Update nya kemaleman ya hehe
Langit jingga yang memudar perlahan berganti menjadi kelam, membingkai suasana di antara mereka. Cukup lama Luna tidak bergerak untuk menghindari ancaman Jacob menjadi nyata, tubuhnya terasa kaku, seolah tak berani bergerak meski ancaman Jacob tadi hanya berupa kata-kata.Dengan hati-hati, Luna memberanikan diri menatap Jacob. "Sekarang, apa aku sudah boleh pergi?" tanyanya, suaranya pelan meski sedikit gemetar.Namun Jacob tampaknya masih enggan melepaskan, sementara langit sore berwarna jingga berubah menjadi gelap. Hembusan angin terasa lebih kuat, rambut pendek luna mulai berantakan terhembus oleh angin.Kedua tangan kekarnya masih menekan pinggang Luna, tatapannya terpana oleh keindahan mata hijau Luna yang bersinar samar di kegelapan menarik perhatiannya, memancarkan keindahan yang kontras dengan ketegangan situasi di antara mereka.“Kenapa aku tidak pernah menyadarinya sebelumnya?” pikir Jacob.Dalam jarak sedekat ini, Jacob mulai menyadari sesuatu bahwa Luna bukan hanya menarik
Hanya mengenakan gaun tidur favoritnya, Luna tiba di sebuah landasan helipad sebuah gedung yang ada di New York. Ia tidak tau dunia luar sekarang seperti apa, tapi satu hal yang membuat Luna tidak habis pikir adalah, apakah Jacob mengusirnya dari pulau sekarang?Saat pikirannya sedang bertanya tanya, tiba-tiba Jacob meraih pergelangan tangannya dan membawa ia masuk ke dalam gedung, menggunakan sebuah lift sampai mereka tiba di sebuah apartemen mewah dengan warna yang di dominasi hitam dan putih.Apartemen itu terlihat sangat luar biasa, Luna tak bisa menutupi kekagumannya saat melihat apartemen tersebut. Ia pun berbalik, tapi kaget melihat Jacob melepaskan bajunya."Apa yang kau lakukan membawaku kemari?!" tanya Luna.Jacob menoleh, membawa bajunya menuju kamar yang diikuti oleh Luna.Di dalam kamar, Jacob terlihat sibuk mengenakan pakaiannya tanpa memperdulikan Luna yang ada di sana. Alhasil, Luna berbalik badan tanpa melihat Jacob yang melepaskan satu persatu pakaiannya."Aku ada pek
Sentuhan yang Jacob berikan semakin tidak terkendali, Luna kebingungan harus mencegah Jacob dengan cara apa. Tubuh pria itu jauh lebih besar darinya, lebih kuat dan juga mendominasi.Kedua kaki Luna tak lagi menapak lantai, Jacob mengangkatnya dan tanpa ragu melempar Luna ke tempat tidur. Tatapan Luna semakin panik, terlebih ia sadar bawah tatapan Jacob padanya berbeda dari biasanya."Tuan, aku mohon berhenti!" seru Luna.Namun, Jacob tak mengindahkan seruan gadis itu. Ia kembali mendekat dan mencumbu Luna dari bibir hingga turun ke leher, tanpa segan meninggalkan jejak kemerahan di bagian leher Luna.Ketakutan Luna semakin besar, tubuhnya terasa panas akibat sentuhan Jacob. Apalagi ketika tangan pria itu mulai memasuki area bajunya dan mengusap permukaan pahanya. Tubuh Luna seketika bergetar, ia benar-benar tidak berdaya di bawah kendali Jacob yang tak bisa ia dorong menjauh.Saat tangan Jacob akan bergerak lebih naik ke atas pahanya, gerakan pria itu berhenti, nafasnya terdengar bera
