Tak pernah terlintas di benak Jacob bahwa pelariannya ke pulau ini akan membawanya pada pengalaman baru, menjadi seorang guru privat bagi gadis berusia enam belas tahun. Niatnya semula sederhana, menjauh dari dunia yang penuh kenangan pahit setelah kehilangan kekasih tercinta. Namun, takdir memiliki rencana lain dan mempertemukannya pada Luna.
“Salah lagi. Lakukan dengan cara yang lain!” suara Jacob menggema di ruangan, disertai dentuman keras meja yang dipukulnya. Luna tersentak, matanya melebar, nyalinya hampir ciut oleh ketegasan pria itu.
Jacob memperhatikan Luna dengan cermat, lebih cermat dari biasanya. Selama dua puluh lima tahun hidupnya, baru kali ini ia bertemu seseorang yang dalam pandangannya, begitu sulit memahami hal-hal dasar. Perhitungan sederhana saja menjadi tantangan besar bagi Luna.
"Apa sebenarnya isi kepalamu ini?" gumamnya sambil menekan tongkat kayu sepanjang lima puluh sentimeter ke dahi Luna.
Luna menatapnya polos, tanpa rasa bersalah. “Isi kepalaku ini tentu saja untuk menyimpan kenangan,” jawabnya santai, seolah ucapan itu adalah fakta paling logis di dunia.
Jacob menghela napas panjang, menahan kesal yang sudah mencapai ubun-ubun. “Kalau otakmu memang untuk menyimpan kenangan, kenapa pelajaran yang kuberikan tidak bisa kau simpan juga? Aku sudah membuat semuanya sesederhana mungkin, Luna. Kau ini…”
Luna mengerucutkan bibirnya. “Aku sudah tiga tahun tidak belajar hitungan,” katanya dengan nada rendah. “Yang kubaca hanya buku-buku yang ada di ruang baca selama aku tinggal di sini.”
Jacob mengusap wajahnya, mencoba meredakan rasa frustrasinya. “Mulai sekarang, kau akan belajar lebih banyak lagi. Aku tidak akan membiarkanmu istirahat sampai kau paham apa yang kuberikan!”
“Itu pemaksaan!” protes Luna, matanya berkobar menantang karena usahanya selalu salah di mata Jacob.
Jacob berdiri sambil mendengus. “Lebih baik aku memaksamu daripada membiarkanmu tumbuh menjadi wanita bodoh! Sekarang keluar dan ambilkan aku air minum. Mengajarimu seharian ini benar-benar membuatku haus!”
Dengan kesal, Luna bangkit dan menuju dapur. Ia menuangkan segelas air, sambil melirik pelayan Maci yang selama ini ia anggap sebagai pengganti ibu.
“Tuan Muda mengganggumu?” tanya Maci, menyadari raut wajah Luna yang penuh amarah.
“Bukan mengganggu. Lebih dari itu! Dia tiba-tiba saja menawarkan diri jadi guru, tapi sukanya marah-marah dan bilang aku bodoh!” Luna mengadu dengan nada mengeluh.
Maci tersenyum tipis, penuh pengertian. “Kamu seharusnya bersyukur, Luna. Tidak semua orang mau mengajarimu dengan sukarela. Tuan Muda Jacob adalah lulusan terbaik. Tak heran kalau dia ingin kamu belajar lebih baik.”
“Kenapa Ibu malah membelanya?!” Luna menghentakkan kakinya ke lantai dengan keras. “Kalau dia bukan keluarga pemilik pulau ini, aku mungkin sudah jadi musuhnya!”
Maci hanya tersenyum simpul mendengar gerutuan Luna yang tidak seperti biasanya. Sampai gadis itu kembali bicara.
"Bertemu dengan orang sepertinya, bukankah ini termasuk pembulian?" ucapnya sambil menghembuskan nafas panjang. Ia akhirnya kembali ke ruang belajar dengan gelas di tangannya. Meskipun kesal, ia tahu bahwa marah bukan solusi terbaik untuk mengatasi Jacob.
**
Dua bulan berjalan, dan Jacob tetap mengajarkan Luna pelajaran demi pelajaran. Meski kesabaran Jacob sering diuji, ia tidak menyerah. Setiap sore dihabiskannya dengan mengajar gadis itu, meski hampir selalu diiringi helaan nafas panjang karena lambatnya pemahaman Luna.
