Suara tawa Luna terdengar setiap kali gadis itu berhasil menangkap udang, tidak terasa hasil tangkapan mereka sudah mulai memenuhi wadah yang Luna bawa. Setiap kali Luna tertawa, Jacob hanya memperhatikan dengan senyum tipis nyaris tidak kentara di bibirnya."Kau senang?" tanya Jacob akhirnya, suaranya rendah namun cukup terdengar.Luna menoleh, wajahnya basah oleh percikan air, tetapi senyum lebar tak pernah hilang dari bibirnya. "Tentu saja! Lihat ini, kita punya cukup banyak udang. Aku akan memasak makanan yang lezat untukmu malam ini." ia mengangkat wadah penuh hasil tangkapan mereka dengan bangga.Sekilas Jacob berdecih lirih, tapi ia juga menepi dan meraih bajunya. Semoga saja ia bisa menjadi sosok pria yang lebih kuat menahan nafsunya, karena jika tidak maka santapan utama yang Jacob incar di pulau ini sudah pasti adalah Luna.Membiarkan Luna berjalan lebih dulu di depannya, sesekali gadis itu tampak puas melihat hasil tangkapan udang yang mereka dapat. Kalau saja Jacob tak mena
"Tuan, berhenti!" seru Luna, suaranya terdengar putus asa. Jacob terhenti, namun sorot matanya yang tajam masih terpatri pada Luna, seperti angin badai yang tidak kunjung reda.Luna memalingkan wajah, tidak sanggup menatap pria itu lebih lama. Wajahnya memerah, bukan hanya karena rasa malu, tapi juga karena jantungnya yang berdebar tak terkendali.Ia menelan ludah tanpa sadar, mengambil satu langkah mundur. Tapi itu tidak cukup untuk menjauh dari aura Jacob yang begitu mendominasi. Dengan gemetar, Luna berbalik dan mulai berlari. Kakinya melangkah cepat, namun perasaannya tetap tertinggal di belakang, bersama tatapan membara Jacob yang tak kunjung memudar dari ingatannya.Jacob tidak mengejarnya. Pria itu hanya berdiri di tempatnya, menatap punggung Luna yang semakin menjauh. Bibirnya terangkat membentuk seringai samar, jemarinya menyentuh bibirnya sendiri, mengingat kelembutan yang baru saja ia rasakan."Astaga," gumam Jacob sambil tersenyum miring. "Bibirnya... manis sekali."Ia meng
Suara percikan air terdengar dari arah kolam, Jacob tampak berenang dengan baik menikmati musim panas yang sedang terik hari ini. Sekaligus juga mendinginkan kepalanya, yang terus berpikiran mesum tentang Luna."Tuan, Nona Hazel berkata dia akan datang hari ini." ucap Maci dari ambang pintu.Jacob berhenti, rambut basahnya meneteskan air saat ia naik ke permukaan. Dengan gerakan tenang, ia meraih handuk dan melilitkannya di pinggangnya yang basah."Kapan dia akan datang?" tanyanya, suaranya dalam dan tenang."Sore nanti, kemungkinan pukul lima," jawab Maci.Jacob hanya mengangguk singkat sebelum Maci berlalu pergi. Tidak ada tanda-tanda antusiasme atau ketertarikan di wajahnya mendengar kabar kedatangan Hazel, karena sudah pasti Hazel datang karena gadis itu punya niat sesuatu.Alih-alih langsung masuk ke rumah, Jacob memilih duduk di tepi kolam. Handuk melingkar di bahunya, sementara ia meraih segelas jus jeruk yang telah disiapkan. Pandangannya melayang jauh ke depan, menatap hampara
Hazel melangkah perlahan, mendekati Luna yang duduk di rerumputan bersama beberapa ekor anak kelinci yang baru lahir. Gadis itu terlihat begitu fokus, membelai lembut bulu halus salah satu kelinci hingga tidak menyadari kehadiran Hazel di belakangnya."Sepertinya kau sangat menyayangi mereka," ujar Hazel tiba-tiba, membuat Luna tersentak dan langsung berdiri tergesa-gesa."Maaf, saya tidak tahu ada yang di sini..." ucap Luna dengan nada terbata-bata, wajahnya sedikit memerah saat menyadari siapa yang berdiri di hadapannya."Aku Hazel," sela Hazel sambil mengulurkan tangan dengan senyum ramah. "Dan Jacob adalah saudaraku."Luna menatap tangan Hazel sejenak sebelum menjabatnya dengan canggung. "Namaku Luna. Senang bisa bertemu denganmu, Nona Hazel."Hazel terkekeh kecil. "Panggil saja aku Hazel. Kita hanya beda beberapa tahun, tidak usah terlalu formal. Jadi..." Hazel memiringkan kepalanya sambil menatap Luna penuh rasa ingin tahu. "Sudah berapa lama kau mengenal Jacob?"Luna menunduk s
