Musim dingin telah tiba, dan pulau itu mulai diselimuti oleh hawa dingin yang menusuk. Luna berdiri di dekat jendela besar, memandangi salju tipis yang perlahan jatuh, menutupi taman yang sudah membeku. Langit mendung menambah kesan sunyi, sementara suara ombak di kejauhan terdengar samar, seperti berbisik dalam harmoni yang menenangkan. "Dia masih belum datang," gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Tatapannya terpaku pada taman yang kini beku, seolah-olah berharap menemukan jejak langkah seseorang di sana. Hembusan angin yang dingin merayap masuk melalui celah jendela, memaksanya untuk menutupnya rapat. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Luna meninggalkan jendela itu dan menuju ke dapur, di mana aroma manis pie apel yang baru dipanggang memenuhi ruangan. Di sana, Maci tengah sibuk menyiapkan pie, tangannya cekatan mengatur adonan dengan sempurna. "Kau masih menunggu Tuan muda datang?" tanya Maci, nada suaranya sedikit menggoda. "Tidak juga," jawab Luna santai, meskipun hatinya b
Barang-barang yang dibawa Jacob dari kota bukan hanya jaket mewah untuk Luna, tetapi juga beberapa buku tebal dan kotak mainan bricks. Setelah beberapa waktu, Jacob menyadari bahwa Luna tampaknya memiliki ketertarikan khusus pada bricks. Gadis itu begitu tekun menyusun potongan demi potongan hingga menciptakan berbagai bentuk, dan hasil kreasinya kini terpajang rapi di kamar dengan posisi yang strategis, seolah menjadi koleksi berharga. "Banyak sekali buku yang kau bawa," ucap Luna sambil mengeluarkan buku-buku dari dalam kotak. Ia menghitung, ada tujuh buku tebal dengan sampul yang beragam. Jacob, yang duduk santai di sofa, memperhatikan Luna memeriksa buku-buku itu satu per satu. "Kau terlihat sudah muak membaca buku matematika," katanya sambil menyeringai kecil. "Jadi, aku membawakanmu buku tentang dunia luar angkasa, beberapa tentang dunia medis. Pilih saja mana yang menarik untukmu." Luna tersenyum tipis sambil membaca judul-judul buku tersebut. Namun, salah satu buku menarik p
Beberapa hari berlalu, Luna sudah hampir selesai membaca novel yang sempat Jacob berikan. Ternyata buku itu menceritakan tentang sebuah kisah seorang pasangan yang sangat mesra, setiap kata yang Luna baca dalam kalimat tersebut membuatnya seolah menjadi pemeran utama dalam novel. Namun, ada satu bagian dalam cerita yang membahas hubungan asmara yang sangat intim, sebuah pembahasan yang membuat Luna kembali teringat dengan malam memalukan antara ia dan Jacob. Buru-buru Luna menutup buku novel tersebut, wajahnya terasa panas setiap kali mengingat momen yang membuatnya merasa berdebar debar. "Aku sudah hampir melupakannya, tapi kenapa selalu saja ada yang membuatku kembali mengingat hal itu?" Novel dewasa yang ia baca segera di simpan ke meja, ia menarik tiga lapis selimut untuk menutupi tubuhnya pada malam yang dingin hari ini. Tapi, cuaca malam hari semakin dingin meski semua pintu dan jendela sudah di tutup dengan rapat, tiga selimut yang ia gunakan tetap membuatnya kedinginan. Sem
