Pagi yang cerah menyambut Jacob, ia keluar menuju balkon dan berdiri disana menikmati pemandangan yang indah. Taman bunga tampak cantik, banyak bunga bermekaran di pertengahan musim semi.
Keindahan ini masih saja belum mampu membuat hatinya bisa lega, sakit yang ia rasakan masih begitu besar hingga setiap kali ia menatap keindahan, pikirannya tertuju pada orang yang ia cintai.
Sejenak Jacob memejamkan mata, tapi pendengarannya segera teralihkan oleh suara gadis yang tertawa. Saat ia membuka mata, tampak Luna sedang berlari mengejar kelinci.
Jacob menatapnya dengan penuh perhatian. "Apakah ini rutinitas paginya?" pikirnya.
Ia diam memperhatikan, Luna masih mengenakan dress tidurnya yang sama seperti kemarin. Dress berlengan panjang dan sebatas lutut berwarna putih. Gadis itu terlihat begitu menikmati hidupnya, dan di pulau tempat Jacob tinggal sekarang memang begitu banyak kelinci yang berkeliaran.
"Melihat kebahagiaannya yang berhasil membuatku iri, disisi lain aku juga kasihan padanya, di pulau ini dia hanya bisa bermain dengan kelinci." gumam Jacob.
Setelah cukup lama memperhatikan Luna, ia pun turun menuju taman dan terus berjalan melewati jalan setapak hingga tiba di kebun apel. Buah apel sangat lebat di sana, dan berbagai jenis apel tertanam dengan baik.
Satu buah apel merah Jacob petik dan menjadikan buah itu sebagai sarapan paginya.
"Buah beri liar sudah mulai bisa dimakan, apa Tuan ingin saya mengambilnya?"
Jacob berbalik dan mendapati Luna berdiri di belakangnya, wajahnya dihiasi senyum polos. Jacob mengangkat alis, sedikit terkejut. Bukankah kemarin gadis ini takut padanya?
Ia menelan potongan apel di mulutnya sebelum menjawab. "Kau tidak takut padaku?" tanyanya.
Luna menggeleng kecil. "Ibu mengatakan kalau Tuan tidak berbahaya, jadi aku memutuskan untuk tidak takut lagi," jawabnya santai, merujuk pada salah satu pelayan di mansion yang ia panggil "ibu."
Jacob mengangguk pelan sambil menggigit apelnya lagi. "Siapkan wadah siang nanti. Aku ingin memetik buah beri langsung dari pohonnya. Kau bisa tunjukkan jalannya padaku."
Luna mengangguk antusias, lalu berlari pergi, meninggalkan Jacob yang diam sejenak sebelum melanjutkan sarapannya dengan buah apel segar yang ia petik dari pohonnya.
Saat matahari sudah tinggi, Luna berdiri di halaman belakang dengan sebuah keranjang kecil di tangannya. Ia tampak menunggu dengan sabar hingga akhirnya Jacob muncul, mengenakan pakaian santai, sebuah kaos polo dan celana sepanjang lutut.
"Tunjukkan tempatnya," perintah Jacob singkat.
Luna dengan patuh berjalan lebih dulu, tubuh kecilnya melangkah ringan di depan Jacob yang menjulang tinggi di belakangnya. Kontras tinggi mereka cukup mencolok, Jacob yang tegap dengan tinggi 185 sentimeter, dan Luna yang mungil, hanya sekitar 155 sentimeter. Dalam diam, Jacob sempat khawatir kalau gadis kecil ini akan tersesat di balik semak belukar pulau yang rimbun.
Tak lama, mereka tiba di sebuah area hutan kecil, di mana pohon-pohon beri tumbuh lebat dengan buah yang sudah matang. Luna segera memetik beri dengan cekatan, sementara Jacob memperhatikan sejenak sebelum mulai melakukan hal yang sama.
"Sudah berapa lama kau tinggal di pulau ini?" Jacob bertanya, mencoba memecah keheningan.
"Dua tahun," jawab Luna ringan, sambil terus memetik. "Ibu yang membawaku ke sini."
Jacob mengangguk, matanya tak lepas dari gadis itu. "Usiamu masih sangat muda. Apa kau tidak ingin bersekolah?"
