Rumah kontrakan mereka telah terbakar berikut isinya, tak ada yang bisa diselamatkan sama sekali. Akhirnya, Rozi membawa anak sulungnya ke rumah orang tuanya.
Pak Abdi dan Hayati, kedua orang tua Rozi, menerima anak dan cucu mereka dengan perasaan sedih dan pedih.Arumi menangis memeluk ayahnya. Kini, kehidupan mereka seolah dibalikkan ke bawah dalam semalam. Semua sangat terpukul, terlebih Arumi. Dia kehilangan ibunya, pelipur lara dalam hidupnya, penerang cahaya hatinya."Sabar ya, Cu! Sabar," ujar Pak Abdi seraya mencoba memeluk Arumi.Arumi menghindar, dia tidak mau dipeluk siapa pun selain ayahnya sekarang."Ayo sini, Arumi, sama kakek," ujar lelaki tua itu.Arumi menolak, dia meringkuk di belakang ayahnya."Sudahlah, mungkin dia masih sedih," ujar Bu Hayati."Sekarang, Rozi gak punya tempat tinggal, Rozi tinggal di sini ya Bu, Pak," ujar lelaki itu."Ndak apa-apa, ini rumahmu juga," ujar Bu Hayati. "Udah lama ibuk suruh kalian sekeluarga pindah ke sini, tapi istrimu itu selalu menolak!" sambung Bu Hayati."Sudahlah, ngapain diungkit, dia udah meninggal," ujar Pak Abdi."Pak, bagaimana dengan tahlilan? Apa ndak dipersiapkan?""Tahlilan untuk istrimu? Ada uangnya gak?" tanya Pak Abdi. "Bapak sekarang gak ada uang.""Rozi gak punya apa-apa sekarang pak," ujar Rozi."Ya sudah jangan diadakan," sahut Pak Abdi. "Lagian dia gak meninggal di sini juga," sambungnya.Rozi terdiam."Ibuk sudah siapkan kamar kamu, tapi di kamar bekas gudang ya. Kan kamar kamu udah dikasi ke Lisa."Rozi mengangguk. "Apa aja, Buk. Untuk sekarang yang penting ada tempat tinggal," ujar laki-laki itu.Akhirnya, mereka tidur di kamar belakang, bekas gudang. Rumah Pak Abdi tidak terlalu besar. Hanya ada dua kamar utama, satu milik Pak Abdi dan Istrinya, satu dulu milik Rozi, tapi sejak dia menikah dan pindah, kamar itu diberikan ke adik perempuannya yang bernama Lisa. Umurnya sudah 20 tahun. 12 tahun lalu, dia masih berumur 8 tahun dan tidur di kamar ibu bapaknya, di kasur lantai. Sejak Rozi menikah dan mengontrak, dia pindah ke sana. Tinggallah kamar belakang yang dijadikan tempat menyimpan barang-barang.Mereka mengemasi semua barang-barang itu dan memasang kembali ranjang kayu bekas Rozi dulu lalu memberinya kasur lantai seadanya. Diterangi bohlam 10 Watt, mereka tidur di sana."Arumi tidur di atas, bapak di bawah," ujar Rozi.Arumi mengangguk, dia berubah menjadi pendiam. Matanya sembab dan bengkak karena terus menangis.Malam itu, mereka beristirahat dari lelahnya kepedihan. Tapi, kutukan yang telanjur tersumpah, telah menemani mereka dalam setiap langkah.Rozi tidur dan lantai, beralaskan tikar yang tipis. Sedangkan Arumi di ranjang atas. Laki-laki itu tak dapat tidur, walau badannya letih. Pikirannya masih dipenuhi penyesalan yang begitu mendalam. Dia berbalik ke kiri dan kanan, hingga akhirnya dia lelah dan mulai memejamkan mata.Tik! Tik! Tik!Bunyi jam dinding. Ruangan remang-remang itu begitu sendu dan dingin, di sebelahnya ada toilet.Sebenarnya gudang itu tidak layak untuk tidur, tapi mereka hanya punya ruangan itu. Mau tidak mau dipakai.Tiba-tiba saja Rozi mendengar ada yang masuk ke kamar mandi. Dia masih terpejam, tapi