Suasana terasa berbeda, ketika Luna membuka mata dengan kepala yang berdenyut, ia mendapati dirinya berada di sebuah kamar asing yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Barang-barang tidak terlalu banyak di dalam kamar tersebut, tapi jelas terlihat kalau kamar itu adalah milik seorang pria."Dimana aku?" gumamnya.Perlahan ia beranjak bangun dan duduk di tempat tidur, mencoba mengenali tempat tersebut, tapi tetap saja ia tidak tau kamar siapa yang ia tempati saat ini. Sementara, sebuah jam digital diatas meja nakas masih menunjukkan pukul enam pagi.Luna akhirnya keluar dari kamar dengan gerakan sangat pelan, ketika ia berada di luar, hal pertama yang menarik perhatiannya ada sosok orang menyebalkan yang kini tidur pulas di atas sofa.Tapi tidak, pria itu tidak lagi menyebalkan seperti sebelumnya. Luna berbalik, mengambil selimut yang sempat ia gunakan untuk menyelimuti tubuh Nico yang tidur di sofa dengan posisi tidak nyaman, tapi saat Luna baru selesai menyelimuti tubuh pria muda itu,
Kekacauan masih berlanjut, berita semakin panas dan kabarnya Russel terancam bangkrut kalau semua masalah ini tak segera dia selesaikan. Semua hal yang sempat dia banggakan bisa hangus dalam semalam, dan kejadian sepuluh tahun lalu mungkin saja akan terulang dimana membuatnya nyaris menjadi gelandangan.Luna duduk di sofa, memeluk lututnya. Ia bukan pebisnis. Bahkan cara membaca laporan keuangan pun tak ia pahami. Tapi setiap hari, jemarinya tak henti menyegarkan laman berita, menyaksikan nilai saham Zenith yang terus merosot, perlahan namun pasti, seolah menarik harapannya ke dasar.Tiba-tiba, rasa dingin menyentuh pipinya. Luna terlonjak kecil, menoleh cepat. Hazel berdiri di sampingnya, menempelkan kaleng minuman dingin ke wajahnya sambil menyunggingkan senyum tipis yang nyaris pahit.“Ayahmu benar-benar sedang sekarat sekarang,” ucap Hazel, seolah menyampaikan berita duka, padahal nada suaranya terdengar nyaris biasa.Luna menggenggam kaleng itu, menatap Hazel lekat-lekat. “Apa ti
Luna tak tahu kemana Jacob membawanya. Sejak mereka keluar dari rumah sakit, pria itu hanya diam, tapi ekspresi wajahnya yang penuh antusias dan senyum yang tak pernah hilang membuat Luna semakin penasaran. Mobil terus melaju, membelah jalanan kota, meninggalkan hiruk-pikuk dan menuju arah yang semakin asing baginya."Apa tujuan kita masih jauh?" tanya Luna, melirik Jacob dengan rasa ingin tahu yang tak bisa dibendung.Jacob hanya menoleh sekilas dan tersenyum, seperti menyimpan rahasia besar yang sebentar lagi akan terungkap. Namun ia tak mengucap sepatah kata pun.Hingga akhirnya, lebih dari dua jam perjalanan, Luna melihat mobil memasuki sebuah kawasan perumahan elit. Rumah-rumah mewah berjejer rapi, masing-masing dikelilingi taman luas dan pagar artistik. Mobil Jacob melambat, lalu berhenti di depan rumah paling ujung, halamannya paling luas, dengan taman belakang yang tampak hijau dan terawat dari samping.Jacob keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuknya. “Ayo,” katanya sambi
