"Seorang ibu tewas terbakar bersama ketiga anaknya di rumah mereka. Diduga, api berasal dari kompor yang dinyalakan sang anak dan menyambar kain lap yang ada di dekat kompor tersebut. Suami korban saat itu sedang bepergian setelah menjemput anak pertamanya dan menitipkan sang anak ke rumah neneknya. Saat ini, polisi masih mengusut tuntas kasus tersebut."
***"Ibuuuu! Ibuuuu! Kenapa Ibu dan adik-adik pergiiii ...!" Seorang anak berusia 13 tahun menangis dan meraung-raung ketika jenazah ibu dan ketiga adiknya diantar oleh ambulans ke rumah sang nenek.Kamelia meninggal dalam kebakaran yang melanda rumah mereka dua hari lalu. Bersama Kamelia, tiga anaknya juga ikut menjadi korban. Mereka adalah Fahri 4 tahun, Delisa 2 tahun, dan Rani yang baru berumur satu bulan. Anak pertama mereka, Arumi, selamat karena saat kejadian, si sulung sedang berada di rumah neneknya.Sementara itu, Rozi, ayahnya Arumi, juga turut sedih dan menangis di sisi putrinya. Dia merasa menyesal, sangat-sangat menyesal. Karena semua ini salahnya. Namun, penyesalan itu sudah terlambat.***Tiga hari yang lalu, sehari sebelum kejadian.Rozi meremas rambutnya, lelaki itu serasa ingin menghantuk-hantukkan kepalanya ke dinding karena stres. Sementara, kedua anaknya yang kecil menangis berbarengan."Coba jangan nanges bisa gak!" bentak Rozi kepada anak-anaknya. Sementara itu tangannya kini sedang memegang mangkuk berisi kocokan telur yang akan dia goreng sebentar lagi.Tiba-saja Delisa menarik celana Rozi sehingga melorot dan refleks sang ayah pun ingin menarik kembali celananya agar tidak terbuka. Alhasil kocokan telur siap goreng itu tertumpah ke lantai.PRAAANG!Bunyi mangkuk stainless berdentang keras karena berbenturan dengan keramik. Tragedi itu membuat bayi kecilnya yang sedang tertidur di kamar pun menangis kencang."Aaaargh! Ini semua gara-gara kalian! Diam bisa gak! Diaaaaam!" Rozi kembali membentak dan hampir saja memukul Delisa.Bocah-bocah kecil itu sontak mundur, mereka tahu, sedang ada bahaya berada di depan mereka. Ada sebab mengapa mereka sampai menangis. Hal itu karena sudah hampir tengah hari dan mereka belum makan-minum sejak bangun tadi pagi.Sadar akan sang bayi yang menangis kencang, Rozi menghambur ke dalam kamar, di mana istri dan bayinya itu tengah berbaring. Dia menatap sekilas ke arah Kamelia yang seakan hendak menangis di sana. Namun, tidak ia pedulikan dan langsung meraih bayinya yang baru berumur satu bulan tersebut, lalu membawanya keluar.Sejak Kamelia terserang stroke, rumah itu seakan lumpuh. Anak-anak tidak terurus, ekonomi pun berantakan. Bagaimana tidak, dia adalah ibu rumah tangga yang menjalani hampir semua peran. Dia yang selalu mengurus rumah, sekaligus membantu mencari uang.Ketika ia sehat, semua terurus dengan baik. Anak-anaknya tenang dan makannya terjamin. Subuh pukul 4 Kamelia sudah bangun, kemudian memasak. Baju-baju ia cuci bersih. Si sulung pergi ke sekolah dengan senyuman. Anak yang lain kenyang dan rapi.Sedangkan sang suami, pria itu bangun pukul 6.30, lalu mengantar Arumi sekolah, kemudian tidur lagi hingga jam 9. Setelah itu baru ia berangkat untuk bekerja. Pulang kerja tinggal makan, main handphone, dan menjalankan hobinya memancing, lalu tidur. Begitu saja terus sampai lima belas tahun usia pernikahan mereka.Bukan tidak ditegur oleh Kamelia. Sudah berbusa-busa mulutnya, tapi lelaki itu tetap saja bengal. Shalat tidak, puasa tidak, bermain bersama anak pun tidak. Entah maunya apa?Kamelia bahkan menjemput anaknya sepulang sekolah. Ia lalu mengambil pakaian kotor dari rumah langganannya dan mencuci-seterika semua hingga selesai. Tanpa tangisan, tanpa rengekan. Semua teratur. Semua