Home / Romansa / Diam-Diam Menikmati / Bab 8. Menuju kedewasaan

Share

Bab 8. Menuju kedewasaan

Author: SILAN
last update Last Updated: 2024-12-18 18:40:29

Tiga tahun kemudian.

Pagi di pulau itu terasa damai seperti biasa, tapi di sebuah ruangan kecil dengan jendela terbuka, suara perdebatan sudah menjadi sarapan sehari-hari. Jacob dengan sikap santainya, duduk di kursi sambil memperhatikan Luna yang sibuk menulis di atas buku.

"Akhirnya, setelah bertahun-tahun otakmu menunjukkan perkembangan yang layak diapresiasi. Tidak sia-sia aku mengabdikan diriku sebagai guru privat selama tiga tahun belakangan," ujar Jacob dengan nada setengah menggoda.

Luna berhenti menulis sejenak, menatap Jacob dengan tatapan yang nyaris membunuh, sebelum kembali sibuk dengan tugasnya. Meski kesal, ia tidak bisa menyangkal bahwa ucapan Jacob ada benarnya. Tak terasa, tiga tahun sudah berlalu dan kini Luna sudah berusia sembilan belas tahun.

Tapi, gadis itu masih mempertahankan penampilannya dengan rambut pendek sebatas leher. Setiap kali rambutnya tampak sedikit panjang, Luna akan memotongnya.

"Aku sudah selesai," kata Luna, membuyarkan lamunan Jacob. Ia mendorong bukunya ke meja. "Sekarang, bolehkah aku keluar?"

Jacob mengambil buku itu, memeriksanya dengan cermat. "Tetap di sini sampai aku selesai memeriksa tugasmu," jawabnya santai.

Luna mendengus pelan, tapi ia tetap duduk, meski terlihat jelas dari sorot matanya bahwa ia ingin segera pergi.

"Sudah cukup bagus," kata Jacob setelah beberapa menit, meletakkan buku itu di meja dengan bunyi plak. "Tapi masih ada beberapa kesalahan yang kamu buat."

Ia menatap Luna, gadis itu balas menatapnya tanpa rasa takut. Selama tiga tahun saling mengenal, tampaknya Luna mulai berani dengan terang terangan menantangnya. Bahkan dari sorot matanya, Jacob melihat tatapan kebencian seakan ingin mencakarnya saat ini juga.

"Aku sudah belajar tiga tahun bersamamu," kata Luna dengan nada menantang. "Apa sekarang aku lulus?"

Jacob terkekeh, mengulang kata itu seolah ia baru mendengar lelucon. "Lulus? Kau bercanda, kan?" Ia mendorong kening Luna dengan jari telunjuknya, hanya untuk membuat gadis itu menepisnya dengan kasar. "Masih ada banyak hal yang perlu kau pelajari, Luna. Jangan bermimpi."

Luna berdiri mendadak membuat Jacob mendongak ke arahnya, tak ingin merasa kalah, Jacob pun berdiri sehingga kini Luna yang mendongak menatap Jacob.

"Apa? Kau mau menantangku sekarang?" tanyanya, senyumnya penuh ejekan.

"Hei, Tuan pemburu kelinci," Luna menyipitkan matanya dengan tatapan penuh perlawanan. "Selama tiga tahun ini, apa kau tidak bosan di pulau ini? Tidak rindu menikmati kebebasanmu di dunia luar sana?"

Alis Jacob terangkat, dan seringai kecil menghiasi bibirnya. "Kau ingin aku pergi agar kau terbebas dari pengajaranku, ya?"

"Sial, kau bisa membaca pikiranku," gerutu Luna lirih, tapi cukup keras untuk didengar Jacob.

Dengan gerakan cepat, Jacob meraih dagu Luna, memaksanya untuk kembali mendongak menatapnya. "Aku tidak mengizinkanmu mengumpat di depanku, gadis kecil," katanya dengan nada rendah yang menggoda.