Pertanyaan Elsa begitu tiba-tiba, membuat Luna langsung terperanjat. “Hah… apa? Hamil?” ulangnya dengan ekspresi terkejut, alis terangkat dan suara nyaris melengking.Elsa justru menanggapinya dengan santai, bahkan dengan senyum menggoda yang seolah menyimpan seribu makna. “Benar. Aku hanya memastikan, Jacob itu anak paling keras kepala saat disuruh mengenalkan seorang wanita ke rumah ini. Tapi tiba-tiba saja, ia membawamu. Jadi aku sempat curiga, mungkin kau sedang mengandung cucuku, makanya ia berubah begitu drastis.”Luna tertawa kaku. Tangan refleks menyentuh perutnya, mengingat hasil pemeriksaan singkat saat mereka masih di kapal pesiar. Hasilnya… negatif. Ia tidak sedang hamil, dan mendengar dugaan Elsa barusan, rasanya jantungnya hampir lompat keluar.“Maaf sebelumnya… tapi aku tidak hamil,” jawabnya dengan suara pelan, nada bicaranya agak ragu-ragu, seolah takut mengecewakan.Elsa mengangguk pelan, masih dengan senyum yang tak luntur. “Tak perlu khawatir, sayang. Aku hanya bert
Usai makan malam yang hangat dan penuh tawa, mereka berpindah ke ruang keluarga. Sofa empuk, cahaya lampu yang temaram, dan secangkir teh hangat di tangan masing-masing menciptakan suasana santai yang jarang ditemukan Luna dalam kehidupannya yang penuh gejolak. Malam itu terasa berbeda, penuh kehangatan dan penerimaan yang diam-diam menyentuh hatinya."Jadi..." Elsa membuka percakapan sambil menatap Luna dengan senyum penasaran, "cukup mengejutkan ya, ternyata Tuan Calderon memiliki seorang putri. Kami semua tidak pernah menduganya."Luna tersenyum kaku, masih canggung setiap kali nama keluarga Calderon disebut. "Aku sendiri pun terkejut, terakhir kali aku melihat ayahku itu saat aku masih berusia delapan tahun. Wajahnya pun sudah samar di ingatan."Elsa mengangguk penuh simpati, sementara Dustin yang duduk bersebelahan dengan istrinya, mengalihkan pandangannya ke arah pasangan muda itu. Jacob dan Luna duduk berdampingan di sofa seberang, tampak serasi meski keduanya berusaha menyembun
Keesokan paginya, aroma roti panggang dan kopi hitam menyambut pagi yang tenang di rumah keluarga Dustin. Sarapan pagi dilakukan bersama di meja makan, suasananya santai dan akrab. Tawa kecil sesekali terdengar di antara obrolan ringan, menciptakan kehangatan yang jarang Luna rasakan selama bertahun-tahun.Sebelum berangkat kerja, Dustin seperti biasa tak lupa menunjukkan kemesraannya. Ia mencium kening Elsa dengan lembut, kemudian merangkul pinggang istrinya sambil berbisik sesuatu yang membuat Elsa terkekeh geli. Di ujung meja, Luna memperhatikan adegan itu dengan kagum, tak menyangka pria yang tampak menakutkan, tegas dan berwibawa, ternyata begitu hangat dan romantis terhadap istrinya.“Mereka memang selalu seperti itu,” bisik Jacob pelan sambil menyendok sarapan. Ia menyadari sorot mata Luna yang terpaku pada orang tuanya.Luna tersenyum malu, lalu menoleh ke arah Jacob. Namun begitu Jacob membalas tatapannya, Luna buru-buru mengalihkan pandangan, wajahnya memerah.Jacob mengangk
"Ada denganmu?" tanya Jacob setibanya di rumah sakit. Wajahnya menegang, langkahnya tergesa, dan nafasnya masih belum stabil sejak menerima kabar bahwa Luna tengah berada di rumah sakit.Pikiran terburuk sempat terlintas di benaknya. Ia mengira sesuatu telah terjadi pada Luna, hingga akhirnya, ia mendapati perempuan itu berdiri di depan ruang perawatan dengan wajah lelah dengan sedikit kekhawatiran.“Bukan aku yang dirawat,” ucap Luna, mencoba tersenyum untuk meredakan kekhawatiran pria itu.Jacob akhirnya bisa bernafas lega, meski jantungnya masih berdetak cepat.“Jadi... siapa?”Luna menoleh ke arah ruang perawatan di belakangnya. “Nico.”Jacob mengerutkan alis. Ia tak mengira remaja keras kepala itu yang kini justru terbaring lemah di ranjang rumah sakit. "Ada apa dengan adikmu?"“Dia mengalami dehidrasi berat,” jelas Luna lirih. “Kondisinya drop karena sudah lima hari berturut-turut tak tidur. Di apartemennya aku menemukan kaleng-kaleng minuman energi berserakan, catatan kerja, fil
