Tiga tahun kemudian.
Pagi di pulau itu terasa damai seperti biasa, tapi di sebuah ruangan kecil dengan jendela terbuka, suara perdebatan sudah menjadi sarapan sehari-hari. Jacob dengan sikap santainya, duduk di kursi sambil memperhatikan Luna yang sibuk menulis di atas buku.
"Akhirnya, setelah bertahun-tahun otakmu menunjukkan perkembangan yang layak diapresiasi. Tidak sia-sia aku mengabdikan diriku sebagai guru privat selama tiga tahun belakangan," ujar Jacob dengan nada setengah menggoda.
Luna berhenti menulis sejenak, menatap Jacob dengan tatapan yang nyaris membunuh, sebelum kembali sibuk dengan tugasnya. Meski kesal, ia tidak bisa menyangkal bahwa ucapan Jacob ada benarnya. Tak terasa, tiga tahun sudah berlalu dan kini Luna sudah berusia sembilan belas tahun.
Tapi, gadis itu masih mempertahankan penampilannya dengan rambut pendek sebatas leher. Setiap kali rambutnya tampak sedikit panjang, Luna akan memotongnya.
"Aku sudah selesai," kata Luna, membuyarkan lamunan Jacob. Ia mendorong bukunya ke meja. "Sekarang, bolehkah aku keluar?"
Jacob mengambil buku itu, memeriksanya dengan cermat. "Tetap di sini sampai aku selesai memeriksa tugasmu," jawabnya santai.
Luna mendengus pelan, tapi ia tetap duduk, meski terlihat jelas dari sorot matanya bahwa ia ingin segera pergi.
"Sudah cukup bagus," kata Jacob setelah beberapa menit, meletakkan buku itu di meja dengan bunyi plak. "Tapi masih ada beberapa kesalahan yang kamu buat."
Ia menatap Luna, gadis itu balas menatapnya tanpa rasa takut. Selama tiga tahun saling mengenal, tampaknya Luna mulai berani dengan terang terangan menantangnya. Bahkan dari sorot matanya, Jacob melihat tatapan kebencian seakan ingin mencakarnya saat ini juga.
"Aku sudah belajar tiga tahun bersamamu," kata Luna dengan nada menantang. "Apa sekarang aku lulus?"
Jacob terkekeh, mengulang kata itu seolah ia baru mendengar lelucon. "Lulus? Kau bercanda, kan?" Ia mendorong kening Luna dengan jari telunjuknya, hanya untuk membuat gadis itu menepisnya dengan kasar. "Masih ada banyak hal yang perlu kau pelajari, Luna. Jangan bermimpi."
Luna berdiri mendadak membuat Jacob mendongak ke arahnya, tak ingin merasa kalah, Jacob pun berdiri sehingga kini Luna yang mendongak menatap Jacob.
"Apa? Kau mau menantangku sekarang?" tanyanya, senyumnya penuh ejekan.
"Hei, Tuan pemburu kelinci," Luna menyipitkan matanya dengan tatapan penuh perlawanan. "Selama tiga tahun ini, apa kau tidak bosan di pulau ini? Tidak rindu menikmati kebebasanmu di dunia luar sana?"
Alis Jacob terangkat, dan seringai kecil menghiasi bibirnya. "Kau ingin aku pergi agar kau terbebas dari pengajaranku, ya?"
"Sial, kau bisa membaca pikiranku," gerutu Luna lirih, tapi cukup keras untuk didengar Jacob.
Dengan gerakan cepat, Jacob meraih dagu Luna, memaksanya untuk kembali mendongak menatapnya. "Aku tidak mengizinkanmu mengumpat di depanku, gadis kecil," katanya dengan nada rendah yang menggoda.
Luna langsung menepis tangannya dengan gerakan kasar. "Aku bukan anak kecil! Aku sudah sembilan belas tahun, aku sudah dewasa!" serunya dengan nada tinggi, penuh perlawanan.
Jacob memiringkan kepalanya, tatapannya berubah sedikit lebih serius, tapi bibirnya tetap tersenyum. "Oh, ya?"
"Ya! Tentu saja!" Luna menegaskan, menatap Jacob tanpa sedikit pun rasa takut.
