Setelah dua jam lebih mengudara, akhirnya helikopter mendarat di pulau. Suasana yang Luna rindukan segera menyapa, itu turun dari helikopter membawa serta tasnya yang berukuran cukup besar. Tanpa menunggu waktu lebih lama, ia segera masuk ke dalam rumah. "Ibu!" serunya. Maci yang tengah berada di dapur menoleh, bibirnya tersenyum melihat kebahagiaan terpancar di wajah Luna. "Bagaimana pengalamanmu setelah lama tidak menginjakkan kaki di kota?" Luna meletakkan tasnya di kursi lalu melihat pekerjaan Maci yang sedang mengupas apel. "Masih tidak ada bedanya seperti dulu, aku belum bisa melupakan mereka. Sialnya saat aku memberanikan diri keluar, aku bertemu dengan salah satu dari mereka." "Apa ada kalimat yang dia ucapkan sampai membuatmu teringat kembali dengan masa lalumu?" Luna mengangguk, dan Maci tau ia tidak perlu lagi bertanya. "Jadi, bagaimana Tuan Muda menjagamu selama di kota?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Bibir Luna mengerucut. "Tuan pemburu itu sangat sibuk, setiap h
Musim panas berlalu dengan kehangatan yang perlahan memudar, digantikan oleh sejuknya musim gugur. Pepohonan di pulau mulai berubah warna, menghadirkan gradasi indah dari kuning, jingga, hingga merah menyala. Namun, angin yang membawa dedaunan kering juga menyebarkan kesunyian yang terkadang terasa menakutkan. Langkah Luna menyusuri hutan kecil di dekat rumah, matanya mengamati tumpukan dedaunan yang berguguran di sepanjang jalan setapak. Meskipun pemandangan itu menenangkan, ia tak bisa menghilangkan rasa was-was, terutama dengan kemungkinan ada ular yang bersembunyi di bawah dedaunan. "Luna!" Suara Maci memanggilnya dari kejauhan, memecah keheningan. Luna langsung keluar dari hutan dengan sedikit berlari. Maci melambai ke arahnya, berdiri di kebun belakang dengan keranjang besar di tangan. "Kemarilah, bantu aku memetik anggur yang tersisa dari musim panas," kata Maci sambil tersenyum. Luna menuruti ajakan itu. Ketika mereka sibuk memetik anggur, Luna tiba-tiba bertanya, "Bu, apa
Di bawah rindangnya pohon apel, Luna duduk bersandar sambil memetik buah yang tergantung rendah, begitu dekat hingga ia hanya perlu mengulurkan tangan. Ia menggigit apel itu perlahan, pandangannya kosong menatap hamparan rumput hijau di depannya. Pikiran gadis itu melayang, mencoba memahami mimpi aneh yang terus mengganggunya beberapa malam terakhir. "Apa yang salah denganku? Kenapa aku memimpikan hal-hal aneh seperti itu?" gumamnya pelan. "Bahkan semalam, mimpi itu terasa begitu nyata." Ia menggigit apel lagi, mencoba mengalihkan pikirannya. Tapi rasa cemas yang samar tetap menggelayut di benaknya. Luna menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran itu. "Tidak, lupakan saja. Tuan pemburu kelinci itu pasti tidak melakukan hal seperti itu. Lagipula, dia datang pukul tiga pagi. Dia pasti langsung tidur karena lelah," ujarnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, sebelum ia bisa benar-benar tenggelam dalam lamunannya, suara jeritan melengking dari arah kebun terdengar. Suara it
