Hari yang cerah menyambut pagi Luna. Langit biru tanpa awan membentang luas, sementara hembusan angin laut yang lembut menyapu wajahnya. Suara deburan ombak berpadu dengan aroma asin yang menenangkan, membuat pagi itu terasa begitu damai. Tidak ada mimpi buruk yang mengusik tidurnya semalam, dan untuk pertama kalinya, Luna merasa hatinya sedikit lebih tenang.Setelah menyantap sarapan, Luna memutuskan untuk bersantai di pinggir tebing pantai. Hembusan angin yang membawa aroma laut terasa menenangkan, sampai pandangannya tertuju ke arah Jacob.Pria itu dengan tubuh tegap dan kekar, terlihat sedang berselancar di tengah ombak. Matahari pagi memantulkan cahaya ke kulitnya yang basah, menonjolkan otot-ototnya dengan begitu jelas. Ia tidak mengenakan baju, hanya celana selancar hitam yang pas di tubuhnya, membuat penampilannya terlihat begitu memukau.Luna tertegun, matanya tidak bisa berpaling. Ia akui bahwa sebenarnya tidak ada kekurangan yang Jacob miliki pada tubuhnya, kecuali sikap ya
Langit sore memancarkan warna jingga yang lembut, menciptakan pemandangan yang menenangkan di cakrawala. Matahari perlahan tenggelam, meninggalkan sinar hangat terakhirnya yang memantul di permukaan laut. Jacob duduk di atas rerumputan yang lembut, memandangi keindahan di depannya sambil merasakan hembusan angin yang sejuk.Meski hatinya tak lagi seberat dulu, bayangan Anastasya masih sesekali hadir. Wanita yang hampir menjadi istrinya itu meninggalkan jejak yang sulit dilupakan, meski kini rindu itu mulai sering kali terasa saat ia sendirian.Jacob memejamkan mata, mencoba membiarkan pikiran-pikirannya melayang tanpa beban. Di tengah ketenangan itu, senyum tipis terukir di wajahnya. Aneh, tapi keberadaan Luna di pulau ini telah membuat kesepiannya terasa sedikit berkurang.“Maaf untuk yang tadi,” suara lembut Luna tiba-tiba terdengar dari belakangnya.Jacob membuka matanya perlahan, namun tidak langsung menoleh. Dari sudut matanya, ia melihat gadis itu duduk di rerumputan, menjaga jar
Langit jingga yang memudar perlahan berganti menjadi kelam, membingkai suasana di antara mereka. Cukup lama Luna tidak bergerak untuk menghindari ancaman Jacob menjadi nyata, tubuhnya terasa kaku, seolah tak berani bergerak meski ancaman Jacob tadi hanya berupa kata-kata.Dengan hati-hati, Luna memberanikan diri menatap Jacob. "Sekarang, apa aku sudah boleh pergi?" tanyanya, suaranya pelan meski sedikit gemetar.Namun Jacob tampaknya masih enggan melepaskan, sementara langit sore berwarna jingga berubah menjadi gelap. Hembusan angin terasa lebih kuat, rambut pendek luna mulai berantakan terhembus oleh angin.Kedua tangan kekarnya masih menekan pinggang Luna, tatapannya terpana oleh keindahan mata hijau Luna yang bersinar samar di kegelapan menarik perhatiannya, memancarkan keindahan yang kontras dengan ketegangan situasi di antara mereka.“Kenapa aku tidak pernah menyadarinya sebelumnya?” pikir Jacob.Dalam jarak sedekat ini, Jacob mulai menyadari sesuatu bahwa Luna bukan hanya menarik