mengikuti alur yang seharusnya.Bagaikan badai yang tiba-tiba melanda, Kamelia sang tulang punggung keluarga terkena stroke, sehingga membuatnya tak berdaya. Sejak hari itu, kapal rumah tangga mereka terombang-ambing di lautan kehidupan. Rozi yang selama ini menjadi raja di dalam kapal, yang hanya sibuk bersantai dan menjalani hobi sepulang kerja, tidak tahu caranya mengendalikan kemudi. Bahtera itu pun seakan melaju tanpa panduan, menabrak karang, dan akhirnya hampir-hampir karam.Dua anaknya kembali menangis. Rozi menatap tajam ke arah Delisa yang terus menggelayut di kakinya."Bapak lagi nidurin Rani, diem gak! Diem! Kalau gak, nanti Bapak hajar!" ancam Rozi. "Fahri! Bawa adik main dulu. Nih, duit!" Rozi memberikan uang 2 ribuan dan Fahri pun membawa sang adik perempuannya ke warung depan rumah untuk jajan.Rozi sibuk mengayun bayi kecilnya agar kembali tertidur. Ingin rasanya dia marah dan memaki, tetapi lelaki itu masih menahan diri. Mengapa rasanya sulit sekali mengurus anak-anak? Padahal selama ini dia melihat mereka anteng bersama ibunya.Setelah Rani senyap, Rozi langsung melap bekas tumpahan telur dan membuatkan yang baru. Dia menggoreng telur tersebut dengan cepat dan menyajikan nasi.Sementara itu di kamar, Kamelia telah menangis. Dia juga stres melihat betapa kacaunya rumah mereka sejak dirinya tidak berdaya. 'Ya Allah, kenapa ujian ini begitu berat? Kasian anak-anakku ya Allah, kasihanilah mereka, berilah kesembuhan padaku!' Dia membatin.Air mata wanita itu berlinang. Yang sanggup dia lakukan saat ini hanyalah menangis. Ingin rasanya dia mengambil alih semuanya, entah mengapa Allah memberikan ujian seberat ini. Suaminya takkan bisa melakukan semua sendirian. Tidak akan bisa! Ia merutuk di dalam hati.Rozi masuk ke kamar, lalu ia melihat istrinya yang menangis. Pria itu hanya melirik sekejap, kemudian membuka lemari dan mengambil baju, lalu dia keluar lagi. Kamelia tidak dipedulikan olehnya sama sekali.Semakin perih hati Kamelia. Sebegitu tidak berharga dirinya kini di mata sang suami. Jangankan untuk merawat, melirik saja dia enggan. Lagi-lagi wanita itu memaki takdir, mengutuk semua yang terjadi kepadanya.Rozi melihat kedua anaknya yang sudah tenang. Delisa sudah berganti popok dan memakai baju, Rani juga tidur di dekat sang ibu, sedangkan Fahri juga sudah mandi dan bersih. Rozi menghela napas lega. Dia pikir semua sudah tenang. Kedua anaknya anteng makan telur dan nasi yang sudah dia siapkan. Ini waktu yang tepat bagi Rozi melepas lelah, dia berpikir akan pergi memancing saja.Joran dia tenteng. Lalu lelaki itu berpesan pada Fahri, anak keduanya. "Jaga adik-adik ya, Bapak mau mancing dulu, ngilangin stres!" ujar Rozi kepada Fahri. Kemudian laki-laki itu pergi dan mengunci pintu dari luar.Anak umur 4 tahun itu hanya bisa diam, dia tidak begitu mengerti. Namun, semesta akan menjalankan skenarionya setelah ini, sebuah peristiwa yang akan membuat kehidupan mereka semua berubah.Lima menit setelah Rozi pergi, Rani kembali menangis. Bayi kecil itu sepertinya sangat kehausan. Kamelia menatap tak berdaya ke arah sang bayi. Bisa-bisanya Rozi pergi padahal mereka tidak bisa melakukan apa pun?Sementara Fahri dan Delisa menghambur-hamburkan nasi di ruang depan.Kamelia menangis kembali. Dia ingin menggerakkan tangannya dan merangkul serta menyusui bayinya sendiri. Akan tetapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa.Seharusnya, laki-laki itu tidak pergi. Bagaimana bisa dia pergi saat anak-anak mereka begitu membutuhkannya? Rani menangis keras hingga hampir satu jam lamanya. Kemudian akhirnya bayi itu hanya terisak-isak karena sudah kelelahan menangis kencang dan akhirnya diam.Suasana