Suara gemericik air yang tenang membuat Luna dan Jacob mengambang di atas air dengan santai, di atas mereka terlihat langit biru yang cerah. Tak ada yang saling bicara, hanya suara air mengalir dan juga gesekan antara ranting dan dedaunan. "Jika kau diberi sebuah kesempatan memilih apapun yang kamu inginkan, apa yang akan kau minta?" tanya Jacob membuka obrolan. Luna memainkan air dengan kakinya, "Entahlah, sepertinya aku tidak punya keinginan apapun." "Itu tidak mungkin, setiap manusia pasti punya keinginan yang sangat dia inginkan." sahut Jacob. Luna tersenyum samar, matanya terpejam. Seandainya ia punya kesempatan untuk menginginkan sesuatu, ia akan meminta kehidupan tanpa rasa takut. Tapi itu mustahil, karena bertemu dengan salah satu dari mereka saja sudah membuat Luna sangat ketakutan. "Mengapa kau ingin tau?" Luna balik bertanya. Jacob menoleh, akhirnya ia menenggelamkan setengah tubuhnya ke dalam air dan menatap Luna yang masih mengapung di depannya. "Apa itu tidak
Deru nafas Luna memburu setelah ia berhasil keluar dari hutan, perasaannya masih di selimuti oleh kalimat Jacob. Jadi, semalam yang ia rasakan itu bukan mimpi? Pria itu ... dia ... Luna bahkan tak bisa menjelaskannya seperti apa. Setelah mengenakan pakaian yang tadi ia lepas, Luna berjalan masuk ke dalam rumah, tapi suasana sangat sepi. Luna pun menuju area belakang, dan di sana para pelayan terlihat berkumpul bersama, mereka berjumlah enam orang dan lima diantaranya adalah perempuan berusia empat puluh tahun ke atas. Sementara satu diantara mereka ada seorang pria berusia sekitar empat puluh enam tahun, dialah orang yang bertugas dalam penataan lokasi pertanian serta memastikan area taman tetap rapi. "Sekarang aku tidak tau lagi harus bagaimana, percuma aku lari karena lokasi ini adalah milik pria itu." batin Luna, akhirnya ia memilih untuk tidak mendekati para pelayan dan memilih tujuan lain. Di pinggir pasir putih yang lembut, Luna duduk di atas bebatuan. Debaran dadanya masih s
Sepanjang malam, Luna tidak bisa tidur hingga akhirnya matahari mulai muncul. Buru-buru ia keluar dari kamar, memastikan bahwa Jacob belum bangun. "Luna, kau mau kemana?" tanya Maci yang sedang menyiapkan sarapan. Dengan tergesa gesa, Luna mengikat rambutnya yang mulai terlihat panjang sebelum gadis itu meraih jaring dan juga wadah untuk hasil tangkapan udangnya nanti. "Aku akan mencari udang air tawar, jika nanti Tuan pemburu kelinci itu mencariku, ibu jangan beritahu dia kemana aku pergi." Setelahnya, Maci melihat Luna berlari keluar rumah menuju aliran sungai tempat udang-udang itu berada. Maci cuman bisa menggelengkan kepala, tapi tak berselang lama, Jacob muncul dan duduk di salah satu kursi meja makan. Maci meletakkan sarapan kesukaan Jacob, pria itu menyantap dengan santai. Tanpa melihat ke arah Maci, dia bertanya. "Dimana Luna, apa dia sudah keluar dari kamarnya?" "Dia sudah keluar dari rumah beberapa saat lalu, Tuan." jawab Maci. "Kemana dia pergi?" tanyanya, Maci hanya
Luna bingung apakah ia harus mengunci pintu kamarnya atau tidak, kalau ia tidak menguncinya maka Jacob akan masuk, sementara jika ia kunci, Jacob mungkin saja akan mendobraknya. Pria itu akan tetap masuk bagaimanapun caranya, dan saat Luna sedang kebingungan di depan pintu, tiba-tiba saja benda itu terbuka sehingga memaksanya mundur beberapa langkah. Matanya membelalak melihat Jacob masuk tanpa permisi, tapi bukan itu yang membuatnya panik, melainkan hal yang lain. "Ternyata kau sudah menungguku, apa kau sudah tidak sabar aku melakukannya padamu?" goda Jacob. "A.apa? Tidak, aku tidak sedang menunggumu." Jacob menyeringai, berjalan mendekati Luna yang terus mundur. Tapi gadis itu justru tak bisa mundur lagi karena belakangnya sudah dinding, tangan Jacob menaikkan dagu Luna. "Kau masih saja munafik, Luna. Kau menyukainya, tapi kau berusaha menolaknya. Haruskah aku mengajarimu cara yang lebih berani, agar kamu tau bahwa kita bisa melakukan sesuatu yang lebih baik lagi?" Tatapan mata
