Aku usahakan update banyak, tapi tinggalkan ulasan bintangnya ya, masih kosong tuh hahaha
Di bawah rindangnya pohon apel, Luna duduk bersandar sambil memetik buah yang tergantung rendah, begitu dekat hingga ia hanya perlu mengulurkan tangan. Ia menggigit apel itu perlahan, pandangannya kosong menatap hamparan rumput hijau di depannya. Pikiran gadis itu melayang, mencoba memahami mimpi aneh yang terus mengganggunya beberapa malam terakhir. "Apa yang salah denganku? Kenapa aku memimpikan hal-hal aneh seperti itu?" gumamnya pelan. "Bahkan semalam, mimpi itu terasa begitu nyata." Ia menggigit apel lagi, mencoba mengalihkan pikirannya. Tapi rasa cemas yang samar tetap menggelayut di benaknya. Luna menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran itu. "Tidak, lupakan saja. Tuan pemburu kelinci itu pasti tidak melakukan hal seperti itu. Lagipula, dia datang pukul tiga pagi. Dia pasti langsung tidur karena lelah," ujarnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, sebelum ia bisa benar-benar tenggelam dalam lamunannya, suara jeritan melengking dari arah kebun terdengar. Suara it
Suara gemericik air yang tenang membuat Luna dan Jacob mengambang di atas air dengan santai, di atas mereka terlihat langit biru yang cerah. Tak ada yang saling bicara, hanya suara air mengalir dan juga gesekan antara ranting dan dedaunan. "Jika kau diberi sebuah kesempatan memilih apapun yang kamu inginkan, apa yang akan kau minta?" tanya Jacob membuka obrolan. Luna memainkan air dengan kakinya, "Entahlah, sepertinya aku tidak punya keinginan apapun." "Itu tidak mungkin, setiap manusia pasti punya keinginan yang sangat dia inginkan." sahut Jacob. Luna tersenyum samar, matanya terpejam. Seandainya ia punya kesempatan untuk menginginkan sesuatu, ia akan meminta kehidupan tanpa rasa takut. Tapi itu mustahil, karena bertemu dengan salah satu dari mereka saja sudah membuat Luna sangat ketakutan. "Mengapa kau ingin tau?" Luna balik bertanya. Jacob menoleh, akhirnya ia menenggelamkan setengah tubuhnya ke dalam air dan menatap Luna yang masih mengapung di depannya. "Apa itu tidak
Deru nafas Luna memburu setelah ia berhasil keluar dari hutan, perasaannya masih di selimuti oleh kalimat Jacob. Jadi, semalam yang ia rasakan itu bukan mimpi? Pria itu ... dia ... Luna bahkan tak bisa menjelaskannya seperti apa. Setelah mengenakan pakaian yang tadi ia lepas, Luna berjalan masuk ke dalam rumah, tapi suasana sangat sepi. Luna pun menuju area belakang, dan di sana para pelayan terlihat berkumpul bersama, mereka berjumlah enam orang dan lima diantaranya adalah perempuan berusia empat puluh tahun ke atas. Sementara satu diantara mereka ada seorang pria berusia sekitar empat puluh enam tahun, dialah orang yang bertugas dalam penataan lokasi pertanian serta memastikan area taman tetap rapi. "Sekarang aku tidak tau lagi harus bagaimana, percuma aku lari karena lokasi ini adalah milik pria itu." batin Luna, akhirnya ia memilih untuk tidak mendekati para pelayan dan memilih tujuan lain. Di pinggir pasir putih yang lembut, Luna duduk di atas bebatuan. Debaran dadanya masih s