Beberapa hari berlalu, dan Luna masih setia merawat Nico yang masih terbaring di rumah sakit. Sikap keras kepalanya masih tidak luntur, kadang lelaki itu berniat untuk kabur dari rumah sakit, tapi selalu ketahuan oleh Luna.Hari ini, pagi bahkan belum lama menyapa, tapi Nico sudah duduk bersandar dengan wajah jenuh yang tak bisa ditutupi. “Bisakah kau segera membiarkan aku keluar dari rumah sakit?” keluhnya dengan nada malas.“Kau masih sakit, Nico,” jawab Luna tenang, sudah hafal alur pembicaraan ini.“Ini sudah hari keempat!” serunya, hampir seperti anak kecil yang protes karena tak dibelikan mainan. “Aku merasa seperti tahanan. Kalau kau benar-benar tidak mau membiarkanku keluar dari tempat ini, setidaknya bawakan komputerku. Banyak hal yang harus aku kerjakan.”Luna menahan tawa, lalu menggeleng pelan. “Apa kau yakin sudah sehat? Jangan sampai kau pingsan lagi hanya karena menatap layar terlalu lama.”Nico mendengus. “Kau pikir aku selemah itu?”Luna menaikkan satu alisnya, lalu t
Beberapa hari berlalu, dan Luna masih setia merawat Nico yang masih terbaring di rumah sakit. Sikap keras kepalanya masih tidak luntur, kadang lelaki itu berniat untuk kabur dari rumah sakit, tapi selalu ketahuan oleh Luna.Hari ini, pagi bahkan belum lama menyapa, tapi Nico sudah duduk bersandar dengan wajah jenuh yang tak bisa ditutupi. “Bisakah kau segera membiarkan aku keluar dari rumah sakit?” keluhnya dengan nada malas.“Kau masih sakit, Nico,” jawab Luna tenang, sudah hafal alur pembicaraan ini.“Ini sudah hari keempat!” serunya, hampir seperti anak kecil yang protes karena tak dibelikan mainan. “Aku merasa seperti tahanan. Kalau kau benar-benar tidak mau membiarkanku keluar dari tempat ini, setidaknya bawakan komputerku. Banyak hal yang harus aku kerjakan.”Luna menahan tawa, lalu menggeleng pelan. “Apa kau yakin sudah sehat? Jangan sampai kau pingsan lagi hanya karena menatap layar terlalu lama.”Nico mendengus. “Kau pikir aku selemah itu?”Luna menaikkan satu alisnya, lalu t
"Ada denganmu?" tanya Jacob setibanya di rumah sakit. Wajahnya menegang, langkahnya tergesa, dan nafasnya masih belum stabil sejak menerima kabar bahwa Luna tengah berada di rumah sakit.Pikiran terburuk sempat terlintas di benaknya. Ia mengira sesuatu telah terjadi pada Luna, hingga akhirnya, ia mendapati perempuan itu berdiri di depan ruang perawatan dengan wajah lelah dengan sedikit kekhawatiran.“Bukan aku yang dirawat,” ucap Luna, mencoba tersenyum untuk meredakan kekhawatiran pria itu.Jacob akhirnya bisa bernafas lega, meski jantungnya masih berdetak cepat.“Jadi... siapa?”Luna menoleh ke arah ruang perawatan di belakangnya. “Nico.”Jacob mengerutkan alis. Ia tak mengira remaja keras kepala itu yang kini justru terbaring lemah di ranjang rumah sakit. "Ada apa dengan adikmu?"“Dia mengalami dehidrasi berat,” jelas Luna lirih. “Kondisinya drop karena sudah lima hari berturut-turut tak tidur. Di apartemennya aku menemukan kaleng-kaleng minuman energi berserakan, catatan kerja, fil
