Share

Bab 6

Penulis: Ainun Bell
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-04 01:58:42

Laki-laki itu memilih pergi dari sana karena takut. Dia menghidupkan motor bututnya dan langsung kabur. Sementara itu, sepasang mata menatapnya dari dalam air, mata yang dipenuhi oleh kemarahan dan gumpalan dendam.

Rozi sampai di rumah dalam keadaan basah kuyup. Ibunya langsung menghambur ke arah laki-laki itu. Bu Hayati tampak panik.

"Ke mana aja, lama betul!" ujar Bu Hayati.

"Maaf Buk, mancing gak dapat hasil," ujar Rozi.

"Udahlah, peduli amat soal mancing. Tadi, Pak RT tempat kamu ngontrak datang terus bawakan ini nih!"

Bu Hayati memperlihatkan sebuah kertas ke arah anak lelakinya. Kertas itu berbunyi: Surat perjanjian, dengan ini saya (kolom nama dikosongkan) bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi kemarin di rumah yang saya kontrak atas nama pemilik Bapak Haji Saleh. Saya akan mengganti segala kerugian yang telah terjadi. Jika saya melanggar, maka saya bersedia dihukum dengan hukum yang berlaku.

"Apa ini, Buk?" Mata Rozi membulat saat melihat isi surat tersebut.

"Ya ampun,
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Dendam Qarin Ibu   Bab 7

    Rozi tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia merasa terpasung dan dibawa ke tempat gelap. Dia tak sadarkan diri.Tak lama kemudian, pria itu membuka mata, alangkah terkejutnya dia saat Rozi ternyata terbangun di tempat yang aneh, gelap, sesak, lagi menghimpitnya dengan keras."T-toloooooong!" Rozi berteriak. "Toloooooooooooooong!"Rozi menangis, dia menangis dengan sangat keras. Pria yang egois itu tak dapat menahan air matanya. Dia seperti dipasung, tubuhnya kaku seperti terikat."Tolong!"Rozi terkejut, dia diam dan mendengarkan. Apakah itu suara orang meminta tolong?"Tolooong! Toloooooong! Hahahaha!" Suara itu diakhiri dengan tawa mengejek yang mengerikan."Tolong? Kau minta tolong?"Tiba-tiba saja sebuah wajah muncul di hadapan Rozi, wajah istrinya, Kamelia. Perempuan itu menyeringai, wajahnya penuh darah, dari mata, hidung, dan mulutnya keluar darah segar yang berbau anyir."Ka-Kamelia?""Jangan sebut nama itu! Kamelia sudah mati!" katanya."Tidak, Kamelia. Ini ... di mana? Lepask

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-09
  • Dendam Qarin Ibu   Bab 8

    Kamelia meraung-raung kesakitan, perutnya seperti akan meledak. Rozi dan Hayati bingung, kenapa perempuan itu jadi menggila. Darah yang keluar dari rahimnya semakin banyak."Bu, gimana ini?" tanya Rozi.Hayati menyembunyikan botol yang dia bawa ke dalam tasnya dan dia menghindar. "Mana ibu tahu, panggil dokter!" katanya.Rozi segera pergi keluar, tapi belum pun memanggil dokter, seorang suster melihat tanda gawat pada Kamelia. Dia segera berlari ke bed perempuan itu."Kenapa ini?" ujar suster itu pada Rozi dan Hayati."Gak tahu, tiba-tiba aja," ujar Hayati."Kalau pasien sedang gawat, cepat hubungi kami ya pak!" ujar perawat itu dengan suara penuh tekanan. Lalu perawat itu menghubungi rekan mereka dan tiba-tiba saja semua yang ada di sana sibuk sekali. "Pak, tolong urus administrasi, pasien ada kartu jaminan sosial kan?" tanya sang dokter.Rozi mengangguk. "I-iya," katanya."Sialan. Diurus ya, Pak. Pasien akan segera dioperasi," ujar dokter itu.Mereka langsung membawa Kamelia ke r