Sepanjang malam, Luna tidak bisa tidur hingga akhirnya matahari mulai muncul. Buru-buru ia keluar dari kamar, memastikan bahwa Jacob belum bangun. "Luna, kau mau kemana?" tanya Maci yang sedang menyiapkan sarapan. Dengan tergesa gesa, Luna mengikat rambutnya yang mulai terlihat panjang sebelum gadis itu meraih jaring dan juga wadah untuk hasil tangkapan udangnya nanti. "Aku akan mencari udang air tawar, jika nanti Tuan pemburu kelinci itu mencariku, ibu jangan beritahu dia kemana aku pergi." Setelahnya, Maci melihat Luna berlari keluar rumah menuju aliran sungai tempat udang-udang itu berada. Maci cuman bisa menggelengkan kepala, tapi tak berselang lama, Jacob muncul dan duduk di salah satu kursi meja makan. Maci meletakkan sarapan kesukaan Jacob, pria itu menyantap dengan santai. Tanpa melihat ke arah Maci, dia bertanya. "Dimana Luna, apa dia sudah keluar dari kamarnya?" "Dia sudah keluar dari rumah beberapa saat lalu, Tuan." jawab Maci. "Kemana dia pergi?" tanyanya, Maci hanya
Luna bingung apakah ia harus mengunci pintu kamarnya atau tidak, kalau ia tidak menguncinya maka Jacob akan masuk, sementara jika ia kunci, Jacob mungkin saja akan mendobraknya. Pria itu akan tetap masuk bagaimanapun caranya, dan saat Luna sedang kebingungan di depan pintu, tiba-tiba saja benda itu terbuka sehingga memaksanya mundur beberapa langkah. Matanya membelalak melihat Jacob masuk tanpa permisi, tapi bukan itu yang membuatnya panik, melainkan hal yang lain. "Ternyata kau sudah menungguku, apa kau sudah tidak sabar aku melakukannya padamu?" goda Jacob. "A.apa? Tidak, aku tidak sedang menunggumu." Jacob menyeringai, berjalan mendekati Luna yang terus mundur. Tapi gadis itu justru tak bisa mundur lagi karena belakangnya sudah dinding, tangan Jacob menaikkan dagu Luna. "Kau masih saja munafik, Luna. Kau menyukainya, tapi kau berusaha menolaknya. Haruskah aku mengajarimu cara yang lebih berani, agar kamu tau bahwa kita bisa melakukan sesuatu yang lebih baik lagi?" Tatapan mata
Perasaan malu seolah menghilang dari pikiran Luna, ia terbaring lemas setelah kepuasan yang ia dapatkan. Dengan perlahan, akhirnya Jacob melepaskan ikatan tangan. Luna tidak memukul, atau melakukan pemberontakan. Ia pasrah saat Jacob tiba-tiba menggendongnya, ia terlalu lemas untuk melawan. Kini, di dalam gendongan pria itu, Luna dapat melihat wajah Jacob dengan jelas di bawah sinar rembulan. "Kenapa kau lakukan hal itu padaku?" tanya Luna, suaranya lirih ia ingin agar Jacob segera menjawabnya. Jacob menunduk, menatapnya sekilas sambil berjalan. "Kau akan menjadi penghuni tetap di pulau ini, tapi aku yang bebas memutuskan hal itu nantinya." "Apa maksudmu?" "Luna, masih banyak hal yang belum kau ketahui tentang dunia dewasa. Caraku mengajarimu memang keterlaluan, aku tau itu. Kau perlu memahami situasi, kau bisa melawan dengan sekuat tenagamu agar orang lain tak dapat menyentuhmu." ucap Jacob. Luna menghembuskan nafas, "Bagaimana aku bisa melawanmu, kau mengikat tangan dan menahan
Tidak terasa satu bulan telah berlalu, musim gugur hampir usai dan pepohonan telah kehilangan daunnya. Luna duduk di pinggir sungai, mencari udang air tawar, tapi tidak ada. Entah kemana para udang air tawar itu saat cuaca dingin tiba. Karena tidak melihat adanya pergerakan udang air tawar, Luna kembali ke rumah. Beberapa pelayan terlihat memasukkan kayu bakar untuk persiapan musim dingin nanti, meskipun di pulau itu sangat jarang turun salju, hanya udara yang semakin dingin. "Luna, apa persediaan kayu bakar di ruang utama masih ada?" seru Maci. "Aku akan lihat sebentar, Bu!" Luna bergegas masuk ke dalam rumah, namun persediaan kayu bakar hanya sedikit, ia pun keluar untuk membawa masuk kayu bakar sebagai persiapan. Kesibukannya itu selesai saat sore hari, Luna merapatkan jaket dan berdiri menghadap halaman pendaratan helikopter dari kejauhan. Sudah sebulan lebih sejak Jacob pergi, mendadak saja Luna merasa seperti ada yang kurang. Perlahan ia mulai menyadari bahwa keberadaan Jaco