Luna langsung menepis tangannya dengan gerakan kasar. "Aku bukan anak kecil! Aku sudah sembilan belas tahun, aku sudah dewasa!" serunya dengan nada tinggi, penuh perlawanan.

Jacob memiringkan kepalanya, tatapannya berubah sedikit lebih serius, tapi bibirnya tetap tersenyum. "Oh, ya?"

"Ya! Tentu saja!" Luna menegaskan, menatap Jacob tanpa sedikit pun rasa takut.

Jacob hanya menaikkan kedua alisnya tinggi, menyadari Luna kembali menantangnya. Tapi satu hal yang Jacob sadari, tubuh Luna kini lebih tinggi dari tiga tahun lalu dan beberapa bagian tubuhnya tampak menonjol dari sebelumnya.

Seringai kecil menghiasi wajah Jacob, seolah ia ingin menggodanya lagi. Tapi sebelum ia sempat bicara, Luna sudah berbalik dengan cepat, berjalan pergi sambil menghentakkan kakinya dengan kesal.

___

Langit malam menggantung kelam di atas mansion, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar menyusup melalui celah dedaunan. Suasana sepi, hanya suara angin malam yang sesekali membelai tirai jendela. Di dalam kamarnya, Jacob menutup buku yang telah dibacanya sejak tadi. Ia menghela nafas panjang. Malam-malam seperti ini sering membuatnya bosan, dan entah sejak kapan, mencari Luna dan menggoda gadis itu menjadi pelarian favoritnya.

"Dimana Luna?" tanyanya santai pada Maci, pelayan yang kebetulan lewat di depan kamarnya.

"Saya tadi melihat Luna keluar sambil membawa lentera, sepertinya menuju ke arah hutan," jawab Maci dengan nada ragu.

Jacob mengerutkan kening. Di malam selarut ini, untuk apa Luna pergi ke hutan? Perasaan aneh menghampirinya, dan tanpa berpikir panjang, ia meraih mantel dan melangkah keluar menuju arah yang disebutkan Maci.

Hutan di malam hari bukanlah tempat yang ramah. Gelap dan sunyi, dengan suara ranting patah di bawah kaki serta gesekan daun yang seolah berbisik mengikuti langkahnya. Meskipun selama tinggal di pulau ini Jacob belum pernah bertemu hewan buas, tapi tetap saja banyak ular berbisa berkeliaran.

"Luna?!" panggilnya lantang.

Hanya keheningan yang menjawab. Jacob terus melangkah lebih dalam, matanya tertuju pada cahaya redup lentera yang berkedip-kedip dari kejauhan. Itu pasti Luna. Langkahnya semakin cepat, namun suara gemericik air membuatnya berhenti sejenak.

Di dekat sebuah kolam air terjun kecil, Luna menikmati kesendiriannya. Air dingin menyegarkan tubuhnya, dan suasana hening membuatnya rileks setelah hari-hari penuh gangguan dari Jacob. Dengan senyum tipis, ia membiarkan tubuhnya yang telanjang tenggelam dalam kenyamanan air yang sejuk.

"Aku berharap dia segera pergi dari pulau ini," gumamnya pelan, tanpa menyadari bahwa harapannya segera berbalik menjadi kenyataan yang janggal.

"Kau di sini ternyata."

Suara itu membuatnya tersentak. Tubuhnya langsung membeku, dan ketenangan yang baru saja ia nikmati buyar seketika. Luna menoleh dengan cepat, hanya untuk melihat Jacob berdiri di tepi kolam, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Apa yang Anda lakukan kemari?" tanyanya dengan nada tegang.

"Mencarimu," jawab Jacob santai, matanya tetap tertuju pada bahu Luna yang terlihat samar di bawah cahaya lentera.

Luna menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. Dalam kondisi seperti ini, ia tidak mungkin keluar dari air. Tanpa sehelai pakaian pun di tubuhnya, situasi ini bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih berbahaya.

"Tuan, berbaliklah," desisnya, nadanya setengah memohon.