Pagi itu, Jacob dibuat bingung oleh sikap Luna yang semakin aneh. Setiap kali mereka berpapasan, gadis itu langsung menunduk dengan wajah panik, seolah sedang melarikan diri dari seorang pemburu yang haus darah. Tatapan penuh ketakutan Luna bahkan sampai membuat Jacob berpikir ulang apakah dirinya melakukan sesuatu yang salah.Ketika akhirnya Jacob duduk di meja makan, ia menemukan Hazel yang dengan santainya menikmati sarapan, tanpa sedikit pun rasa bersalah atas apa yang sudah dia lakukan semalam."Hazel," serunya dengan nada serius. "Apa yang kau lakukan pada Luna? Dia terlihat semakin takut padaku."Hazel tidak langsung menjawab. Ia malah dengan santai mengangkat bahu sambil memotong roti di piringnya. "Aku? Tidak melakukan apa-apa." jawabnya.Jacob menatapnya tajam. "Jangan kira aku tidak tahu ulahmu, Hazel."Hazel akhirnya mendongak, menatap kakaknya dengan senyum penuh arti. "Aku hanya memberitahu dia sesuatu. Dia terlalu lama terisolasi di pulau ini, jadi aku pikir dia perlu se
Suasana malam kali ini tampak mencekam, perasaan Luna pun menjadi tidak karuan. Di depannya, Jacob mendekatkan diri menghapus jarak diantara mereka. Tapi, begitu jarak sudah sangat dekat, Luna tersentak dalam tidurnya. Matanya terbuka lebar, debaran dada yang bergemuruh tak dapat ia sembunyikan."Mimpi?" gumamnya, mengusap wajahnya dengan frustasi. Kepalanya menoleh ke jendela, memastikan dunia di luar masih berada dalam kegelapan. "Astaga, kenapa aku memimpikannya? Itu terasa sangat nyata. Jangan-jangan dia benar-benar masuk ke kamarku?"Dengan helaan nafas panjang, Luna mencoba menenangkan pikirannya. Tapi kegelisahan itu tak kunjung hilang, membuatnya bangkit dari tempat tidur. Ia memutuskan untuk mengambil segelas air di dapur, berharap bisa meredakan ketegangan di dadanya.Luna membuka pintu kamar, ia memastikan pintunya masih terkunci dari dalam. "Jadi... itu hanya mimpi," batinnya, sedikit lega. Saat ia melangkah keluar, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok Jacob d
Di penghujung musim panas, halaman belakang rumah dipenuhi aroma manis buah yang matang sempurna. Pohon ceri di sudut taman tampak berat oleh beban buah-buahnya yang berwarna merah menyala, menggoda siapa pun untuk segera memetiknya. Jika tak dipanen tepat waktu, buah-buah itu akan membusuk, dan Luna tak akan membiarkan itu terjadi.Dengan lincah, gadis itu memanjat pohon ceri yang cukup tinggi, tas kanvas tergantung di lehernya untuk menampung hasil panen. Jemarinya yang cekatan memetik satu demi satu buah ceri, sesekali mengunyah yang terlihat paling segar langsung dari pohonnya."Dia sudah benar-benar menyatu dengan alam," gumam Jacob sambil menggeleng gelengkan kepala melihat Luna yang lincah memetik ceri.Ketika tas kanvasnya sudah penuh, Luna turun untuk menuangkan ceri ke dalam keranjang besar di bawah pohon. Rencananya, buah-buah ini akan diolah menjadi selai manis untuk persediaan musim dingin. Tapi begitu keranjang penuh, dia kembali memanjat pohon."Luna, ini sudah banyak."