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-12
  • Dendam Qarin Ibu   Bab 9

    Keesokan harinya.Rozi terbangun ketika azan subuh terdengar. Dia teringat akan janjinya pada sang istri tadi malam, bahwa dia akan sholat.Pria itu terbangun, lalu dia menyeret langkah menuju kamar mandi dan berwudhu. Setelah itu, Rozi pun melaksanakan sholat subuh dua rakaat.Pertama-tama, dia hanya tercenung di atas sajadah. Takbiratul ihram diangkat, tapi dia bingung ingin membaca apa. Laki-laki itu tidak tahu apa pun. Akhirnya, dia membaca Al Fatihah saja. Begitu juga dengan ruku dan sujud, tidak ada bacaan apa pun yang mengalun dari bibirnya, sebab dia memang tidak tahu. Karena itu, sholat dua rakaat pun selesai dengan singkat. Sepanjang sholat, semua bacaan Rozi tidak sempurna.Rozi mengangkat tangannya dan berdoa kepada Ilahi Rabbi. "Allah, sampaikan permintaan maaf pada istriku dan berkatilah hidupku." Begitu doa yang Rozi panjatkan setelah dia sholat.Tiba-tiba saja, ketika Rozi selesai berdoa, Hayati masuk ke kamar putranya tersebut. Rozi menatap ibunya."Ada apa, Bu?" tany

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-18
  • Dendam Qarin Ibu   Bab 10

    Rumah kontrakan tempat Kamelia yang meninggal itu menjadi angker. Setiap malam, terdengar teriakan yang menyayat hati dari sana. Warga menjadi ketar-ketir dan resah. Pasalnya, jangankan untuk masuk dan mengecek, mereka memilih meringkuk di balik selimut dan ketakutan."Halah, mana ada. Itu semua cuma mainan jin," ujar Maliki, salah satu pemuda kompleks tersebut. Dia sedang nongkrong di pos depan bersama teman-temannya. Maliki ini agak besar omong. Dia mengecilkan semua pendapat dan berkata pendapatnya yang paling benar. Begitu juga saat ini, di hadapan warga yang sedang ronda, dia mulai jumawa."Itu semua permainan jin, jangan takut. Kita sebagai warga kudu merukyah rumah itu. Liat aja, gimana gak jadi sarang jin, kondisi rumah yang tinggal puing gak dihancurkan. Harusnya rumah yang kebakar segera dihancurkan biar lapang aja," sambung Maliki."Masalahnya pemilik rumah tuh masih belum setuju. Pak RT harus tegas nih, Pak RT. Kalau tidak, bisa mencekam terus kompleks kita. Tadi aja ada

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-19
  • Dendam Qarin Ibu   Bab 11

    "Maliki! Bangun! Maliki!"Pemuda itu membuka mata. Dia melihat sekeliling, ibunya tampak cemas. Lalu, dia bangun dan menyadari dirinya ada di lantai depan."Ibu?""Kamu ngapain tidur di sini! Bangun!"Maliki melihat cuaca, langit masih kelam. Lalu dia bertanya pada ibunya ini jam berapa."Jam berapa ini, Bu?""Udah jam 4 subuh! Ngapain kamu tidur di sini, Maliki! Ayo bangun!"Wati mengangkat tubuh anaknya lalu membawa Maliki masuk. Pemuda itu masih bingung. Tapi dia ingat betul apa yang terjadi padanya semalam. Sosok Kamelia mencekiknya hingga dia hampir mati. Spontan, Maliki meraba lehernya. Apa semua itu hanya mimpi? Maliki berpikir keras.Wanita menyadari tingkah anak itu, lalu dia melihat anaknya mengusap-usap lehernya sendiri. Wati menyadari sesuatu."Tunggu! Leher kamu kenapa?"Wati menyingkirkan tangan Maliki dan membuat anaknya mendongak. Benar saja, leher anaknya membiru, tercetak jelas buku lima jari di sana."Kamu dicekik seseorang, Nak?" gumam Wati."Eh, ndak ... ndak kok