Jacob hanya menaikkan kedua alisnya tinggi, menyadari Luna kembali menantangnya. Tapi satu hal yang Jacob sadari, tubuh Luna kini lebih tinggi dari tiga tahun lalu dan beberapa bagian tubuhnya tampak menonjol dari sebelumnya.
Seringai kecil menghiasi wajah Jacob, seolah ia ingin menggodanya lagi. Tapi sebelum ia sempat bicara, Luna sudah berbalik dengan cepat, berjalan pergi sambil menghentakkan kakinya dengan kesal.
___
Langit malam menggantung kelam di atas mansion, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar menyusup melalui celah dedaunan. Suasana sepi, hanya suara angin malam yang sesekali membelai tirai jendela. Di dalam kamarnya, Jacob menutup buku yang telah dibacanya sejak tadi. Ia menghela nafas panjang. Malam-malam seperti ini sering membuatnya bosan, dan entah sejak kapan, mencari Luna dan menggoda gadis itu menjadi pelarian favoritnya.
"Dimana Luna?" tanyanya santai pada Maci, pelayan yang kebetulan lewat di depan kamarnya.
"Saya tadi melihat Luna keluar sambil membawa lentera, sepertinya menuju ke arah hutan," jawab Maci dengan nada ragu.
Jacob mengerutkan kening. Di malam selarut ini, untuk apa Luna pergi ke hutan? Perasaan aneh menghampirinya, dan tanpa berpikir panjang, ia meraih mantel dan melangkah keluar menuju arah yang disebutkan Maci.
Hutan di malam hari bukanlah tempat yang ramah. Gelap dan sunyi, dengan suara ranting patah di bawah kaki serta gesekan daun yang seolah berbisik mengikuti langkahnya. Meskipun selama tinggal di pulau ini Jacob belum pernah bertemu hewan buas, tapi tetap saja banyak ular berbisa berkeliaran.
"Luna?!" panggilnya lantang.
Hanya keheningan yang menjawab. Jacob terus melangkah lebih dalam, matanya tertuju pada cahaya redup lentera yang berkedip-kedip dari kejauhan. Itu pasti Luna. Langkahnya semakin cepat, namun suara gemericik air membuatnya berhenti sejenak.
Di dekat sebuah kolam air terjun kecil, Luna menikmati kesendiriannya. Air dingin menyegarkan tubuhnya, dan suasana hening membuatnya rileks setelah hari-hari penuh gangguan dari Jacob. Dengan senyum tipis, ia membiarkan tubuhnya yang telanjang tenggelam dalam kenyamanan air yang sejuk.
"Aku berharap dia segera pergi dari pulau ini," gumamnya pelan, tanpa menyadari bahwa harapannya segera berbalik menjadi kenyataan yang janggal.
"Kau di sini ternyata."
Suara itu membuatnya tersentak. Tubuhnya langsung membeku, dan ketenangan yang baru saja ia nikmati buyar seketika. Luna menoleh dengan cepat, hanya untuk melihat Jacob berdiri di tepi kolam, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Apa yang Anda lakukan kemari?" tanyanya dengan nada tegang.
"Mencarimu," jawab Jacob santai, matanya tetap tertuju pada bahu Luna yang terlihat samar di bawah cahaya lentera.
Luna menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. Dalam kondisi seperti ini, ia tidak mungkin keluar dari air. Tanpa sehelai pakaian pun di tubuhnya, situasi ini bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih berbahaya.
"Tuan, berbaliklah," desisnya, nadanya setengah memohon.
Jacob mengangkat alis, bingung. "Di mansion ada kolam renang. Kenapa kau repot-repot datang ke hutan hanya untuk berenang? Cepat keluar dari sana. Bahaya kalau ada ular atau binatang lain yang mendekat."
Luna memejamkan mata, tangannya menyilang di depan dada, berusaha menutupi dirinya di bawah air. "Tuan, aku mohon, berbaliklah! Aku… aku tidak mengenakan apa pun. Jangan melihatku!"
Perkataan itu membuat Jacob terdiam. Matanya membelalak kecil, menyadari apa yang Luna maksudkan. Ia segera membalikkan tubuhnya, membelakangi gadis itu.
"Sudah. Sekarang kau bisa keluar dari kolam itu."
