Beberapa hari berlalu, Luna sudah hampir selesai membaca novel yang sempat Jacob berikan. Ternyata buku itu menceritakan tentang sebuah kisah seorang pasangan yang sangat mesra, setiap kata yang Luna baca dalam kalimat tersebut membuatnya seolah menjadi pemeran utama dalam novel. Namun, ada satu bagian dalam cerita yang membahas hubungan asmara yang sangat intim, sebuah pembahasan yang membuat Luna kembali teringat dengan malam memalukan antara ia dan Jacob. Buru-buru Luna menutup buku novel tersebut, wajahnya terasa panas setiap kali mengingat momen yang membuatnya merasa berdebar debar. "Aku sudah hampir melupakannya, tapi kenapa selalu saja ada yang membuatku kembali mengingat hal itu?" Novel dewasa yang ia baca segera di simpan ke meja, ia menarik tiga lapis selimut untuk menutupi tubuhnya pada malam yang dingin hari ini. Tapi, cuaca malam hari semakin dingin meski semua pintu dan jendela sudah di tutup dengan rapat, tiga selimut yang ia gunakan tetap membuatnya kedinginan. Sem
Cumbuan Jacob masih berlangsung, erangan tipis yang keluar dari bibir Luna sangat seksi. Diantara cahaya yang tidak begitu terang, Jacob mengagumi tubuh gadis ini, bukan hanya bayangan yang ia lihat dari pantulan air. Luna benar-benar sudah menjadi seorang wanita, yang memiliki lekukan tubuh sangat menggoda. Tubuhnya juga sangat terawat, kulit lembutnya membuat Jacob tak tega menyentuhnya terlalu kasar, seakan tubuh Luna adalah benda yang sangat rapuh di dunia. Kulit mereka saling bersentuhan, setiap kali Jacob melakukan cumbuannya untuk mempersiapkan tubuh Luna, gadis itu terlihat begitu tegang. "Kau tidak bisa setegang ini saat kita melanjutkannya, kelinci kecilku." bisik Jacob. Luna menatapnya, susah payah ia mengendalikan dirinya saat melihat ia dan Jacob sudah sama-sama tidak berbusana. Tubuh Luna meremang, jarak antara ia dan Jacob kali ini benar-benar dekat, setiap kali kulitnya bersentuhan dengan Jacob, ada perasaan aneh yang menyerah dadanya. Tapi mau bagaimanapun,
Saat Luna tertidur karena kelelahan, diam-diam Jacob memindahkan gadis itu ke kamarnya yang lebih hangat. Setelahnya, Jacob segera membersihkan kamar Luna dari kekacauan yang ia lakukan. Dengan cahaya lampu dari ponselnya, Jacob melihat ada cukup banyak bercak darah di sprei yang menjadi saksi hubungannya dengan Luna beberapa saat lalu. Jacob tidak terkejut, ini sudah hal wajar karena dulu saat ia melakukannya dengan Anastasya juga terjadi seperti ini. Ia menggulung sprei dan juga selimut tersebut, memastikan tak ada pelayan yang tau apa yang terjadi antara dirinya dan Luna. Meskipun Jacob yakin, cepat atau lambat mereka juga pasti akan tau. Setelah membereskan kekacauan yang ada, Jacob kembali ke kamarnya dan melihat Luna tidur dengan tenang. Perlahan ia berbaring di sebelah gadis itu, memeluk Luna dengan hangat dan ikut tertidur lelap di sebelahnya. ** Beberapa jam setelahnya, pagi hari pun tiba. Luna membuka mata, hal pertama yang ia rasakan adalah sakit pada bagian pangkal pah