Namun, sore itu berbeda. Jacob memutuskan untuk bersantai di taman, membiarkan pikirannya mengembara. Aroma laut bercampur dengan semilir angin seakan menjadi obat penenang untuk hatinya yang terusik. Meski sudah hampir tiga bulan berlalu, bayangan Anastasya masih membayangi setiap sudut benaknya.
“Kau dan anak kita pasti melihatku dari atas sana,” gumamnya, menatap langit yang tampak berawan hari ini.
Kerinduan itu begitu dalam, mencengkeram hatinya hingga terasa sakit. Ingatan tentang senyum Anastasya menghantui, membawa rasa pedih yang tak kunjung hilang karena seharusnya mereka hidup bahagia setelah pernikahan.
Saat ia terlarut dalam lamunannya, gerimis kecil mulai turun. Jacob berdiri, membiarkan tetesan air hujan membasahi bahunya sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam mansion. Langkahnya mengarah tanpa tujuan, hingga ia menemukan dirinya di depan pintu kamar Luna yang terbuka.
Dari tempatnya berdiri, ia melihat pelayan Maci sedang memotong rambut Luna. Rambut gadis itu kini kembali pendek seperti pertama kali ia melihatnya. Jacob mengetuk pintu, lalu masuk tanpa menunggu undangan.
“Tuan Muda, Anda membutuhkan sesuatu?” tanya Maci sopan.
Jacob melirik Luna yang sedang menatapnya, kali ini dengan tatapan tajam, seolah gadis itu sedang menantangnya.
“Apa yang kalian lakukan?” tanyanya meski sebenarnya ia sudah tahu jawabannya.
“Menggunting rambutnya,” jawab Maci singkat, sambil kembali merapikan potongan terakhir.
Jacob memandang Luna sejenak yang kembali dengan rambut yang lebih pendek, dia terlihat berbeda. Meski demikian, Jacob membayangkan bahwa Luna akan lebih cantik jika membiarkan rambutnya memanjang dan dibiarkan terurai.
Namun, ia menepis pikiran itu dan menggelengkan kepala. “Kenapa aku harus peduli pada urusan orang lain?” gumamnya pelan sebelum meninggalkan ruangan.
Hari demi hari berlalu, namun bagi Jacob, waktu seolah berjalan di tempat. Mengajar Luna terasa seperti menghadapi tembok yang keras kepala. Gadis itu sepertinya lebih tertarik pada hal-hal lain daripada pelajaran yang ia berikan. Setiap kali mereka duduk bersama, Jacob mendapati dirinya di ambang kehilangan kewarasan."Luna! Ini sudah lima bulan sejak aku mengajarimu, tapi kenapa kau tetap saja tidak paham apa yang aku jelaskan?!" serunya sambil mengetukkan tongkat kayu kecil ke kening Luna. "Gunakan otakmu! Apa kau kira belajar itu hanya sekedar duduk-duduk manis?"Luna memanyunkan bibir, mengeluh seperti anak kecil yang dimarahi. "Anda selalu marah-marah. Apa tidak bisa mengajar dengan lebih lembut?"Jacob menggerutu, meletakkan tongkatnya dengan kasar di meja. "Lembut? Bagaimana aku bisa lembut kalau muridku sekeras batu dan seceroboh dirimu?!"Luna menunduk, memainkan jari-jarinya di atas buku. "Angka-angka ini sulit sekali," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Jacob menghela n
Tiga tahun kemudian.Pagi di pulau itu terasa damai seperti biasa, tapi di sebuah ruangan kecil dengan jendela terbuka, suara perdebatan sudah menjadi sarapan sehari-hari. Jacob dengan sikap santainya, duduk di kursi sambil memperhatikan Luna yang sibuk menulis di atas buku."Akhirnya, setelah bertahun-tahun otakmu menunjukkan perkembangan yang layak diapresiasi. Tidak sia-sia aku mengabdikan diriku sebagai guru privat selama tiga tahun belakangan," ujar Jacob dengan nada setengah menggoda.Luna berhenti menulis sejenak, menatap Jacob dengan tatapan yang nyaris membunuh, sebelum kembali sibuk dengan tugasnya. Meski kesal, ia tidak bisa menyangkal bahwa ucapan Jacob ada benarnya. Tak terasa, tiga tahun sudah berlalu dan kini Luna sudah berusia sembilan belas tahun.Tapi, gadis itu masih mempertahankan penampilannya dengan rambut pendek sebatas leher. Setiap kali rambutnya tampak sedikit panjang, Luna akan memotongnya."Aku sudah selesai," kata Luna, membuyarkan lamunan Jacob. Ia mendor