Hanya mengenakan gaun tidur favoritnya, Luna tiba di sebuah landasan helipad sebuah gedung yang ada di New York. Ia tidak tau dunia luar sekarang seperti apa, tapi satu hal yang membuat Luna tidak habis pikir adalah, apakah Jacob mengusirnya dari pulau sekarang?Saat pikirannya sedang bertanya tanya, tiba-tiba Jacob meraih pergelangan tangannya dan membawa ia masuk ke dalam gedung, menggunakan sebuah lift sampai mereka tiba di sebuah apartemen mewah dengan warna yang di dominasi hitam dan putih.Apartemen itu terlihat sangat luar biasa, Luna tak bisa menutupi kekagumannya saat melihat apartemen tersebut. Ia pun berbalik, tapi kaget melihat Jacob melepaskan bajunya."Apa yang kau lakukan membawaku kemari?!" tanya Luna.Jacob menoleh, membawa bajunya menuju kamar yang diikuti oleh Luna.Di dalam kamar, Jacob terlihat sibuk mengenakan pakaiannya tanpa memperdulikan Luna yang ada di sana. Alhasil, Luna berbalik badan tanpa melihat Jacob yang melepaskan satu persatu pakaiannya."Aku ada pek
Sentuhan yang Jacob berikan semakin tidak terkendali, Luna kebingungan harus mencegah Jacob dengan cara apa. Tubuh pria itu jauh lebih besar darinya, lebih kuat dan juga mendominasi.Kedua kaki Luna tak lagi menapak lantai, Jacob mengangkatnya dan tanpa ragu melempar Luna ke tempat tidur. Tatapan Luna semakin panik, terlebih ia sadar bawah tatapan Jacob padanya berbeda dari biasanya."Tuan, aku mohon berhenti!" seru Luna.Namun, Jacob tak mengindahkan seruan gadis itu. Ia kembali mendekat dan mencumbu Luna dari bibir hingga turun ke leher, tanpa segan meninggalkan jejak kemerahan di bagian leher Luna.Ketakutan Luna semakin besar, tubuhnya terasa panas akibat sentuhan Jacob. Apalagi ketika tangan pria itu mulai memasuki area bajunya dan mengusap permukaan pahanya. Tubuh Luna seketika bergetar, ia benar-benar tidak berdaya di bawah kendali Jacob yang tak bisa ia dorong menjauh.Saat tangan Jacob akan bergerak lebih naik ke atas pahanya, gerakan pria itu berhenti, nafasnya terdengar bera
Keesokan harinya saat Luna keluar dari kamar, ia sudah melihat apartemen sudah kosong menyisakan dirinya sendiri. Jacob tidak ada, sepertinya berangkat lebih awal untuk mengurus pekerjaan.Langkahnya menuju meja makan terhenti sejenak saat matanya menangkap sandwich yang tertata rapi di piring. Di sampingnya, ada beberapa lembar uang dan secarik kertas kecil dengan tulisan tangan Jacob yang khas."Kau butuh uang saat keluar, bawa ini bersamamu."Luna tersenyum tipis. Ada sesuatu yang hangat dan tak terucapkan dalam perhatian kecil itu. Ia duduk menikmati sarapannya dengan tenang hingga suara bel apartemen memecah keheningan. Seorang kurir datang, membawa beberapa set pakaian baru untuknya, kali ini lebih tertutup dan nyaman dibanding kemarin.Tanpa menunggu lama, ia memilih salah satu pakaian itu dan memakainya. Menatap sejenak pantulan bayangannya di cermin, menarik nafas panjang, lalu memantapkan hati untuk melangkah keluar dari apartemen.Ketika tiba di lobi, suara keramaian segera
Malam harinya, suhu tubuh Luna cukup tinggi sampai gadis itu menggigil di balik selimut yang digunakan. Tidak ada yang menyadarinya, bahkan Jacob pun belum tau bahwa suhu tubuh Luna perlahan mulai naik. Dengan kondisinya yang seperti itu membuat mimpi Luna kembali pada bayangan masa lalu yang menyakiti hatinya. "Kau itu anak yang tidak diinginkan, bekerjalah lebih keras agar kami bangga padamu!" "Dasar anak tidak berguna, aku sudah membesarkanmu agar kau ada gunanya! Melakukan latihan sederhana seperti itu saja kau tak bisa!" "Hei, lihat di sana! Dia kan anak yang tidak di harapkan oleh keluarganya, lihat wajah jeleknya itu, dia terlihat bodoh sekali." "Orang bodoh sepertinya bagaimana dia masih bisa berharap memenangkan lomba nanti? Mustahil, sebaiknya dia lebih baik mati saja." "Hei anak haram, pergilah! Kau itu hanya pembawa sial!" Bayangan yang menghampiri mimpinya membuat Luna semakin gemetar di balik selimut yang menutupinya, tubuhnya memucat seiring suhu panas mulai mengu