Jacob mengangkat alis, bingung. "Di mansion ada kolam renang. Kenapa kau repot-repot datang ke hutan hanya untuk berenang? Cepat keluar dari sana. Bahaya kalau ada ular atau binatang lain yang mendekat."

Luna memejamkan mata, tangannya menyilang di depan dada, berusaha menutupi dirinya di bawah air. "Tuan, aku mohon, berbaliklah! Aku… aku tidak mengenakan apa pun. Jangan melihatku!"

Perkataan itu membuat Jacob terdiam. Matanya membelalak kecil, menyadari apa yang Luna maksudkan. Ia segera membalikkan tubuhnya, membelakangi gadis itu.

"Sudah. Sekarang kau bisa keluar dari kolam itu."

Luna menoleh perlahan, memastikan Jacob benar-benar tidak melihatnya. Baru setelah yakin, ia mulai keluar dari air, tubuhnya menggigil karena udara malam. Namun tanpa ia sadari, bayangannya yang dipantulkan cahaya lentera tercetak jelas di permukaan air dan tanah. Siluet tubuhnya yang ramping dan sensual tanpa busana terlihat seperti sebuah karya seni, tak luput dari perhatian Jacob.

Meskipun punggungnya membelakangi Luna, bayangan gadis itu tidak bisa dihindari. Jacob tertegun, matanya menangkap setiap detail yang terpantul. Ia segera menunduk, mencoba mengalihkan pikiran, tapi imajinasi liar sudah terlanjur muncul di benaknya.

"Sudah selesai?" tanyanya cepat, mencoba menutupi kegugupannya.

Luna mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa, wajahnya memerah meskipun Jacob tidak melihat langsung. "Ya, sudah. Sekarang kita bisa pergi," balasnya dengan nada ketus.

Jacob berbalik dan matanya mengikuti langkah Luna, ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan, untuk pertama kalinya ia menatap gadis itu bukan lagi sebagai anak kecil di matanya.

Jacob merasa gugup, sesuatu pada bagian tubuhnya yang lain terasa tidak nyaman secara tiba-tiba setelah melihat bayangan tubuh Luna di air beberapa saat lalu.

"Apa yang terjadi padaku?" desisnya frustasi.

Related chapters

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 9 Mencari pengganti?

    Pagi itu, udara pulau terasa lebih sejuk dari biasanya. Luna masih berbaring malas di tempat tidur menikmati ketenangan pagi tanpa gangguan Jacob. Tapi ketenangan itu segera pecah oleh suara bising helikopter yang mendadak terdengar semakin mendekat.Ia melompat dari ranjang, mengenakan sandal buru-buru lalu berlari keluar. Di halaman mansion, angin kencang dari baling-baling helikopter membuat dedaunan dan debu beterbangan, memaksa Luna menutup wajahnya dengan tangan.Pandangannya tertuju ke arah Jacob, pria itu sempat menoleh ke arahnya sebelum terbang tinggi bersama helikopter yang di naikinya. Luna mendongak, melihat kendaraan udara itu perlahan menjauh ke udara."Aku tidak mengira, doaku semalam langsung dikabulkan hari ini." batinnya senang.Sementara itu, Jacob duduk tenang di dalam helikopter. Tatapannya kosong, melihat pemandangan laut yang terbentang luas. Tiga tahun ia menghabiskan waktu di pulau itu, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar.Sesampainya di New Jersey, Jacob langsu

    Last Updated : 2024-12-19
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 10 Perasaan gamang