Hari yang cerah menyambut pagi Luna. Langit biru tanpa awan membentang luas, sementara hembusan angin laut yang lembut menyapu wajahnya. Suara deburan ombak berpadu dengan aroma asin yang menenangkan, membuat pagi itu terasa begitu damai. Tidak ada mimpi buruk yang mengusik tidurnya semalam, dan untuk pertama kalinya, Luna merasa hatinya sedikit lebih tenang.Setelah menyantap sarapan, Luna memutuskan untuk bersantai di pinggir tebing pantai. Hembusan angin yang membawa aroma laut terasa menenangkan, sampai pandangannya tertuju ke arah Jacob.Pria itu dengan tubuh tegap dan kekar, terlihat sedang berselancar di tengah ombak. Matahari pagi memantulkan cahaya ke kulitnya yang basah, menonjolkan otot-ototnya dengan begitu jelas. Ia tidak mengenakan baju, hanya celana selancar hitam yang pas di tubuhnya, membuat penampilannya terlihat begitu memukau.Luna tertegun, matanya tidak bisa berpaling. Ia akui bahwa sebenarnya tidak ada kekurangan yang Jacob miliki pada tubuhnya, kecuali sikap ya
Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya Hazel dan Luna tiba di klinik tempat Luna akan menjalani terapi. Mereka disambut oleh seorang wanita dengan senyum ramah, yang langsung mengarahkan mereka ke ruangan yang sudah disiapkan. Namun, Hazel diberitahu bahwa ia tidak diperbolehkan ikut masuk."Kalau begitu, aku menunggu di luar," ujar Hazel sambil tersenyum kepada Luna, mencoba memberikan semangat sebelum gadis itu masuk ke dalam ruangan.Setelah pintu ruangan tertutup, Hazel duduk di bangku luar. Ia menghela nafas panjang, pikirannya mulai melayang-layang. 'Ibu kejam macam apa yang tega membunuh putrinya sendiri?' batinnya.Kalau memang wanita itu tidak menginginkan anaknya, kenapa membiarkan dia lahir?"Jadi ini alasan Jacob begitu protektif terhadap Luna," gumam Hazel pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Kini, ia memahami betapa seriusnya Jacob saat memperingatkannya agar menjaga Luna jauh dari ibunya. Namun, Hazel tetap merasa kebingungan karena ia bahkan tidak tahu seperti
Suasana meja makan terasa hening, hanya suara denting sendok beradu dengan piring yang terdengar. Luna mencuri pandang ke arah Jacob beberapa kali, ragu-ragu untuk memulai pembicaraan. Tapi akhirnya, Jacob yang membuka suara lebih dulu."Besok, jadwalmu untuk terapi," ucap Jacob tanpa menoleh dari makanannya. "Maaf, aku tidak bisa menemanimu. Jadi, aku sudah meminta Hazel untuk membawamu ke sana."Luna mengangguk pelan, meski ada sedikit rasa kecewa yang ia sembunyikan di balik senyumnya. Jacob menatapnya sejenak, memastikan bahwa Luna tidak keberatan, sebelum kembali fokus pada makanannya.Namun, kebersamaan mereka tak berlangsung lama. Ponsel Jacob yang tergeletak di meja ruang tamu tiba-tiba berdering, memecah keheningan. Jacob menghela napas, meletakkan sendoknya, lalu bangkit untuk menjawab panggilan tersebut.Suara tegasnya segera menggema di ruang tamu saat ia berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Tanpa sadar, Jacob berjalan menuju ruang kerjanya, meninggalkan Luna sendi