Musim dingin telah tiba, dan pulau itu mulai diselimuti oleh hawa dingin yang menusuk. Luna berdiri di dekat jendela besar, memandangi salju tipis yang perlahan jatuh, menutupi taman yang sudah membeku. Langit mendung menambah kesan sunyi, sementara suara ombak di kejauhan terdengar samar, seperti berbisik dalam harmoni yang menenangkan. "Dia masih belum datang," gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Tatapannya terpaku pada taman yang kini beku, seolah-olah berharap menemukan jejak langkah seseorang di sana. Hembusan angin yang dingin merayap masuk melalui celah jendela, memaksanya untuk menutupnya rapat. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Luna meninggalkan jendela itu dan menuju ke dapur, di mana aroma manis pie apel yang baru dipanggang memenuhi ruangan. Di sana, Maci tengah sibuk menyiapkan pie, tangannya cekatan mengatur adonan dengan sempurna. "Kau masih menunggu Tuan muda datang?" tanya Maci, nada suaranya sedikit menggoda. "Tidak juga," jawab Luna santai, meskipun hatinya b
Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya Hazel dan Luna tiba di klinik tempat Luna akan menjalani terapi. Mereka disambut oleh seorang wanita dengan senyum ramah, yang langsung mengarahkan mereka ke ruangan yang sudah disiapkan. Namun, Hazel diberitahu bahwa ia tidak diperbolehkan ikut masuk."Kalau begitu, aku menunggu di luar," ujar Hazel sambil tersenyum kepada Luna, mencoba memberikan semangat sebelum gadis itu masuk ke dalam ruangan.Setelah pintu ruangan tertutup, Hazel duduk di bangku luar. Ia menghela nafas panjang, pikirannya mulai melayang-layang. 'Ibu kejam macam apa yang tega membunuh putrinya sendiri?' batinnya.Kalau memang wanita itu tidak menginginkan anaknya, kenapa membiarkan dia lahir?"Jadi ini alasan Jacob begitu protektif terhadap Luna," gumam Hazel pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Kini, ia memahami betapa seriusnya Jacob saat memperingatkannya agar menjaga Luna jauh dari ibunya. Namun, Hazel tetap merasa kebingungan karena ia bahkan tidak tahu seperti
Suasana meja makan terasa hening, hanya suara denting sendok beradu dengan piring yang terdengar. Luna mencuri pandang ke arah Jacob beberapa kali, ragu-ragu untuk memulai pembicaraan. Tapi akhirnya, Jacob yang membuka suara lebih dulu."Besok, jadwalmu untuk terapi," ucap Jacob tanpa menoleh dari makanannya. "Maaf, aku tidak bisa menemanimu. Jadi, aku sudah meminta Hazel untuk membawamu ke sana."Luna mengangguk pelan, meski ada sedikit rasa kecewa yang ia sembunyikan di balik senyumnya. Jacob menatapnya sejenak, memastikan bahwa Luna tidak keberatan, sebelum kembali fokus pada makanannya.Namun, kebersamaan mereka tak berlangsung lama. Ponsel Jacob yang tergeletak di meja ruang tamu tiba-tiba berdering, memecah keheningan. Jacob menghela napas, meletakkan sendoknya, lalu bangkit untuk menjawab panggilan tersebut.Suara tegasnya segera menggema di ruang tamu saat ia berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Tanpa sadar, Jacob berjalan menuju ruang kerjanya, meninggalkan Luna sendi