Keesokan harinya saat Luna keluar dari kamar, ia sudah melihat apartemen sudah kosong menyisakan dirinya sendiri. Jacob tidak ada, sepertinya berangkat lebih awal untuk mengurus pekerjaan.Langkahnya menuju meja makan terhenti sejenak saat matanya menangkap sandwich yang tertata rapi di piring. Di sampingnya, ada beberapa lembar uang dan secarik kertas kecil dengan tulisan tangan Jacob yang khas."Kau butuh uang saat keluar, bawa ini bersamamu."Luna tersenyum tipis. Ada sesuatu yang hangat dan tak terucapkan dalam perhatian kecil itu. Ia duduk menikmati sarapannya dengan tenang hingga suara bel apartemen memecah keheningan. Seorang kurir datang, membawa beberapa set pakaian baru untuknya, kali ini lebih tertutup dan nyaman dibanding kemarin.Tanpa menunggu lama, ia memilih salah satu pakaian itu dan memakainya. Menatap sejenak pantulan bayangannya di cermin, menarik nafas panjang, lalu memantapkan hati untuk melangkah keluar dari apartemen.Ketika tiba di lobi, suara keramaian segera
Malam harinya, suhu tubuh Luna cukup tinggi sampai gadis itu menggigil di balik selimut yang digunakan. Tidak ada yang menyadarinya, bahkan Jacob pun belum tau bahwa suhu tubuh Luna perlahan mulai naik. Dengan kondisinya yang seperti itu membuat mimpi Luna kembali pada bayangan masa lalu yang menyakiti hatinya. "Kau itu anak yang tidak diinginkan, bekerjalah lebih keras agar kami bangga padamu!" "Dasar anak tidak berguna, aku sudah membesarkanmu agar kau ada gunanya! Melakukan latihan sederhana seperti itu saja kau tak bisa!" "Hei, lihat di sana! Dia kan anak yang tidak di harapkan oleh keluarganya, lihat wajah jeleknya itu, dia terlihat bodoh sekali." "Orang bodoh sepertinya bagaimana dia masih bisa berharap memenangkan lomba nanti? Mustahil, sebaiknya dia lebih baik mati saja." "Hei anak haram, pergilah! Kau itu hanya pembawa sial!" Bayangan yang menghampiri mimpinya membuat Luna semakin gemetar di balik selimut yang menutupinya, tubuhnya memucat seiring suhu panas mulai mengu
Hari sudah semakin siang, saat Hazel membuka pintu kamar tempat Luna istirahat, seorang Dokter berada di dalam untuk melepaskan jarum infus sekaligus memeriksa kondisi Luna sejak beberapa jam lalu. "Bagaimana sekarang?" tanya Hazel pada Dokter. Dokter itu tersenyum tipis sambil membereskan peralatannya. "Kondisinya sudah jauh lebih baik. Hanya perlu istirahat dan pemulihan. Pastikan dia minum obat secara teratur, dan jangan terlalu lelah. Itu penting." Setelah memberikan beberapa arahan tambahan, ia pamit meninggalkan ruangan. Luna yang tadinya bersandar lemah di tempat tidur, kini perlahan duduk. Meski wajahnya masih pucat, ada sedikit semburat warna yang mulai kembali ke pipinya. Pandangannya jatuh pada Hazel, yang kini duduk di tepi ranjang, matanya dipenuhi rasa perhatian. "Hei," Hazel membuka percakapan, suaranya lembut namun penuh semangat. "Aku bisa menjadi teman yang baik, kau tahu. Jadi kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk bercerita. Aku siap mendengarkan." Ucapan Hazel d
Suasana malam menyelimuti kota, membawa keramaian penuh aktivitas yang memikat banyak orang untuk keluar menikmati gemerlapnya. Namun, tidak untuk Luna. Ia memilih tetap di dalam, terkurung oleh rasa takut yang tak kunjung sirna. Dunia luar memang terlihat indah, tapi yang mengintai di baliknya adalah kemungkinan bertemu dengan 'mereka', orang-orang yang telah meninggalkan luka mendalam di hidupnya. Lama ia termenung dalam pikirannya sendiri, mencoba mengabaikan bayang-bayang masa lalu yang masih menghantui. Ketika matanya mulai terpejam, suara pintu yang tiba-tiba terbuka membuatnya terjaga. Jacob melangkah masuk, tubuhnya hanya dibalut celana panjang, dadanya telanjang seperti memamerkan kepercayaan diri yang berlebihan. Luna menatapnya dengan bingung, merasa terkejut sekaligus canggung. Ia memang sengaja tidak mengunci pintu, mengingat insiden semalam ketika ia demam tinggi dan nyaris tak ada yang menyadarinya. Tapi malam ini, Jacob sepertinya punya alasan berbeda. Luna langsu