    Suara helikopter kembali terdengar setelah dua hari Jacob meninggalkan pulau, Luna yang berada di kebun bersama pelayan lain segera melihat siapa yang datang kali ini. Tapi ia terkejut karena Jacob yang ia kira tidak akan kembali, justru datang lagi.Tatapan mereka bertemu dalam sekejap, tapi Jacob cepat-cepat memalingkan wajahnya. Ia sibuk memberi instruksi pada orang-orang di helikopter untuk menurunkan barang-barang yang ia bawa.Luna memperhatikannya dari kejauhan, namun suara Maci memotong lamunannya. "Jangan hanya berdiri bengong, Luna. Kalau kau tak mau membantu, paling tidak tunjukkan kalau kau peduli. Bukankah kau dan Tuan Muda punya hubungan yang... baik?"Seketika Luna langsung menoleh, mengingat cara Jacob yang kerap menjahilinya dan juga suka bersikap menyebalkan, apakah itu bisa dikatakan sebagai hubungan yang baik? Luna mendengus, berbalik badan kembali ke ladang tanpa membantu Jacob sedikitpun. Jacob masuk ke dalam mansion, setelah beberapa saat pria itu keluar lagi

    Last Updated : 2024-12-20
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 11 Membatasi diri

    Beberapa buku sudah Luna siapkan, ia juga duduk dengan tenang dan belajar sambil menunggu Jacob datang untuk mengajarinya seperti biasa. Karena pria itu tak suka keterlambatan, akhirnya Luna berusaha datang lebih dulu agar Jacob tidak marah-marah seperti biasanya.Namun, satu jam berlalu, dan Jacob tak kunjung muncul. Jantung Luna mulai terasa tidak tenang. Ia melirik jam di dinding untuk kesekian kali. Apa dia marah padaku? pikirnya.Luna akhirnya menutup buku dengan desahan kecil, lalu berdiri. Tidak biasanya Jacob melewatkan rutinitas yang sudah ia tetapkan sendiri, terlebih untuk sesuatu yang dianggap penting seperti mengajari Luna. Pria itu selalu menjadi orang yang tegas dan disiplin. Jadi, mengapa kali ini berbeda?"Luna, mau ke mana kau?" tegur Maci saat melewati ruangan.Luna menoleh cepat. "Bu, sepertinya aku membuat kesalahan. Tuan pemburu kelinci itu tidak mengajariku hari ini," jawabnya dengan nada ragu.Maci hanya menggeleng sambil tertawa kecil. "Bukankah kau sering ber

    Last Updated : 2024-12-21
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 12 Tindakan yang salah

    Hari-hari berlalu dengan lambat, dan Jacob masih menjaga jarak. Sikap pria itu yang terus-menerus menghindar mulai mengusik pikiran Luna. Kecemasannya tumbuh semakin besar. Bagaimana jika Jacob benar-benar mengusirnya dari pulau ini? Namun, Luna sendiri tak tahu apa yang telah ia lakukan hingga membuat Jacob begitu marah.Luna melangkah keluar, ia hanya melihat Jacob memberi makan kelinci siang ini. Pria itu tampak jauh lebih pendiam dari biasanya yang suka marah-marah, jelas bagi Luna ini ada yang tidak beres."Kau ada masalah dengan Tuan Muda?" suara Maci memecah lamunannya. Wanita itu muncul dari arah halaman belakang, membawa keranjang penuh buah-buahan segar.Luna menggeleng pelan, tampak bingung. "Aku tidak tahu. Tapi sepertinya dia benar-benar marah padaku.""Kalau begitu, kau harus minta maaf. Kalau tidak, mungkin kau harus meninggalkan pulau ini," ujar Maci santai sebelum melenggang pergi, meninggalkan Luna yang tertegun.Kata-kata itu menghantam Luna seperti badai. Meninggal

    Last Updated : 2024-12-21
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 13 Pertahanan diri