Luna berhenti sejenak, lalu menggeleng dengan senyum tipis. "Aku tidak mau. Mereka tidak menyukaiku."
Meski Luna tersenyum, Jacob bisa menangkap ada ketakutan dalam matanya. Ia bisa menebak alasan di balik itu, kemungkinan besar Luna pernah menjadi korban perundungan. Jacob memilih untuk tidak mendesak lebih jauh, dan kembali sibuk memetik beri.
"Kau punya teman?" tanyanya lagi, mencoba menggali lebih banyak tentang gadis itu.
Luna kembali menggeleng, tetapi kali ini matanya berbinar. "Dulu tidak. Tapi sekarang aku punya banyak teman."
Jacob mengerutkan kening. Tidak ada anak lain di pulau ini selain Luna, jadi siapa yang ia maksud sebagai teman? Rasa penasaran Jacob akhirnya terjawab saat Luna melanjutkan.
"Temanku adalah kelinci-kelinci di pulau ini. Mereka banyak sekali, dan aku sangat menyukai mereka!" katanya dengan penuh semangat, membuat wajahnya berseri-seri.
Jacob tersenyum tipis, hampir tidak kentara. "Tapi mereka tidak bisa bicara."
Luna mengangguk, tetap ceria. "Memang benar. Tapi setidaknya, mereka tidak menyakitiku."
Jawaban itu membuat Jacob tertegun. Ada kejujuran yang begitu polos sekaligus menyayat dalam kata-kata gadis kecil itu.
Ketika keranjang Luna hampir penuh, Jacob berdiri dan menatapnya. "Selama dua tahun di sini, kau pasti sudah tahu banyak tentang pulau ini, kan?"
Luna mengangguk bangga. "Iya! Aku tahu hampir semuanya, kecuali area yang Tuan Dustin larang kami kunjungi."
Jacob tersenyum kecil. "Kalau begitu, jadilah temanku."
Luna menatapnya dengan mata membulat, tampak kaget sekaligus bingung. "Teman? Apa itu diperbolehkan? Tuan Dustin tidak akan marah, kan, kalau aku menjadi teman putranya?"
Jacob tertawa kecil, suara tawa yang bahkan ia sendiri tidak sadari telah hilang sejak kematian kekasihnya. "Kenapa ayahku harus marah? Dia tidak akan peduli soal itu."
Akhirnya, Luna tersenyum lebar. "Kalau begitu, aku akan menunjukkan tempat-tempat terbaik di pulau ini pada Anda, Tuan!" katanya dengan semangat.
Jacob mengangguk, dan tanpa dia sadari bahwa gadis di depannya ini berhasil membuat hatinya merasa sedikit lebih ringan dengan caranya yang begitu sederhana.
Keesokan harinya, aktivitas Luna masih sama seperti hari sebelumnya. Saat Jacob keluar dari kamar ke arah balkon, ia akan langsung dihadapkan pemandangan Luna yang berlarian mengejar para kelinci.Wajahnya begitu riang saat dia berhasil mendapatkan kelinci yang dikejarnya, Luna akan menggendong dan mengusap kepala kelinci itu penuh kasih sayang sambil memberi sebuah wortel.“Berteman dengan gadis yang usianya sepuluh tahun lebih muda dariku… aneh juga rasanya,” gumamnya sambil menyandarkan tubuh ke pagar balkon. “Tapi kalau hidup di pulau ini tanpa teman, rasanya terlalu membosankan. Mungkin sudah waktunya aku mengajarkan pada gadis itu bahwa pendidikan itu sama pentingnya dengan bermain.”Sementara itu, Luna tidak sadar bahwa dia sering kali diperhatikan oleh Jacob. Ia terbiasa sendirian selama dua tahun tinggal di pulau itu, teman-temannya adalah para kelinci yang begitu banyak di pulau itu.Seekor kelinci remaja berada dalam dekapannya, ia mengusap bulu lembut kelinci itu sambil me