Satu minggu telah berlalu sejak kejadian malam itu, perhatian Jacob juga masih sama walaupun kadang masih menjengkelkan bagi Luna. Sejak dua malam terakhir, Luna kembali tidur di kamarnya sendiri. Padahal, Jacob sudah melarangnya karena di kamar Luna memiliki penghangat ruangan yang sangat kecil. Pagi ini, suasana gelap di luar sana masih terlihat. Tapi meskipun gelap, tidak ada salju yang turun. Pulau itu memang berbeda dengan tempat lainnya yang kini pasti sudah dipenuhi oleh salju, tapi meskipun tak ada salju, suasana beku di luar sana sangat terasa. "Sepertinya seru kalau bermain ice skating, tapi tak ada tempat yang bisa digunakan untuk melakukan permainan itu disini." batin Luna sambil melihat pemandangan di luar sana melalui jendela kamarnya. Listrik juga padam, kincir angin benar-benar tidak berputar karena aliran airnya membeku. Penerangan yang mereka gunakan selama musim dingin adalah lilin, Luna menutup jendela kamar dan keluar sambil mengenakan jaket pemberian Jacob. "D
Malam semakin larut, hawa dingin menguasai setiap sudut ruangan meskipun api di perapian terus menyala. Jacob, dengan cekatan menambahkan kayu ke dalam perapian, menciptakan suara gemeretak yang menenangkan. Sementara itu, Luna duduk di atas karpet lembut, santai menikmati anggur segar yang ia ambil dari mangkuk kecil di tangannya. "Kau mau kentang bakar?" tanya Jacob, menoleh dari perapian. "Apa sudah matang?" Luna menjawab sambil menatapnya, mata berbinar sedikit penasaran. Jacob mengangkat salah satu kentang yang telah ia panggang di atas bara, lalu memotongnya dengan hati-hati di atas piring. Asap tipis mengepul, membawa aroma hangat yang langsung menggugah selera. "Makanlah perlahan, ini masih panas," katanya sambil menyerahkan piring itu kepada Luna. Luna menurunkan mangkuk anggurnya, menerima piring tersebut dengan senyum kecil. Ia mulai menyuapkan kentang bakar ke mulutnya, perlahan menikmati tekstur lembut yang hangat berpadu dengan rasa manis alami kentang. Jacob juga me
Sudah hampir dua bulan Jacob hidup di pulau terpencil ini tanpa koneksi internet. Kincir angin berhenti berputar, aliran air sungai membeku, dan segala teknologi yang biasanya ia gunakan kini tak berguna. Ia merasa terisolasi dari peradaban, tapi hanya bisa pasrah menerima keadaan. Sembari menatap pemandangan diluar jendela, pikirannya melayang jauh. Saat ia menoleh ke tempat tidur, pandangannya tertuju pada Luna yang masih terlelap, tubuhnya terbungkus selimut tebal. Sebuah senyum lembut muncul di wajah Jacob. Ia menyandarkan tubuhnya di bingkai jendela, hanya memperhatikan gadis itu dengan tatapan penuh kasih. “Kau benar-benar seperti kelinci kecil yang terdampar di tempat tidurku,” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan. Ia mendekat, duduk di tepi tempat tidur dan menatap wajah Luna dari jarak dekat. Jari-jarinya yang dingin menyentuh pipinya, membelai dengan lembut hingga gadis itu menggeliat kecil dalam tidurnya, lalu membalikkan badan, kini membelakangi Jacob. “Kau mau hibern
Selesai sarapan, Luna pikir ia bisa segera melarikan diri dan bertemu para pelayan lain. Tapi ternyata salah, Jacob mengajaknya ke ruang utama dan melihat bagaimana pria itu terus menggodanya. Di depan perapian, Luna duduk di pangkuan Jacob dengan posisi mereka yang saling berhadapan. Tangan pria itu menekan pinggang Luna, dan sesuatu yang dibayangkan terjadi. Suara decapan bibir mereka terdengar lirih seiring gemeretak api perapian yang menghangatkan tubuh. Luna menarik dirinya, mengatur nafasnya saat keningnya saling bersentuhan dengan Jacob. "Aku ingin berhenti." desisnya. "Kau ingin berhenti dari apa?" tanya Jacob sambil menepikan rambut Luna ke belakang telinga gadis itu. "Berhenti menggangguku seperti ini, kita sudah terlalu jauh." pinta Luna, suara lirih dengan nada memohon. Namun Jacob justru hanya tersenyum tipis, "Seperti yang kau katakan, kita sudah terlalu jauh dan tidak mungkin kembali lagi. Dan aku, aku sudah terlanjur terobsesi oleh bibirmu." katanya, kali ini sambi