Cumbuan Jacob masih berlangsung, erangan tipis yang keluar dari bibir Luna sangat seksi. Diantara cahaya yang tidak begitu terang, Jacob mengagumi tubuh gadis ini, bukan hanya bayangan yang ia lihat dari pantulan air. Luna benar-benar sudah menjadi seorang wanita, yang memiliki lekukan tubuh sangat menggoda. Tubuhnya juga sangat terawat, kulit lembutnya membuat Jacob tak tega menyentuhnya terlalu kasar, seakan tubuh Luna adalah benda yang sangat rapuh di dunia. Kulit mereka saling bersentuhan, setiap kali Jacob melakukan cumbuannya untuk mempersiapkan tubuh Luna, gadis itu terlihat begitu tegang. "Kau tidak bisa setegang ini saat kita melanjutkannya, kelinci kecilku." bisik Jacob. Luna menatapnya, susah payah ia mengendalikan dirinya saat melihat ia dan Jacob sudah sama-sama tidak berbusana. Tubuh Luna meremang, jarak antara ia dan Jacob kali ini benar-benar dekat, setiap kali kulitnya bersentuhan dengan Jacob, ada perasaan aneh yang menyerah dadanya. Tapi mau bagaimanapun,
Saat Luna tertidur karena kelelahan, diam-diam Jacob memindahkan gadis itu ke kamarnya yang lebih hangat. Setelahnya, Jacob segera membersihkan kamar Luna dari kekacauan yang ia lakukan. Dengan cahaya lampu dari ponselnya, Jacob melihat ada cukup banyak bercak darah di sprei yang menjadi saksi hubungannya dengan Luna beberapa saat lalu. Jacob tidak terkejut, ini sudah hal wajar karena dulu saat ia melakukannya dengan Anastasya juga terjadi seperti ini. Ia menggulung sprei dan juga selimut tersebut, memastikan tak ada pelayan yang tau apa yang terjadi antara dirinya dan Luna. Meskipun Jacob yakin, cepat atau lambat mereka juga pasti akan tau. Setelah membereskan kekacauan yang ada, Jacob kembali ke kamarnya dan melihat Luna tidur dengan tenang. Perlahan ia berbaring di sebelah gadis itu, memeluk Luna dengan hangat dan ikut tertidur lelap di sebelahnya. ** Beberapa jam setelahnya, pagi hari pun tiba. Luna membuka mata, hal pertama yang ia rasakan adalah sakit pada bagian pangkal pah
Satu minggu telah berlalu sejak kejadian malam itu, perhatian Jacob juga masih sama walaupun kadang masih menjengkelkan bagi Luna. Sejak dua malam terakhir, Luna kembali tidur di kamarnya sendiri. Padahal, Jacob sudah melarangnya karena di kamar Luna memiliki penghangat ruangan yang sangat kecil. Pagi ini, suasana gelap di luar sana masih terlihat. Tapi meskipun gelap, tidak ada salju yang turun. Pulau itu memang berbeda dengan tempat lainnya yang kini pasti sudah dipenuhi oleh salju, tapi meskipun tak ada salju, suasana beku di luar sana sangat terasa. "Sepertinya seru kalau bermain ice skating, tapi tak ada tempat yang bisa digunakan untuk melakukan permainan itu disini." batin Luna sambil melihat pemandangan di luar sana melalui jendela kamarnya. Listrik juga padam, kincir angin benar-benar tidak berputar karena aliran airnya membeku. Penerangan yang mereka gunakan selama musim dingin adalah lilin, Luna menutup jendela kamar dan keluar sambil mengenakan jaket pemberian Jacob. "D
Malam semakin larut, hawa dingin menguasai setiap sudut ruangan meskipun api di perapian terus menyala. Jacob, dengan cekatan menambahkan kayu ke dalam perapian, menciptakan suara gemeretak yang menenangkan. Sementara itu, Luna duduk di atas karpet lembut, santai menikmati anggur segar yang ia ambil dari mangkuk kecil di tangannya. "Kau mau kentang bakar?" tanya Jacob, menoleh dari perapian. "Apa sudah matang?" Luna menjawab sambil menatapnya, mata berbinar sedikit penasaran. Jacob mengangkat salah satu kentang yang telah ia panggang di atas bara, lalu memotongnya dengan hati-hati di atas piring. Asap tipis mengepul, membawa aroma hangat yang langsung menggugah selera. "Makanlah perlahan, ini masih panas," katanya sambil menyerahkan piring itu kepada Luna. Luna menurunkan mangkuk anggurnya, menerima piring tersebut dengan senyum kecil. Ia mulai menyuapkan kentang bakar ke mulutnya, perlahan menikmati tekstur lembut yang hangat berpadu dengan rasa manis alami kentang. Jacob juga me