telinganya awas. Mungkin itu keluarganya yang bangun kencing malam.Rozi berbalik, wajahnya menghadap ke bawah ranjang yang ditiduri oleh Arumi. Lalu, suara pintu toilet dibuka. Tapi Rozi bingung kenapa tidak ada suara langkah kaki?Krieeeeet!Mendadak, pintu kamar Rozi terdengar terbuka. Laki-laki itu membuka matanya. Dia mencoba berbalik, tapi tubuhnya kaku tidak dapat digerakkan.Perasaan laki-laki itu tidak enak. Dan seolah tak cukup hanya di situ saja, dari sudut matanya dia melihat seseorang masuk dan berjalan.Rozi berdebar-debar. Siapa dia? Lalu kenapa Rozi tidak bisa menggerakkan tubuhnya batang sejengkal?Langkah kaki itu berjalan hingga ke sebelah ranjang sana. Rozi melorot ketika kaki itu dipenuhi dengan arang yang menghitam. Lalu, tiba-tiba saja bau daging terbakar tercium cukup pekat.Kaki-kaki itu menjejak lantai, arang yang melekat di kedua tungkainya rontok ke bawah dan mengotori lantai.Rozi merinding, tubuhnya gemetar. Lalu tiba-tiba saja sesuatu jatuh dari atas, tergeletak tepat di sebelah kaki tersebut.Laki-laki itu mulai panik, ditambah lagi dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Mendadak, benda bulat itu menggelinding dengan cepat dan menghampiri Rozi. Betapa terkejutnya dia ketika benda itu tiba-tiba berhenti dan membelalakkan mata ke arah Rozi."Aaaaaaaaaaaarrgh!" Rozi tersentak kak terbangun.Arumi terkejut mendengar ayahnya berteriak."Ayah, ada apa?"Rozi memandang sekeliling. Pintu kamar mereka tertutup dan di bawah ranjang Arumi tidak ada apa-apa. Dia menghela napas lega."Udah tidur lagi, ndak ada apa-apa," katanya.Arumi kembali merebahkan dirinya. Sementara Rozi tercenung memikirkan apa yang sebenarnya dia lihat tadi.Laki-laki itu kembali berbaring dan tertidur. Tanpa dia ketahui kalau ada sepasang mata yang mengintipnya dari langit-langit kamar.***"Ini baju sumbangan dari warga untuk Arumi dan pak Rozi," ujar pak RT desa tempat tragedi kebakaran tersebut. "Ada juga sumbangan ala kadarnya dari warga," katanya lalu menyerahkan sebuah amplop.Rozi menerimanya dan bersyukur. "Terima kasih, Pak.""Eee, ngomong-ngomong mas Rozi, kayaknya rumah itu perlu kita bacakan doa," ujar pak RT dengan hati-hati."Kenapa memangnya pak?""Sebenarnya ...." Pak RT terlihat gusar, dia menundukkan bahunya dan beranjak lebih dekat pada Rozi. "Warga bilang ada suara tangisan dan bekas rumah yang terbakar itu," ujarnya."Suara tangisan?""Iya. Keluarga bapak kan meninggal dengan tragis, takut ada sesuatu yang belum selesai, urusannya misalnya. Almarhumah punya hutang yang belum selesai?" tanya pak RT."Setahu saya istri saya gak pernah berhutang pak, sudah saya tanya ke warung-warung terdekat dulu pas dia sakit.""Bukan utang uang, tapi utang kemarahan begitu?"Rozi terkejut. "Mana ada seperti itu pak, itu cuma mitos. Lagian istri saya orangnya baik, gak pernah mencari musuh sama orang."Pak RT terdiam. "Syukurlah kalau begitu, cuma kita takut aja sebab udah jadi isu di kampung kita dan yang denger gak cuma satu, tapi banyak. Kang bakso, tetangga, belum lagi orang-orang yang lewat," ujar pak RT."Saya gak tahu soal itu pak, tapi takutnya almarhumah istri saya difitnah aja. Ngomong-ngomong, yang