Pagi itu, udara pulau terasa lebih sejuk dari biasanya. Luna masih berbaring malas di tempat tidur menikmati ketenangan pagi tanpa gangguan Jacob. Tapi ketenangan itu segera pecah oleh suara bising helikopter yang mendadak terdengar semakin mendekat.Ia melompat dari ranjang, mengenakan sandal buru-buru lalu berlari keluar. Di halaman mansion, angin kencang dari baling-baling helikopter membuat dedaunan dan debu beterbangan, memaksa Luna menutup wajahnya dengan tangan.Pandangannya tertuju ke arah Jacob, pria itu sempat menoleh ke arahnya sebelum terbang tinggi bersama helikopter yang di naikinya. Luna mendongak, melihat kendaraan udara itu perlahan menjauh ke udara."Aku tidak mengira, doaku semalam langsung dikabulkan hari ini." batinnya senang.Sementara itu, Jacob duduk tenang di dalam helikopter. Tatapannya kosong, melihat pemandangan laut yang terbentang luas. Tiga tahun ia menghabiskan waktu di pulau itu, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar.Sesampainya di New Jersey, Jacob langsu
Suara helikopter kembali terdengar setelah dua hari Jacob meninggalkan pulau, Luna yang berada di kebun bersama pelayan lain segera melihat siapa yang datang kali ini. Tapi ia terkejut karena Jacob yang ia kira tidak akan kembali, justru datang lagi.Tatapan mereka bertemu dalam sekejap, tapi Jacob cepat-cepat memalingkan wajahnya. Ia sibuk memberi instruksi pada orang-orang di helikopter untuk menurunkan barang-barang yang ia bawa.Luna memperhatikannya dari kejauhan, namun suara Maci memotong lamunannya. "Jangan hanya berdiri bengong, Luna. Kalau kau tak mau membantu, paling tidak tunjukkan kalau kau peduli. Bukankah kau dan Tuan Muda punya hubungan yang... baik?"Seketika Luna langsung menoleh, mengingat cara Jacob yang kerap menjahilinya dan juga suka bersikap menyebalkan, apakah itu bisa dikatakan sebagai hubungan yang baik? Luna mendengus, berbalik badan kembali ke ladang tanpa membantu Jacob sedikitpun. Jacob masuk ke dalam mansion, setelah beberapa saat pria itu keluar lagi
Beberapa buku sudah Luna siapkan, ia juga duduk dengan tenang dan belajar sambil menunggu Jacob datang untuk mengajarinya seperti biasa. Karena pria itu tak suka keterlambatan, akhirnya Luna berusaha datang lebih dulu agar Jacob tidak marah-marah seperti biasanya.Namun, satu jam berlalu, dan Jacob tak kunjung muncul. Jantung Luna mulai terasa tidak tenang. Ia melirik jam di dinding untuk kesekian kali. Apa dia marah padaku? pikirnya.Luna akhirnya menutup buku dengan desahan kecil, lalu berdiri. Tidak biasanya Jacob melewatkan rutinitas yang sudah ia tetapkan sendiri, terlebih untuk sesuatu yang dianggap penting seperti mengajari Luna. Pria itu selalu menjadi orang yang tegas dan disiplin. Jadi, mengapa kali ini berbeda?"Luna, mau ke mana kau?" tegur Maci saat melewati ruangan.Luna menoleh cepat. "Bu, sepertinya aku membuat kesalahan. Tuan pemburu kelinci itu tidak mengajariku hari ini," jawabnya dengan nada ragu.Maci hanya menggeleng sambil tertawa kecil. "Bukankah kau sering ber
Hari-hari berlalu dengan lambat, dan Jacob masih menjaga jarak. Sikap pria itu yang terus-menerus menghindar mulai mengusik pikiran Luna. Kecemasannya tumbuh semakin besar. Bagaimana jika Jacob benar-benar mengusirnya dari pulau ini? Namun, Luna sendiri tak tahu apa yang telah ia lakukan hingga membuat Jacob begitu marah.Luna melangkah keluar, ia hanya melihat Jacob memberi makan kelinci siang ini. Pria itu tampak jauh lebih pendiam dari biasanya yang suka marah-marah, jelas bagi Luna ini ada yang tidak beres."Kau ada masalah dengan Tuan Muda?" suara Maci memecah lamunannya. Wanita itu muncul dari arah halaman belakang, membawa keranjang penuh buah-buahan segar.Luna menggeleng pelan, tampak bingung. "Aku tidak tahu. Tapi sepertinya dia benar-benar marah padaku.""Kalau begitu, kau harus minta maaf. Kalau tidak, mungkin kau harus meninggalkan pulau ini," ujar Maci santai sebelum melenggang pergi, meninggalkan Luna yang tertegun.Kata-kata itu menghantam Luna seperti badai. Meninggal
