Langit sore memancarkan warna jingga yang lembut, menciptakan pemandangan yang menenangkan di cakrawala. Matahari perlahan tenggelam, meninggalkan sinar hangat terakhirnya yang memantul di permukaan laut. Jacob duduk di atas rerumputan yang lembut, memandangi keindahan di depannya sambil merasakan hembusan angin yang sejuk.Meski hatinya tak lagi seberat dulu, bayangan Anastasya masih sesekali hadir. Wanita yang hampir menjadi istrinya itu meninggalkan jejak yang sulit dilupakan, meski kini rindu itu mulai sering kali terasa saat ia sendirian.Jacob memejamkan mata, mencoba membiarkan pikiran-pikirannya melayang tanpa beban. Di tengah ketenangan itu, senyum tipis terukir di wajahnya. Aneh, tapi keberadaan Luna di pulau ini telah membuat kesepiannya terasa sedikit berkurang.“Maaf untuk yang tadi,” suara lembut Luna tiba-tiba terdengar dari belakangnya.Jacob membuka matanya perlahan, namun tidak langsung menoleh. Dari sudut matanya, ia melihat gadis itu duduk di rerumputan, menjaga jar
Langit jingga yang memudar perlahan berganti menjadi kelam, membingkai suasana di antara mereka. Cukup lama Luna tidak bergerak untuk menghindari ancaman Jacob menjadi nyata, tubuhnya terasa kaku, seolah tak berani bergerak meski ancaman Jacob tadi hanya berupa kata-kata.Dengan hati-hati, Luna memberanikan diri menatap Jacob. "Sekarang, apa aku sudah boleh pergi?" tanyanya, suaranya pelan meski sedikit gemetar.Namun Jacob tampaknya masih enggan melepaskan, sementara langit sore berwarna jingga berubah menjadi gelap. Hembusan angin terasa lebih kuat, rambut pendek luna mulai berantakan terhembus oleh angin.Kedua tangan kekarnya masih menekan pinggang Luna, tatapannya terpana oleh keindahan mata hijau Luna yang bersinar samar di kegelapan menarik perhatiannya, memancarkan keindahan yang kontras dengan ketegangan situasi di antara mereka.“Kenapa aku tidak pernah menyadarinya sebelumnya?” pikir Jacob.Dalam jarak sedekat ini, Jacob mulai menyadari sesuatu bahwa Luna bukan hanya menarik
Hanya mengenakan gaun tidur favoritnya, Luna tiba di sebuah landasan helipad sebuah gedung yang ada di New York. Ia tidak tau dunia luar sekarang seperti apa, tapi satu hal yang membuat Luna tidak habis pikir adalah, apakah Jacob mengusirnya dari pulau sekarang?Saat pikirannya sedang bertanya tanya, tiba-tiba Jacob meraih pergelangan tangannya dan membawa ia masuk ke dalam gedung, menggunakan sebuah lift sampai mereka tiba di sebuah apartemen mewah dengan warna yang di dominasi hitam dan putih.Apartemen itu terlihat sangat luar biasa, Luna tak bisa menutupi kekagumannya saat melihat apartemen tersebut. Ia pun berbalik, tapi kaget melihat Jacob melepaskan bajunya."Apa yang kau lakukan membawaku kemari?!" tanya Luna.Jacob menoleh, membawa bajunya menuju kamar yang diikuti oleh Luna.Di dalam kamar, Jacob terlihat sibuk mengenakan pakaiannya tanpa memperdulikan Luna yang ada di sana. Alhasil, Luna berbalik badan tanpa melihat Jacob yang melepaskan satu persatu pakaiannya."Aku ada pek