Luna menoleh perlahan, memastikan Jacob benar-benar tidak melihatnya. Baru setelah yakin, ia mulai keluar dari air, tubuhnya menggigil karena udara malam. Namun tanpa ia sadari, bayangannya yang dipantulkan cahaya lentera tercetak jelas di permukaan air dan tanah. Siluet tubuhnya yang ramping dan sensual tanpa busana terlihat seperti sebuah karya seni, tak luput dari perhatian Jacob.
Meskipun punggungnya membelakangi Luna, bayangan gadis itu tidak bisa dihindari. Jacob tertegun, matanya menangkap setiap detail yang terpantul. Ia segera menunduk, mencoba mengalihkan pikiran, tapi imajinasi liar sudah terlanjur muncul di benaknya.
"Sudah selesai?" tanyanya cepat, mencoba menutupi kegugupannya.
Luna mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa, wajahnya memerah meskipun Jacob tidak melihat langsung. "Ya, sudah. Sekarang kita bisa pergi," balasnya dengan nada ketus.
Jacob berbalik dan matanya mengikuti langkah Luna, ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan, untuk pertama kalinya ia menatap gadis itu bukan lagi sebagai anak kecil di matanya.
Jacob merasa gugup, sesuatu pada bagian tubuhnya yang lain terasa tidak nyaman secara tiba-tiba setelah melihat bayangan tubuh Luna di air beberapa saat lalu.
"Apa yang terjadi padaku?" desisnya frustasi.
Pagi itu, udara pulau terasa lebih sejuk dari biasanya. Luna masih berbaring malas di tempat tidur menikmati ketenangan pagi tanpa gangguan Jacob. Tapi ketenangan itu segera pecah oleh suara bising helikopter yang mendadak terdengar semakin mendekat.Ia melompat dari ranjang, mengenakan sandal buru-buru lalu berlari keluar. Di halaman mansion, angin kencang dari baling-baling helikopter membuat dedaunan dan debu beterbangan, memaksa Luna menutup wajahnya dengan tangan.Pandangannya tertuju ke arah Jacob, pria itu sempat menoleh ke arahnya sebelum terbang tinggi bersama helikopter yang di naikinya. Luna mendongak, melihat kendaraan udara itu perlahan menjauh ke udara."Aku tidak mengira, doaku semalam langsung dikabulkan hari ini." batinnya senang.Sementara itu, Jacob duduk tenang di dalam helikopter. Tatapannya kosong, melihat pemandangan laut yang terbentang luas. Tiga tahun ia menghabiskan waktu di pulau itu, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar.Sesampainya di New Jersey, Jacob langsu
Suara helikopter kembali terdengar setelah dua hari Jacob meninggalkan pulau, Luna yang berada di kebun bersama pelayan lain segera melihat siapa yang datang kali ini. Tapi ia terkejut karena Jacob yang ia kira tidak akan kembali, justru datang lagi.Tatapan mereka bertemu dalam sekejap, tapi Jacob cepat-cepat memalingkan wajahnya. Ia sibuk memberi instruksi pada orang-orang di helikopter untuk menurunkan barang-barang yang ia bawa.Luna memperhatikannya dari kejauhan, namun suara Maci memotong lamunannya. "Jangan hanya berdiri bengong, Luna. Kalau kau tak mau membantu, paling tidak tunjukkan kalau kau peduli. Bukankah kau dan Tuan Muda punya hubungan yang... baik?"Seketika Luna langsung menoleh, mengingat cara Jacob yang kerap menjahilinya dan juga suka bersikap menyebalkan, apakah itu bisa dikatakan sebagai hubungan yang baik? Luna mendengus, berbalik badan kembali ke ladang tanpa membantu Jacob sedikitpun. Jacob masuk ke dalam mansion, setelah beberapa saat pria itu keluar lagi