Sudah hampir dua bulan Jacob hidup di pulau terpencil ini tanpa koneksi internet. Kincir angin berhenti berputar, aliran air sungai membeku, dan segala teknologi yang biasanya ia gunakan kini tak berguna. Ia merasa terisolasi dari peradaban, tapi hanya bisa pasrah menerima keadaan. Sembari menatap pemandangan diluar jendela, pikirannya melayang jauh. Saat ia menoleh ke tempat tidur, pandangannya tertuju pada Luna yang masih terlelap, tubuhnya terbungkus selimut tebal. Sebuah senyum lembut muncul di wajah Jacob. Ia menyandarkan tubuhnya di bingkai jendela, hanya memperhatikan gadis itu dengan tatapan penuh kasih. “Kau benar-benar seperti kelinci kecil yang terdampar di tempat tidurku,” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan. Ia mendekat, duduk di tepi tempat tidur dan menatap wajah Luna dari jarak dekat. Jari-jarinya yang dingin menyentuh pipinya, membelai dengan lembut hingga gadis itu menggeliat kecil dalam tidurnya, lalu membalikkan badan, kini membelakangi Jacob. “Kau mau hibern
Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya Hazel dan Luna tiba di klinik tempat Luna akan menjalani terapi. Mereka disambut oleh seorang wanita dengan senyum ramah, yang langsung mengarahkan mereka ke ruangan yang sudah disiapkan. Namun, Hazel diberitahu bahwa ia tidak diperbolehkan ikut masuk."Kalau begitu, aku menunggu di luar," ujar Hazel sambil tersenyum kepada Luna, mencoba memberikan semangat sebelum gadis itu masuk ke dalam ruangan.Setelah pintu ruangan tertutup, Hazel duduk di bangku luar. Ia menghela nafas panjang, pikirannya mulai melayang-layang. 'Ibu kejam macam apa yang tega membunuh putrinya sendiri?' batinnya.Kalau memang wanita itu tidak menginginkan anaknya, kenapa membiarkan dia lahir?"Jadi ini alasan Jacob begitu protektif terhadap Luna," gumam Hazel pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Kini, ia memahami betapa seriusnya Jacob saat memperingatkannya agar menjaga Luna jauh dari ibunya. Namun, Hazel tetap merasa kebingungan karena ia bahkan tidak tahu seperti
Suasana meja makan terasa hening, hanya suara denting sendok beradu dengan piring yang terdengar. Luna mencuri pandang ke arah Jacob beberapa kali, ragu-ragu untuk memulai pembicaraan. Tapi akhirnya, Jacob yang membuka suara lebih dulu."Besok, jadwalmu untuk terapi," ucap Jacob tanpa menoleh dari makanannya. "Maaf, aku tidak bisa menemanimu. Jadi, aku sudah meminta Hazel untuk membawamu ke sana."Luna mengangguk pelan, meski ada sedikit rasa kecewa yang ia sembunyikan di balik senyumnya. Jacob menatapnya sejenak, memastikan bahwa Luna tidak keberatan, sebelum kembali fokus pada makanannya.Namun, kebersamaan mereka tak berlangsung lama. Ponsel Jacob yang tergeletak di meja ruang tamu tiba-tiba berdering, memecah keheningan. Jacob menghela napas, meletakkan sendoknya, lalu bangkit untuk menjawab panggilan tersebut.Suara tegasnya segera menggema di ruang tamu saat ia berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Tanpa sadar, Jacob berjalan menuju ruang kerjanya, meninggalkan Luna sendi