Sentuhan yang Jacob berikan semakin tidak terkendali, Luna kebingungan harus mencegah Jacob dengan cara apa. Tubuh pria itu jauh lebih besar darinya, lebih kuat dan juga mendominasi.Kedua kaki Luna tak lagi menapak lantai, Jacob mengangkatnya dan tanpa ragu melempar Luna ke tempat tidur. Tatapan Luna semakin panik, terlebih ia sadar bawah tatapan Jacob padanya berbeda dari biasanya."Tuan, aku mohon berhenti!" seru Luna.Namun, Jacob tak mengindahkan seruan gadis itu. Ia kembali mendekat dan mencumbu Luna dari bibir hingga turun ke leher, tanpa segan meninggalkan jejak kemerahan di bagian leher Luna.Ketakutan Luna semakin besar, tubuhnya terasa panas akibat sentuhan Jacob. Apalagi ketika tangan pria itu mulai memasuki area bajunya dan mengusap permukaan pahanya. Tubuh Luna seketika bergetar, ia benar-benar tidak berdaya di bawah kendali Jacob yang tak bisa ia dorong menjauh.Saat tangan Jacob akan bergerak lebih naik ke atas pahanya, gerakan pria itu berhenti, nafasnya terdengar bera
Keesokan harinya saat Luna keluar dari kamar, ia sudah melihat apartemen sudah kosong menyisakan dirinya sendiri. Jacob tidak ada, sepertinya berangkat lebih awal untuk mengurus pekerjaan.Langkahnya menuju meja makan terhenti sejenak saat matanya menangkap sandwich yang tertata rapi di piring. Di sampingnya, ada beberapa lembar uang dan secarik kertas kecil dengan tulisan tangan Jacob yang khas."Kau butuh uang saat keluar, bawa ini bersamamu."Luna tersenyum tipis. Ada sesuatu yang hangat dan tak terucapkan dalam perhatian kecil itu. Ia duduk menikmati sarapannya dengan tenang hingga suara bel apartemen memecah keheningan. Seorang kurir datang, membawa beberapa set pakaian baru untuknya, kali ini lebih tertutup dan nyaman dibanding kemarin.Tanpa menunggu lama, ia memilih salah satu pakaian itu dan memakainya. Menatap sejenak pantulan bayangannya di cermin, menarik nafas panjang, lalu memantapkan hati untuk melangkah keluar dari apartemen.Ketika tiba di lobi, suara keramaian segera
Malam harinya, suhu tubuh Luna cukup tinggi sampai gadis itu menggigil di balik selimut yang digunakan. Tidak ada yang menyadarinya, bahkan Jacob pun belum tau bahwa suhu tubuh Luna perlahan mulai naik. Dengan kondisinya yang seperti itu membuat mimpi Luna kembali pada bayangan masa lalu yang menyakiti hatinya. "Kau itu anak yang tidak diinginkan, bekerjalah lebih keras agar kami bangga padamu!" "Dasar anak tidak berguna, aku sudah membesarkanmu agar kau ada gunanya! Melakukan latihan sederhana seperti itu saja kau tak bisa!" "Hei, lihat di sana! Dia kan anak yang tidak di harapkan oleh keluarganya, lihat wajah jeleknya itu, dia terlihat bodoh sekali." "Orang bodoh sepertinya bagaimana dia masih bisa berharap memenangkan lomba nanti? Mustahil, sebaiknya dia lebih baik mati saja." "Hei anak haram, pergilah! Kau itu hanya pembawa sial!" Bayangan yang menghampiri mimpinya membuat Luna semakin gemetar di balik selimut yang menutupinya, tubuhnya memucat seiring suhu panas mulai mengu
Hari sudah semakin siang, saat Hazel membuka pintu kamar tempat Luna istirahat, seorang Dokter berada di dalam untuk melepaskan jarum infus sekaligus memeriksa kondisi Luna sejak beberapa jam lalu. "Bagaimana sekarang?" tanya Hazel pada Dokter. Dokter itu tersenyum tipis sambil membereskan peralatannya. "Kondisinya sudah jauh lebih baik. Hanya perlu istirahat dan pemulihan. Pastikan dia minum obat secara teratur, dan jangan terlalu lelah. Itu penting." Setelah memberikan beberapa arahan tambahan, ia pamit meninggalkan ruangan. Luna yang tadinya bersandar lemah di tempat tidur, kini perlahan duduk. Meski wajahnya masih pucat, ada sedikit semburat warna yang mulai kembali ke pipinya. Pandangannya jatuh pada Hazel, yang kini duduk di tepi ranjang, matanya dipenuhi rasa perhatian. "Hei," Hazel membuka percakapan, suaranya lembut namun penuh semangat. "Aku bisa menjadi teman yang baik, kau tahu. Jadi kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk bercerita. Aku siap mendengarkan." Ucapan Hazel d