Hari sudah semakin siang, saat Hazel membuka pintu kamar tempat Luna istirahat, seorang Dokter berada di dalam untuk melepaskan jarum infus sekaligus memeriksa kondisi Luna sejak beberapa jam lalu. "Bagaimana sekarang?" tanya Hazel pada Dokter. Dokter itu tersenyum tipis sambil membereskan peralatannya. "Kondisinya sudah jauh lebih baik. Hanya perlu istirahat dan pemulihan. Pastikan dia minum obat secara teratur, dan jangan terlalu lelah. Itu penting." Setelah memberikan beberapa arahan tambahan, ia pamit meninggalkan ruangan. Luna yang tadinya bersandar lemah di tempat tidur, kini perlahan duduk. Meski wajahnya masih pucat, ada sedikit semburat warna yang mulai kembali ke pipinya. Pandangannya jatuh pada Hazel, yang kini duduk di tepi ranjang, matanya dipenuhi rasa perhatian. "Hei," Hazel membuka percakapan, suaranya lembut namun penuh semangat. "Aku bisa menjadi teman yang baik, kau tahu. Jadi kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk bercerita. Aku siap mendengarkan." Ucapan Hazel d
Setengah jam berlalu, Xavier dan Diego masih mengobrol seperti dua teman lama yang sedang menikmati waktu santai. Gelas demi gelas minuman mereka habiskan, sesekali tawa kecil terdengar, meski lebih terasa seperti suara dua predator yang merencanakan sesuatu.Akhirnya, setelah puas berbicara, Xavier berdiri. "Ada hal yang perlu aku lakukan," ucapnya. Diego mengangguk, menepuk bahu Xavier sebelum ikut beranjak pergi.Begitu langkah mereka menghilang di balik pintu, bartender yang sejak tadi menyajikan minuman untuk kedua pria itu melirik ke bawah meja. Dengan nada tenang, ia berbisik, "Mereka sudah pergi. Kau bisa keluar dari persembunyianmu sekarang."Perlahan, seorang wanita muncul dari tempatnya berjongkok. Hazel menarik nafas dalam-dalam, mengamati sekeliling untuk memastikan benar-benar aman.Awalnya, ia tidak menyangka bisa bertemu dengan Xavier di dalam kapal ini, dan lebih dari itu, mendengar pembicaraan pria itu yang membuat amarahnya mendidih."Kenapa setiap orang yang dekat
Suara deru mesin mobil memecah keheningan malam saat kendaraan hitam berhenti di dermaga. Xavier turun lebih dulu, langkahnya tegas dan tanpa ragu, langsung berbicara dengan seseorang yang sudah menunggunya. Wajahnya tetap dingin, tanpa ekspresi, seakan kehadirannya saja sudah cukup untuk membuat orang lain merasa terintimidasi.Dari sisi lain, Luna turun dengan sedikit ragu. Begitu kakinya menginjak dermaga, matanya langsung tertuju pada dua kapal pesiar megah yang bersandar tak jauh dari tempatnya berdiri. Cahaya lampu dari kapal itu memantul di permukaan air laut, menciptakan pemandangan yang begitu menakjubkan, namun sekaligus membuatnya merasa kecil.Jantungnya berdetak lebih cepat. Selama satu minggu kedepan, ia harus berada di dalam kapal itu bersama pria yang ... jujur saja ... menakutkan. Ditambah lagi, ini pertama kalinya ia berada di kapal sebesar itu, yang tingginya nyaris menyamai gedung lima belas lantai.Tanpa memperdulikan keterpanaan Luna, suara dingin Xavier menginte