"Kau bilang aku akan menunggumu sampai kau selesai dengan semua pekerjaan," ucap Luna saat ia sudah selesai mengemasi beberapa barang yang Jacob belikan. Sementara Jacob duduk di tempat tidur, melihat ke arah Luna sambil melipat kedua tangannya di perut. "Aku masih lama disini, sementara kau pasti bosan tinggal sendirian di apartemen sepanjang hari. Jika sampai kau sakit lagi, tak ada yang tau hal itu nantinya." Jacob tersenyum tipis, "Omong-omong, sepertinya kau sekarang suka berada di dekatku. Apa kau mulai nyaman tinggal bersamaku?" godanya. Seketika Luna mengalihkan pandangan, membelakangi Jacob dan pura-pura merapikan kembali beberapa buku serta mainan bricks ke dalam tasnya. Ia terlihat seperti anak kecil yang akan pergi liburan. Namun, wajah Luna terasa hangat. Semburat merah menghiasi wajahnya, ia juga tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini di dekat Jacob terasa berbeda, bahkan semalam, saat pria itu menyentuh area feminimnya, ia tidak menolak. Tanpa sadar Luna menggigit bi
Setengah jam berlalu, akhirnya Luna menikmati sepiring spageti buatan Jacob. Aroma tomat segar dan taburan keju menciptakan suasana hangat di antara mereka, meski ketegangan beberapa saat lalu hampir saja membuat masakan itu batal tersaji.Mereka makan dalam keheningan, hanya suara garpu yang beradu dengan piring terdengar di ruangan. Namun, mata Luna sesekali melirik Jacob, tampak ada sesuatu yang ingin ia tanyakan.“Kapan kita akan kembali ke pulau?” tanya Luna akhirnya, memecah keheningan.Jacob berhenti mengunyah, menatapnya sambil menyesap air minum. “Aku belum tahu,” jawabnya tenang. “Kau ingin kembali ke sana?”Luna mengangguk kecil. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Jacob melanjutkan, “Sayangnya, untuk seka
Mobil hitam Jacob berhenti di pinggir jalan, tapi bukan di depan apartemen seperti yang Luna kira. Supir membuka pintu, membiarkan Jacob dan Luna turun, sebelum melajukan mobil kembali ke tengah keramaian kota. Luna mengernyitkan dahi, kebingungan.“Ada apa? Kita belum sampai rumah,” tanya Luna, menatap Jacob dengan pandangan ingin tahu.Jacob hanya tersenyum tipis, menggenggam tangan Luna dengan lembut. “Aku memang tidak berniat langsung pulang. Aku ingin kita menikmati malam ini lebih lama. Kau tidak keberatan, kan?”Luna menatapnya sebentar, lalu bibirnya melengkung dalam senyuman kecil. “Tentu saja tidak. Tapi, apa yang kau rencanakan?”“Rahasia,” balas Jacob dengan nada menggoda, matanya berbinar penuh rahasia.Mereka berjalan menyusuri trotoar kota New York yang diterangi oleh lampu jalan dan kilauan neon gedung-gedung tinggi. Setelah beberapa menit, mereka sampai di salah satu gedung pencakar langit yang terkenal. Jacob membawa Luna naik ke puncak gedung, ke sebuah dek observas