Beberapa buku sudah Luna siapkan, ia juga duduk dengan tenang dan belajar sambil menunggu Jacob datang untuk mengajarinya seperti biasa. Karena pria itu tak suka keterlambatan, akhirnya Luna berusaha datang lebih dulu agar Jacob tidak marah-marah seperti biasanya.Namun, satu jam berlalu, dan Jacob tak kunjung muncul. Jantung Luna mulai terasa tidak tenang. Ia melirik jam di dinding untuk kesekian kali. Apa dia marah padaku? pikirnya.Luna akhirnya menutup buku dengan desahan kecil, lalu berdiri. Tidak biasanya Jacob melewatkan rutinitas yang sudah ia tetapkan sendiri, terlebih untuk sesuatu yang dianggap penting seperti mengajari Luna. Pria itu selalu menjadi orang yang tegas dan disiplin. Jadi, mengapa kali ini berbeda?"Luna, mau ke mana kau?" tegur Maci saat melewati ruangan.Luna menoleh cepat. "Bu, sepertinya aku membuat kesalahan. Tuan pemburu kelinci itu tidak mengajariku hari ini," jawabnya dengan nada ragu.Maci hanya menggeleng sambil tertawa kecil. "Bukankah kau sering ber
Hari-hari berlalu dengan lambat, dan Jacob masih menjaga jarak. Sikap pria itu yang terus-menerus menghindar mulai mengusik pikiran Luna. Kecemasannya tumbuh semakin besar. Bagaimana jika Jacob benar-benar mengusirnya dari pulau ini? Namun, Luna sendiri tak tahu apa yang telah ia lakukan hingga membuat Jacob begitu marah.Luna melangkah keluar, ia hanya melihat Jacob memberi makan kelinci siang ini. Pria itu tampak jauh lebih pendiam dari biasanya yang suka marah-marah, jelas bagi Luna ini ada yang tidak beres."Kau ada masalah dengan Tuan Muda?" suara Maci memecah lamunannya. Wanita itu muncul dari arah halaman belakang, membawa keranjang penuh buah-buahan segar.Luna menggeleng pelan, tampak bingung. "Aku tidak tahu. Tapi sepertinya dia benar-benar marah padaku.""Kalau begitu, kau harus minta maaf. Kalau tidak, mungkin kau harus meninggalkan pulau ini," ujar Maci santai sebelum melenggang pergi, meninggalkan Luna yang tertegun.Kata-kata itu menghantam Luna seperti badai. Meninggal
Luna semakin kepikiran, wajah Jacob yang ia lihat tadi benar-benar marah. Berbeda ketika pria itu marah saat mengajarinya, kali ini kemarahan itu membuat Luna takut. Ia terdiam lama di dalam kamarnya, sampai hari semakin larut dan ia tak bisa tidur."Aku harus bicara padanya," ia bangun, dengan perlahan menuju ke kamar Jacob berada. Luna tau ini terlalu beresiko membangunkan seseorang di tengah malam seperti ini, tapi disisi lain ia juga tidak mau di usir dari tempat itu.Tangannya terangkat dengan ragu lalu mengetuk perlahan pintu kamar Jacob beberapa kali, tidak ada sahutan, ia pun berinisiatif mengetuknya kembali sampai suara Jacob terdengar di belakangnya."Apa yang kau lakukan tengah malam seperti ini di depan kamarku?"Tubuh Luna tersentak kaget, gadis itu berbalik dengan cepat dan melihat Jacob berdiri di depannya. Tubuh besar pria itu seolah mendominasi Luna yang tampak mungil, ia menelan ludah dengan susah payah."A-aku... bisakah kita bicara sebentar?" tanyanya, suara sedikit
Sejak semalam Jacob tidak bisa tidur, ia masih belum yakin dengan perasaannya sendiri. Terlebih, tiga tahun lalu kekasihnya meninggal tepat di hari pernikahan yang membuat Jacob meragukan dirinya sendiri bahwa dia bisa kembali jatuh hati pada wanita lain.Pagi ini, ditemani secangkir teh hangat ia bersantai di balkon kamarnya yang menghadap kolam renang. Tak jauh dari kolam renang tersebut, tampak Luna sedang berlarian seperti saat Jacob melihat gadis itu untuk pertama kalinya.Namun, kali ini berbeda. Luna sudah tumbuh lebih dewasa dari tiga tahun lalu, lebih tinggi dan juga terlihat ... menggoda.Jacob mengangkat cangkir tehnya, menyesap sedikit tanpa melepaskan pandangan ke arah Luna."Aku harap, aku bisa menahan diriku." batin Jacob, sampai akhirnya Luna yang berada di taman itu menoleh ke arahnya, senyumnya tampak cerah dan dia bahkan melambaikan tangan ke arah Jacob penuh semangat.Alih-alih membalas, Jacob justru memalingkan wajah seraya menikmati pemandangan ke arah lain.Sete
