Satu minggu telah berlalu sejak kejadian malam itu, perhatian Jacob juga masih sama walaupun kadang masih menjengkelkan bagi Luna. Sejak dua malam terakhir, Luna kembali tidur di kamarnya sendiri. Padahal, Jacob sudah melarangnya karena di kamar Luna memiliki penghangat ruangan yang sangat kecil. Pagi ini, suasana gelap di luar sana masih terlihat. Tapi meskipun gelap, tidak ada salju yang turun. Pulau itu memang berbeda dengan tempat lainnya yang kini pasti sudah dipenuhi oleh salju, tapi meskipun tak ada salju, suasana beku di luar sana sangat terasa. "Sepertinya seru kalau bermain ice skating, tapi tak ada tempat yang bisa digunakan untuk melakukan permainan itu disini." batin Luna sambil melihat pemandangan di luar sana melalui jendela kamarnya. Listrik juga padam, kincir angin benar-benar tidak berputar karena aliran airnya membeku. Penerangan yang mereka gunakan selama musim dingin adalah lilin, Luna menutup jendela kamar dan keluar sambil mengenakan jaket pemberian Jacob. "D
Malam semakin larut, hawa dingin menguasai setiap sudut ruangan meskipun api di perapian terus menyala. Jacob, dengan cekatan menambahkan kayu ke dalam perapian, menciptakan suara gemeretak yang menenangkan. Sementara itu, Luna duduk di atas karpet lembut, santai menikmati anggur segar yang ia ambil dari mangkuk kecil di tangannya. "Kau mau kentang bakar?" tanya Jacob, menoleh dari perapian. "Apa sudah matang?" Luna menjawab sambil menatapnya, mata berbinar sedikit penasaran. Jacob mengangkat salah satu kentang yang telah ia panggang di atas bara, lalu memotongnya dengan hati-hati di atas piring. Asap tipis mengepul, membawa aroma hangat yang langsung menggugah selera. "Makanlah perlahan, ini masih panas," katanya sambil menyerahkan piring itu kepada Luna. Luna menurunkan mangkuk anggurnya, menerima piring tersebut dengan senyum kecil. Ia mulai menyuapkan kentang bakar ke mulutnya, perlahan menikmati tekstur lembut yang hangat berpadu dengan rasa manis alami kentang. Jacob juga me
Sudah hampir dua bulan Jacob hidup di pulau terpencil ini tanpa koneksi internet. Kincir angin berhenti berputar, aliran air sungai membeku, dan segala teknologi yang biasanya ia gunakan kini tak berguna. Ia merasa terisolasi dari peradaban, tapi hanya bisa pasrah menerima keadaan. Sembari menatap pemandangan diluar jendela, pikirannya melayang jauh. Saat ia menoleh ke tempat tidur, pandangannya tertuju pada Luna yang masih terlelap, tubuhnya terbungkus selimut tebal. Sebuah senyum lembut muncul di wajah Jacob. Ia menyandarkan tubuhnya di bingkai jendela, hanya memperhatikan gadis itu dengan tatapan penuh kasih. “Kau benar-benar seperti kelinci kecil yang terdampar di tempat tidurku,” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan. Ia mendekat, duduk di tepi tempat tidur dan menatap wajah Luna dari jarak dekat. Jari-jarinya yang dingin menyentuh pipinya, membelai dengan lembut hingga gadis itu menggeliat kecil dalam tidurnya, lalu membalikkan badan, kini membelakangi Jacob. “Kau mau hibern