Keesokan paginya, aroma roti panggang dan kopi hitam menyambut pagi yang tenang di rumah keluarga Dustin. Sarapan pagi dilakukan bersama di meja makan, suasananya santai dan akrab. Tawa kecil sesekali terdengar di antara obrolan ringan, menciptakan kehangatan yang jarang Luna rasakan selama bertahun-tahun.Sebelum berangkat kerja, Dustin seperti biasa tak lupa menunjukkan kemesraannya. Ia mencium kening Elsa dengan lembut, kemudian merangkul pinggang istrinya sambil berbisik sesuatu yang membuat Elsa terkekeh geli. Di ujung meja, Luna memperhatikan adegan itu dengan kagum, tak menyangka pria yang tampak menakutkan, tegas dan berwibawa, ternyata begitu hangat dan romantis terhadap istrinya.“Mereka memang selalu seperti itu,” bisik Jacob pelan sambil menyendok sarapan. Ia menyadari sorot mata Luna yang terpaku pada orang tuanya.Luna tersenyum malu, lalu menoleh ke arah Jacob. Namun begitu Jacob membalas tatapannya, Luna buru-buru mengalihkan pandangan, wajahnya memerah.Jacob mengangk
Usai makan malam yang hangat dan penuh tawa, mereka berpindah ke ruang keluarga. Sofa empuk, cahaya lampu yang temaram, dan secangkir teh hangat di tangan masing-masing menciptakan suasana santai yang jarang ditemukan Luna dalam kehidupannya yang penuh gejolak. Malam itu terasa berbeda, penuh kehangatan dan penerimaan yang diam-diam menyentuh hatinya."Jadi..." Elsa membuka percakapan sambil menatap Luna dengan senyum penasaran, "cukup mengejutkan ya, ternyata Tuan Calderon memiliki seorang putri. Kami semua tidak pernah menduganya."Luna tersenyum kaku, masih canggung setiap kali nama keluarga Calderon disebut. "Aku sendiri pun terkejut, terakhir kali aku melihat ayahku itu saat aku masih berusia delapan tahun. Wajahnya pun sudah samar di ingatan."Elsa mengangguk penuh simpati, sementara Dustin yang duduk bersebelahan dengan istrinya, mengalihkan pandangannya ke arah pasangan muda itu. Jacob dan Luna duduk berdampingan di sofa seberang, tampak serasi meski keduanya berusaha menyembun
Pertanyaan Elsa begitu tiba-tiba, membuat Luna langsung terperanjat. “Hah… apa? Hamil?” ulangnya dengan ekspresi terkejut, alis terangkat dan suara nyaris melengking.Elsa justru menanggapinya dengan santai, bahkan dengan senyum menggoda yang seolah menyimpan seribu makna. “Benar. Aku hanya memastikan, Jacob itu anak paling keras kepala saat disuruh mengenalkan seorang wanita ke rumah ini. Tapi tiba-tiba saja, ia membawamu. Jadi aku sempat curiga, mungkin kau sedang mengandung cucuku, makanya ia berubah begitu drastis.”Luna tertawa kaku. Tangan refleks menyentuh perutnya, mengingat hasil pemeriksaan singkat saat mereka masih di kapal pesiar. Hasilnya… negatif. Ia tidak sedang hamil, dan mendengar dugaan Elsa barusan, rasanya jantungnya hampir lompat keluar.“Maaf sebelumnya… tapi aku tidak hamil,” jawabnya dengan suara pelan, nada bicaranya agak ragu-ragu, seolah takut mengecewakan.Elsa mengangguk pelan, masih dengan senyum yang tak luntur. “Tak perlu khawatir, sayang. Aku hanya bert
Luna tak tahu kemana Jacob membawanya. Sejak mereka keluar dari rumah sakit, pria itu hanya diam, tapi ekspresi wajahnya yang penuh antusias dan senyum yang tak pernah hilang membuat Luna semakin penasaran. Mobil terus melaju, membelah jalanan kota, meninggalkan hiruk-pikuk dan menuju arah yang semakin asing baginya."Apa tujuan kita masih jauh?" tanya Luna, melirik Jacob dengan rasa ingin tahu yang tak bisa dibendung.Jacob hanya menoleh sekilas dan tersenyum, seperti menyimpan rahasia besar yang sebentar lagi akan terungkap. Namun ia tak mengucap sepatah kata pun.Hingga akhirnya, lebih dari dua jam perjalanan, Luna melihat mobil memasuki sebuah kawasan perumahan elit. Rumah-rumah mewah berjejer rapi, masing-masing dikelilingi taman luas dan pagar artistik. Mobil Jacob melambat, lalu berhenti di depan rumah paling ujung, halamannya paling luas, dengan taman belakang yang tampak hijau dan terawat dari samping.Jacob keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuknya. “Ayo,” katanya sambi