Teriakan penuh amarah mengguncang ruangan, menggema hingga ke dinding-dinding yang seolah ikut bergetar karena kemarahan Russel. Dengan gerakan kasar, ia meraih vas bunga di atas meja dan melemparkannya ke lantai. Pecahan keramik berhamburan, nyaris mengenai kaki anak buahnya yang hanya bisa berdiri dengan kepala tertunduk."Brengsek!" Russel berbalik dengan mata membara, jemarinya teracung tajam ke arah pria yang berdiri membeku di hadapannya. "Bukankah aku sudah menyuruhmu memastikan bahwa Jacob ada di dalam mobil itu?! Tapi lihat apa yang terjadi! Dia masih hidup! Itu berarti yang kalian ledakkan tadi hanyalah mobil kosong! Kegagalan macam apa ini?!"Anak buahnya tetap diam, tahu betul bahwa berdebat hanya akan memperparah situasi. Russel tidak butuh alasan, yang ia inginkan hanyalah hasil.Pria itu semakin murka. Rahangnya mengeras, pikirannya berputar liar. Bagaimana mungkin Jacob bisa lolos? Apakah dia sudah mengetahui rencananya sejak awal? Mungkinkah ini semua adalah jebakan y
Kekacauan masih belum mereda. Kabar pertunangan itu terus bergulir, menyebar bagaikan api yang disiram bensin. Namun, yang lebih menggemparkan adalah terbongkarnya identitas Xavier sebagai cucu George Davis, sebuah fakta yang selama ini terkubur rapi dalam bayang-bayang. Dan kini, untuk pertama kalinya, Xavier tidak punya pilihan selain berdiri di hadapan publik dengan gelar yang selama ini ia hindari.Konferensi pers pun digelar.Di tengah kilatan kamera dan suara gemuruh wartawan yang berlomba mendapatkan sudut terbaik, Xavier melangkah masuk ke ruangan. Setelan hitamnya yang sempurna, sorot mata tajamnya, dan aura dominan yang terpancar dari dirinya membuat suasana seketika terasa lebih tegang.Ia duduk dengan tenang di kursi yang disediakan, sementara wartawan sudah tak sabar melontarkan pertanyaan."Sir, mengapa Anda menyembunyikan identitas sebagai cucu George Davis?""Apa benar transaksi ilegal yang muncul beberapa hari lalu melibatkan Anda?""Kapan pernikahan Anda dengan putri
Rumor seperti api yang membakar reputasi Russel Calderon. Kontrak-kontrak penting mulai dibatalkan satu per satu, saham Zenith merosot tajam, dan ruang kerjanya yang biasanya megah kini terasa seperti sel isolasi. Teleponnya berdering tanpa henti karena pada investor yang panik, rekan bisnis yang curiga, bahkan media yang haus sensasi.Tidak terasa tiga hari berlalu semenjak rumor itu muncul, beberapa pihak kepolisian datang untuk memeriksa dirinya terlibat dalam transaksi pengiriman senjata. Penyelidikan terus dilakukan, saham perusahaan mengalami masalah karena rumor yang terus membesar.Di saat Xavier dan Russel terlibat perselisihan, semua orang tidak ada yang memperhatikan Luna. Hal ini menjadi kesempatan untuk Luna menikmati waktu yang ia punya, karena semenjak Xavier pergi sehari setelah pertunangan, sejak itu pula Luna tak melihat pria itu pulang."Hei, kau dimana?" tanya Luna pada seseorang di sambungan telepon.Begitu seseorang di telepon itu menjawab, Luna langsung pergi me
Pukul tujuh pagi, Luna membuka pintu kamarnya dengan perlahan, udara dingin apartemen mewah Xavier menyergap kulitnya. Namun, sebelum ia sempat mengambil langkah pertama, suara kasar memecah kesunyian pagi."Brengsek! Dia berani melakukannya?!"Suara Xavier yang bergema di ruangan membuat Luna membeku. Dadanya berdegup kencang, apakah kemarahan itu ditujukan padanya?Dengan hati berdebar, ia melihat Xavier berdiri di ruang tamu, wajahnya merah padam, tangan mencengkeram ponsel seolah ingin menghancurkannya. Matanya yang biasanya dingin kini membara seperti api neraka."Siapa yang membuatnya marah seperti ini?" batin Luna.Xavier menoleh tiba-tiba, dan tatapan mereka bertemu. Luna nyaris mundur, ada sesuatu yang mengerikan dalam sorot matanya pagi ini. Tapi sebelum sempat berkata apapun, Xavier mendengus keras, lalu berbalik dan berjalan cepat menuju kamarnya.Beberapa detik kemudian, ia keluar lagi, kini mengenakan jas hitam yang membuatnya terlihat seperti malaikat maut. Tanpa sepata