Perasaan malu seolah menghilang dari pikiran Luna, ia terbaring lemas setelah kepuasan yang ia dapatkan. Dengan perlahan, akhirnya Jacob melepaskan ikatan tangan. Luna tidak memukul, atau melakukan pemberontakan. Ia pasrah saat Jacob tiba-tiba menggendongnya, ia terlalu lemas untuk melawan. Kini, di dalam gendongan pria itu, Luna dapat melihat wajah Jacob dengan jelas di bawah sinar rembulan. "Kenapa kau lakukan hal itu padaku?" tanya Luna, suaranya lirih ia ingin agar Jacob segera menjawabnya. Jacob menunduk, menatapnya sekilas sambil berjalan. "Kau akan menjadi penghuni tetap di pulau ini, tapi aku yang bebas memutuskan hal itu nantinya." "Apa maksudmu?" "Luna, masih banyak hal yang belum kau ketahui tentang dunia dewasa. Caraku mengajarimu memang keterlaluan, aku tau itu. Kau perlu memahami situasi, kau bisa melawan dengan sekuat tenagamu agar orang lain tak dapat menyentuhmu." ucap Jacob. Luna menghembuskan nafas, "Bagaimana aku bisa melawanmu, kau mengikat tangan dan menahan
Suara deru mesin mobil memecah keheningan malam saat kendaraan hitam berhenti di dermaga. Xavier turun lebih dulu, langkahnya tegas dan tanpa ragu, langsung berbicara dengan seseorang yang sudah menunggunya. Wajahnya tetap dingin, tanpa ekspresi, seakan kehadirannya saja sudah cukup untuk membuat orang lain merasa terintimidasi.Dari sisi lain, Luna turun dengan sedikit ragu. Begitu kakinya menginjak dermaga, matanya langsung tertuju pada dua kapal pesiar megah yang bersandar tak jauh dari tempatnya berdiri. Cahaya lampu dari kapal itu memantul di permukaan air laut, menciptakan pemandangan yang begitu menakjubkan, namun sekaligus membuatnya merasa kecil.Jantungnya berdetak lebih cepat. Selama satu minggu kedepan, ia harus berada di dalam kapal itu bersama pria yang ... jujur saja ... menakutkan. Ditambah lagi, ini pertama kalinya ia berada di kapal sebesar itu, yang tingginya nyaris menyamai gedung lima belas lantai.Tanpa memperdulikan keterpanaan Luna, suara dingin Xavier menginte
Teriakan penuh amarah mengguncang ruangan, menggema hingga ke dinding-dinding yang seolah ikut bergetar karena kemarahan Russel. Dengan gerakan kasar, ia meraih vas bunga di atas meja dan melemparkannya ke lantai. Pecahan keramik berhamburan, nyaris mengenai kaki anak buahnya yang hanya bisa berdiri dengan kepala tertunduk."Brengsek!" Russel berbalik dengan mata membara, jemarinya teracung tajam ke arah pria yang berdiri membeku di hadapannya. "Bukankah aku sudah menyuruhmu memastikan bahwa Jacob ada di dalam mobil itu?! Tapi lihat apa yang terjadi! Dia masih hidup! Itu berarti yang kalian ledakkan tadi hanyalah mobil kosong! Kegagalan macam apa ini?!"Anak buahnya tetap diam, tahu betul bahwa berdebat hanya akan memperparah situasi. Russel tidak butuh alasan, yang ia inginkan hanyalah hasil.Pria itu semakin murka. Rahangnya mengeras, pikirannya berputar liar. Bagaimana mungkin Jacob bisa lolos? Apakah dia sudah mengetahui rencananya sejak awal? Mungkinkah ini semua adalah jebakan y