Luna semakin kepikiran, wajah Jacob yang ia lihat tadi benar-benar marah. Berbeda ketika pria itu marah saat mengajarinya, kali ini kemarahan itu membuat Luna takut. Ia terdiam lama di dalam kamarnya, sampai hari semakin larut dan ia tak bisa tidur."Aku harus bicara padanya," ia bangun, dengan perlahan menuju ke kamar Jacob berada. Luna tau ini terlalu beresiko membangunkan seseorang di tengah malam seperti ini, tapi disisi lain ia juga tidak mau di usir dari tempat itu.Tangannya terangkat dengan ragu lalu mengetuk perlahan pintu kamar Jacob beberapa kali, tidak ada sahutan, ia pun berinisiatif mengetuknya kembali sampai suara Jacob terdengar di belakangnya."Apa yang kau lakukan tengah malam seperti ini di depan kamarku?"Tubuh Luna tersentak kaget, gadis itu berbalik dengan cepat dan melihat Jacob berdiri di depannya. Tubuh besar pria itu seolah mendominasi Luna yang tampak mungil, ia menelan ludah dengan susah payah."A-aku... bisakah kita bicara sebentar?" tanyanya, suara sedikit
Sejak semalam Jacob tidak bisa tidur, ia masih belum yakin dengan perasaannya sendiri. Terlebih, tiga tahun lalu kekasihnya meninggal tepat di hari pernikahan yang membuat Jacob meragukan dirinya sendiri bahwa dia bisa kembali jatuh hati pada wanita lain.Pagi ini, ditemani secangkir teh hangat ia bersantai di balkon kamarnya yang menghadap kolam renang. Tak jauh dari kolam renang tersebut, tampak Luna sedang berlarian seperti saat Jacob melihat gadis itu untuk pertama kalinya.Namun, kali ini berbeda. Luna sudah tumbuh lebih dewasa dari tiga tahun lalu, lebih tinggi dan juga terlihat ... menggoda.Jacob mengangkat cangkir tehnya, menyesap sedikit tanpa melepaskan pandangan ke arah Luna."Aku harap, aku bisa menahan diriku." batin Jacob, sampai akhirnya Luna yang berada di taman itu menoleh ke arahnya, senyumnya tampak cerah dan dia bahkan melambaikan tangan ke arah Jacob penuh semangat.Alih-alih membalas, Jacob justru memalingkan wajah seraya menikmati pemandangan ke arah lain.Sete
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Luna bergegas dari dapur saat dering ponselnya memecah kesunyian. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat nama "Xavier" berkedip di layar. Tangannya gemetar saat mencoba mengatur nafas, memastikan suaranya tak akan terdengar mencurigakan saat menjawab."Baik, tenang," bisiknya pada diri sendiri sebelum akhirnya mengangkat telepon. "Halo?"Suara Xavier langsung memenuhi telinganya, dingin dan penuh ancaman. "Ingat baik-baik, Luna. Kau tidak boleh terlambat satu menit pun untuk acara pertunangan kita. Tiga hari lagi. Liburanmu tersisa satu hari. Jika kau berani melawan..." Ada jeda yang sengaja dibuat dramatis. "Aku tidak akan tinggal diam."Luna memejamkan mata erat-erat, mencoba menahan getar di suaranya. "Aku mengerti. Besok aku akan kembali.""Dan ingat ini," sambung Xavier, suaranya tiba-tiba lebih rendah namun sepuluh kali lebih mengerikan. "Aku benci mengulangi kalimat yang sama. Kalau kau berulah..." Ancaman itu menggantung di udara. "Jangan
