti langkahnya menuju gedung yang sama. Mereka berdua ternyata menuju ke tempat yang sama, sebuah rapat penting yang melibatkan perwakilan perusahaan Jacob dan perusahaan Russel Calderon. Hanya saja, kali ini yang mewakili Russel adalah putranya.Saat

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status