Selesai sarapan, Luna pikir ia bisa segera melarikan diri dan bertemu para pelayan lain. Tapi ternyata salah, Jacob mengajaknya ke ruang utama dan melihat bagaimana pria itu terus menggodanya. Di depan perapian, Luna duduk di pangkuan Jacob dengan posisi mereka yang saling berhadapan. Tangan pria itu menekan pinggang Luna, dan sesuatu yang dibayangkan terjadi. Suara decapan bibir mereka terdengar lirih seiring gemeretak api perapian yang menghangatkan tubuh. Luna menarik dirinya, mengatur nafasnya saat keningnya saling bersentuhan dengan Jacob. "Aku ingin berhenti." desisnya. "Kau ingin berhenti dari apa?" tanya Jacob sambil menepikan rambut Luna ke belakang telinga gadis itu. "Berhenti menggangguku seperti ini, kita sudah terlalu jauh." pinta Luna, suara lirih dengan nada memohon. Namun Jacob justru hanya tersenyum tipis, "Seperti yang kau katakan, kita sudah terlalu jauh dan tidak mungkin kembali lagi. Dan aku, aku sudah terlanjur terobsesi oleh bibirmu." katanya, kali ini sambi
Wajah Jacob penuh kepuasan, senyum kemenangan terpampang jelas di wajahnya setelah ia melepaskan Luna. Namun, ia tidak menyangka kalau gadis itu malah menyerangnya tanpa peringatan. Dengan semangat penuh, Luna mengayunkan tangannya, mencoba memukul Jacob dengan segala tenaga yang ia punya. “Kau benar-benar tidak menyerah, ya?” Jacob berseru, dengan mudah menangkap tangan Luna sebelum pukulan itu benar-benar mengenai dirinya. Ia menahan pergelangan gadis itu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya bertolak pinggang. Tatapannya penuh godaan, dan dengan alis yang bergerak naik-turun, ia berkata, “Tubuh kecilmu itu tidak akan pernah bisa mengimbangi diriku, kelinci kecil.” Wajah Luna memerah, campuran antara rasa kesal dan malu. Ia berusaha menarik tangannya dari cengkeraman Jacob, tapi pria itu terlalu kuat. “Lepaskan aku!” serunya dengan nada tajam. Jacob akhirnya melepaskan tangan Luna, tapi bukannya tenang, gadis itu justru memanfaatkan momen kebebasannya untuk kabur. Tanpa a
Luna memandangi potongan daging kelinci di tangannya dengan ekspresi bimbang. Aroma harum yang mengepul dari panggangan di hadapannya membuat perutnya memberontak, tetapi hatinya berperang dengan rasa bersalah. Bayangan kelinci-kelinci yang biasa ia rawat sejak kecil terlintas di benaknya. Bagaimana mungkin ia tega memakan mereka? Namun, saat matanya melirik ke arah pelayan-pelayan lain yang tampak begitu menikmati hidangan itu, ia merasa terasing. Senyum mereka, gelak tawa, dan wajah puas setelah setiap gigitan, semuanya membuat Luna merasa seperti sedang berada di luar lingkaran. Akhirnya, dengan nafas berat, ia memberanikan diri mencubit sedikit daging itu dan menyuapkannya ke mulut. Jacob yang sedari tadi memperhatikan, menyandarkan tubuhnya di kursi dengan senyum penuh kemenangan. “Jadi, bagaimana rasanya?” tanyanya, suaranya penuh nada menggoda. Luna tidak segera menjawab. Ia mengunyah perlahan, mencoba mencerna rasa asing itu. Daging kelinci yang lembut terasa sedikit mirip d
Di dalam pelukan Jacob, Luna hanya bisa diam merasakan hembusan nafas dan juga dekapan tangan kekar pria itu. Beberapa kali mata Luna mengerjap, seakan masih tidak percaya jika ia dan Jacob melakukan hubungan intim itu lagi. Tapi, ia juga tak bisa bohong bahwa semalam ia juga menikmatinya. Ini benar-benar memalukan, ia seakan kehilangan dirinya sendiri dibawah godaan Jacob. Pria itu mudah sekali mempengaruhinya, membuatnya pasrah dibawah cumbuan yang memabukkan. Luna berusaha menjaga kewarasannya, ia bergerak pelan berencana turun dari tempat tidur sebelum pagi ini berlanjut menjadi hal yang lebih rumit. Tapi gerakannya segera tertangkap oleh Jacob, yang dengan cekatan menarik pinggangnya kembali ke pelukan. “Biarkan aku turun,” bisik Luna dengan nada hampir memohon. Namun Jacob menggeleng pelan, matanya masih tertutup, tapi tangan kekarnya semakin erat memeluknya. “Jangan pergi,” jawabnya dengan suara serak, kemudian menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Luna. Luna memejamkan ma