Russel menghentikan langkahnya begitu suara sepatu hak tinggi itu mendekat. Ia perlahan menoleh, dan di sana, Leah Hamilton berdiri dengan seringai yang begitu familiar, seringai yang pernah memikatnya sekaligus menghancurkannya. Wajah Russel seketika berubah dingin, penuh kebencian yang tak lagi ia sembunyikan.Leah berjalan mendekat dengan langkah santai, tatapannya penuh kemenangan. "Bisa bicara sebentar?" tanyanya, suaranya manis namun sarat sindiran. Pandangannya melirik tajam pada asisten Russel, membuatnya sadar diri untuk segera menjauh.Mereka berdua pun melangkah menuju sudut terpencil, jauh dari keramaian dan bahkan dari jangkauan kamera pengawas. Tempat itu seperti diatur untuk menjadi panggung kecil bagi perasaan emosional mereka. Leah berdiri dengan sikap percaya diri, melipat tangannya di depan dada sambil menatap Russel dengan tatapan yang hanya bisa diartikan sebagai penghinaan."Sudah lama tidak bertemu, mantan kekasih gelapku," ujar Leah, nadanya licik, memancing ama
Langit malam sudah sepenuhnya gelap, dan jarum jam mendekati pukul sebelas ketika Jacob masih terjebak di ruang kerjanya. Berkas-berkas menumpuk di mejanya, mencerminkan kekacauan pikiran yang memenuhi kepalanya.Proyek besar yang seharusnya sudah berada di bawah kendali perusahaannya tiba-tiba saja diambil alih oleh Zenith Corp tanpa pemberitahuan apa pun. Ini bukan hanya sekadar pelanggaran prosedur, ini penghinaan yang tidak bisa dibiarkan.Pintu ruang kerja terbuka tiba-tiba, mengusik konsentrasinya. Asisten pribadinya masuk dengan tergesa-gesa, membawa sebuah map di tangannya dan wajahnya penuh kecemasan."Tuan, pihak yang berkaitan akan mengadakan rapat mendadak besok pagi," katanya dengan suara tegas, meskipun nada paniknya jelas terdengar.Jacob menghela nafas panjang sambil memijat keningnya yang terasa berat. Ia mengambil map itu dari tangan asistennya dan membolak-baliknya sekilas. Informasi di dalamnya hanya membuat frustrasinya semakin memuncak."Pastikan pengacaraku hadi
Hazel baru saja meninggalkan ruangan setelah berdebat singkat dengan Jacob, meninggalkan suasana yang kini terasa lebih sunyi. Jacob berdiri di dekat meja kerjanya, menghela nafas panjang, seolah berusaha meredakan amarah yang sebenarnya tak pernah ia tujukan pada Hazel. Luna sejak tadi merasa canggung, segera berdiri dan menatap Jacob dengan tatapan penuh rasa bersalah."Ini bukan salah Hazel," ucap Luna, suaranya lembut namun tegas. "Kau jangan marah padanya, dia hanya ingin aku merasa lebih percaya diri."Namun, reaksi Jacob jauh dari apa yang ia bayangkan. Alih-alih marah, pria itu melangkah mendekat, mendekap Luna dengan kehangatan yang tak ia duga. Pelukan itu tidak berlangsung lama, namun cukup untuk membuat Luna tertegun."Aku tidak marah," kata Jacob dengan suara tenang. "Aku hanya khawatir padamu. Kau belum sepenuhnya terbiasa dengan lingkungan luar, apalagi bertemu banyak orang. Bagaimana jika hal itu membuatmu kembali takut atau merasa tertekan?"Luna perlahan melepaskan di
Bagaikan dihantam oleh fakta yang mengejutkan, Keith memanggil Leah dengan sebutan ibu. Jika Luna tidak mendengar langsung, ia pasti akan menganggap ini hanyalah mimpi. Namun sayangnya tidak, setelah Keith dan Leah pergi tanpa menyadari keberadaannya, saat itu Luna masih dapat melihat bahu mereka dari kejauhan.Ibu yang selalu menjadikannya sasaran kemarahan dan teman yang selalu membulinya, mengapa mereka menjadi begitu sangat akrab sampai Keith memanggil Leah sebagai ibu. Mungkinkah Leah sudah menikah dengan ayah dari Keith?Ini masih menjadi pertanyaan untuk Luna, ia sudah terlalu lama tidak mendengar kabar ibunya dan ini adalah kali pertama ia bertemu namun sebuah kejutan besar membuatnya hanya bisa diam."Hei, maaf membuatmu menunggu lama," suara Hazel membuyarkan lamunannya. Hazel berdiri dengan senyum hangat, membawa sebuah paper bag kecil di tangan. Luna mendongak, mencoba menyembunyikan kegelisahannya dengan senyuman kaku."Bagaimana, kau sudah mendapatkan barang yang kau mau