punya rumah gak ada datang ke tempat pak RT?""Gak ada, tapi Mas Rozi siap-siap aja. Biar gimana pun itu rumah dia, takut dia minta pertanggung jawaban kan Mas gak bersalah juga."Rozi mengangguk-angguk."Kalau gitu, saya permisi," ujar Pak RT.Rozi bersalaman dengan Pak RT. Lalu lelaki itu pun pergi. Dia meremas amplop yang dia pegang.'Suara menangis?' gumamnya dalam hati."Ozi? Udah pulang Pak RT-nya?" tanya Bu Hayati."Udah," ujar Rozi.Bu Hayati melihat amplop di tangan Rozi."Ibu boleh minta uang ndak?"Rozi melirik amplop itu, tidak enak rasanya udah menumpang gak ngasi uang pula. Akhirnya dia menyerahkan semuanya ke sang ibu."Ambil aja, Bu. Buat biaya makan Rozi dan Arumi.""Makasih," ujar Bu Hayati lalu dia pun pergi.Rozi membawa kantong baju bekas sumbangan warga ke kamarnya. Dia melihat Arumi di sana, sedang berdiri memandang ke luar jendela."Nak?"Arumi menoleh. Rozi meletakkan kantong itu di kasur dan membongkarnya. Dia menunjukkan beberapa baju yang cocok untuk Arumi."Liat ini, Nak. Kayaknya cocok dengan Arumi," ujar Rozi seraya mengangkat satu baju.Arumi menghela napas. Dia tak bersemangat sama sekali. Anak itu kembali memandang ke luar."Ayah, sebenarnya ayah tahu gak, tadi malam ....." Arumi menghentikan omongannya lalu dia memandang ayahnya dengan lekat. "Tadi malam ibu datang ke sini," katanya seraya menatap ayahnya dengan tajam.Rozi merinding. Saat itu dia seperti melihat raut wajah Kamelia di diri Arumi."Husst, jangan bicara kek gitu, Nak," ujar Rozi."Tapi emang iya, ibu semalam ke sini. Dia bilang ...""Cukup! Ayah ndak suka Arumi ngomong yang aneh-aneh. Itu bukan ibu, bukan apa-apa, ndak ada apa-apa," ujar lelaki itu.Dia tampak gelisah karena Arumi berkata seperti itu. Sementara Arumi menunduk karena dia merasa ayahnya tidak suka dan tidak mau membicarakan ibunya. Arumi sedih, bahkan untuk mengingat kenangan bersama ibunya saja dia tidak diperbolehkan. Anak itu berpikir, kenapa ayahnya seperti itu?Arumi menghela napas lalu membantu memilih baju sumbangan tersebut dan menyisihkan yang bisa dia pakai. Gadis itu murung. Kehilangan ibu bagaikan kehilangan segala-galanya bagi Arumi. Kenapa ibunya harus pergi, kenapa tidak ayahnya?Gadis itu sudah tahu, sejak ibunya sakit, ayahnya sering marah-marah pada mereka. Kadang Arumi yang jadi sasaran. Pulang sekolah, dia langsung disuruh mengasuh sampai dia kelelahan. Arumi menangis di sisi ibunya yang tak berdaya dan hanya ditanggapi dengan
Laki-laki itu memilih pergi dari sana karena takut. Dia menghidupkan motor bututnya dan langsung kabur. Sementara itu, sepasang mata menatapnya dari dalam air, mata yang dipenuhi oleh kemarahan dan gumpalan dendam.Rozi sampai di rumah dalam keadaan basah kuyup. Ibunya langsung menghambur ke arah laki-laki itu. Bu Hayati tampak panik."Ke mana aja, lama betul!" ujar Bu Hayati."Maaf Buk, mancing gak dapat hasil," ujar Rozi."Udahlah, peduli amat soal mancing. Tadi, Pak RT tempat kamu ngontrak datang terus bawakan ini nih!"Bu Hayati memperlihatkan sebuah kertas ke arah anak lelakinya. Kertas itu berbunyi: Surat perjanjian, dengan ini saya (kolom nama dikosongkan) bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi kemarin di rumah yang saya kontrak atas nama pemilik Bapak Haji Saleh. Saya akan mengganti segala kerugian yang telah terjadi. Jika saya melanggar, maka saya bersedia dihukum dengan hukum yang berlaku."Apa ini, Buk?" Mata Rozi membulat saat melihat isi surat tersebut."Ya ampun,