Kekacauan masih belum mereda. Kabar pertunangan itu terus bergulir, menyebar bagaikan api yang disiram bensin. Namun, yang lebih menggemparkan adalah terbongkarnya identitas Xavier sebagai cucu George Davis, sebuah fakta yang selama ini terkubur rapi dalam bayang-bayang. Dan kini, untuk pertama kalinya, Xavier tidak punya pilihan selain berdiri di hadapan publik dengan gelar yang selama ini ia hindari.Konferensi pers pun digelar.Di tengah kilatan kamera dan suara gemuruh wartawan yang berlomba mendapatkan sudut terbaik, Xavier melangkah masuk ke ruangan. Setelan hitamnya yang sempurna, sorot mata tajamnya, dan aura dominan yang terpancar dari dirinya membuat suasana seketika terasa lebih tegang.Ia duduk dengan tenang di kursi yang disediakan, sementara wartawan sudah tak sabar melontarkan pertanyaan."Sir, mengapa Anda menyembunyikan identitas sebagai cucu George Davis?""Apa benar transaksi ilegal yang muncul beberapa hari lalu melibatkan Anda?""Kapan pernikahan Anda dengan putri
Rumor seperti api yang membakar reputasi Russel Calderon. Kontrak-kontrak penting mulai dibatalkan satu per satu, saham Zenith merosot tajam, dan ruang kerjanya yang biasanya megah kini terasa seperti sel isolasi. Teleponnya berdering tanpa henti karena pada investor yang panik, rekan bisnis yang curiga, bahkan media yang haus sensasi.Tidak terasa tiga hari berlalu semenjak rumor itu muncul, beberapa pihak kepolisian datang untuk memeriksa dirinya terlibat dalam transaksi pengiriman senjata. Penyelidikan terus dilakukan, saham perusahaan mengalami masalah karena rumor yang terus membesar.Di saat Xavier dan Russel terlibat perselisihan, semua orang tidak ada yang memperhatikan Luna. Hal ini menjadi kesempatan untuk Luna menikmati waktu yang ia punya, karena semenjak Xavier pergi sehari setelah pertunangan, sejak itu pula Luna tak melihat pria itu pulang."Hei, kau dimana?" tanya Luna pada seseorang di sambungan telepon.Begitu seseorang di telepon itu menjawab, Luna langsung pergi me
Pukul tujuh pagi, Luna membuka pintu kamarnya dengan perlahan, udara dingin apartemen mewah Xavier menyergap kulitnya. Namun, sebelum ia sempat mengambil langkah pertama, suara kasar memecah kesunyian pagi."Brengsek! Dia berani melakukannya?!"Suara Xavier yang bergema di ruangan membuat Luna membeku. Dadanya berdegup kencang, apakah kemarahan itu ditujukan padanya?Dengan hati berdebar, ia melihat Xavier berdiri di ruang tamu, wajahnya merah padam, tangan mencengkeram ponsel seolah ingin menghancurkannya. Matanya yang biasanya dingin kini membara seperti api neraka."Siapa yang membuatnya marah seperti ini?" batin Luna.Xavier menoleh tiba-tiba, dan tatapan mereka bertemu. Luna nyaris mundur, ada sesuatu yang mengerikan dalam sorot matanya pagi ini. Tapi sebelum sempat berkata apapun, Xavier mendengus keras, lalu berbalik dan berjalan cepat menuju kamarnya.Beberapa detik kemudian, ia keluar lagi, kini mengenakan jas hitam yang membuatnya terlihat seperti malaikat maut. Tanpa sepata
Pada akhirnya, hari yang tidak diinginkan itu tiba. Yaitu pesta pertunangan, walaupun bukan pesta besar, tapi kabar mengenai hal ini kemungkinan besar akan dengan cepat didengar oleh publik bahwa putri dari Russel Calderon telah bertunangan.Luna menatap keluar jendela kaca besar, pemandangan kota terlihat dari tempat ia berdiri. Langit gelap dan lampu-lampu di gedung tinggi tampak bersinar, ia seperti seekor hewan peliharaan yang berharap untuk bisa mendapatkan kebebasan."Kau terjebak, dan tidak ada cara untuk melarikan diri." ucap Nico yang berdiri tak jauh di belakang Luna.Perlahan Luna berbalik, menatap adik tirinya yang beberapa waktu terakhir sikapnya lebih baik, terlihat dari sorot matanya kalau Nico itu sebenarnya peduli padanya, tapi pria muda itu enggan untuk mengakui hal itu."Kamu benar, aku terjebak. Bagaikan seekor hewan yang terjerat oleh perangkap seorang pemburu," ucap Luna sambil melewati Nico menuju meja dan meraih sepasang anting untuk ia pakai.Nico memperhatika