Keesokan harinya, deru baling-baling helikopter memecah kesunyian pagi. Jacob berdiri dengan tas kecil di pundaknya. Ia memandang Luna yang tampak termenung, matanya sedikit menerawang seolah menyimpan sejuta pikiran. “Sudah siap?” tanyanya lembut, memecah keheningan. Luna mengangguk pelan, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa ragu. Jacob menggenggam tangan gadis itu dengan lembut, memberikan dorongan kecil untuk menaiki helikopter. Begitu mereka duduk, helikopter pun mengudara, meninggalkan pulau yang selama ini menjadi tempat perlindungan bagi Luna. Langit pagi itu cerah, tetapi hawa dingin masih menggantung seperti kemarin. Selama dua jam perjalanan udara, Luna hanya diam memandangi jendela, melihat lautan luas yang membentang, diselingi bayangan kota besar yang perlahan mulai tampak. Helikopter akhirnya mendarat di atap gedung tinggi, tempat yang sama ketika pertama kali Luna tiba di New York bersama Jacob. Udara kota yang dingin dan penuh kesibukan menyambut mereka begitu kelu
Mobil hitam itu akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan bergaya klasik. Dengan penuh kehati-hatian, asisten pribadi Jacob mendorong kursi rodanya masuk ke dalam. Di sebuah ruangan luas namun terasa sepi, Russel telah menunggu. Begitu pintu tertutup, hawa ruangan seketika berubah tegang, seolah udara pun ikut menahan nafas.Jacob mengangkat tangannya, memberi isyarat pada asistennya untuk pergi. Ia ingin bicara tanpa perantara, hanya ia dan Russel.Tak ada sapaan. Tak ada basa-basi. Hanya tatapan tajam yang saling bersilangan di antara mereka.Hingga akhirnya, Jacob yang pertama kali memecah keheningan. Suaranya tenang, namun ada ketegasan yang tak bisa disangkal."Aku rasa, Anda sudah tahu alasan kedatanganku ke sini."Russel menatapnya dalam-dalam. Jacob bisa merasakan beratnya tatapan itu, sebuah penolakan yang belum diucapkan, sebuah pertarungan harga diri yang tak terlihat."Ya," jawab Russel akhirnya, suaranya dalam dan berat. "Aku sudah tahu segalanya tentang dirimu dan Luna.
Jacob jadi kepikiran dengan apa yang Nico katakan, namun ia mencoba untuk mengenyahkan hal itu karena mulai hari ini ia akan mulai menyiapkan pernikahannya dengan Luna."Jadi... kau benar-benar akan menikah dengan Luna minggu depan?" tanya Nico sekali lagi, memastikan dengan nada setengah tak percaya.Jacob mengangguk, kali ini dengan ketegasan yang tak bisa digoyahkan. "Aku serius," jawabnya mantap.Nico tampak berpikir sejenak, lalu berkata, "Kalau begitu, kau harus membujuk ayahku. Kau tahu betapa besarnya kebenciannya padamu."Jacob tersenyum tipis, seolah semua kebencian Russel sudah menjadi bagian dari masa lalu yang tak lagi menakutkannya. "Aku tahu. Tapi itu urusanku. Kau tak perlu memikirkannya."Nico hanya mengangguk, kemudian matanya mencari-cari sosok lain di sekitar ruangan. "Aku ingin bicara dengan Luna," katanya, dan tanpa menunggu jawaban, ia beranjak pergi meninggalkan Jacob.Melihat itu, Jacob pun segera meraih ponselnya dan menghubungi seseorangSementara itu, di si