Russel menghentikan langkahnya begitu suara sepatu hak tinggi itu mendekat. Ia perlahan menoleh, dan di sana, Leah Hamilton berdiri dengan seringai yang begitu familiar, seringai yang pernah memikatnya sekaligus menghancurkannya. Wajah Russel seketika berubah dingin, penuh kebencian yang tak lagi ia sembunyikan.Leah berjalan mendekat dengan langkah santai, tatapannya penuh kemenangan. "Bisa bicara sebentar?" tanyanya, suaranya manis namun sarat sindiran. Pandangannya melirik tajam pada asisten Russel, membuatnya sadar diri untuk segera menjauh.Mereka berdua pun melangkah menuju sudut terpencil, jauh dari keramaian dan bahkan dari jangkauan kamera pengawas. Tempat itu seperti diatur untuk menjadi panggung kecil bagi perasaan emosional mereka. Leah berdiri dengan sikap percaya diri, melipat tangannya di depan dada sambil menatap Russel dengan tatapan yang hanya bisa diartikan sebagai penghinaan."Sudah lama tidak bertemu, mantan kekasih gelapku," ujar Leah, nadanya licik, memancing ama
Langit malam sudah sepenuhnya gelap, dan jarum jam mendekati pukul sebelas ketika Jacob masih terjebak di ruang kerjanya. Berkas-berkas menumpuk di mejanya, mencerminkan kekacauan pikiran yang memenuhi kepalanya.Proyek besar yang seharusnya sudah berada di bawah kendali perusahaannya tiba-tiba saja diambil alih oleh Zenith Corp tanpa pemberitahuan apa pun. Ini bukan hanya sekadar pelanggaran prosedur, ini penghinaan yang tidak bisa dibiarkan.Pintu ruang kerja terbuka tiba-tiba, mengusik konsentrasinya. Asisten pribadinya masuk dengan tergesa-gesa, membawa sebuah map di tangannya dan wajahnya penuh kecemasan."Tuan, pihak yang berkaitan akan mengadakan rapat mendadak besok pagi," katanya dengan suara tegas, meskipun nada paniknya jelas terdengar.Jacob menghela nafas panjang sambil memijat keningnya yang terasa berat. Ia mengambil map itu dari tangan asistennya dan membolak-baliknya sekilas. Informasi di dalamnya hanya membuat frustrasinya semakin memuncak."Pastikan pengacaraku hadi
Hazel baru saja meninggalkan ruangan setelah berdebat singkat dengan Jacob, meninggalkan suasana yang kini terasa lebih sunyi. Jacob berdiri di dekat meja kerjanya, menghela nafas panjang, seolah berusaha meredakan amarah yang sebenarnya tak pernah ia tujukan pada Hazel. Luna sejak tadi merasa canggung, segera berdiri dan menatap Jacob dengan tatapan penuh rasa bersalah."Ini bukan salah Hazel," ucap Luna, suaranya lembut namun tegas. "Kau jangan marah padanya, dia hanya ingin aku merasa lebih percaya diri."Namun, reaksi Jacob jauh dari apa yang ia bayangkan. Alih-alih marah, pria itu melangkah mendekat, mendekap Luna dengan kehangatan yang tak ia duga. Pelukan itu tidak berlangsung lama, namun cukup untuk membuat Luna tertegun."Aku tidak marah," kata Jacob dengan suara tenang. "Aku hanya khawatir padamu. Kau belum sepenuhnya terbiasa dengan lingkungan luar, apalagi bertemu banyak orang. Bagaimana jika hal itu membuatmu kembali takut atau merasa tertekan?"Luna perlahan melepaskan di
Bagaikan dihantam oleh fakta yang mengejutkan, Keith memanggil Leah dengan sebutan ibu. Jika Luna tidak mendengar langsung, ia pasti akan menganggap ini hanyalah mimpi. Namun sayangnya tidak, setelah Keith dan Leah pergi tanpa menyadari keberadaannya, saat itu Luna masih dapat melihat bahu mereka dari kejauhan.Ibu yang selalu menjadikannya sasaran kemarahan dan teman yang selalu membulinya, mengapa mereka menjadi begitu sangat akrab sampai Keith memanggil Leah sebagai ibu. Mungkinkah Leah sudah menikah dengan ayah dari Keith?Ini masih menjadi pertanyaan untuk Luna, ia sudah terlalu lama tidak mendengar kabar ibunya dan ini adalah kali pertama ia bertemu namun sebuah kejutan besar membuatnya hanya bisa diam."Hei, maaf membuatmu menunggu lama," suara Hazel membuyarkan lamunannya. Hazel berdiri dengan senyum hangat, membawa sebuah paper bag kecil di tangan. Luna mendongak, mencoba menyembunyikan kegelisahannya dengan senyuman kaku."Bagaimana, kau sudah mendapatkan barang yang kau mau