Tak pernah terlintas di benak Jacob bahwa pelariannya ke pulau ini akan membawanya pada pengalaman baru, menjadi seorang guru privat bagi gadis berusia enam belas tahun. Niatnya semula sederhana, menjauh dari dunia yang penuh kenangan pahit setelah kehilangan kekasih tercinta. Namun, takdir memiliki rencana lain dan mempertemukannya pada Luna.“Salah lagi. Lakukan dengan cara yang lain!” suara Jacob menggema di ruangan, disertai dentuman keras meja yang dipukulnya. Luna tersentak, matanya melebar, nyalinya hampir ciut oleh ketegasan pria itu.Jacob memperhatikan Luna dengan cermat, lebih cermat dari biasanya. Selama dua puluh lima tahun hidupnya, baru kali ini ia bertemu seseorang yang dalam pandangannya, begitu sulit memahami hal-hal dasar. Perhitungan sederhana saja menjadi tantangan besar bagi Luna."Apa sebenarnya isi kepalamu ini?" gumamnya sambil menekan tongkat kayu sepanjang lima puluh sentimeter ke dahi Luna.Luna menatapnya polos, tanpa rasa bersalah. “Isi kepalaku ini tentu
Hari demi hari berlalu, namun bagi Jacob, waktu seolah berjalan di tempat. Mengajar Luna terasa seperti menghadapi tembok yang keras kepala. Gadis itu sepertinya lebih tertarik pada hal-hal lain daripada pelajaran yang ia berikan. Setiap kali mereka duduk bersama, Jacob mendapati dirinya di ambang kehilangan kewarasan."Luna! Ini sudah lima bulan sejak aku mengajarimu, tapi kenapa kau tetap saja tidak paham apa yang aku jelaskan?!" serunya sambil mengetukkan tongkat kayu kecil ke kening Luna. "Gunakan otakmu! Apa kau kira belajar itu hanya sekedar duduk-duduk manis?"Luna memanyunkan bibir, mengeluh seperti anak kecil yang dimarahi. "Anda selalu marah-marah. Apa tidak bisa mengajar dengan lebih lembut?"Jacob menggerutu, meletakkan tongkatnya dengan kasar di meja. "Lembut? Bagaimana aku bisa lembut kalau muridku sekeras batu dan seceroboh dirimu?!"Luna menunduk, memainkan jari-jarinya di atas buku. "Angka-angka ini sulit sekali," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Jacob menghela n
Tiga tahun kemudian.Pagi di pulau itu terasa damai seperti biasa, tapi di sebuah ruangan kecil dengan jendela terbuka, suara perdebatan sudah menjadi sarapan sehari-hari. Jacob dengan sikap santainya, duduk di kursi sambil memperhatikan Luna yang sibuk menulis di atas buku."Akhirnya, setelah bertahun-tahun otakmu menunjukkan perkembangan yang layak diapresiasi. Tidak sia-sia aku mengabdikan diriku sebagai guru privat selama tiga tahun belakangan," ujar Jacob dengan nada setengah menggoda.Luna berhenti menulis sejenak, menatap Jacob dengan tatapan yang nyaris membunuh, sebelum kembali sibuk dengan tugasnya. Meski kesal, ia tidak bisa menyangkal bahwa ucapan Jacob ada benarnya. Tak terasa, tiga tahun sudah berlalu dan kini Luna sudah berusia sembilan belas tahun.Tapi, gadis itu masih mempertahankan penampilannya dengan rambut pendek sebatas leher. Setiap kali rambutnya tampak sedikit panjang, Luna akan memotongnya."Aku sudah selesai," kata Luna, membuyarkan lamunan Jacob. Ia mendor
Suasana pemberkatan pesta pernikahan tampak damai, beberapa tamu sudah hadir dan bersiap untuk menyaksikan pemberkatan pernikahan Christian Jacob Lawson. Ia adalah pria berusia dua puluh lima tahun, di usianya yang masih cukup muda, Jacob telah memiliki segalanya.Berkat dukungan dari keluarga, Jacob telah mendapatkan kesuksesan yang begitu besar. Sebuah saham kekayaan dari sang kakek dan juga kekayaan dari ayahnya, Jacob mengendalikan semua itu dengan kecerdasannya sehingga membuatnya menjadi salah satu pria termuda yang masuk penghargaan orang terkaya dunia.Dan hari ini, kebahagiaannya akan lengkap. Ia akan menikah dengan wanita yang sangat dicintainya, Anastasya. Wanita yang kini tengah mengandung anaknya, tentu adalah kebahagiaan yang Jacob nantikan.Dengan senyum bahagia, Jacob menerima ucapan selamat dari sahabat-sahabatnya. "Selamat, Dude. Hari ini kau resmi menjadi pria beruntung," ucap seorang rekannya sambil menepuk bahunya."Terima kasih," Jacob menjawab, matanya berbinar.