Wajah Jacob penuh kepuasan, senyum kemenangan terpampang jelas di wajahnya setelah ia melepaskan Luna. Namun, ia tidak menyangka kalau gadis itu malah menyerangnya tanpa peringatan. Dengan semangat penuh, Luna mengayunkan tangannya, mencoba memukul Jacob dengan segala tenaga yang ia punya. “Kau benar-benar tidak menyerah, ya?” Jacob berseru, dengan mudah menangkap tangan Luna sebelum pukulan itu benar-benar mengenai dirinya. Ia menahan pergelangan gadis itu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya bertolak pinggang. Tatapannya penuh godaan, dan dengan alis yang bergerak naik-turun, ia berkata, “Tubuh kecilmu itu tidak akan pernah bisa mengimbangi diriku, kelinci kecil.” Wajah Luna memerah, campuran antara rasa kesal dan malu. Ia berusaha menarik tangannya dari cengkeraman Jacob, tapi pria itu terlalu kuat. “Lepaskan aku!” serunya dengan nada tajam. Jacob akhirnya melepaskan tangan Luna, tapi bukannya tenang, gadis itu justru memanfaatkan momen kebebasannya untuk kabur. Tanpa a
Suara deru mesin mobil memecah keheningan malam saat kendaraan hitam berhenti di dermaga. Xavier turun lebih dulu, langkahnya tegas dan tanpa ragu, langsung berbicara dengan seseorang yang sudah menunggunya. Wajahnya tetap dingin, tanpa ekspresi, seakan kehadirannya saja sudah cukup untuk membuat orang lain merasa terintimidasi.Dari sisi lain, Luna turun dengan sedikit ragu. Begitu kakinya menginjak dermaga, matanya langsung tertuju pada dua kapal pesiar megah yang bersandar tak jauh dari tempatnya berdiri. Cahaya lampu dari kapal itu memantul di permukaan air laut, menciptakan pemandangan yang begitu menakjubkan, namun sekaligus membuatnya merasa kecil.Jantungnya berdetak lebih cepat. Selama satu minggu kedepan, ia harus berada di dalam kapal itu bersama pria yang ... jujur saja ... menakutkan. Ditambah lagi, ini pertama kalinya ia berada di kapal sebesar itu, yang tingginya nyaris menyamai gedung lima belas lantai.Tanpa memperdulikan keterpanaan Luna, suara dingin Xavier menginte
Teriakan penuh amarah mengguncang ruangan, menggema hingga ke dinding-dinding yang seolah ikut bergetar karena kemarahan Russel. Dengan gerakan kasar, ia meraih vas bunga di atas meja dan melemparkannya ke lantai. Pecahan keramik berhamburan, nyaris mengenai kaki anak buahnya yang hanya bisa berdiri dengan kepala tertunduk."Brengsek!" Russel berbalik dengan mata membara, jemarinya teracung tajam ke arah pria yang berdiri membeku di hadapannya. "Bukankah aku sudah menyuruhmu memastikan bahwa Jacob ada di dalam mobil itu?! Tapi lihat apa yang terjadi! Dia masih hidup! Itu berarti yang kalian ledakkan tadi hanyalah mobil kosong! Kegagalan macam apa ini?!"Anak buahnya tetap diam, tahu betul bahwa berdebat hanya akan memperparah situasi. Russel tidak butuh alasan, yang ia inginkan hanyalah hasil.Pria itu semakin murka. Rahangnya mengeras, pikirannya berputar liar. Bagaimana mungkin Jacob bisa lolos? Apakah dia sudah mengetahui rencananya sejak awal? Mungkinkah ini semua adalah jebakan y