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-26
  • Dendam Qarin Ibu   Bab 12

    Rozi membuka tudung saji di meja, tidak ada apa pun. Dia menghela napas. Lalu pemuda itu mencari sesuatu di dalam kulkas. Ada telur. Dia langsung mengambil telur itu dan menggorengnya. Sembari menunggu minyak panas, Rozi melamun. Dulu, walau pun dia gak kerja, makanan selalu ada di meja. Tiap dia pulang memancing, walau tidak dapat ikan, tapi hampir setiap hari selalu ada ikan di meja makan, lengkap dengan sambal dan lalap. Sekarang ... kesepian itu benar-benar terasa. Barulah Rozi paham lirik lagu dangdut lawas yang bunyinya seperti ini, "Kalau sudah, tiada, baru terasa. Bahwa kehadirannya, sungguh bermakna."Dia menyesap air mata yang menggenang, menghapusnya sebelum dia mengalir. Minyak telah berasap, Rozi langsung memecahkan telur dan menggorengnya. Setelah selesai, dia mengambil nasi lalu makan dengan telur goreng beserta nasi yang diberi minyak dan garam. Pria itu makan lahap sekali. Sebenarnya dia malu numpang hidup dengan ibunya, tapi mau bagaimana lagi. Saat tengah makan, b

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-29
  • Dendam Qarin Ibu   Bab 13

    "Tolooong! Tolooong!" Suara teriakan Bu Hayati memecah suasana siang itu. Orang-orang berdatangan ke rumahnya. Mereka Mendapati Hayati menangis sembari meminta tolong pada warga."Kenapa, bulek?" tanya mereka.Hayati menangis-nangis sembari menunjuk ke dalam. "Pak Abdi ... dia ... dia mati!" ujarnya.Orang-orang terkejut. Mereka langsung masuk ke dalam rumah tersebut. Pemuda itu masuk ke dalam kamar belakang yang dihuni oleh Rozi dan Arumi. Mereka terkejut ketika melihat suami Bu Hayati itu tergeletak di lantai dengan mata melotot dan lidah menjulur serta kemaluan yang terkoyak."Astaghfirullah! Kenapa jadi gini?" gumam pemuda itu."Panggil, panggil polisi!" ujar mereka.Akhirnya, perangkat desa memanggil polisi karena warga tidak ada yang mau mendekat melihat kondisi jenazah yang mengerikan. Takutnya kena masalah nanti kan gawat.Polisi tiba di tempat kejadian perkara beberapa menit kemudian, mereka langsung membawa jasad Pak Abdi ke rumah sakit kepolisian untuk diotopsi. Sementara

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-18
  • Dendam Qarin Ibu   Bab 1

    "Seorang ibu tewas terbakar bersama ketiga anaknya di rumah mereka. Diduga, api berasal dari kompor yang dinyalakan sang anak dan menyambar kain lap yang ada di dekat kompor tersebut. Suami korban saat itu sedang bepergian setelah menjemput anak pertamanya dan menitipkan sang anak ke rumah neneknya. Saat ini, polisi masih mengusut tuntas kasus tersebut."***"Ibuuuu! Ibuuuu! Kenapa Ibu dan adik-adik pergiiii ...!" Seorang anak berusia 13 tahun menangis dan meraung-raung ketika jenazah ibu dan ketiga adiknya diantar oleh ambulans ke rumah sang nenek. Kamelia meninggal dalam kebakaran yang melanda rumah mereka dua hari lalu. Bersama Kamelia, tiga anaknya juga ikut menjadi korban. Mereka adalah Fahri 4 tahun, Delisa 2 tahun, dan Rani yang baru berumur satu bulan. Anak pertama mereka, Arumi, selamat karena saat kejadian, si sulung sedang berada di rumah neneknya. Sementara itu, Rozi, ayahnya Arumi, juga turut sedih dan menangis di sisi putrinya. Dia merasa menyesal, sangat-sangat menyes