Luna baru saja keluar dari bandara sambil membawa koper, tapi matanya langsung melihat dua orang bodyguard yang siap menjemput. Salah satu mendekat, meraih koper dan membawanya pergi sementara satu yang lainnya seakan memastikan Luna tak tersentuh oleh para pendatang di bandara tersebut.Tak ada kebahagiaan yang terpancar di wajah Luna, hanya tekanan batin yang ia rasakan karena harus meninggalkan Jacob tanpa satu katapun. Ia ingin bertahan, hidup bahagia seperti apa yang Jacob tawarkan, tapi itu berat bagi Luna kalau pilihannya itu malah membuat Jacob celaka di kemudian hari."Silakan, Nona," ucap salah satu bodyguard dengan suara datar, membukakan pintu mobil hitam mengkilap yang sudah menunggu. Luna masuk tanpa protes, jendela mobil yang gelap seakan memantulkan bayangannya yang hampa.Kediaman Calderon menyambutnya dengan kemewahan yang tiba-tiba terasa menusuk. Russel tersenyum ramah, tapi sorot matanya tajam, seperti pedagang yang baru saja menutup transaksi menguntungkan."Baga
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Luna bergegas dari dapur saat dering ponselnya memecah kesunyian. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat nama "Xavier" berkedip di layar. Tangannya gemetar saat mencoba mengatur nafas, memastikan suaranya tak akan terdengar mencurigakan saat menjawab."Baik, tenang," bisiknya pada diri sendiri sebelum akhirnya mengangkat telepon. "Halo?"Suara Xavier langsung memenuhi telinganya, dingin dan penuh ancaman. "Ingat baik-baik, Luna. Kau tidak boleh terlambat satu menit pun untuk acara pertunangan kita. Tiga hari lagi. Liburanmu tersisa satu hari. Jika kau berani melawan..." Ada jeda yang sengaja dibuat dramatis. "Aku tidak akan tinggal diam."Luna memejamkan mata erat-erat, mencoba menahan getar di suaranya. "Aku mengerti. Besok aku akan kembali.""Dan ingat ini," sambung Xavier, suaranya tiba-tiba lebih rendah namun sepuluh kali lebih mengerikan. "Aku benci mengulangi kalimat yang sama. Kalau kau berulah..." Ancaman itu menggantung di udara. "Jangan
Waktu yang seharusnya Luna gunakan untuk menenangkan pikiran dengan cara liburan sendirian, ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Jacob menyusulnya, memperlakukannya bagaikan boneka pemuas yang tak ada hentinya.Dari awal Luna datang ke tempat itu ia sudah bertemu dengan Jacob, dan sekarang sudah hari ketiga ia tinggal bersama Jacob tanpa keluar dari penginapan, Jacob melarangnya dan pria itu hanya ingin melakukan apa yang dia inginkan.Tidak ada kata protes lagi yang Luna ucapkan untuk menghentikan Jacob, tiga hari ini ia sudah lelah menghadapi pria yang hanya menggunakan tubuhnya untuk mendapatkan kepuasan. Tidak ada satu katapun yang Jacob dengarkan, semakin Luna memberontak, semakin kasar pria itu memperlakukannya.Sekarang, Luna berdiri di depan cermin kamar mandi, memandangi tubuhnya yang terdapat memar akibat ulah Jacob. "Dia tidak meninggalkan bekas di area terbuka, syukurlah." batin Luna.Karena jika Jacob meninggalkan bekas di tubuh Luna, maka itu bisa langsung diketahui ol