Kekacauan masih berlanjut, berita semakin panas dan kabarnya Russel terancam bangkrut kalau semua masalah ini tak segera dia selesaikan. Semua hal yang sempat dia banggakan bisa hangus dalam semalam, dan kejadian sepuluh tahun lalu mungkin saja akan terulang dimana membuatnya nyaris menjadi gelandangan.Luna duduk di sofa, memeluk lututnya. Ia bukan pebisnis. Bahkan cara membaca laporan keuangan pun tak ia pahami. Tapi setiap hari, jemarinya tak henti menyegarkan laman berita, menyaksikan nilai saham Zenith yang terus merosot, perlahan namun pasti, seolah menarik harapannya ke dasar.Tiba-tiba, rasa dingin menyentuh pipinya. Luna terlonjak kecil, menoleh cepat. Hazel berdiri di sampingnya, menempelkan kaleng minuman dingin ke wajahnya sambil menyunggingkan senyum tipis yang nyaris pahit.“Ayahmu benar-benar sedang sekarat sekarang,” ucap Hazel, seolah menyampaikan berita duka, padahal nada suaranya terdengar nyaris biasa.Luna menggenggam kaleng itu, menatap Hazel lekat-lekat. “Apa ti
Suasana terasa berbeda, ketika Luna membuka mata dengan kepala yang berdenyut, ia mendapati dirinya berada di sebuah kamar asing yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Barang-barang tidak terlalu banyak di dalam kamar tersebut, tapi jelas terlihat kalau kamar itu adalah milik seorang pria."Dimana aku?" gumamnya.Perlahan ia beranjak bangun dan duduk di tempat tidur, mencoba mengenali tempat tersebut, tapi tetap saja ia tidak tau kamar siapa yang ia tempati saat ini. Sementara, sebuah jam digital diatas meja nakas masih menunjukkan pukul enam pagi.Luna akhirnya keluar dari kamar dengan gerakan sangat pelan, ketika ia berada di luar, hal pertama yang menarik perhatiannya ada sosok orang menyebalkan yang kini tidur pulas di atas sofa.Tapi tidak, pria itu tidak lagi menyebalkan seperti sebelumnya. Luna berbalik, mengambil selimut yang sempat ia gunakan untuk menyelimuti tubuh Nico yang tidur di sofa dengan posisi tidak nyaman, tapi saat Luna baru selesai menyelimuti tubuh pria muda itu,
"Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja!" suara Russel meledak di tengah ruangan, penuh nada frustasi dan ketidakpercayaan. "Bukankah Anda sendiri yang setuju untuk menjalin hubungan keluarga setelah pernikahan mereka?"Namun George Davis tetap tenang, seperti air yang tak terusik oleh angin. Ia menoleh, tatapannya tajam dan penuh penghakiman."Russel," ucapnya datar namun tegas, "kau sudah tahu sejak awal kalau kedatanganku kemari bukan untuk memberi restu, melainkan untuk mencabutnya. Tidak ada lagi alasan untuk melanjutkan hubungan ini. Semua sudah selesai."Kata-katanya jatuh seperti vonis. Tapi Russel masih mencoba merangkak dari puing-puing egonya yang mulai runtuh."Keputusan ini terlalu sepihak!" serunya lagi, suaranya meninggi. "Bukankah Anda yang berjanji akan membantu membantu perusahaanku? Kita bahkan membicarakan proyek mega bisnis bersama...""Tapi kau gagal!" potong George tajam, suaranya kini meninggi, menggema keras di ruangan yang penuh ketegangan. "Kau gagal, R