Sejak pukul delapan, Jacob sudah meninggalkan apartemen. Tadinya, Luna pikir ia akan menghabiskan seharian di apartemen itu dengan membosankan, namun rupanya Jacob menyuruh Hazel untuk menemani Luna bepergian."Nona, aku minta maaf. Anda sampai harus meluangkan waktu menemaniku," ucap Luna, merasa sedikit canggung.Hazel menoleh, matanya yang penuh dengan binar semangat itu tak peduli dengan kalimat Luna, bahkan dengan santai Hazel merangkul bahu Luna seakan mereka ada sahabat yang sudah sangat dekat."Kau malah menyelamatkanku, Luna! Pekerjaan menumpuk, liburan seharian pun sulit aku didapatkan. Tapi Jacob memberiku kesempatan untuk bolos demi menemanimu, bagaimana menurutmu? Itu kan luar biasa?" Hazel menyeringai, mengedipkan sebelah matanya.Luna sedikit terkejut, tapi tak bisa menahan senyum kecil yang terbit. "Aku tidak ingin merepotkanmu," jawabnya, meskipun hatinya merasa ringan.Hazel tertawa pelan, tanpa peduli dengan kekhawatiran Luna. "Nonsense! Kita kan sama-sama manusia, d
Di dalam sebuah apartemen dengan suasana temaram, televisi menyala menampilkan tayangan berita malam. Di sofa, seorang wanita duduk dengan anggun, memegang segelas wine di tangannya. Ia memutar gelas itu perlahan, memperhatikan cairan merah gelap yang berputar seiring pikirannya yang bergulir.Di dapur, seorang pria dengan penampilan santai sedang memilih botol minuman dingin dari lemari pendingin. Suara kaca yang bersentuhan terdengar samar di tengah keheningan apartemen."Kau sudah menerima surat panggilan dari perusahaan Lawson?" tanya Eric dengan nada datar, tanpa menoleh.Leah menghela nafas ringan, menyandarkan tubuhnya pada sofa sambil meneguk sedikit wine. "Belum," jawabnya singkat. "Tapi aku yakin mereka akan mempertimbangkanku. Lagi pula, kemampuan seperti milikku jelas tak mudah mereka temukan." Ada nada percaya diri dalam suaranya, meski matanya tampak menerawang jauh.Sejenak keheningan melingkupi ruangan. Leah menghabiskan sisa wine di gelasnya dengan satu tegukan. Namun
Saat bangun keesokan harinya, hal pertama yang Luna rasakan adalah nyeri di sekujur tubuh. Pinggangnya terasa akan patah saat ia beranjak duduk, bukti betapa brutalnya Jacob semalam membuatnya tak berdaya."Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi dia tetap saja berhasil melakukan hal ini padaku." batin Luna sambil meringis, ia turun dari tempat tidur dan saat itu juga ia jatuh ke lantai yang dingin.Bertepatan dengan itu, pintu kamar terbuka dan Jacob masuk. "Luna, kau tidak apa-apa?" dengan cepat pria itu menghampiri, membantu Luna berdiri, namun kedua kaki Luna rasanya seperti mati rasa dan ia bahkan tak mampu untuk berdiri.Gadis itu menatap Jacob dengan pandangan tajam, "Kau tau siapa yang membuatku sampai seperti ini?!" geramnya."Harusnya kau bilang dari awal kalau membutuhkan bantuan," dengan tanpa rasa bersalah, Jacob menggendong Luna ke kamar mandi, membantu gadis itu membersihkan diri.Luna hanya diam memperhatikan, ia tak punya tenaga untuk membalas Jacob. Setelah selesai,