Rumah Jacob kembali sunyi setelah kepergian Hazel dan ketiga anak Deon. Riuh tawa yang tadi memenuhi setiap sudut kini tinggal kenangan samar di dinding. Hanya ada Luna dan Jacob yang duduk berdekatan di sofa ruang tamu, dalam diam yang terasa asing namun nyaman. Sisa tawa dan langkah kaki yang hilang, tergantikan oleh suara alam malam dan detak pelan waktu.Selama lima belas menit mereka hanya duduk, membiarkan keheningan menjadi jeda dari semua keramaian yang tadi terjadi. Hingga akhirnya, suara pelan Luna memecah sunyi itu."Apakah kau benar-benar serius ingin melangsungkan pernikahan secepat itu?"Jacob menoleh padanya, lalu mengangguk mantap. “Ini waktu yang paling tepat. Sebelum musim gugur datang dan hari-hari menjadi lebih dingin. Aku ingin kita mengikat janji sebelum daun-daun berguguran.” Suaranya tenang, penuh keyakinan. “Dan jangan khawatir soal persiapannya, aku akan urus semuanya. Kita akan buat pesta kecil saja di halaman belakang, sederhana, tapi hangat, bersama keluar
Malam pertama Jacob di rumah barunya berubah menjadi lebih riuh dari yang ia bayangkan. Bukan karena pesta besar atau acara formal, tapi karena kehadiran empat perempuan yang membuat suasana jadi ramai, ketiga anak Deon dan tentu saja Hazel yang tidak pernah kekurangan energi.Setelah makan malam, mereka semua menghilang ke dalam salah satu kamar. Jacob sempat hendak ikut masuk, penasaran dengan apa yang terjadi, tapi niatnya langsung dipatahkan oleh ucapan tajam dari anak bungsu Deon.“Tidak boleh masuk! Ini area terlarang untuk laki-laki malam ini!” serunya sambil menutup pintu dengan dramatis.Di dalam kamar, suasana jauh dari tenang. Diana si paling cerewet, sedang memandangi rambut Luna dengan penuh semangat.“Kau pernah potong rambut sebelumnya?” tanyanya sambil memegang ujung rambut Luna yang nyaris menyentuh pinggang.Luna tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Hampir satu tahun sejak terakhir kali aku memotong rambutku, dulu rambutku sebatas leher."“Astaga, kau pasti kelihatan ma
Setelah melewati hari-hari panjang di rumah sakit, akhirnya Jacob bisa kembali pulang. Tapi kali ini, bukan ke apartemen lamanya di tengah kota, melainkan ke sebuah rumah yang selama ini hanya ia lihat dari kejauhan, rumah yang pernah ia beli, namun belum sempat ia tinggali. Lokasinya tenang, jauh dari hiruk pikuk kota, berdiri megah di tepi danau kecil dengan udara yang segar dan suasana yang mendamaikan.Mobil berhenti tepat di depan rumah. Dua penjaga pribadi segera sigap membantu Jacob turun dari kursi mobil dan membawanya ke kursi roda yang telah disiapkan. Tak ada pilihan lain, kakinya belum mampu menopang tubuhnya sendiri. Kali ini, Jacob benar-benar harus bergantung pada bantuan orang lain."Ini… di mana?" tanya Luna sambil menatap ke sekeliling, kagum oleh keindahan alam yang membingkai rumah tersebut.Jacob menoleh ke arahnya. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Ini rumahku. Aku membelinya bertahun-tahun lalu, tapi belum pernah tinggal di sini. Dulu kupikir, tempat ini akan m
Kabar bahwa Jacob telah siuman menyebar secepat cahaya dan sampai ke telinga Luna tepat saat senja menutup hari. Setelah lima belas hari penuh doa, penantian, dan ketidakpastian, akhirnya hari yang ia nantikan datang juga. Hari ketika dua kabar besar mengisi hatinya, kehamilannya... dan kembalinya Jacob dari ambang batas kesadaran.Namun, kebahagiaan itu tak bisa sepenuhnya ia ungkapkan. Hazel sempat menyarankan agar kabar tentang kehamilan Luna tidak langsung disampaikan kepada Jacob. Pria itu baru saja sadar, tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Rasa bahagia yang terlalu intens bisa saja menjadi tekanan baru. Maka, mereka sepakat untuk menunda dua hari saja. Dua hari sebelum kabar tentang dua jiwa kecil di dalam tubuh Luna sampai ke telinga Jacob.Luna duduk di sisi ranjang Jacob, jemarinya menggenggam tangan kekasihnya dengan lembut, seolah tak ingin melepaskannya lagi."Aku senang akhirnya kau sadar setelah tidur selama lima belas hari," bisiknya dengan suara penuh haru.Jacob tak bisa