Suara tawa Luna terdengar setiap kali gadis itu berhasil menangkap udang, tidak terasa hasil tangkapan mereka sudah mulai memenuhi wadah yang Luna bawa. Setiap kali Luna tertawa, Jacob hanya memperhatikan dengan senyum tipis nyaris tidak kentara di bibirnya."Kau senang?" tanya Jacob akhirnya, suaranya rendah namun cukup terdengar.Luna menoleh, wajahnya basah oleh percikan air, tetapi senyum lebar tak pernah hilang dari bibirnya. "Tentu saja! Lihat ini, kita punya cukup banyak udang. Aku akan memasak makanan yang lezat untukmu malam ini." ia mengangkat wadah penuh hasil tangkapan mereka dengan bangga.Sekilas Jacob berdecih lirih, tapi ia juga menepi dan meraih bajunya. Semoga saja ia bisa menjadi sosok pria yang lebih kuat menahan nafsunya, karena jika tidak maka santapan utama yang Jacob incar di pulau ini sudah pasti adalah Luna.Membiarkan Luna berjalan lebih dulu di depannya, sesekali gadis itu tampak puas melihat hasil tangkapan udang yang mereka dapat. Kalau saja Jacob tak mena
"Tuan, berhenti!" seru Luna, suaranya terdengar putus asa. Jacob terhenti, namun sorot matanya yang tajam masih terpatri pada Luna, seperti angin badai yang tidak kunjung reda.Luna memalingkan wajah, tidak sanggup menatap pria itu lebih lama. Wajahnya memerah, bukan hanya karena rasa malu, tapi juga karena jantungnya yang berdebar tak terkendali.Ia menelan ludah tanpa sadar, mengambil satu langkah mundur. Tapi itu tidak cukup untuk menjauh dari aura Jacob yang begitu mendominasi. Dengan gemetar, Luna berbalik dan mulai berlari. Kakinya melangkah cepat, namun perasaannya tetap tertinggal di belakang, bersama tatapan membara Jacob yang tak kunjung memudar dari ingatannya.Jacob tidak mengejarnya. Pria itu hanya berdiri di tempatnya, menatap punggung Luna yang semakin menjauh. Bibirnya terangkat membentuk seringai samar, jemarinya menyentuh bibirnya sendiri, mengingat kelembutan yang baru saja ia rasakan."Astaga," gumam Jacob sambil tersenyum miring. "Bibirnya... manis sekali."Ia meng
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Luna bergegas dari dapur saat dering ponselnya memecah kesunyian. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat nama "Xavier" berkedip di layar. Tangannya gemetar saat mencoba mengatur nafas, memastikan suaranya tak akan terdengar mencurigakan saat menjawab."Baik, tenang," bisiknya pada diri sendiri sebelum akhirnya mengangkat telepon. "Halo?"Suara Xavier langsung memenuhi telinganya, dingin dan penuh ancaman. "Ingat baik-baik, Luna. Kau tidak boleh terlambat satu menit pun untuk acara pertunangan kita. Tiga hari lagi. Liburanmu tersisa satu hari. Jika kau berani melawan..." Ada jeda yang sengaja dibuat dramatis. "Aku tidak akan tinggal diam."Luna memejamkan mata erat-erat, mencoba menahan getar di suaranya. "Aku mengerti. Besok aku akan kembali.""Dan ingat ini," sambung Xavier, suaranya tiba-tiba lebih rendah namun sepuluh kali lebih mengerikan. "Aku benci mengulangi kalimat yang sama. Kalau kau berulah..." Ancaman itu menggantung di udara. "Jangan
Waktu yang seharusnya Luna gunakan untuk menenangkan pikiran dengan cara liburan sendirian, ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Jacob menyusulnya, memperlakukannya bagaikan boneka pemuas yang tak ada hentinya.Dari awal Luna datang ke tempat itu ia sudah bertemu dengan Jacob, dan sekarang sudah hari ketiga ia tinggal bersama Jacob tanpa keluar dari penginapan, Jacob melarangnya dan pria itu hanya ingin melakukan apa yang dia inginkan.Tidak ada kata protes lagi yang Luna ucapkan untuk menghentikan Jacob, tiga hari ini ia sudah lelah menghadapi pria yang hanya menggunakan tubuhnya untuk mendapatkan kepuasan. Tidak ada satu katapun yang Jacob dengarkan, semakin Luna memberontak, semakin kasar pria itu memperlakukannya.Sekarang, Luna berdiri di depan cermin kamar mandi, memandangi tubuhnya yang terdapat memar akibat ulah Jacob. "Dia tidak meninggalkan bekas di area terbuka, syukurlah." batin Luna.Karena jika Jacob meninggalkan bekas di tubuh Luna, maka itu bisa langsung diketahui ol