Sejak pukul delapan, Jacob sudah meninggalkan apartemen. Tadinya, Luna pikir ia akan menghabiskan seharian di apartemen itu dengan membosankan, namun rupanya Jacob menyuruh Hazel untuk menemani Luna bepergian."Nona, aku minta maaf. Anda sampai harus meluangkan waktu menemaniku," ucap Luna, merasa sedikit canggung.Hazel menoleh, matanya yang penuh dengan binar semangat itu tak peduli dengan kalimat Luna, bahkan dengan santai Hazel merangkul bahu Luna seakan mereka ada sahabat yang sudah sangat dekat."Kau malah menyelamatkanku, Luna! Pekerjaan menumpuk, liburan seharian pun sulit aku didapatkan. Tapi Jacob memberiku kesempatan untuk bolos demi menemanimu, bagaimana menurutmu? Itu kan luar biasa?" Hazel menyeringai, mengedipkan sebelah matanya.Luna sedikit terkejut, tapi tak bisa menahan senyum kecil yang terbit. "Aku tidak ingin merepotkanmu," jawabnya, meskipun hatinya merasa ringan.Hazel tertawa pelan, tanpa peduli dengan kekhawatiran Luna. "Nonsense! Kita kan sama-sama manusia, d
Di dalam sebuah apartemen dengan suasana temaram, televisi menyala menampilkan tayangan berita malam. Di sofa, seorang wanita duduk dengan anggun, memegang segelas wine di tangannya. Ia memutar gelas itu perlahan, memperhatikan cairan merah gelap yang berputar seiring pikirannya yang bergulir.Di dapur, seorang pria dengan penampilan santai sedang memilih botol minuman dingin dari lemari pendingin. Suara kaca yang bersentuhan terdengar samar di tengah keheningan apartemen."Kau sudah menerima surat panggilan dari perusahaan Lawson?" tanya Eric dengan nada datar, tanpa menoleh.Leah menghela nafas ringan, menyandarkan tubuhnya pada sofa sambil meneguk sedikit wine. "Belum," jawabnya singkat. "Tapi aku yakin mereka akan mempertimbangkanku. Lagi pula, kemampuan seperti milikku jelas tak mudah mereka temukan." Ada nada percaya diri dalam suaranya, meski matanya tampak menerawang jauh.Sejenak keheningan melingkupi ruangan. Leah menghabiskan sisa wine di gelasnya dengan satu tegukan. Namun
Saat bangun keesokan harinya, hal pertama yang Luna rasakan adalah nyeri di sekujur tubuh. Pinggangnya terasa akan patah saat ia beranjak duduk, bukti betapa brutalnya Jacob semalam membuatnya tak berdaya."Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi dia tetap saja berhasil melakukan hal ini padaku." batin Luna sambil meringis, ia turun dari tempat tidur dan saat itu juga ia jatuh ke lantai yang dingin.Bertepatan dengan itu, pintu kamar terbuka dan Jacob masuk. "Luna, kau tidak apa-apa?" dengan cepat pria itu menghampiri, membantu Luna berdiri, namun kedua kaki Luna rasanya seperti mati rasa dan ia bahkan tak mampu untuk berdiri.Gadis itu menatap Jacob dengan pandangan tajam, "Kau tau siapa yang membuatku sampai seperti ini?!" geramnya."Harusnya kau bilang dari awal kalau membutuhkan bantuan," dengan tanpa rasa bersalah, Jacob menggendong Luna ke kamar mandi, membantu gadis itu membersihkan diri.Luna hanya diam memperhatikan, ia tak punya tenaga untuk membalas Jacob. Setelah selesai,