Hari-hari setelah kepergian Anastasya adalah lautan sunyi yang menelan semangat hidup Jacob. Ia yang dulu dikenal penuh semangat, kini hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu. Wajahnya pucat, matanya tampak kosong, dan kata-katanya nyaris tak terdengar.Di taman belakang rumah, Jacob duduk di bangku kayu, memandang tanpa tujuan ke arah langit yang memancarkan warna senja.Hazel berdiri di ambang pintu, menatap Jacob dengan mata berkaca-kaca."Ayah," bisik Hazel, berbalik menatap Dustin. "Kita harus melakukan sesuatu. Lima hari ini Jacob hanya diam seperti itu."Dustin menggeleng pelan. "Biarkan dia, Hazel. Kehilangan seperti ini tak bisa disembuhkan dengan paksaan. Jacob perlu waktu untuk merelakannya.""Tapi, Ayah..." Hazel menggigit bibirnya, hatinya terlalu sakit melihat kakaknya yang biasanya menjadi tumpuan kekuatan keluarga kini rapuh seperti daun kering di tiupan angin.Tanpa memperdulikan larangan ayahnya, Hazel berjalan mendekati Jacob. Suara langkahnya mengusik keheningan,
Pulau pribadi yang berukuran begitu luas milik Dustin masih terawat dengan baik, beberapa penjaga dan pelayan di tugaskan di tempat tersebut hingga saat kedatangan Jacob.Jacob turun dari helikopter, langkahnya perlahan menyentuh tanah berumput yang lembut. Angin laut menerpa wajahnya, membawa aroma asin yang membangkitkan kenangan pahit di hatinya. Seorang pelayan menyambut dengan sopan, mengambil kopernya, dan memandu pria itu menuju kamar yang telah disiapkan.Jacob menatap mansion itu dari kejauhan. Bangunan megah dengan sentuhan kolonial klasik itu masih terawat sempurna, tetapi baginya, tempat ini menyimpan sesuatu yang kini hanya berupa bayangan.Seharusnya, ia datang ke sini bersama Anastasya. Menciptakan momen kebahagiaan. Tapi kenyataan berkata lain, wanita yang ia cintai telah pergi, meninggalkan kekosongan yang tak tergantikan.“Tuan, mari saya tunjukkan kamar Anda,” ucap pelayan, memecah lamunan Jacob.Tanpa sepatah kata, Jacob mengangguk dan mengikuti langkah pelayan men
Tiga tahun kemudian.Pagi di pulau itu terasa damai seperti biasa, tapi di sebuah ruangan kecil dengan jendela terbuka, suara perdebatan sudah menjadi sarapan sehari-hari. Jacob dengan sikap santainya, duduk di kursi sambil memperhatikan Luna yang sibuk menulis di atas buku."Akhirnya, setelah bertahun-tahun otakmu menunjukkan perkembangan yang layak diapresiasi. Tidak sia-sia aku mengabdikan diriku sebagai guru privat selama tiga tahun belakangan," ujar Jacob dengan nada setengah menggoda.Luna berhenti menulis sejenak, menatap Jacob dengan tatapan yang nyaris membunuh, sebelum kembali sibuk dengan tugasnya. Meski kesal, ia tidak bisa menyangkal bahwa ucapan Jacob ada benarnya. Tak terasa, tiga tahun sudah berlalu dan kini Luna sudah berusia sembilan belas tahun.Tapi, gadis itu masih mempertahankan penampilannya dengan rambut pendek sebatas leher. Setiap kali rambutnya tampak sedikit panjang, Luna akan memotongnya."Aku sudah selesai," kata Luna, membuyarkan lamunan Jacob. Ia mendor