Suasana malam menyelimuti kota, membawa keramaian penuh aktivitas yang memikat banyak orang untuk keluar menikmati gemerlapnya. Namun, tidak untuk Luna. Ia memilih tetap di dalam, terkurung oleh rasa takut yang tak kunjung sirna. Dunia luar memang terlihat indah, tapi yang mengintai di baliknya adalah kemungkinan bertemu dengan 'mereka', orang-orang yang telah meninggalkan luka mendalam di hidupnya. Lama ia termenung dalam pikirannya sendiri, mencoba mengabaikan bayang-bayang masa lalu yang masih menghantui. Ketika matanya mulai terpejam, suara pintu yang tiba-tiba terbuka membuatnya terjaga. Jacob melangkah masuk, tubuhnya hanya dibalut celana panjang, dadanya telanjang seperti memamerkan kepercayaan diri yang berlebihan. Luna menatapnya dengan bingung, merasa terkejut sekaligus canggung. Ia memang sengaja tidak mengunci pintu, mengingat insiden semalam ketika ia demam tinggi dan nyaris tak ada yang menyadarinya. Tapi malam ini, Jacob sepertinya punya alasan berbeda. Luna langsu
Jacob dan Hazel berdiri di koridor yang sunyi, menunggu dengan sabar hingga dokter selesai memeriksa Luna. Begitu pintu ruangan terbuka dan dokter keluar, Jacob langsung melangkah cepat, menghadang dokter dengan wajah penuh kecemasan. Sebuah pertanyaan yang mengusik pikirannya akhirnya meluncur dari bibirnya.“Dokter, bagaimana kondisinya?” tanya Jacob, suaranya tegang dan penuh harap.Dokter membuka mulut, bersiap untuk menjawab, tapi tiba-tiba Hazel menyela dengan pertanyaan yang lebih langsung. “Apa gadis itu hamil?”Pertanyaan itu membuat dokter tersenyum tipis, seolah memahami kecemasan yang melanda kedua orang di depannya.“Sayangnya tidak,” jawab dokter dengan tenang. “Pasien hanya mengalami kekurangan darah. Setelah diperiksa lebih lanjut, tidak ada masalah serius lainnya dalam tubuhnya. Pasien tidak dalam kondisi hamil. Setelah transfusi darah selesai, kemungkinan besar kondisinya akan membaik.” Dokter mengangguk ramah sebelum beranjak pergi, meninggalkan Jacob dan Hazel deng
Sekitar pukul dua dini hari, Jacob mendengar kabar kalau Luna sudah tiba di rumah sakit. Jantungnya berdegup kencang, darahnya serasa membeku. Tanpa berpikir panjang, ia melesat keluar apartemen hingga akhirnya tiba di rumah sakit.Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara mesin yang berdetak monoton. Jacob melangkah pelan, matanya langsung tertuju pada sosok Luna yang terbaring lemas di atas tempat tidur. Wajahnya pucat bagai bulan yang kehilangan cahaya, tubuhnya lemas tak berdaya.Ketika Jacob menyentuh tangannya, ia merasakan dingin yang menusuk. Tangan Luna terasa tak bertenaga, seperti jelly yang kehilangan bentuknya. Tidak ada kekuatan, tak ada kehangatan. Jacob menahan nafas, dadanya sesak. Ia menoleh ke arah dokter yang baru saja selesai memeriksa Luna, matanya memancarkan kecemasan yang tak terbendung.“Apa yang terjadi padanya?” tanya Jacob.Dokter itu menghela nafas sebelum menjawab, “Pasien mengalami tekanan darah yang sangat rendah, membuat kondisinya tidak stabil. Kami p