    Luna semakin kepikiran, wajah Jacob yang ia lihat tadi benar-benar marah. Berbeda ketika pria itu marah saat mengajarinya, kali ini kemarahan itu membuat Luna takut. Ia terdiam lama di dalam kamarnya, sampai hari semakin larut dan ia tak bisa tidur."Aku harus bicara padanya," ia bangun, dengan perlahan menuju ke kamar Jacob berada. Luna tau ini terlalu beresiko membangunkan seseorang di tengah malam seperti ini, tapi disisi lain ia juga tidak mau di usir dari tempat itu.Tangannya terangkat dengan ragu lalu mengetuk perlahan pintu kamar Jacob beberapa kali, tidak ada sahutan, ia pun berinisiatif mengetuknya kembali sampai suara Jacob terdengar di belakangnya."Apa yang kau lakukan tengah malam seperti ini di depan kamarku?"Tubuh Luna tersentak kaget, gadis itu berbalik dengan cepat dan melihat Jacob berdiri di depannya. Tubuh besar pria itu seolah mendominasi Luna yang tampak mungil, ia menelan ludah dengan susah payah."A-aku... bisakah kita bicara sebentar?" tanyanya, suara sedikit

    Last Updated : 2024-12-22
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 14 Gairah tertahan

    Sejak semalam Jacob tidak bisa tidur, ia masih belum yakin dengan perasaannya sendiri. Terlebih, tiga tahun lalu kekasihnya meninggal tepat di hari pernikahan yang membuat Jacob meragukan dirinya sendiri bahwa dia bisa kembali jatuh hati pada wanita lain.Pagi ini, ditemani secangkir teh hangat ia bersantai di balkon kamarnya yang menghadap kolam renang. Tak jauh dari kolam renang tersebut, tampak Luna sedang berlarian seperti saat Jacob melihat gadis itu untuk pertama kalinya.Namun, kali ini berbeda. Luna sudah tumbuh lebih dewasa dari tiga tahun lalu, lebih tinggi dan juga terlihat ... menggoda.Jacob mengangkat cangkir tehnya, menyesap sedikit tanpa melepaskan pandangan ke arah Luna."Aku harap, aku bisa menahan diriku." batin Jacob, sampai akhirnya Luna yang berada di taman itu menoleh ke arahnya, senyumnya tampak cerah dan dia bahkan melambaikan tangan ke arah Jacob penuh semangat.Alih-alih membalas, Jacob justru memalingkan wajah seraya menikmati pemandangan ke arah lain.Sete

    Last Updated : 2024-12-23
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 15 Panik

    Suara tawa Luna terdengar setiap kali gadis itu berhasil menangkap udang, tidak terasa hasil tangkapan mereka sudah mulai memenuhi wadah yang Luna bawa. Setiap kali Luna tertawa, Jacob hanya memperhatikan dengan senyum tipis nyaris tidak kentara di bibirnya."Kau senang?" tanya Jacob akhirnya, suaranya rendah namun cukup terdengar.Luna menoleh, wajahnya basah oleh percikan air, tetapi senyum lebar tak pernah hilang dari bibirnya. "Tentu saja! Lihat ini, kita punya cukup banyak udang. Aku akan memasak makanan yang lezat untukmu malam ini." ia mengangkat wadah penuh hasil tangkapan mereka dengan bangga.Sekilas Jacob berdecih lirih, tapi ia juga menepi dan meraih bajunya. Semoga saja ia bisa menjadi sosok pria yang lebih kuat menahan nafsunya, karena jika tidak maka santapan utama yang Jacob incar di pulau ini sudah pasti adalah Luna.Membiarkan Luna berjalan lebih dulu di depannya, sesekali gadis itu tampak puas melihat hasil tangkapan udang yang mereka dapat. Kalau saja Jacob tak mena