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-01

Bab terbaru

  • Dendam Qarin Ibu   Bab 13

    "Tolooong! Tolooong!" Suara teriakan Bu Hayati memecah suasana siang itu. Orang-orang berdatangan ke rumahnya. Mereka Mendapati Hayati menangis sembari meminta tolong pada warga."Kenapa, bulek?" tanya mereka.Hayati menangis-nangis sembari menunjuk ke dalam. "Pak Abdi ... dia ... dia mati!" ujarnya.Orang-orang terkejut. Mereka langsung masuk ke dalam rumah tersebut. Pemuda itu masuk ke dalam kamar belakang yang dihuni oleh Rozi dan Arumi. Mereka terkejut ketika melihat suami Bu Hayati itu tergeletak di lantai dengan mata melotot dan lidah menjulur serta kemaluan yang terkoyak."Astaghfirullah! Kenapa jadi gini?" gumam pemuda itu."Panggil, panggil polisi!" ujar mereka.Akhirnya, perangkat desa memanggil polisi karena warga tidak ada yang mau mendekat melihat kondisi jenazah yang mengerikan. Takutnya kena masalah nanti kan gawat.Polisi tiba di tempat kejadian perkara beberapa menit kemudian, mereka langsung membawa jasad Pak Abdi ke rumah sakit kepolisian untuk diotopsi. Sementara

  • Dendam Qarin Ibu   Bab 12

    Rozi membuka tudung saji di meja, tidak ada apa pun. Dia menghela napas. Lalu pemuda itu mencari sesuatu di dalam kulkas. Ada telur. Dia langsung mengambil telur itu dan menggorengnya. Sembari menunggu minyak panas, Rozi melamun. Dulu, walau pun dia gak kerja, makanan selalu ada di meja. Tiap dia pulang memancing, walau tidak dapat ikan, tapi hampir setiap hari selalu ada ikan di meja makan, lengkap dengan sambal dan lalap. Sekarang ... kesepian itu benar-benar terasa. Barulah Rozi paham lirik lagu dangdut lawas yang bunyinya seperti ini, "Kalau sudah, tiada, baru terasa. Bahwa kehadirannya, sungguh bermakna."Dia menyesap air mata yang menggenang, menghapusnya sebelum dia mengalir. Minyak telah berasap, Rozi langsung memecahkan telur dan menggorengnya. Setelah selesai, dia mengambil nasi lalu makan dengan telur goreng beserta nasi yang diberi minyak dan garam. Pria itu makan lahap sekali. Sebenarnya dia malu numpang hidup dengan ibunya, tapi mau bagaimana lagi. Saat tengah makan, b

  • Dendam Qarin Ibu   Bab 11

    "Maliki! Bangun! Maliki!"Pemuda itu membuka mata. Dia melihat sekeliling, ibunya tampak cemas. Lalu, dia bangun dan menyadari dirinya ada di lantai depan."Ibu?""Kamu ngapain tidur di sini! Bangun!"Maliki melihat cuaca, langit masih kelam. Lalu dia bertanya pada ibunya ini jam berapa."Jam berapa ini, Bu?""Udah jam 4 subuh! Ngapain kamu tidur di sini, Maliki! Ayo bangun!"Wati mengangkat tubuh anaknya lalu membawa Maliki masuk. Pemuda itu masih bingung. Tapi dia ingat betul apa yang terjadi padanya semalam. Sosok Kamelia mencekiknya hingga dia hampir mati. Spontan, Maliki meraba lehernya. Apa semua itu hanya mimpi? Maliki berpikir keras.Wanita menyadari tingkah anak itu, lalu dia melihat anaknya mengusap-usap lehernya sendiri. Wati menyadari sesuatu."Tunggu! Leher kamu kenapa?"Wati menyingkirkan tangan Maliki dan membuat anaknya mendongak. Benar saja, leher anaknya membiru, tercetak jelas buku lima jari di sana."Kamu dicekik seseorang, Nak?" gumam Wati."Eh, ndak ... ndak kok