Russel menghentikan langkahnya begitu suara sepatu hak tinggi itu mendekat. Ia perlahan menoleh, dan di sana, Leah Hamilton berdiri dengan seringai yang begitu familiar, seringai yang pernah memikatnya sekaligus menghancurkannya. Wajah Russel seketika berubah dingin, penuh kebencian yang tak lagi ia sembunyikan.Leah berjalan mendekat dengan langkah santai, tatapannya penuh kemenangan. "Bisa bicara sebentar?" tanyanya, suaranya manis namun sarat sindiran. Pandangannya melirik tajam pada asisten Russel, membuatnya sadar diri untuk segera menjauh.Mereka berdua pun melangkah menuju sudut terpencil, jauh dari keramaian dan bahkan dari jangkauan kamera pengawas. Tempat itu seperti diatur untuk menjadi panggung kecil bagi perasaan emosional mereka. Leah berdiri dengan sikap percaya diri, melipat tangannya di depan dada sambil menatap Russel dengan tatapan yang hanya bisa diartikan sebagai penghinaan."Sudah lama tidak bertemu, mantan kekasih gelapku," ujar Leah, nadanya licik, memancing ama
Langit malam sudah sepenuhnya gelap, dan jarum jam mendekati pukul sebelas ketika Jacob masih terjebak di ruang kerjanya. Berkas-berkas menumpuk di mejanya, mencerminkan kekacauan pikiran yang memenuhi kepalanya.Proyek besar yang seharusnya sudah berada di bawah kendali perusahaannya tiba-tiba saja diambil alih oleh Zenith Corp tanpa pemberitahuan apa pun. Ini bukan hanya sekadar pelanggaran prosedur, ini penghinaan yang tidak bisa dibiarkan.Pintu ruang kerja terbuka tiba-tiba, mengusik konsentrasinya. Asisten pribadinya masuk dengan tergesa-gesa, membawa sebuah map di tangannya dan wajahnya penuh kecemasan."Tuan, pihak yang berkaitan akan mengadakan rapat mendadak besok pagi," katanya dengan suara tegas, meskipun nada paniknya jelas terdengar.Jacob menghela nafas panjang sambil memijat keningnya yang terasa berat. Ia mengambil map itu dari tangan asistennya dan membolak-baliknya sekilas. Informasi di dalamnya hanya membuat frustrasinya semakin memuncak."Pastikan pengacaraku hadi
Hazel baru saja meninggalkan ruangan setelah berdebat singkat dengan Jacob, meninggalkan suasana yang kini terasa lebih sunyi. Jacob berdiri di dekat meja kerjanya, menghela nafas panjang, seolah berusaha meredakan amarah yang sebenarnya tak pernah ia tujukan pada Hazel. Luna sejak tadi merasa canggung, segera berdiri dan menatap Jacob dengan tatapan penuh rasa bersalah."Ini bukan salah Hazel," ucap Luna, suaranya lembut namun tegas. "Kau jangan marah padanya, dia hanya ingin aku merasa lebih percaya diri."Namun, reaksi Jacob jauh dari apa yang ia bayangkan. Alih-alih marah, pria itu melangkah mendekat, mendekap Luna dengan kehangatan yang tak ia duga. Pelukan itu tidak berlangsung lama, namun cukup untuk membuat Luna tertegun."Aku tidak marah," kata Jacob dengan suara tenang. "Aku hanya khawatir padamu. Kau belum sepenuhnya terbiasa dengan lingkungan luar, apalagi bertemu banyak orang. Bagaimana jika hal itu membuatmu kembali takut atau merasa tertekan?"Luna perlahan melepaskan di
Bagaikan dihantam oleh fakta yang mengejutkan, Keith memanggil Leah dengan sebutan ibu. Jika Luna tidak mendengar langsung, ia pasti akan menganggap ini hanyalah mimpi. Namun sayangnya tidak, setelah Keith dan Leah pergi tanpa menyadari keberadaannya, saat itu Luna masih dapat melihat bahu mereka dari kejauhan.Ibu yang selalu menjadikannya sasaran kemarahan dan teman yang selalu membulinya, mengapa mereka menjadi begitu sangat akrab sampai Keith memanggil Leah sebagai ibu. Mungkinkah Leah sudah menikah dengan ayah dari Keith?Ini masih menjadi pertanyaan untuk Luna, ia sudah terlalu lama tidak mendengar kabar ibunya dan ini adalah kali pertama ia bertemu namun sebuah kejutan besar membuatnya hanya bisa diam."Hei, maaf membuatmu menunggu lama," suara Hazel membuyarkan lamunannya. Hazel berdiri dengan senyum hangat, membawa sebuah paper bag kecil di tangan. Luna mendongak, mencoba menyembunyikan kegelisahannya dengan senyuman kaku."Bagaimana, kau sudah mendapatkan barang yang kau mau