di rumah itu kembali hening, hanya siaran kartun di televisi di ruang tamu yang berbunyi. Keheningan itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba saja Delisa masuk sembari menunjuk bokongnya."Mak, eek!" katanya seraya menunjuk-nunjuk ke arah bokongnya.Lagi-lagi, ketidakberdayaan membuat Kame
Sebuah ledakan terdengar dari dapur. Kompor yang dinyalakan Fahri, terus menerus nenerima panas hingga membuat rumah mereka berasap. Kuali yang bertengger di atasnya meletup hingga terpelanting dan membentur keramik. Belum lagi asap pekat beracun yang terbentuk karena lap terbakar. Api sedang mencari jalan untuk menguasai rumah ini.Fahri berlari ke kamar sembari berteriak."Ibuuuuuu!" Dia menghambur ke arah ibunya dan memeluk Kamelia karena ketakutan.Lagi-lagi, hanya air mata yang mampu Kamelia berikan. Jika dulu anaknya melakukan suatu kesalahan, Kamelia akan memeluk mereka dan mengatakan tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja. Namun sekarang, jangankan satu pelukan, satu kata untuk menenangkan anaknya saja tak sanggup dia tuturkan.Fahri terus menangis di sisi ibunya, ketakutan. Hingga beberapa menit berlalu, anak itu pun tertidur akibat menahan lapar yang berat. Begitu pula dengan Delisa, dia juga ketiduran tanpa pakaian dan dengan bau kotoran yang melekat di tubuhnya.Menit be
Rumah kontrakan mereka telah terbakar berikut isinya, tak ada yang bisa diselamatkan sama sekali. Akhirnya, Rozi membawa anak sulungnya ke rumah orang tuanya.Pak Abdi dan Hayati, kedua orang tua Rozi, menerima anak dan cucu mereka dengan perasaan sedih dan pedih.Arumi menangis memeluk ayahnya. Kini, kehidupan mereka seolah dibalikkan ke bawah dalam semalam. Semua sangat terpukul, terlebih Arumi. Dia kehilangan ibunya, pelipur lara dalam hidupnya, penerang cahaya hatinya."Sabar ya, Cu! Sabar," ujar Pak Abdi seraya mencoba memeluk Arumi.Arumi menghindar, dia tidak mau dipeluk siapa pun selain ayahnya sekarang."Ayo sini, Arumi, sama kakek," ujar lelaki tua itu.Arumi menolak, dia meringkuk di belakang ayahnya."Sudahlah, mungkin dia masih sedih," ujar Bu Hayati."Sekarang, Rozi gak punya tempat tinggal, Rozi tinggal di sini ya Bu, Pak," ujar lelaki itu."Ndak apa-apa, ini rumahmu juga," ujar Bu Hayati. "Udah lama ibuk suruh kalian sekeluarga pindah ke sini, tapi istrimu itu selalu m
"Husst, jangan bicara kek gitu, Nak," ujar Rozi."Tapi emang iya, ibu semalam ke sini. Dia bilang ...""Cukup! Ayah ndak suka Arumi ngomong yang aneh-aneh. Itu bukan ibu, bukan apa-apa, ndak ada apa-apa," ujar lelaki itu.Dia tampak gelisah karena Arumi berkata seperti itu. Sementara Arumi menunduk karena dia merasa ayahnya tidak suka dan tidak mau membicarakan ibunya. Arumi sedih, bahkan untuk mengingat kenangan bersama ibunya saja dia tidak diperbolehkan. Anak itu berpikir, kenapa ayahnya seperti itu?Arumi menghela napas lalu membantu memilih baju sumbangan tersebut dan menyisihkan yang bisa dia pakai. Gadis itu murung. Kehilangan ibu bagaikan kehilangan segala-galanya bagi Arumi. Kenapa ibunya harus pergi, kenapa tidak ayahnya?Gadis itu sudah tahu, sejak ibunya sakit, ayahnya sering marah-marah pada mereka. Kadang Arumi yang jadi sasaran. Pulang sekolah, dia langsung disuruh mengasuh sampai dia kelelahan. Arumi menangis di sisi ibunya yang tak berdaya dan hanya ditanggapi dengan