Hazel menarik Luna ke sudut ruangan pesta, menjauhi keramaian para pria yang sedang sibuk bercakap-cakap dengan orang-orang penting. Dengan elegan, Hazel meraih segelas sampanye dari pelayan terdekat dan menyerahkannya kepada Luna."Pesta ini cukup ramai. Kau tidak merasa terganggu dengan keramaian seperti ini?" tanya Hazel sambil melirik sekilas ke arah kerumunan yang semakin ramai.Luna menggeleng pelan, lalu menyesap sampanye miliknya sedikit. "Aku baik-baik saja," jawabnya dengan nada ringan.Namun, Hazel tampaknya belum puas. Dia menoleh, menatap Luna dengan penasaran. "Aku masih penasaran, apa yang membuatmu takut dengan keramaian seperti ini sebelumnya? Apakah itu karena ibumu? Atau mungkin sesuatu yang lain?" tanyanya lagi, nada suaranya terdengar lembut namun penuh perhatian.Luna menghela nafas pelan, ragu sejenak sebelum menjawab. "Aku... aku tidak tahu harus memulainya dari mana, tapi dulu aku pernah mengalami kejadian yang sangat tidak menyenangkan saat tampil di atas pan
Jacob masih berada di ruang acara saat Luna berpamitan ke toilet, satu menit pertama saat Luna pergi sendirian mendadak saja membuatnya cemas. Ia tak bisa meninggalkan gadis itu sendirian, karena Jacob belum memastikan sepenuhnya apakah trauma Luna sudah sembuh atau belum.Jacob menghela nafas berat, berusaha menenangkan dirinya. Namun, setiap detik yang berlalu hanya membuat kegelisahannya semakin menjadi. Akhirnya, ia memutuskan bangkit dari kursinya dan berjalan menuju arah toilet. Ia tak akan tenang sampai memastikan Luna baik-baik saja."Bahkan satu menit pun aku tak bisa membiarkannya jauh dariku," gumam Jacob lirih, tangannya mengepal seolah memarahi dirinya sendiri karena merasa terlalu protektif.Ia melewati koridor panjang menuju ke arah toilet, ketika langkahnya sudah cukup dekat ke toilet wanita, Jacob berhenti sejenak saat ia mendengar suara seorang perempuan berseru."Dasar pencuri!" ucap seseorang yang kemudian dengan jelas ada suara Luna membalas tuduhan tersebut. Jaco
Jacob menatap Nico dengan tidak senang karena ia sadar Nico memperhatikan Luna, lantas dengan terang terangan Jacob melingkarkan tangannya di pinggang Luna dengan tatapan tajam penuh peringatan."Kau salah orang, wanitaku tidak mengenal remaja arogan sepertimu." setelah berkata demikian, Jacob mengajak Luna ke tempat duduk mereka.Sejenak Nico merasa tidak puas, ia menatap Jacob dan Luna yang pergi menjauh. Ia yakin kalau sebelumnya pernah melihat Luna di suatu tempat, tapi ia benar-benar tidak ingat dimana. "Sepertinya dia punya wajah yang pasaran," Nico pun menggelengkan kepala dan ia menoleh ke arah pintu, seketika wajah tidak senangnya menjadi penuh kebencian saat melihat ayahnya datang bersama Keith, yang saat ini status dikenal sebagai bagian keluarga Calderon. Disisi lain, Keith tampak penuh percaya diri saat ia melangkah masuk ke dalam pesta tersebut. Pada akhirnya ia bisa punya status sebagai anak konglomerat yang disegani, dan hadir di pesta seperti ini dengan barang-baran
Fajar baru saja menyingsing ketika Luna terbangun dari tidurnya. Kamar itu terasa sunyi, hanya menyisakan jejak kehangatan dari orang yang sebelumnya berbaring di sampingnya sementara di atas meja, ada sepasang pakaian yang pasti di siapkan oleh Jacob. Dengan gerakan lambat, Luna bangkit dari tempat tidur dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Mungkin Jacob sudah berangkat kerja seperti biasanya, pikirnya. Tapi begitu ia selesai mengenakan pakaian dan keluar dari kamar, ia mendengar suara ritmis dari mesin treadmill di ruang olahraga. Jacob masih di sana. Pria itu terlihat fokus, tubuhnya bergerak mantap di atas treadmill, dengan headphone terpasang di telinganya. Wajahnya penuh konsentrasi, tidak menyadari keberadaan Luna yang berdiri di ambang pintu memperhatikannya sejenak. Tak ingin mengganggu, Luna segera menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Aroma masakan yang menggoda akhirnya menyadarkan Jacob dari kesibukannya. Pria itu menoleh, melepas headphone dan mengalihkan