Pada akhirnya, hari yang tidak diinginkan itu tiba. Yaitu pesta pertunangan, walaupun bukan pesta besar, tapi kabar mengenai hal ini kemungkinan besar akan dengan cepat didengar oleh publik bahwa putri dari Russel Calderon telah bertunangan.Luna menatap keluar jendela kaca besar, pemandangan kota terlihat dari tempat ia berdiri. Langit gelap dan lampu-lampu di gedung tinggi tampak bersinar, ia seperti seekor hewan peliharaan yang berharap untuk bisa mendapatkan kebebasan."Kau terjebak, dan tidak ada cara untuk melarikan diri." ucap Nico yang berdiri tak jauh di belakang Luna.Perlahan Luna berbalik, menatap adik tirinya yang beberapa waktu terakhir sikapnya lebih baik, terlihat dari sorot matanya kalau Nico itu sebenarnya peduli padanya, tapi pria muda itu enggan untuk mengakui hal itu."Kamu benar, aku terjebak. Bagaikan seekor hewan yang terjerat oleh perangkap seorang pemburu," ucap Luna sambil melewati Nico menuju meja dan meraih sepasang anting untuk ia pakai.Nico memperhatika
Luna baru saja keluar dari bandara sambil membawa koper, tapi matanya langsung melihat dua orang bodyguard yang siap menjemput. Salah satu mendekat, meraih koper dan membawanya pergi sementara satu yang lainnya seakan memastikan Luna tak tersentuh oleh para pendatang di bandara tersebut.Tak ada kebahagiaan yang terpancar di wajah Luna, hanya tekanan batin yang ia rasakan karena harus meninggalkan Jacob tanpa satu katapun. Ia ingin bertahan, hidup bahagia seperti apa yang Jacob tawarkan, tapi itu berat bagi Luna kalau pilihannya itu malah membuat Jacob celaka di kemudian hari."Silakan, Nona," ucap salah satu bodyguard dengan suara datar, membukakan pintu mobil hitam mengkilap yang sudah menunggu. Luna masuk tanpa protes, jendela mobil yang gelap seakan memantulkan bayangannya yang hampa.Kediaman Calderon menyambutnya dengan kemewahan yang tiba-tiba terasa menusuk. Russel tersenyum ramah, tapi sorot matanya tajam, seperti pedagang yang baru saja menutup transaksi menguntungkan."Baga
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Luna bergegas dari dapur saat dering ponselnya memecah kesunyian. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat nama "Xavier" berkedip di layar. Tangannya gemetar saat mencoba mengatur nafas, memastikan suaranya tak akan terdengar mencurigakan saat menjawab."Baik, tenang," bisiknya pada diri sendiri sebelum akhirnya mengangkat telepon. "Halo?"Suara Xavier langsung memenuhi telinganya, dingin dan penuh ancaman. "Ingat baik-baik, Luna. Kau tidak boleh terlambat satu menit pun untuk acara pertunangan kita. Tiga hari lagi. Liburanmu tersisa satu hari. Jika kau berani melawan..." Ada jeda yang sengaja dibuat dramatis. "Aku tidak akan tinggal diam."Luna memejamkan mata erat-erat, mencoba menahan getar di suaranya. "Aku mengerti. Besok aku akan kembali.""Dan ingat ini," sambung Xavier, suaranya tiba-tiba lebih rendah namun sepuluh kali lebih mengerikan. "Aku benci mengulangi kalimat yang sama. Kalau kau berulah..." Ancaman itu menggantung di udara. "Jangan