Jacob merasa seperti terjebak dalam pusaran yang tak berujung. Pekerjaannya semakin menumpuk, bukannya berkurang, meski ia sudah mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk melawan Russel.Tapi kali ini, segalanya terasa berbeda. Russel bukan lagi musuh yang bisa diremehkan. Dia telah berkembang, menjadi lebih kuat, lebih licik, dan lebih berbahaya. Setiap langkah yang Jacob ambil seakan sudah diantisipasi oleh Russel, membuatnya seperti bermain catur dengan langkah yang selalu tertebak.Saat Jacob baru saja tiba di lobi, Hazel yang melihatnya langsung mengejar saudaranya yang terlihat buru-buru keluar. Wajah Hazel dipenuhi kekhawatiran, matanya menyiratkan pertanyaan yang tak terucap."Jacob, kau mau kemana?!" seru Hazel, suaranya memecah kesunyian lobi yang megah.Jacob tidak menjawab. Alih-alih berhenti, ia justru melangkah lebih cepat, masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu dengan asistennya siap membukakan pintu. Namun, sebelum pintu tertutup rapat, Hazel dengan gesit menerobos
Dua hari telah berlalu, dan ancaman yang dilontarkan Russel bukanlah sekadar gertakan. Jacob tahu itu. Ia juga tahu bahwa ia harus menyiapkan sesuatu untuk melawan. Menyerah bukanlah pilihan, apalagi jika itu menyangkut Luna. Gadis itu memiliki sesuatu yang tak dimiliki orang lain, sesuatu yang membuat Jacob rela mempertaruhkan segalanya untuk mempertahankannya.Tapi, tindakannya ini bisa dibilang nekat. Taruhannya bukan main-main, perusahaan yang ia kelola selama bertahun-tahun. Orang lain pasti akan menganggapnya gila jika tahu ia rela mempertaruhkan bisnisnya hanya demi seorang perempuan. Luna bahkan tidak bisa membantunya dalam urusan bisnis. Tapi entah mengapa, Jacob tidak bisa berhenti. Ia sudah tahu seperti apa masa lalu Luna, tahu bahwa gadis itu hanya menginginkan kebebasan. Dan jika Luna jatuh ke tangan Russel, kebebasan itu mungkin akan hilang selamanya.Yang lebih mengkhawatirkan, Jacob curiga Russel telah menyiapkan sesuatu sebelum Luna kembali, sesuatu yang akan membeleng
Suasana ruangan terasa seperti ruang hampa, udara yang seharusnya mengalir justru terasa membeku, menekan dada Jacob hingga nafasnya terasa berat. Namun, di balik ketegangan yang menggumpal, Jacob berusaha keras untuk tetap tenang. Dia tahu, percakapan ini tak akan berakhir hanya karena Russel meminta Luna dengan nada memaksa. Ini lebih dari sekadar permintaan, ini adalah pertarungan."Apa sebenarnya yang ingin kau katakan, Tuan Calderon? Kenapa aku harus menyerahkan Luna padamu?" tanya Jacob, suaranya datar namun sarat dengan pertahanan.Russel mengambil jeda, membiarkan Jacob duduk lebih dulu sebelum melanjutkan. Nafasnya teratur, tapi matanya menyala dengan intensitas yang tak terbendung. "Aku hanya ingin putriku kembali. Luna yang kau akui sebagai wanitamu, adalah anak kandungku.""Dia tidak bersamaku saat ini," jawab Jacob singkat, mencoba menahan gejolak dalam hatinya.Russel terkekeh, suaranya dingin seperti es yang menusuk tulang. "Kau menyembunyikannya karena kau tahu aku tak
Malam itu, udara terasa hangat meski langit telah gelap. Jacob dengan lembut membawa Luna naik dari kolam, tubuhnya yang basah diturunkan perlahan ke kursi santai. Refleks, Luna menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menyadari bahwa pakaiannya entah sejak kapan telah terlepas. Rasa malu menyergapnya, tapi Jacob tak memberinya kesempatan untuk bersembunyi.Dengan gerakan halus, Jacob meraih tangan Luna, menariknya perlahan. "Aku sudah melihat semuanya, Luna. Bagian mana lagi dari dirimu yang belum aku lihat?" ucapnya dengan seringai menggoda.Wajah Luna memerah, panas menyebar dari pipinya hingga ke seluruh tubuh. Pandangan Jacob menyusuri setiap lekuk tubuhnya, seolah-olah ia sedang mengagumi sebuah mahakarya. Luna merasa terbakar, tapi di saat yang sama, ada sesuatu yang membuatnya tak bisa menarik diri. Jacob sudah melihat segalanya, bahkan sudah menyentuh bagian-bagian yang paling rahasia dari dirinya."Cukup!" Luna menutup wajah Jacob dengan telapak tangannya, mencoba mengalih