Waktu yang seharusnya Luna gunakan untuk menenangkan pikiran dengan cara liburan sendirian, ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Jacob menyusulnya, memperlakukannya bagaikan boneka pemuas yang tak ada hentinya.Dari awal Luna datang ke tempat itu ia sudah bertemu dengan Jacob, dan sekarang sudah hari ketiga ia tinggal bersama Jacob tanpa keluar dari penginapan, Jacob melarangnya dan pria itu hanya ingin melakukan apa yang dia inginkan.Tidak ada kata protes lagi yang Luna ucapkan untuk menghentikan Jacob, tiga hari ini ia sudah lelah menghadapi pria yang hanya menggunakan tubuhnya untuk mendapatkan kepuasan. Tidak ada satu katapun yang Jacob dengarkan, semakin Luna memberontak, semakin kasar pria itu memperlakukannya.Sekarang, Luna berdiri di depan cermin kamar mandi, memandangi tubuhnya yang terdapat memar akibat ulah Jacob. "Dia tidak meninggalkan bekas di area terbuka, syukurlah." batin Luna.Karena jika Jacob meninggalkan bekas di tubuh Luna, maka itu bisa langsung diketahui ol
Hampir sepanjang malam, Jacob tidak memberikan kesempatan bagi Luna untuk beristirahat. Tubuhnya terasa lelah, nyeri di pinggangnya seperti mengingatkannya pada setiap detik yang mereka habiskan bersama. Saat pukul empat dini hari, Luna terbangun dengan perlahan, matanya berkedip beberapa kali mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan kamar. Di sebelahnya, Jacob masih tertidur dengan posisi yang posesif, tangan kanannya melingkari pinggang Luna dengan erat, seolah tak ingin melepaskannya meski dalam tidur.Luna menghela nafas pelan, mencoba mengatur pikirannya yang berantakan. Momen-momen yang terjadi beberapa jam lalu terlintas kembali di benaknya, membuat dadanya sesak. Ia tahu, ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Jacob tidak boleh terus terjerat dalam masalah yang semakin besar karena dirinya. Dengan hati-hati, Luna mencoba memindahkan tangan Jacob yang memeluknya. Tapi alih-alih melepaskan, tangan Jacob justru semakin erat mencengkeram.Luna menoleh, melihat wajah Jacob yang
Tubuh Luna terhempas di atas sofa sebuah villa yang terpencil, jauh dari keramaian dan jauh dari tempat di mana ia seharusnya berada. Begitu Jacob menurunkannya dari bahunya, Luna bergegas bangkit, mencoba melarikan diri. Tapi dengan gerakan cepat, Jacob mengunci tubuh gadis itu di antara kedua tangannya yang kokoh dan sofa yang menjadi sandaran Luna.Luna menatap Jacob, matanya membesar. Sorot mata pria itu terlihat sangat berbeda dari biasanya, tidak ada lagi kehangatan yang biasa ia lihat. Yang ada hanyalah kegelapan dan intensitas yang membuat jantung Luna berdegup kencang. Ia merasa seperti sedang berhadapan dengan orang asing, bukan Jacob yang ia kenal selama ini."Kau tidak seharusnya melakukan ini. Aku adalah perempuan yang akan menikah dalam waktu dekat," ucap Luna, berusaha menjaga suaranya tetap tegas meskipun getarannya tak bisa disembunyikan. Sikap dominan Jacob membuatnya merasa kecil, seperti burung yang terjebak dalam sangkar.Ekspresi Jacob semakin membuat Luna takut.
Pesta pertunangan tinggal sepuluh hari lagi, dan setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang semakin menyesakkan dada Luna. Perasaan bersalah dan kekhawatiran terus menggerogoti hatinya. Luna tahu, ia tidak bisa menciptakan masalah baru untuk Jacob, tapi di sisi lain, ia juga tidak bisa menerima kenyataan bahwa hidupnya akan sepenuhnya dikendalikan oleh orang lain.Dengan langkah berat, Luna berjalan menuju kamar Nico. Ia mengetuk pintu perlahan, dan tak lama kemudian, Nico membuka pintu dengan ekspresi bingung."Ada apa?" tanyanya, matanya menyipit penuh pertanyaan.Tanpa banyak bicara, Luna masuk ke dalam kamar Nico. Ini adalah pertama kalinya Luna masuk ke kamar saudara tirinya itu, dan ekspresi wajahnya yang muram membuat Nico semakin penasaran. Luna terlihat seperti mayat berjalan, wajahnya pucat dan matanya kosong."Hei, jangan membuatku takut. Kau terlihat seperti baru saja kehilangan harta jutaan dolar," protes Nico, mencoba meredakan ketegangan.Luna duduk di kursi gam