Rozi tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia merasa terpasung dan dibawa ke tempat gelap. Dia tak sadarkan diri.Tak lama kemudian, pria itu membuka mata, alangkah terkejutnya dia saat Rozi ternyata terbangun di tempat yang aneh, gelap, sesak, lagi menghimpitnya dengan keras."T-toloooooong!" Rozi berteriak. "Toloooooooooooooong!"Rozi menangis, dia menangis dengan sangat keras. Pria yang egois itu tak dapat menahan air matanya. Dia seperti dipasung, tubuhnya kaku seperti terikat."Tolong!"Rozi terkejut, dia diam dan mendengarkan. Apakah itu suara orang meminta tolong?"Tolooong! Toloooooong! Hahahaha!" Suara itu diakhiri dengan tawa mengejek yang mengerikan."Tolong? Kau minta tolong?"Tiba-tiba saja sebuah wajah muncul di hadapan Rozi, wajah istrinya, Kamelia. Perempuan itu menyeringai, wajahnya penuh darah, dari mata, hidung, dan mulutnya keluar darah segar yang berbau anyir."Ka-Kamelia?""Jangan sebut nama itu! Kamelia sudah mati!" katanya."Tidak, Kamelia. Ini ... di mana? Lepask
Kamelia meraung-raung kesakitan, perutnya seperti akan meledak. Rozi dan Hayati bingung, kenapa perempuan itu jadi menggila. Darah yang keluar dari rahimnya semakin banyak."Bu, gimana ini?" tanya Rozi.Hayati menyembunyikan botol yang dia bawa ke dalam tasnya dan dia menghindar. "Mana ibu tahu, panggil dokter!" katanya.Rozi segera pergi keluar, tapi belum pun memanggil dokter, seorang suster melihat tanda gawat pada Kamelia. Dia segera berlari ke bed perempuan itu."Kenapa ini?" ujar suster itu pada Rozi dan Hayati."Gak tahu, tiba-tiba aja," ujar Hayati."Kalau pasien sedang gawat, cepat hubungi kami ya pak!" ujar perawat itu dengan suara penuh tekanan. Lalu perawat itu menghubungi rekan mereka dan tiba-tiba saja semua yang ada di sana sibuk sekali. "Pak, tolong urus administrasi, pasien ada kartu jaminan sosial kan?" tanya sang dokter.Rozi mengangguk. "I-iya," katanya."Sialan. Diurus ya, Pak. Pasien akan segera dioperasi," ujar dokter itu.Mereka langsung membawa Kamelia ke r
Keesokan harinya.Rozi terbangun ketika azan subuh terdengar. Dia teringat akan janjinya pada sang istri tadi malam, bahwa dia akan sholat.Pria itu terbangun, lalu dia menyeret langkah menuju kamar mandi dan berwudhu. Setelah itu, Rozi pun melaksanakan sholat subuh dua rakaat.Pertama-tama, dia hanya tercenung di atas sajadah. Takbiratul ihram diangkat, tapi dia bingung ingin membaca apa. Laki-laki itu tidak tahu apa pun. Akhirnya, dia membaca Al Fatihah saja. Begitu juga dengan ruku dan sujud, tidak ada bacaan apa pun yang mengalun dari bibirnya, sebab dia memang tidak tahu. Karena itu, sholat dua rakaat pun selesai dengan singkat. Sepanjang sholat, semua bacaan Rozi tidak sempurna.Rozi mengangkat tangannya dan berdoa kepada Ilahi Rabbi. "Allah, sampaikan permintaan maaf pada istriku dan berkatilah hidupku." Begitu doa yang Rozi panjatkan setelah dia sholat.Tiba-tiba saja, ketika Rozi selesai berdoa, Hayati masuk ke kamar putranya tersebut. Rozi menatap ibunya."Ada apa, Bu?" tany