    Last Updated : 2024-12-23
  • Diam-Diam Menikmati    Bab 16 Sisi liar

    "Tuan, berhenti!" seru Luna, suaranya terdengar putus asa. Jacob terhenti, namun sorot matanya yang tajam masih terpatri pada Luna, seperti angin badai yang tidak kunjung reda.Luna memalingkan wajah, tidak sanggup menatap pria itu lebih lama. Wajahnya memerah, bukan hanya karena rasa malu, tapi juga karena jantungnya yang berdebar tak terkendali.Ia menelan ludah tanpa sadar, mengambil satu langkah mundur. Tapi itu tidak cukup untuk menjauh dari aura Jacob yang begitu mendominasi. Dengan gemetar, Luna berbalik dan mulai berlari. Kakinya melangkah cepat, namun perasaannya tetap tertinggal di belakang, bersama tatapan membara Jacob yang tak kunjung memudar dari ingatannya.Jacob tidak mengejarnya. Pria itu hanya berdiri di tempatnya, menatap punggung Luna yang semakin menjauh. Bibirnya terangkat membentuk seringai samar, jemarinya menyentuh bibirnya sendiri, mengingat kelembutan yang baru saja ia rasakan."Astaga," gumam Jacob sambil tersenyum miring. "Bibirnya... manis sekali."Ia meng

    Last Updated : 2024-12-25

Latest chapter

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 112 Luna sakit

    Sekitar pukul dua dini hari, Jacob mendengar kabar kalau Luna sudah tiba di rumah sakit. Jantungnya berdegup kencang, darahnya serasa membeku. Tanpa berpikir panjang, ia melesat keluar apartemen hingga akhirnya tiba di rumah sakit.Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara mesin yang berdetak monoton. Jacob melangkah pelan, matanya langsung tertuju pada sosok Luna yang terbaring lemas di atas tempat tidur. Wajahnya pucat bagai bulan yang kehilangan cahaya, tubuhnya lemas tak berdaya.Ketika Jacob menyentuh tangannya, ia merasakan dingin yang menusuk. Tangan Luna terasa tak bertenaga, seperti jelly yang kehilangan bentuknya. Tidak ada kekuatan, tak ada kehangatan. Jacob menahan nafas, dadanya sesak. Ia menoleh ke arah dokter yang baru saja selesai memeriksa Luna, matanya memancarkan kecemasan yang tak terbendung.“Apa yang terjadi padanya?” tanya Jacob.Dokter itu menghela nafas sebelum menjawab, “Pasien mengalami tekanan darah yang sangat rendah, membuat kondisinya tidak stabil. Kami p

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 111 Dihadapkan pilihan sulit

    Jacob merasa seperti terjebak dalam pusaran yang tak berujung. Pekerjaannya semakin menumpuk, bukannya berkurang, meski ia sudah mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk melawan Russel.Tapi kali ini, segalanya terasa berbeda. Russel bukan lagi musuh yang bisa diremehkan. Dia telah berkembang, menjadi lebih kuat, lebih licik, dan lebih berbahaya. Setiap langkah yang Jacob ambil seakan sudah diantisipasi oleh Russel, membuatnya seperti bermain catur dengan langkah yang selalu tertebak.Saat Jacob baru saja tiba di lobi, Hazel yang melihatnya langsung mengejar saudaranya yang terlihat buru-buru keluar. Wajah Hazel dipenuhi kekhawatiran, matanya menyiratkan pertanyaan yang tak terucap."Jacob, kau mau kemana?!" seru Hazel, suaranya memecah kesunyian lobi yang megah.Jacob tidak menjawab. Alih-alih berhenti, ia justru melangkah lebih cepat, masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu dengan asistennya siap membukakan pintu. Namun, sebelum pintu tertutup rapat, Hazel dengan gesit menerobos

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 110 Perang dimulai 

    Dua hari telah berlalu, dan ancaman yang dilontarkan Russel bukanlah sekadar gertakan. Jacob tahu itu. Ia juga tahu bahwa ia harus menyiapkan sesuatu untuk melawan. Menyerah bukanlah pilihan, apalagi jika itu menyangkut Luna. Gadis itu memiliki sesuatu yang tak dimiliki orang lain, sesuatu yang membuat Jacob rela mempertaruhkan segalanya untuk mempertahankannya.Tapi, tindakannya ini bisa dibilang nekat. Taruhannya bukan main-main, perusahaan yang ia kelola selama bertahun-tahun. Orang lain pasti akan menganggapnya gila jika tahu ia rela mempertaruhkan bisnisnya hanya demi seorang perempuan. Luna bahkan tidak bisa membantunya dalam urusan bisnis. Tapi entah mengapa, Jacob tidak bisa berhenti. Ia sudah tahu seperti apa masa lalu Luna, tahu bahwa gadis itu hanya menginginkan kebebasan. Dan jika Luna jatuh ke tangan Russel, kebebasan itu mungkin akan hilang selamanya.Yang lebih mengkhawatirkan, Jacob curiga Russel telah menyiapkan sesuatu sebelum Luna kembali, sesuatu yang akan membeleng