Sejak pukul delapan, Jacob sudah meninggalkan apartemen. Tadinya, Luna pikir ia akan menghabiskan seharian di apartemen itu dengan membosankan, namun rupanya Jacob menyuruh Hazel untuk menemani Luna bepergian."Nona, aku minta maaf. Anda sampai harus meluangkan waktu menemaniku," ucap Luna, merasa sedikit canggung.Hazel menoleh, matanya yang penuh dengan binar semangat itu tak peduli dengan kalimat Luna, bahkan dengan santai Hazel merangkul bahu Luna seakan mereka ada sahabat yang sudah sangat dekat."Kau malah menyelamatkanku, Luna! Pekerjaan menumpuk, liburan seharian pun sulit aku didapatkan. Tapi Jacob memberiku kesempatan untuk bolos demi menemanimu, bagaimana menurutmu? Itu kan luar biasa?" Hazel menyeringai, mengedipkan sebelah matanya.Luna sedikit terkejut, tapi tak bisa menahan senyum kecil yang terbit. "Aku tidak ingin merepotkanmu," jawabnya, meskipun hatinya merasa ringan.Hazel tertawa pelan, tanpa peduli dengan kekhawatiran Luna. "Nonsense! Kita kan sama-sama manusia, d
Di dalam sebuah apartemen dengan suasana temaram, televisi menyala menampilkan tayangan berita malam. Di sofa, seorang wanita duduk dengan anggun, memegang segelas wine di tangannya. Ia memutar gelas itu perlahan, memperhatikan cairan merah gelap yang berputar seiring pikirannya yang bergulir.Di dapur, seorang pria dengan penampilan santai sedang memilih botol minuman dingin dari lemari pendingin. Suara kaca yang bersentuhan terdengar samar di tengah keheningan apartemen."Kau sudah menerima surat panggilan dari perusahaan Lawson?" tanya Eric dengan nada datar, tanpa menoleh.Leah menghela nafas ringan, menyandarkan tubuhnya pada sofa sambil meneguk sedikit wine. "Belum," jawabnya singkat. "Tapi aku yakin mereka akan mempertimbangkanku. Lagi pula, kemampuan seperti milikku jelas tak mudah mereka temukan." Ada nada percaya diri dalam suaranya, meski matanya tampak menerawang jauh.Sejenak keheningan melingkupi ruangan. Leah menghabiskan sisa wine di gelasnya dengan satu tegukan. Namun
Saat bangun keesokan harinya, hal pertama yang Luna rasakan adalah nyeri di sekujur tubuh. Pinggangnya terasa akan patah saat ia beranjak duduk, bukti betapa brutalnya Jacob semalam membuatnya tak berdaya."Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi dia tetap saja berhasil melakukan hal ini padaku." batin Luna sambil meringis, ia turun dari tempat tidur dan saat itu juga ia jatuh ke lantai yang dingin.Bertepatan dengan itu, pintu kamar terbuka dan Jacob masuk. "Luna, kau tidak apa-apa?" dengan cepat pria itu menghampiri, membantu Luna berdiri, namun kedua kaki Luna rasanya seperti mati rasa dan ia bahkan tak mampu untuk berdiri.Gadis itu menatap Jacob dengan pandangan tajam, "Kau tau siapa yang membuatku sampai seperti ini?!" geramnya."Harusnya kau bilang dari awal kalau membutuhkan bantuan," dengan tanpa rasa bersalah, Jacob menggendong Luna ke kamar mandi, membantu gadis itu membersihkan diri.Luna hanya diam memperhatikan, ia tak punya tenaga untuk membalas Jacob. Setelah selesai,