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi Luna masih terjaga. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar, sementara pikirannya penuh dengan bayangan tatapan dingin Leah. Walaupun ibunya tidak mengucapkan ancaman secara langsung, tatapan wanita itu sudah cukup untuk membuat Luna yakin, Leah akan kembali untuk membawanya. "Bagaimana caranya aku bisa melarikan diri darinya? Dia pasti mengawasi setiap langkahku sekarang," gumamnya pelan. "Mimpi buruk saat bersamanya tak pernah benar-benar hilang dari ingatanku." Kenangan buruk itu kembali menghantamnya seperti gelombang. Bayangan tongkat baseball yang diangkat tinggi-tinggi lalu menghantam kakinya membuat tubuh Luna refleks tersentak. Ia mencengkram selimut erat-erat, sementara nafasnya menjadi lebih cepat. Tidak peduli seberapa keras ia mencoba menenangkan diri, ketakutan itu tetap bertahan seperti hantu yang menolak pergi. Akhirnya, setelah beberapa lama bergelut dengan pikirannya sendiri, Luna memutuskan untuk turun dari t
Leah memaksakan sebuah senyum saat matanya bertemu dengan Hazel. “Oh, Nona Dawson, mengapa Anda di sini?” tanyanya dengan nada ringan, meskipun ketegangan di wajahnya sulit disembunyikan.Hazel mengerutkan kening, pandangannya berpindah ke Luna yang tampak cemas. Dengan tenang, Hazel menjawab, “Aku ingin bertemu dengan Luna. Dan Anda sendiri, Nyonya Hamilton? Apa urusan Anda di sini? Bukankah tempat ini cukup jauh dari kediaman Anda?”Leah menyipitkan mata, pandangannya bergantian antara Hazel dan Luna. “Anda mengenal gadis ini?” tanyanya sambil menunjuk Luna dengan nada sinis.Dan tanpa ragu, Hazel pun merangkul bahu Luna. Perasaan tegang yang sempat Luna rasakan tadi seketika terasa jauh lebih baik saat merasakan keakraban yang ditunjukkan Hazel dengan terang terangan di depan Leah.“Tentu saja,” jawab Hazel tegas. “Aku mengenalnya dengan baik. Itulah mengapa aku datang menemuinya.”Tatapan Leah berubah dingin dan tajam, menghunus ke arah Luna. Di balik sikapnya yang tampak santai,
Apartemen luas itu begitu sunyi hingga suara detak jam dinding terdengar jelas. Luna duduk di sofa, menatap Jacob yang duduk di seberang dengan mata terfokus pada layar iPad-nya. Pria itu tampak sangat serius, tenggelam dalam pekerjaan, meskipun sepanjang hari sudah dihabiskannya di kantor. Kini, di apartemen pun Jacob justru tetap asyik bekerja.Luna memperhatikannya cukup lama, berharap Jacob sadar akan kehadirannya. Hingga akhirnya, pria itu menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Luna.“Ada apa?” tanyanya dengan nada datar, tapi ada sedikit rasa bersalah di wajahnya.“Kau terlihat begitu sibuk,” jawab Luna pelan.Jacob menurunkan iPad-nya dan menghela nafas, menyadari dirinya telah mengabaikan Luna terlalu lama. Ia tahu gadis itu pasti merasa bosan, mungkin juga tidak nyaman, hanya duduk diam tanpa tahu harus melakukan apa.Jacob tersenyum tipis. “Mau jalan-jalan keluar?” tawarnya, mencoba memperbaiki suasana.Rona cerah langsung menghiasi wajah Luna. Senyumnya melebar, matanya be