Mansion utama kini benar-benar sunyi. Para pelayan telah kembali ke tempat mereka masing-masing, menjauh dari area tempat tinggal Jacob, memberikan ketenangan yang hampir terasa asing di rumah sebesar ini. Setelah makan malam, Jacob melangkah menuju halaman samping, tempat kolam renang yang jarang digunakan tetap berkilauan di bawah cahaya bulan.Kolam itu memang tidak besar, kedalamannya kurang dari dua meter. Namun, airnya begitu jernih, seolah tetap terjaga meskipun tak ada sistem penyaringan canggih yang bekerja secara rutin.Jacob menjatuhkan tubuhnya di kursi santai, melemaskan otot-ototnya setelah seharian beraktivitas. Namun, baru saja ia hendak memejamkan mata, langkah ringan terdengar mendekat.Luna datang dengan anggun, membawa sebotol wine dan dua gelas di tangannya. Tatapannya menyiratkan sesuatu, bukan sekadar ingin menikmati anggur bersama, tapi juga ada pertanyaan yang mengganjal di benaknya.Jacob hanya menatapnya sekilas sebelum mengambil botol wine itu dan mulai men
Suara tawa Luna yang riang bergema di sepanjang pantai, bercampur dengan desiran ombak yang bergulung-gulung menghantam pasir. Gadis itu berlari-lari kecil, memamerkan kerang-kerang hasil tangkapannya dengan wajah yang bersinar penuh kebahagiaan. Sementara itu, Jacob sibuk membongkar bebatuan di tepi pantai, mencari gurita kecil yang bersembunyi di balik celah-celah karang. Matanya fokus, tapi sesekali dia mencuri pandang ke arah Luna, menikmati keceriaan yang terpancar dari gadis itu.Di sekitar mereka, hanya ada kedamaian. Matahari sore yang mulai turun memancarkan cahaya keemasan, menerangi pantai yang sepi. Tak ada yang bisa merusak momen indah ini, setidaknya, untuk saat ini."Apa ini masih belum cukup banyak?" tanya Luna sambil mengangkat keranjang kecil yang berisi kerang hasil tangkapannya. Matanya berbinar penuh harap, seolah ingin mendapatkan pujian dari Jacob.Jacob menoleh, senyum kecil mengembang di bibirnya. Dia memasukkan dua gurita kecil yang berhasil dia tangkap ke da
Russel berdiri di tengah ruangan, wajahnya bersinar dengan kegembiraan yang tak terbendung. Akhirnya, setelah sekian lama mencari dia tahu di mana Luna berada. Kebenaran itu seperti angin segar yang menghapus semua keraguan dan kekhawatiran yang selama ini membebani pikirannya. Tak peduli bahwa Luna saat ini sedang menjalin hubungan dengan Jacob, Russel tahu dia harus segera menjemput putrinya. Baginya, tidak ada yang lebih penting daripada memastikan Luna kembali ke pangkuannya.Di dalam ruang tahanan, Nico masih berdiri dengan ekspresi yang sulit dibaca. Dia berusaha menyembunyikan keterkejutannya, tapi matanya yang sedikit melebar dan rahang yang mengeras menunjukkan betapa dia tidak menyangka bahwa Russel ternyata menguping pembicaraan mereka. Keith yang masih terikat, menatap Nico dengan maya menyala-nyala dengan kemarahan.Russel menepuk bahu Nico dengan senyum lebar. "Kau pintar juga membuat perempuan ini berkata jujur," pujinya, suaranya penuh dengan kepuasan. "Sekarang, aku h