Kekacauan masih belum mereda. Kabar pertunangan itu terus bergulir, menyebar bagaikan api yang disiram bensin. Namun, yang lebih menggemparkan adalah terbongkarnya identitas Xavier sebagai cucu George Davis, sebuah fakta yang selama ini terkubur rapi dalam bayang-bayang. Dan kini, untuk pertama kalinya, Xavier tidak punya pilihan selain berdiri di hadapan publik dengan gelar yang selama ini ia hindari.Konferensi pers pun digelar.Di tengah kilatan kamera dan suara gemuruh wartawan yang berlomba mendapatkan sudut terbaik, Xavier melangkah masuk ke ruangan. Setelan hitamnya yang sempurna, sorot mata tajamnya, dan aura dominan yang terpancar dari dirinya membuat suasana seketika terasa lebih tegang.Ia duduk dengan tenang di kursi yang disediakan, sementara wartawan sudah tak sabar melontarkan pertanyaan."Sir, mengapa Anda menyembunyikan identitas sebagai cucu George Davis?""Apa benar transaksi ilegal yang muncul beberapa hari lalu melibatkan Anda?""Kapan pernikahan Anda dengan putri
Rumor seperti api yang membakar reputasi Russel Calderon. Kontrak-kontrak penting mulai dibatalkan satu per satu, saham Zenith merosot tajam, dan ruang kerjanya yang biasanya megah kini terasa seperti sel isolasi. Teleponnya berdering tanpa henti karena pada investor yang panik, rekan bisnis yang curiga, bahkan media yang haus sensasi.Tidak terasa tiga hari berlalu semenjak rumor itu muncul, beberapa pihak kepolisian datang untuk memeriksa dirinya terlibat dalam transaksi pengiriman senjata. Penyelidikan terus dilakukan, saham perusahaan mengalami masalah karena rumor yang terus membesar.Di saat Xavier dan Russel terlibat perselisihan, semua orang tidak ada yang memperhatikan Luna. Hal ini menjadi kesempatan untuk Luna menikmati waktu yang ia punya, karena semenjak Xavier pergi sehari setelah pertunangan, sejak itu pula Luna tak melihat pria itu pulang."Hei, kau dimana?" tanya Luna pada seseorang di sambungan telepon.Begitu seseorang di telepon itu menjawab, Luna langsung pergi me
Pukul tujuh pagi, Luna membuka pintu kamarnya dengan perlahan, udara dingin apartemen mewah Xavier menyergap kulitnya. Namun, sebelum ia sempat mengambil langkah pertama, suara kasar memecah kesunyian pagi."Brengsek! Dia berani melakukannya?!"Suara Xavier yang bergema di ruangan membuat Luna membeku. Dadanya berdegup kencang, apakah kemarahan itu ditujukan padanya?Dengan hati berdebar, ia melihat Xavier berdiri di ruang tamu, wajahnya merah padam, tangan mencengkeram ponsel seolah ingin menghancurkannya. Matanya yang biasanya dingin kini membara seperti api neraka."Siapa yang membuatnya marah seperti ini?" batin Luna.Xavier menoleh tiba-tiba, dan tatapan mereka bertemu. Luna nyaris mundur, ada sesuatu yang mengerikan dalam sorot matanya pagi ini. Tapi sebelum sempat berkata apapun, Xavier mendengus keras, lalu berbalik dan berjalan cepat menuju kamarnya.Beberapa detik kemudian, ia keluar lagi, kini mengenakan jas hitam yang membuatnya terlihat seperti malaikat maut. Tanpa sepata
Pada akhirnya, hari yang tidak diinginkan itu tiba. Yaitu pesta pertunangan, walaupun bukan pesta besar, tapi kabar mengenai hal ini kemungkinan besar akan dengan cepat didengar oleh publik bahwa putri dari Russel Calderon telah bertunangan.Luna menatap keluar jendela kaca besar, pemandangan kota terlihat dari tempat ia berdiri. Langit gelap dan lampu-lampu di gedung tinggi tampak bersinar, ia seperti seekor hewan peliharaan yang berharap untuk bisa mendapatkan kebebasan."Kau terjebak, dan tidak ada cara untuk melarikan diri." ucap Nico yang berdiri tak jauh di belakang Luna.Perlahan Luna berbalik, menatap adik tirinya yang beberapa waktu terakhir sikapnya lebih baik, terlihat dari sorot matanya kalau Nico itu sebenarnya peduli padanya, tapi pria muda itu enggan untuk mengakui hal itu."Kamu benar, aku terjebak. Bagaikan seekor hewan yang terjerat oleh perangkap seorang pemburu," ucap Luna sambil melewati Nico menuju meja dan meraih sepasang anting untuk ia pakai.Nico memperhatika