Hari demi hari berlalu, namun bagi Jacob, waktu seolah berjalan di tempat. Mengajar Luna terasa seperti menghadapi tembok yang keras kepala. Gadis itu sepertinya lebih tertarik pada hal-hal lain daripada pelajaran yang ia berikan. Setiap kali mereka duduk bersama, Jacob mendapati dirinya di ambang kehilangan kewarasan."Luna! Ini sudah lima bulan sejak aku mengajarimu, tapi kenapa kau tetap saja tidak paham apa yang aku jelaskan?!" serunya sambil mengetukkan tongkat kayu kecil ke kening Luna. "Gunakan otakmu! Apa kau kira belajar itu hanya sekedar duduk-duduk manis?"Luna memanyunkan bibir, mengeluh seperti anak kecil yang dimarahi. "Anda selalu marah-marah. Apa tidak bisa mengajar dengan lebih lembut?"Jacob menggerutu, meletakkan tongkatnya dengan kasar di meja. "Lembut? Bagaimana aku bisa lembut kalau muridku sekeras batu dan seceroboh dirimu?!"Luna menunduk, memainkan jari-jarinya di atas buku. "Angka-angka ini sulit sekali," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Jacob menghela n
Tak pernah terlintas di benak Jacob bahwa pelariannya ke pulau ini akan membawanya pada pengalaman baru, menjadi seorang guru privat bagi gadis berusia enam belas tahun. Niatnya semula sederhana, menjauh dari dunia yang penuh kenangan pahit setelah kehilangan kekasih tercinta. Namun, takdir memiliki rencana lain dan mempertemukannya pada Luna.“Salah lagi. Lakukan dengan cara yang lain!” suara Jacob menggema di ruangan, disertai dentuman keras meja yang dipukulnya. Luna tersentak, matanya melebar, nyalinya hampir ciut oleh ketegasan pria itu.Jacob memperhatikan Luna dengan cermat, lebih cermat dari biasanya. Selama dua puluh lima tahun hidupnya, baru kali ini ia bertemu seseorang yang dalam pandangannya, begitu sulit memahami hal-hal dasar. Perhitungan sederhana saja menjadi tantangan besar bagi Luna."Apa sebenarnya isi kepalamu ini?" gumamnya sambil menekan tongkat kayu sepanjang lima puluh sentimeter ke dahi Luna.Luna menatapnya polos, tanpa rasa bersalah. “Isi kepalaku ini tentu
Keesokan harinya, aktivitas Luna masih sama seperti hari sebelumnya. Saat Jacob keluar dari kamar ke arah balkon, ia akan langsung dihadapkan pemandangan Luna yang berlarian mengejar para kelinci.Wajahnya begitu riang saat dia berhasil mendapatkan kelinci yang dikejarnya, Luna akan menggendong dan mengusap kepala kelinci itu penuh kasih sayang sambil memberi sebuah wortel.“Berteman dengan gadis yang usianya sepuluh tahun lebih muda dariku… aneh juga rasanya,” gumamnya sambil menyandarkan tubuh ke pagar balkon. “Tapi kalau hidup di pulau ini tanpa teman, rasanya terlalu membosankan. Mungkin sudah waktunya aku mengajarkan pada gadis itu bahwa pendidikan itu sama pentingnya dengan bermain.”Sementara itu, Luna tidak sadar bahwa dia sering kali diperhatikan oleh Jacob. Ia terbiasa sendirian selama dua tahun tinggal di pulau itu, teman-temannya adalah para kelinci yang begitu banyak di pulau itu.Seekor kelinci remaja berada dalam dekapannya, ia mengusap bulu lembut kelinci itu sambil me
Pagi yang cerah menyambut Jacob, ia keluar menuju balkon dan berdiri disana menikmati pemandangan yang indah. Taman bunga tampak cantik, banyak bunga bermekaran di pertengahan musim semi.Keindahan ini masih saja belum mampu membuat hatinya bisa lega, sakit yang ia rasakan masih begitu besar hingga setiap kali ia menatap keindahan, pikirannya tertuju pada orang yang ia cintai.Sejenak Jacob memejamkan mata, tapi pendengarannya segera teralihkan oleh suara gadis yang tertawa. Saat ia membuka mata, tampak Luna sedang berlari mengejar kelinci.Jacob menatapnya dengan penuh perhatian. "Apakah ini rutinitas paginya?" pikirnya.Ia diam memperhatikan, Luna masih mengenakan dress tidurnya yang sama seperti kemarin. Dress berlengan panjang dan sebatas lutut berwarna putih. Gadis itu terlihat begitu menikmati hidupnya, dan di pulau tempat Jacob tinggal sekarang memang begitu banyak kelinci yang berkeliaran."Melihat kebahagiaannya yang berhasil membuatku iri, disisi lain aku juga kasihan padany