Malam telah berlalu, dan fajar menyingsing dengan membawa kejutan yang mengguncang dunia media. Sebuah artikel muncul di berbagai platform berita, mengungkap rahasia yang selama ini dijaga ketat oleh keluarga Davis. Artikel itu menyebutkan bahwa George Davis, memiliki dua cucu laki-laki. Namun, identitas mereka selalu menjadi misteri. Hanya kabar angin yang beredar, tapi tak pernah ada bukti konkret yang mengungkap siapa sebenarnya kedua cucu itu.Spekulasi pun bermunculan. Ada yang mengatakan bahwa cucu George Davis cacat, sehingga disembunyikan dari publik. Ada pula yang berpendapat bahwa mereka tidak layak mewarisi kekayaan sang kakek. Artikel itu langsung menjadi trending topik, memicu perdebatan dan rasa penasaran yang membara di kalangan masyarakat. Siapa sebenarnya kedua cucu George Davis? Mengapa identitas mereka begitu dijaga?Di dalam ruang kerja yang megah, Xavier duduk dengan wajah muram. Matanya menatap layar laptop di depannya, artikel itu terbuka lebar. Rahangnya menge
Mobil McLaren hitam milik Nico meluncur dengan mulus di jalanan sepi, meninggalkan keramaian kota New York jauh di belakang. Setelah beberapa saat dalam perjalanan, mobil itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah mewah yang megah, dikelilingi pagar tinggi dan pepohonan rindang. Nico turun dari mobilnya, matanya menyapu sekeliling dengan perasaan campur aduk. Ini adalah rumah Xavier, tempat yang sudah lama tidak ia kunjungi, tapi ingatannya tentang tempat ini masih sangat jelas. Saat melangkah masuk ke halaman, Nico melihat mobil Xavier terparkir di depan. Artinya, si pemilik rumah ada di dalam. Nico menarik nafas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah lebih jauh. Dia tahu persis di mana Xavier biasanya menghabiskan waktunya, dan tanpa ragu, ia menuju ke gudang belakang. Sesampainya di sana, Nico melihat pintu gudang tidak tertutup rapat. Dua penjaga berseragam hitam berdiri di depan pintu, tangan mereka terlipat di depan dada. Tapi karena Nico sudah beberapa kali datan
Pernikahan tinggal satu bulan lagi, dan Luna hanya bisa menunggu hari itu tiba dengan perasaan yang campur aduk. Ia duduk di kursi taman di halaman belakang, menatap kosong ke kejauhan. Pikirannya melayang entah kemana, mencoba menenangkan diri dari kegelisahan yang menggerogoti hatinya. Namun, di tengah lamunannya, telinganya menangkap suara langkah kaki yang perlahan mendekat. Luna tidak menoleh, hanya menghela nafas berat, seolah nafas itu bisa meringankan beban yang terasa begitu berat di dadanya."Kalau kau datang hanya untuk mengejekku, sebaiknya kau pergi saja," ucap Luna tanpa menoleh, suaranya datar tak ingin diganggu.Di belakangnya, Nico berdiri diam, matanya menatap Luna dengan ekspresi yang sulit dibaca. Awalnya, ia datang dengan niat yang tidak jelas, mungkin hanya ingin melihat bagaimana keadaan Luna. Tapi sekarang, melihat gadis itu begitu rapuh, hatinya justru tersentuh. Luna bukanlah ancaman baginya, justru sebaliknya. Dia seperti anak kelinci yang lemah, tak berdaya,
“Berikan gadis itu padaku,” ucap Xavier, suaranya rendah namun penuh dengan otoritas. Tangannya terulur, siap mengambil Luna dari Jacob. Tapi dengan cepat, Jacob melangkah maju, berdiri di depan Luna, menghalangi Xavier yang akan menyentuhnya. Tubuhnya tegap, matanya berapi-api, siap melindungi Luna dengan segala cara.Kini, kedua pria itu saling bertatapan sengit. Udara di sekitar mereka terasa panas, seperti pertarungan yang tak terelakkan akan segera dimulai. Tidak ada yang mau mengalah. Sementara itu, Luna berdiri di belakang Jacob, hatinya bergejolak antara rasa takut dan kebingungan. Di satu sisi, jika ia ikut dengan Jacob, pria itu pasti akan mendapatkan masalah yang lebih besar. Di sisi lain, jika ia ikut dengan Xavier, maka artinya Luna harus siap menerima konsekuensi menikah dengan pria yang bahkan tidak ia sukai sama sekali.“Kau tidak akan membawanya kemana pun,” geram Jacob, sorot matanya tajam seperti pedang yang siap menghunus. “Aku tidak akan pernah melepaskannya.”Tapi