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 109 Bendera perang

    Suasana ruangan terasa seperti ruang hampa, udara yang seharusnya mengalir justru terasa membeku, menekan dada Jacob hingga nafasnya terasa berat. Namun, di balik ketegangan yang menggumpal, Jacob berusaha keras untuk tetap tenang. Dia tahu, percakapan ini tak akan berakhir hanya karena Russel meminta Luna dengan nada memaksa. Ini lebih dari sekadar permintaan, ini adalah pertarungan."Apa sebenarnya yang ingin kau katakan, Tuan Calderon? Kenapa aku harus menyerahkan Luna padamu?" tanya Jacob, suaranya datar namun sarat dengan pertahanan.Russel mengambil jeda, membiarkan Jacob duduk lebih dulu sebelum melanjutkan. Nafasnya teratur, tapi matanya menyala dengan intensitas yang tak terbendung. "Aku hanya ingin putriku kembali. Luna yang kau akui sebagai wanitamu, adalah anak kandungku.""Dia tidak bersamaku saat ini," jawab Jacob singkat, mencoba menahan gejolak dalam hatinya.Russel terkekeh, suaranya dingin seperti es yang menusuk tulang. "Kau menyembunyikannya karena kau tahu aku tak

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 108 Sehari sebelum badai 

    Malam itu, udara terasa hangat meski langit telah gelap. Jacob dengan lembut membawa Luna naik dari kolam, tubuhnya yang basah diturunkan perlahan ke kursi santai. Refleks, Luna menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menyadari bahwa pakaiannya entah sejak kapan telah terlepas. Rasa malu menyergapnya, tapi Jacob tak memberinya kesempatan untuk bersembunyi.Dengan gerakan halus, Jacob meraih tangan Luna, menariknya perlahan. "Aku sudah melihat semuanya, Luna. Bagian mana lagi dari dirimu yang belum aku lihat?" ucapnya dengan seringai menggoda.Wajah Luna memerah, panas menyebar dari pipinya hingga ke seluruh tubuh. Pandangan Jacob menyusuri setiap lekuk tubuhnya, seolah-olah ia sedang mengagumi sebuah mahakarya. Luna merasa terbakar, tapi di saat yang sama, ada sesuatu yang membuatnya tak bisa menarik diri. Jacob sudah melihat segalanya, bahkan sudah menyentuh bagian-bagian yang paling rahasia dari dirinya."Cukup!" Luna menutup wajah Jacob dengan telapak tangannya, mencoba mengalih

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 107 Bermain di malam hari

    Mansion utama kini benar-benar sunyi. Para pelayan telah kembali ke tempat mereka masing-masing, menjauh dari area tempat tinggal Jacob, memberikan ketenangan yang hampir terasa asing di rumah sebesar ini. Setelah makan malam, Jacob melangkah menuju halaman samping, tempat kolam renang yang jarang digunakan tetap berkilauan di bawah cahaya bulan.Kolam itu memang tidak besar, kedalamannya kurang dari dua meter. Namun, airnya begitu jernih, seolah tetap terjaga meskipun tak ada sistem penyaringan canggih yang bekerja secara rutin.Jacob menjatuhkan tubuhnya di kursi santai, melemaskan otot-ototnya setelah seharian beraktivitas. Namun, baru saja ia hendak memejamkan mata, langkah ringan terdengar mendekat.Luna datang dengan anggun, membawa sebotol wine dan dua gelas di tangannya. Tatapannya menyiratkan sesuatu, bukan sekadar ingin menikmati anggur bersama, tapi juga ada pertanyaan yang mengganjal di benaknya.Jacob hanya menatapnya sekilas sebelum mengambil botol wine itu dan mulai men