Hampir sepanjang malam, Jacob tidak memberikan kesempatan bagi Luna untuk beristirahat. Tubuhnya terasa lelah, nyeri di pinggangnya seperti mengingatkannya pada setiap detik yang mereka habiskan bersama. Saat pukul empat dini hari, Luna terbangun dengan perlahan, matanya berkedip beberapa kali mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan kamar. Di sebelahnya, Jacob masih tertidur dengan posisi yang posesif, tangan kanannya melingkari pinggang Luna dengan erat, seolah tak ingin melepaskannya meski dalam tidur.Luna menghela nafas pelan, mencoba mengatur pikirannya yang berantakan. Momen-momen yang terjadi beberapa jam lalu terlintas kembali di benaknya, membuat dadanya sesak. Ia tahu, ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Jacob tidak boleh terus terjerat dalam masalah yang semakin besar karena dirinya. Dengan hati-hati, Luna mencoba memindahkan tangan Jacob yang memeluknya. Tapi alih-alih melepaskan, tangan Jacob justru semakin erat mencengkeram.Luna menoleh, melihat wajah Jacob yang
Tubuh Luna terhempas di atas sofa sebuah villa yang terpencil, jauh dari keramaian dan jauh dari tempat di mana ia seharusnya berada. Begitu Jacob menurunkannya dari bahunya, Luna bergegas bangkit, mencoba melarikan diri. Tapi dengan gerakan cepat, Jacob mengunci tubuh gadis itu di antara kedua tangannya yang kokoh dan sofa yang menjadi sandaran Luna.Luna menatap Jacob, matanya membesar. Sorot mata pria itu terlihat sangat berbeda dari biasanya, tidak ada lagi kehangatan yang biasa ia lihat. Yang ada hanyalah kegelapan dan intensitas yang membuat jantung Luna berdegup kencang. Ia merasa seperti sedang berhadapan dengan orang asing, bukan Jacob yang ia kenal selama ini."Kau tidak seharusnya melakukan ini. Aku adalah perempuan yang akan menikah dalam waktu dekat," ucap Luna, berusaha menjaga suaranya tetap tegas meskipun getarannya tak bisa disembunyikan. Sikap dominan Jacob membuatnya merasa kecil, seperti burung yang terjebak dalam sangkar.Ekspresi Jacob semakin membuat Luna takut.
Pesta pertunangan tinggal sepuluh hari lagi, dan setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang semakin menyesakkan dada Luna. Perasaan bersalah dan kekhawatiran terus menggerogoti hatinya. Luna tahu, ia tidak bisa menciptakan masalah baru untuk Jacob, tapi di sisi lain, ia juga tidak bisa menerima kenyataan bahwa hidupnya akan sepenuhnya dikendalikan oleh orang lain.Dengan langkah berat, Luna berjalan menuju kamar Nico. Ia mengetuk pintu perlahan, dan tak lama kemudian, Nico membuka pintu dengan ekspresi bingung."Ada apa?" tanyanya, matanya menyipit penuh pertanyaan.Tanpa banyak bicara, Luna masuk ke dalam kamar Nico. Ini adalah pertama kalinya Luna masuk ke kamar saudara tirinya itu, dan ekspresi wajahnya yang muram membuat Nico semakin penasaran. Luna terlihat seperti mayat berjalan, wajahnya pucat dan matanya kosong."Hei, jangan membuatku takut. Kau terlihat seperti baru saja kehilangan harta jutaan dolar," protes Nico, mencoba meredakan ketegangan.Luna duduk di kursi gam