Laki-laki itu memilih pergi dari sana karena takut. Dia menghidupkan motor bututnya dan langsung kabur. Sementara itu, sepasang mata menatapnya dari dalam air, mata yang dipenuhi oleh kemarahan dan gumpalan dendam.Rozi sampai di rumah dalam keadaan basah kuyup. Ibunya langsung menghambur ke arah laki-laki itu. Bu Hayati tampak panik."Ke mana aja, lama betul!" ujar Bu Hayati."Maaf Buk, mancing gak dapat hasil," ujar Rozi."Udahlah, peduli amat soal mancing. Tadi, Pak RT tempat kamu ngontrak datang terus bawakan ini nih!"Bu Hayati memperlihatkan sebuah kertas ke arah anak lelakinya. Kertas itu berbunyi: Surat perjanjian, dengan ini saya (kolom nama dikosongkan) bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi kemarin di rumah yang saya kontrak atas nama pemilik Bapak Haji Saleh. Saya akan mengganti segala kerugian yang telah terjadi. Jika saya melanggar, maka saya bersedia dihukum dengan hukum yang berlaku."Apa ini, Buk?" Mata Rozi membulat saat melihat isi surat tersebut."Ya ampun,
Rozi tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia merasa terpasung dan dibawa ke tempat gelap. Dia tak sadarkan diri.Tak lama kemudian, pria itu membuka mata, alangkah terkejutnya dia saat Rozi ternyata terbangun di tempat yang aneh, gelap, sesak, lagi menghimpitnya dengan keras."T-toloooooong!" Rozi berteriak. "Toloooooooooooooong!"Rozi menangis, dia menangis dengan sangat keras. Pria yang egois itu tak dapat menahan air matanya. Dia seperti dipasung, tubuhnya kaku seperti terikat."Tolong!"Rozi terkejut, dia diam dan mendengarkan. Apakah itu suara orang meminta tolong?"Tolooong! Toloooooong! Hahahaha!" Suara itu diakhiri dengan tawa mengejek yang mengerikan."Tolong? Kau minta tolong?"Tiba-tiba saja sebuah wajah muncul di hadapan Rozi, wajah istrinya, Kamelia. Perempuan itu menyeringai, wajahnya penuh darah, dari mata, hidung, dan mulutnya keluar darah segar yang berbau anyir."Ka-Kamelia?""Jangan sebut nama itu! Kamelia sudah mati!" katanya."Tidak, Kamelia. Ini ... di mana? Lepask
Kamelia meraung-raung kesakitan, perutnya seperti akan meledak. Rozi dan Hayati bingung, kenapa perempuan itu jadi menggila. Darah yang keluar dari rahimnya semakin banyak."Bu, gimana ini?" tanya Rozi.Hayati menyembunyikan botol yang dia bawa ke dalam tasnya dan dia menghindar. "Mana ibu tahu, panggil dokter!" katanya.Rozi segera pergi keluar, tapi belum pun memanggil dokter, seorang suster melihat tanda gawat pada Kamelia. Dia segera berlari ke bed perempuan itu."Kenapa ini?" ujar suster itu pada Rozi dan Hayati."Gak tahu, tiba-tiba aja," ujar Hayati."Kalau pasien sedang gawat, cepat hubungi kami ya pak!" ujar perawat itu dengan suara penuh tekanan. Lalu perawat itu menghubungi rekan mereka dan tiba-tiba saja semua yang ada di sana sibuk sekali. "Pak, tolong urus administrasi, pasien ada kartu jaminan sosial kan?" tanya sang dokter.Rozi mengangguk. "I-iya," katanya."Sialan. Diurus ya, Pak. Pasien akan segera dioperasi," ujar dokter itu.Mereka langsung membawa Kamelia ke r
Keesokan harinya.Rozi terbangun ketika azan subuh terdengar. Dia teringat akan janjinya pada sang istri tadi malam, bahwa dia akan sholat.Pria itu terbangun, lalu dia menyeret langkah menuju kamar mandi dan berwudhu. Setelah itu, Rozi pun melaksanakan sholat subuh dua rakaat.Pertama-tama, dia hanya tercenung di atas sajadah. Takbiratul ihram diangkat, tapi dia bingung ingin membaca apa. Laki-laki itu tidak tahu apa pun. Akhirnya, dia membaca Al Fatihah saja. Begitu juga dengan ruku dan sujud, tidak ada bacaan apa pun yang mengalun dari bibirnya, sebab dia memang tidak tahu. Karena itu, sholat dua rakaat pun selesai dengan singkat. Sepanjang sholat, semua bacaan Rozi tidak sempurna.Rozi mengangkat tangannya dan berdoa kepada Ilahi Rabbi. "Allah, sampaikan permintaan maaf pada istriku dan berkatilah hidupku." Begitu doa yang Rozi panjatkan setelah dia sholat.Tiba-tiba saja, ketika Rozi selesai berdoa, Hayati masuk ke kamar putranya tersebut. Rozi menatap ibunya."Ada apa, Bu?" tany