"Wow!"Satu kata meluncur dari mulut Hazel, penuh kekaguman dan ketidakpercayaan.Luna masih terdiam. Detik-detik setelah dokter mengumumkan kabar itu seperti berhenti di sekitarnya. Bukan satu janin, tapi dua. Kehamilan pertamanya langsung menghadirkan sepasang kehidupan dalam rahimnya. Keajaiban, namun juga tanggung jawab yang terasa begitu besar menimpa pundaknya dalam sekejap.Ia menatap layar monitor yang kini telah dimatikan, namun bayangan dua bulatan mungil itu masih membekas di benaknya.Bisakah aku menjadi seorang ibu? Dua sekaligus? pikirnya, dilanda kekhawatiran. Ia bahkan belum tahu bagaimana cara merawat bayi, apalagi menghadapi kehamilan kembar.Sementara itu, dokter mulai menjelaskan hal-hal penting seputar kehamilan. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, makanan yang sebaiknya dihindari, sampai anjuran rutin kontrol kandungan. Hazel mendengarkan dengan saksama. Wajahnya serius, seolah menyimpan semua informasi untuk disampaikan kepada Jacob ketika pria itu akhirnya
Karena tak memungkinkan bagi Hazel menghilangkan bau daging dari apartemen Jacob dalam waktu singkat, alhasil ia membawa Luna datang ke apartemennya yang lokasinya tidak begitu jauh. Saat pertama kali melangkahkan kaki ke dalam apartemen yang sudah dua hari tidak Hazel datangi, perempuan itu mengerutkan dahi karena mencium sesuatu yang terasa asing di apartemen tersebut.Sepertinya, perbedaan di apartemen Hazel juga disadari oleh Luna saat perempuan itu berkata. "Sepertinya kau memindahkan beberapa barang-barang sebagian," katanya.Hazel mulai menaruh curiga, ia segera melihat lemari yang ada di dekat pintu masuk, ia memang memindahkan beberapa barang sebelumnya, tapi ia ingat betul kalau sebelumnya di atas lemari hiasan itu ada vas bunga yang tidak Hazel buang, tapi ... kemana perginya vas bunga itu?Agar tidak menimbulkan kecemasan terhadap Luna, Hazel masuk ke dalam kamarnya lalu keluar lagi. "Luna, aku minta maaf sekali. Sepertinya ada sedikit masalah di apartemenku, kita tinggal
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Hazel merasakan sesuatu yang selama ini dianggap tabu, ia senang mendengar kabar seseorang meninggal. Bukan karena ia kehilangan empati. Tapi karena orang yang selama ini menjadi ancaman terbesar bagi Luna, akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.Bagi Hazel, kabar itu seperti denting kebebasan. Seolah tirai ancaman yang selama ini menggantung gelap di atas kepala Luna… akhirnya robek, lenyap bersama dengan detak jantung terakhir Leah.Tidak ada lagi alasan untuk cemas. Tidak ada lagi bayang-bayang penculikan. Tidak ada lagi organ yang diincar dari tubuh Luna.Senyum samar muncul di bibir Hazel, senyum lega, bukan senang atas kematian. Tapi karena satu beban besar akhirnya sirna. Sementara itu, Luna tanpa sepatah kata pun melangkah masuk ke dalam ruangan, menahan nafas melihat tubuh Leah terbaring kaku. Di sekelilingnya, para perawat sedang melepaskan alat-alat medis satu per satu, mengakhiri seluruh proses perawatan yang selama ini hanya memperpa