Rumah kontrakan tempat Kamelia yang meninggal itu menjadi angker. Setiap malam, terdengar teriakan yang menyayat hati dari sana. Warga menjadi ketar-ketir dan resah. Pasalnya, jangankan untuk masuk dan mengecek, mereka memilih meringkuk di balik selimut dan ketakutan."Halah, mana ada. Itu semua cuma mainan jin," ujar Maliki, salah satu pemuda kompleks tersebut. Dia sedang nongkrong di pos depan bersama teman-temannya. Maliki ini agak besar omong. Dia mengecilkan semua pendapat dan berkata pendapatnya yang paling benar. Begitu juga saat ini, di hadapan warga yang sedang ronda, dia mulai jumawa."Itu semua permainan jin, jangan takut. Kita sebagai warga kudu merukyah rumah itu. Liat aja, gimana gak jadi sarang jin, kondisi rumah yang tinggal puing gak dihancurkan. Harusnya rumah yang kebakar segera dihancurkan biar lapang aja," sambung Maliki."Masalahnya pemilik rumah tuh masih belum setuju. Pak RT harus tegas nih, Pak RT. Kalau tidak, bisa mencekam terus kompleks kita. Tadi aja ada
"Maliki! Bangun! Maliki!"Pemuda itu membuka mata. Dia melihat sekeliling, ibunya tampak cemas. Lalu, dia bangun dan menyadari dirinya ada di lantai depan."Ibu?""Kamu ngapain tidur di sini! Bangun!"Maliki melihat cuaca, langit masih kelam. Lalu dia bertanya pada ibunya ini jam berapa."Jam berapa ini, Bu?""Udah jam 4 subuh! Ngapain kamu tidur di sini, Maliki! Ayo bangun!"Wati mengangkat tubuh anaknya lalu membawa Maliki masuk. Pemuda itu masih bingung. Tapi dia ingat betul apa yang terjadi padanya semalam. Sosok Kamelia mencekiknya hingga dia hampir mati. Spontan, Maliki meraba lehernya. Apa semua itu hanya mimpi? Maliki berpikir keras.Wanita menyadari tingkah anak itu, lalu dia melihat anaknya mengusap-usap lehernya sendiri. Wati menyadari sesuatu."Tunggu! Leher kamu kenapa?"Wati menyingkirkan tangan Maliki dan membuat anaknya mendongak. Benar saja, leher anaknya membiru, tercetak jelas buku lima jari di sana."Kamu dicekik seseorang, Nak?" gumam Wati."Eh, ndak ... ndak kok
Rozi membuka tudung saji di meja, tidak ada apa pun. Dia menghela napas. Lalu pemuda itu mencari sesuatu di dalam kulkas. Ada telur. Dia langsung mengambil telur itu dan menggorengnya. Sembari menunggu minyak panas, Rozi melamun. Dulu, walau pun dia gak kerja, makanan selalu ada di meja. Tiap dia pulang memancing, walau tidak dapat ikan, tapi hampir setiap hari selalu ada ikan di meja makan, lengkap dengan sambal dan lalap. Sekarang ... kesepian itu benar-benar terasa. Barulah Rozi paham lirik lagu dangdut lawas yang bunyinya seperti ini, "Kalau sudah, tiada, baru terasa. Bahwa kehadirannya, sungguh bermakna."Dia menyesap air mata yang menggenang, menghapusnya sebelum dia mengalir. Minyak telah berasap, Rozi langsung memecahkan telur dan menggorengnya. Setelah selesai, dia mengambil nasi lalu makan dengan telur goreng beserta nasi yang diberi minyak dan garam. Pria itu makan lahap sekali. Sebenarnya dia malu numpang hidup dengan ibunya, tapi mau bagaimana lagi. Saat tengah makan, b