Luna baru saja keluar dari bandara sambil membawa koper, tapi matanya langsung melihat dua orang bodyguard yang siap menjemput. Salah satu mendekat, meraih koper dan membawanya pergi sementara satu yang lainnya seakan memastikan Luna tak tersentuh oleh para pendatang di bandara tersebut.Tak ada kebahagiaan yang terpancar di wajah Luna, hanya tekanan batin yang ia rasakan karena harus meninggalkan Jacob tanpa satu katapun. Ia ingin bertahan, hidup bahagia seperti apa yang Jacob tawarkan, tapi itu berat bagi Luna kalau pilihannya itu malah membuat Jacob celaka di kemudian hari."Silakan, Nona," ucap salah satu bodyguard dengan suara datar, membukakan pintu mobil hitam mengkilap yang sudah menunggu. Luna masuk tanpa protes, jendela mobil yang gelap seakan memantulkan bayangannya yang hampa.Kediaman Calderon menyambutnya dengan kemewahan yang tiba-tiba terasa menusuk. Russel tersenyum ramah, tapi sorot matanya tajam, seperti pedagang yang baru saja menutup transaksi menguntungkan."Baga
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Luna bergegas dari dapur saat dering ponselnya memecah kesunyian. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat nama "Xavier" berkedip di layar. Tangannya gemetar saat mencoba mengatur nafas, memastikan suaranya tak akan terdengar mencurigakan saat menjawab."Baik, tenang," bisiknya pada diri sendiri sebelum akhirnya mengangkat telepon. "Halo?"Suara Xavier langsung memenuhi telinganya, dingin dan penuh ancaman. "Ingat baik-baik, Luna. Kau tidak boleh terlambat satu menit pun untuk acara pertunangan kita. Tiga hari lagi. Liburanmu tersisa satu hari. Jika kau berani melawan..." Ada jeda yang sengaja dibuat dramatis. "Aku tidak akan tinggal diam."Luna memejamkan mata erat-erat, mencoba menahan getar di suaranya. "Aku mengerti. Besok aku akan kembali.""Dan ingat ini," sambung Xavier, suaranya tiba-tiba lebih rendah namun sepuluh kali lebih mengerikan. "Aku benci mengulangi kalimat yang sama. Kalau kau berulah..." Ancaman itu menggantung di udara. "Jangan
Waktu yang seharusnya Luna gunakan untuk menenangkan pikiran dengan cara liburan sendirian, ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Jacob menyusulnya, memperlakukannya bagaikan boneka pemuas yang tak ada hentinya.Dari awal Luna datang ke tempat itu ia sudah bertemu dengan Jacob, dan sekarang sudah hari ketiga ia tinggal bersama Jacob tanpa keluar dari penginapan, Jacob melarangnya dan pria itu hanya ingin melakukan apa yang dia inginkan.Tidak ada kata protes lagi yang Luna ucapkan untuk menghentikan Jacob, tiga hari ini ia sudah lelah menghadapi pria yang hanya menggunakan tubuhnya untuk mendapatkan kepuasan. Tidak ada satu katapun yang Jacob dengarkan, semakin Luna memberontak, semakin kasar pria itu memperlakukannya.Sekarang, Luna berdiri di depan cermin kamar mandi, memandangi tubuhnya yang terdapat memar akibat ulah Jacob. "Dia tidak meninggalkan bekas di area terbuka, syukurlah." batin Luna.Karena jika Jacob meninggalkan bekas di tubuh Luna, maka itu bisa langsung diketahui ol