Pulau pribadi yang berukuran begitu luas milik Dustin masih terawat dengan baik, beberapa penjaga dan pelayan di tugaskan di tempat tersebut hingga saat kedatangan Jacob.Jacob turun dari helikopter, langkahnya perlahan menyentuh tanah berumput yang lembut. Angin laut menerpa wajahnya, membawa aroma asin yang membangkitkan kenangan pahit di hatinya. Seorang pelayan menyambut dengan sopan, mengambil kopernya, dan memandu pria itu menuju kamar yang telah disiapkan.Jacob menatap mansion itu dari kejauhan. Bangunan megah dengan sentuhan kolonial klasik itu masih terawat sempurna, tetapi baginya, tempat ini menyimpan sesuatu yang kini hanya berupa bayangan.Seharusnya, ia datang ke sini bersama Anastasya. Menciptakan momen kebahagiaan. Tapi kenyataan berkata lain, wanita yang ia cintai telah pergi, meninggalkan kekosongan yang tak tergantikan.“Tuan, mari saya tunjukkan kamar Anda,” ucap pelayan, memecah lamunan Jacob.Tanpa sepatah kata, Jacob mengangguk dan mengikuti langkah pelayan men
Hari-hari setelah kepergian Anastasya adalah lautan sunyi yang menelan semangat hidup Jacob. Ia yang dulu dikenal penuh semangat, kini hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu. Wajahnya pucat, matanya tampak kosong, dan kata-katanya nyaris tak terdengar.Di taman belakang rumah, Jacob duduk di bangku kayu, memandang tanpa tujuan ke arah langit yang memancarkan warna senja.Hazel berdiri di ambang pintu, menatap Jacob dengan mata berkaca-kaca."Ayah," bisik Hazel, berbalik menatap Dustin. "Kita harus melakukan sesuatu. Lima hari ini Jacob hanya diam seperti itu."Dustin menggeleng pelan. "Biarkan dia, Hazel. Kehilangan seperti ini tak bisa disembuhkan dengan paksaan. Jacob perlu waktu untuk merelakannya.""Tapi, Ayah..." Hazel menggigit bibirnya, hatinya terlalu sakit melihat kakaknya yang biasanya menjadi tumpuan kekuatan keluarga kini rapuh seperti daun kering di tiupan angin.Tanpa memperdulikan larangan ayahnya, Hazel berjalan mendekati Jacob. Suara langkahnya mengusik keheningan,
Suasana pemberkatan pesta pernikahan tampak damai, beberapa tamu sudah hadir dan bersiap untuk menyaksikan pemberkatan pernikahan Christian Jacob Lawson. Ia adalah pria berusia dua puluh lima tahun, di usianya yang masih cukup muda, Jacob telah memiliki segalanya.Berkat dukungan dari keluarga, Jacob telah mendapatkan kesuksesan yang begitu besar. Sebuah saham kekayaan dari sang kakek dan juga kekayaan dari ayahnya, Jacob mengendalikan semua itu dengan kecerdasannya sehingga membuatnya menjadi salah satu pria termuda yang masuk penghargaan orang terkaya dunia.Dan hari ini, kebahagiaannya akan lengkap. Ia akan menikah dengan wanita yang sangat dicintainya, Anastasya. Wanita yang kini tengah mengandung anaknya, tentu adalah kebahagiaan yang Jacob nantikan.Dengan senyum bahagia, Jacob menerima ucapan selamat dari sahabat-sahabatnya. "Selamat, Dude. Hari ini kau resmi menjadi pria beruntung," ucap seorang rekannya sambil menepuk bahunya."Terima kasih," Jacob menjawab, matanya berbinar.