  • Dendam Qarin Ibu   Bab 10

    Rumah kontrakan tempat Kamelia yang meninggal itu menjadi angker. Setiap malam, terdengar teriakan yang menyayat hati dari sana. Warga menjadi ketar-ketir dan resah. Pasalnya, jangankan untuk masuk dan mengecek, mereka memilih meringkuk di balik selimut dan ketakutan."Halah, mana ada. Itu semua cuma mainan jin," ujar Maliki, salah satu pemuda kompleks tersebut. Dia sedang nongkrong di pos depan bersama teman-temannya. Maliki ini agak besar omong. Dia mengecilkan semua pendapat dan berkata pendapatnya yang paling benar. Begitu juga saat ini, di hadapan warga yang sedang ronda, dia mulai jumawa."Itu semua permainan jin, jangan takut. Kita sebagai warga kudu merukyah rumah itu. Liat aja, gimana gak jadi sarang jin, kondisi rumah yang tinggal puing gak dihancurkan. Harusnya rumah yang kebakar segera dihancurkan biar lapang aja," sambung Maliki."Masalahnya pemilik rumah tuh masih belum setuju. Pak RT harus tegas nih, Pak RT. Kalau tidak, bisa mencekam terus kompleks kita. Tadi aja ada

  • Dendam Qarin Ibu   Bab 9

    Keesokan harinya.Rozi terbangun ketika azan subuh terdengar. Dia teringat akan janjinya pada sang istri tadi malam, bahwa dia akan sholat.Pria itu terbangun, lalu dia menyeret langkah menuju kamar mandi dan berwudhu. Setelah itu, Rozi pun melaksanakan sholat subuh dua rakaat.Pertama-tama, dia hanya tercenung di atas sajadah. Takbiratul ihram diangkat, tapi dia bingung ingin membaca apa. Laki-laki itu tidak tahu apa pun. Akhirnya, dia membaca Al Fatihah saja. Begitu juga dengan ruku dan sujud, tidak ada bacaan apa pun yang mengalun dari bibirnya, sebab dia memang tidak tahu. Karena itu, sholat dua rakaat pun selesai dengan singkat. Sepanjang sholat, semua bacaan Rozi tidak sempurna.Rozi mengangkat tangannya dan berdoa kepada Ilahi Rabbi. "Allah, sampaikan permintaan maaf pada istriku dan berkatilah hidupku." Begitu doa yang Rozi panjatkan setelah dia sholat.Tiba-tiba saja, ketika Rozi selesai berdoa, Hayati masuk ke kamar putranya tersebut. Rozi menatap ibunya."Ada apa, Bu?" tany

  • Dendam Qarin Ibu   Bab 8

    Kamelia meraung-raung kesakitan, perutnya seperti akan meledak. Rozi dan Hayati bingung, kenapa perempuan itu jadi menggila. Darah yang keluar dari rahimnya semakin banyak."Bu, gimana ini?" tanya Rozi.Hayati menyembunyikan botol yang dia bawa ke dalam tasnya dan dia menghindar. "Mana ibu tahu, panggil dokter!" katanya.Rozi segera pergi keluar, tapi belum pun memanggil dokter, seorang suster melihat tanda gawat pada Kamelia. Dia segera berlari ke bed perempuan itu."Kenapa ini?" ujar suster itu pada Rozi dan Hayati."Gak tahu, tiba-tiba aja," ujar Hayati."Kalau pasien sedang gawat, cepat hubungi kami ya pak!" ujar perawat itu dengan suara penuh tekanan. Lalu perawat itu menghubungi rekan mereka dan tiba-tiba saja semua yang ada di sana sibuk sekali. "Pak, tolong urus administrasi, pasien ada kartu jaminan sosial kan?" tanya sang dokter.Rozi mengangguk. "I-iya," katanya."Sialan. Diurus ya, Pak. Pasien akan segera dioperasi," ujar dokter itu.Mereka langsung membawa Kamelia ke r