Malam telah berlalu, dan fajar menyingsing dengan membawa kejutan yang mengguncang dunia media. Sebuah artikel muncul di berbagai platform berita, mengungkap rahasia yang selama ini dijaga ketat oleh keluarga Davis. Artikel itu menyebutkan bahwa George Davis, memiliki dua cucu laki-laki. Namun, identitas mereka selalu menjadi misteri. Hanya kabar angin yang beredar, tapi tak pernah ada bukti konkret yang mengungkap siapa sebenarnya kedua cucu itu.Spekulasi pun bermunculan. Ada yang mengatakan bahwa cucu George Davis cacat, sehingga disembunyikan dari publik. Ada pula yang berpendapat bahwa mereka tidak layak mewarisi kekayaan sang kakek. Artikel itu langsung menjadi trending topik, memicu perdebatan dan rasa penasaran yang membara di kalangan masyarakat. Siapa sebenarnya kedua cucu George Davis? Mengapa identitas mereka begitu dijaga?Di dalam ruang kerja yang megah, Xavier duduk dengan wajah muram. Matanya menatap layar laptop di depannya, artikel itu terbuka lebar. Rahangnya menge
Mobil McLaren hitam milik Nico meluncur dengan mulus di jalanan sepi, meninggalkan keramaian kota New York jauh di belakang. Setelah beberapa saat dalam perjalanan, mobil itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah mewah yang megah, dikelilingi pagar tinggi dan pepohonan rindang. Nico turun dari mobilnya, matanya menyapu sekeliling dengan perasaan campur aduk. Ini adalah rumah Xavier, tempat yang sudah lama tidak ia kunjungi, tapi ingatannya tentang tempat ini masih sangat jelas. Saat melangkah masuk ke halaman, Nico melihat mobil Xavier terparkir di depan. Artinya, si pemilik rumah ada di dalam. Nico menarik nafas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah lebih jauh. Dia tahu persis di mana Xavier biasanya menghabiskan waktunya, dan tanpa ragu, ia menuju ke gudang belakang. Sesampainya di sana, Nico melihat pintu gudang tidak tertutup rapat. Dua penjaga berseragam hitam berdiri di depan pintu, tangan mereka terlipat di depan dada. Tapi karena Nico sudah beberapa kali datan
Pernikahan tinggal satu bulan lagi, dan Luna hanya bisa menunggu hari itu tiba dengan perasaan yang campur aduk. Ia duduk di kursi taman di halaman belakang, menatap kosong ke kejauhan. Pikirannya melayang entah kemana, mencoba menenangkan diri dari kegelisahan yang menggerogoti hatinya. Namun, di tengah lamunannya, telinganya menangkap suara langkah kaki yang perlahan mendekat. Luna tidak menoleh, hanya menghela nafas berat, seolah nafas itu bisa meringankan beban yang terasa begitu berat di dadanya."Kalau kau datang hanya untuk mengejekku, sebaiknya kau pergi saja," ucap Luna tanpa menoleh, suaranya datar tak ingin diganggu.Di belakangnya, Nico berdiri diam, matanya menatap Luna dengan ekspresi yang sulit dibaca. Awalnya, ia datang dengan niat yang tidak jelas, mungkin hanya ingin melihat bagaimana keadaan Luna. Tapi sekarang, melihat gadis itu begitu rapuh, hatinya justru tersentuh. Luna bukanlah ancaman baginya, justru sebaliknya. Dia seperti anak kelinci yang lemah, tak berdaya,
“Berikan gadis itu padaku,” ucap Xavier, suaranya rendah namun penuh dengan otoritas. Tangannya terulur, siap mengambil Luna dari Jacob. Tapi dengan cepat, Jacob melangkah maju, berdiri di depan Luna, menghalangi Xavier yang akan menyentuhnya. Tubuhnya tegap, matanya berapi-api, siap melindungi Luna dengan segala cara.Kini, kedua pria itu saling bertatapan sengit. Udara di sekitar mereka terasa panas, seperti pertarungan yang tak terelakkan akan segera dimulai. Tidak ada yang mau mengalah. Sementara itu, Luna berdiri di belakang Jacob, hatinya bergejolak antara rasa takut dan kebingungan. Di satu sisi, jika ia ikut dengan Jacob, pria itu pasti akan mendapatkan masalah yang lebih besar. Di sisi lain, jika ia ikut dengan Xavier, maka artinya Luna harus siap menerima konsekuensi menikah dengan pria yang bahkan tidak ia sukai sama sekali.“Kau tidak akan membawanya kemana pun,” geram Jacob, sorot matanya tajam seperti pedang yang siap menghunus. “Aku tidak akan pernah melepaskannya.”Tapi