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 106 Bersama Luna 

    Suara tawa Luna yang riang bergema di sepanjang pantai, bercampur dengan desiran ombak yang bergulung-gulung menghantam pasir. Gadis itu berlari-lari kecil, memamerkan kerang-kerang hasil tangkapannya dengan wajah yang bersinar penuh kebahagiaan. Sementara itu, Jacob sibuk membongkar bebatuan di tepi pantai, mencari gurita kecil yang bersembunyi di balik celah-celah karang. Matanya fokus, tapi sesekali dia mencuri pandang ke arah Luna, menikmati keceriaan yang terpancar dari gadis itu.Di sekitar mereka, hanya ada kedamaian. Matahari sore yang mulai turun memancarkan cahaya keemasan, menerangi pantai yang sepi. Tak ada yang bisa merusak momen indah ini, setidaknya, untuk saat ini."Apa ini masih belum cukup banyak?" tanya Luna sambil mengangkat keranjang kecil yang berisi kerang hasil tangkapannya. Matanya berbinar penuh harap, seolah ingin mendapatkan pujian dari Jacob.Jacob menoleh, senyum kecil mengembang di bibirnya. Dia memasukkan dua gurita kecil yang berhasil dia tangkap ke da

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 105 Merindukan Luna

    Russel berdiri di tengah ruangan, wajahnya bersinar dengan kegembiraan yang tak terbendung. Akhirnya, setelah sekian lama mencari dia tahu di mana Luna berada. Kebenaran itu seperti angin segar yang menghapus semua keraguan dan kekhawatiran yang selama ini membebani pikirannya. Tak peduli bahwa Luna saat ini sedang menjalin hubungan dengan Jacob, Russel tahu dia harus segera menjemput putrinya. Baginya, tidak ada yang lebih penting daripada memastikan Luna kembali ke pangkuannya.Di dalam ruang tahanan, Nico masih berdiri dengan ekspresi yang sulit dibaca. Dia berusaha menyembunyikan keterkejutannya, tapi matanya yang sedikit melebar dan rahang yang mengeras menunjukkan betapa dia tidak menyangka bahwa Russel ternyata menguping pembicaraan mereka. Keith yang masih terikat, menatap Nico dengan maya menyala-nyala dengan kemarahan.Russel menepuk bahu Nico dengan senyum lebar. "Kau pintar juga membuat perempuan ini berkata jujur," pujinya, suaranya penuh dengan kepuasan. "Sekarang, aku h

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 104 Russel akhirnya tau 

    Mobil hitam yang dikendarai Nico meluncur pelan sebelum akhirnya berhenti tepat di depan gedung perkantoran megah. Saat ia melangkah keluar, pandangannya langsung tertuju pada sebuah mobil mewah yang baru saja berhenti beberapa meter darinya. Dari dalam mobil itu, Jacob Lawson muncul, wajahnya tetap tenang dan penuh dengan aura kepemimpinan yang tak tergoyahkan. Nico mendesis pelan, matanya menyipit seperti predator yang sedang mengincar mangsanya."Jacob Lawson," gumam Nico dalam hati, rasa tidak suka yang mendalam terpancar dari tatapannya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin melihat ekspresi dingin Jacob itu hancur, ingin melihat pria yang selalu tampak sempurna itu terjatuh dari singgasananya.Tanpa disadari oleh Jacob, Nico mengikuti langkahnya menuju gedung yang sama. Mereka berdua ternyata menuju ke tempat yang sama, sebuah rapat penting yang melibatkan perwakilan perusahaan Jacob dan perusahaan Russel Calderon. Hanya saja, kali ini yang mewakili Russel adalah putranya.Saat

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status