  • Dendam Qarin Ibu   Bab 7

    Rozi tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia merasa terpasung dan dibawa ke tempat gelap. Dia tak sadarkan diri.Tak lama kemudian, pria itu membuka mata, alangkah terkejutnya dia saat Rozi ternyata terbangun di tempat yang aneh, gelap, sesak, lagi menghimpitnya dengan keras."T-toloooooong!" Rozi berteriak. "Toloooooooooooooong!"Rozi menangis, dia menangis dengan sangat keras. Pria yang egois itu tak dapat menahan air matanya. Dia seperti dipasung, tubuhnya kaku seperti terikat."Tolong!"Rozi terkejut, dia diam dan mendengarkan. Apakah itu suara orang meminta tolong?"Tolooong! Toloooooong! Hahahaha!" Suara itu diakhiri dengan tawa mengejek yang mengerikan."Tolong? Kau minta tolong?"Tiba-tiba saja sebuah wajah muncul di hadapan Rozi, wajah istrinya, Kamelia. Perempuan itu menyeringai, wajahnya penuh darah, dari mata, hidung, dan mulutnya keluar darah segar yang berbau anyir."Ka-Kamelia?""Jangan sebut nama itu! Kamelia sudah mati!" katanya."Tidak, Kamelia. Ini ... di mana? Lepask

  • Dendam Qarin Ibu   Bab 6

    Laki-laki itu memilih pergi dari sana karena takut. Dia menghidupkan motor bututnya dan langsung kabur. Sementara itu, sepasang mata menatapnya dari dalam air, mata yang dipenuhi oleh kemarahan dan gumpalan dendam.Rozi sampai di rumah dalam keadaan basah kuyup. Ibunya langsung menghambur ke arah laki-laki itu. Bu Hayati tampak panik."Ke mana aja, lama betul!" ujar Bu Hayati."Maaf Buk, mancing gak dapat hasil," ujar Rozi."Udahlah, peduli amat soal mancing. Tadi, Pak RT tempat kamu ngontrak datang terus bawakan ini nih!"Bu Hayati memperlihatkan sebuah kertas ke arah anak lelakinya. Kertas itu berbunyi: Surat perjanjian, dengan ini saya (kolom nama dikosongkan) bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi kemarin di rumah yang saya kontrak atas nama pemilik Bapak Haji Saleh. Saya akan mengganti segala kerugian yang telah terjadi. Jika saya melanggar, maka saya bersedia dihukum dengan hukum yang berlaku."Apa ini, Buk?" Mata Rozi membulat saat melihat isi surat tersebut."Ya ampun,

  • Dendam Qarin Ibu   Bab 5

    "Husst, jangan bicara kek gitu, Nak," ujar Rozi."Tapi emang iya, ibu semalam ke sini. Dia bilang ...""Cukup! Ayah ndak suka Arumi ngomong yang aneh-aneh. Itu bukan ibu, bukan apa-apa, ndak ada apa-apa," ujar lelaki itu.Dia tampak gelisah karena Arumi berkata seperti itu. Sementara Arumi menunduk karena dia merasa ayahnya tidak suka dan tidak mau membicarakan ibunya. Arumi sedih, bahkan untuk mengingat kenangan bersama ibunya saja dia tidak diperbolehkan. Anak itu berpikir, kenapa ayahnya seperti itu?Arumi menghela napas lalu membantu memilih baju sumbangan tersebut dan menyisihkan yang bisa dia pakai. Gadis itu murung. Kehilangan ibu bagaikan kehilangan segala-galanya bagi Arumi. Kenapa ibunya harus pergi, kenapa tidak ayahnya?Gadis itu sudah tahu, sejak ibunya sakit, ayahnya sering marah-marah pada mereka. Kadang Arumi yang jadi sasaran. Pulang sekolah, dia langsung disuruh mengasuh sampai dia kelelahan. Arumi menangis di sisi ibunya yang tak berdaya dan hanya ditanggapi dengan

DMCA.com Protection Status