"Seorang ibu tewas terbakar bersama ketiga anaknya di rumah mereka. Diduga, api berasal dari kompor yang dinyalakan sang anak dan menyambar kain lap yang ada di dekat kompor tersebut. Suami korban saat itu sedang bepergian setelah menjemput anak pertamanya dan menitipkan sang anak ke rumah neneknya. Saat ini, polisi masih mengusut tuntas kasus tersebut."***"Ibuuuu! Ibuuuu! Kenapa Ibu dan adik-adik pergiiii ...!" Seorang anak berusia 13 tahun menangis dan meraung-raung ketika jenazah ibu dan ketiga adiknya diantar oleh ambulans ke rumah sang nenek. Kamelia meninggal dalam kebakaran yang melanda rumah mereka dua hari lalu. Bersama Kamelia, tiga anaknya juga ikut menjadi korban. Mereka adalah Fahri 4 tahun, Delisa 2 tahun, dan Rani yang baru berumur satu bulan. Anak pertama mereka, Arumi, selamat karena saat kejadian, si sulung sedang berada di rumah neneknya. Sementara itu, Rozi, ayahnya Arumi, juga turut sedih dan menangis di sisi putrinya. Dia merasa menyesal, sangat-sangat menyes
Lima menit setelah Rozi pergi, Rani kembali menangis. Bayi kecil itu sepertinya sangat kehausan. Kamelia menatap tak berdaya ke arah sang bayi. Bisa-bisanya Rozi pergi padahal mereka tidak bisa melakukan apa pun?Sementara Fahri dan Delisa menghambur-hamburkan nasi di ruang depan.Kamelia menangis kembali. Dia ingin menggerakkan tangannya dan merangkul serta menyusui bayinya sendiri. Akan tetapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa.Seharusnya, laki-laki itu tidak pergi. Bagaimana bisa dia pergi saat anak-anak mereka begitu membutuhkannya? Rani menangis keras hingga hampir satu jam lamanya. Kemudian akhirnya bayi itu hanya terisak-isak karena sudah kelelahan menangis kencang dan akhirnya diam.Suasana di rumah itu kembali hening, hanya siaran kartun di televisi di ruang tamu yang berbunyi. Keheningan itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba saja Delisa masuk sembari menunjuk bokongnya."Mak, eek!" katanya seraya menunjuk-nunjuk ke arah bokongnya.Lagi-lagi, ketidakberdayaan membuat Kame
Sebuah ledakan terdengar dari dapur. Kompor yang dinyalakan Fahri, terus menerus nenerima panas hingga membuat rumah mereka berasap. Kuali yang bertengger di atasnya meletup hingga terpelanting dan membentur keramik. Belum lagi asap pekat beracun yang terbentuk karena lap terbakar. Api sedang mencari jalan untuk menguasai rumah ini.Fahri berlari ke kamar sembari berteriak."Ibuuuuuu!" Dia menghambur ke arah ibunya dan memeluk Kamelia karena ketakutan.Lagi-lagi, hanya air mata yang mampu Kamelia berikan. Jika dulu anaknya melakukan suatu kesalahan, Kamelia akan memeluk mereka dan mengatakan tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja. Namun sekarang, jangankan satu pelukan, satu kata untuk menenangkan anaknya saja tak sanggup dia tuturkan.Fahri terus menangis di sisi ibunya, ketakutan. Hingga beberapa menit berlalu, anak itu pun tertidur akibat menahan lapar yang berat. Begitu pula dengan Delisa, dia juga ketiduran tanpa pakaian dan dengan bau kotoran yang melekat di tubuhnya.Menit be
Rumah kontrakan mereka telah terbakar berikut isinya, tak ada yang bisa diselamatkan sama sekali. Akhirnya, Rozi membawa anak sulungnya ke rumah orang tuanya.Pak Abdi dan Hayati, kedua orang tua Rozi, menerima anak dan cucu mereka dengan perasaan sedih dan pedih.Arumi menangis memeluk ayahnya. Kini, kehidupan mereka seolah dibalikkan ke bawah dalam semalam. Semua sangat terpukul, terlebih Arumi. Dia kehilangan ibunya, pelipur lara dalam hidupnya, penerang cahaya hatinya."Sabar ya, Cu! Sabar," ujar Pak Abdi seraya mencoba memeluk Arumi.Arumi menghindar, dia tidak mau dipeluk siapa pun selain ayahnya sekarang."Ayo sini, Arumi, sama kakek," ujar lelaki tua itu.Arumi menolak, dia meringkuk di belakang ayahnya."Sudahlah, mungkin dia masih sedih," ujar Bu Hayati."Sekarang, Rozi gak punya tempat tinggal, Rozi tinggal di sini ya Bu, Pak," ujar lelaki itu."Ndak apa-apa, ini rumahmu juga," ujar Bu Hayati. "Udah lama ibuk suruh kalian sekeluarga pindah ke sini, tapi istrimu itu selalu m
"Husst, jangan bicara kek gitu, Nak," ujar Rozi."Tapi emang iya, ibu semalam ke sini. Dia bilang ...""Cukup! Ayah ndak suka Arumi ngomong yang aneh-aneh. Itu bukan ibu, bukan apa-apa, ndak ada apa-apa," ujar lelaki itu.Dia tampak gelisah karena Arumi berkata seperti itu. Sementara Arumi menunduk karena dia merasa ayahnya tidak suka dan tidak mau membicarakan ibunya. Arumi sedih, bahkan untuk mengingat kenangan bersama ibunya saja dia tidak diperbolehkan. Anak itu berpikir, kenapa ayahnya seperti itu?Arumi menghela napas lalu membantu memilih baju sumbangan tersebut dan menyisihkan yang bisa dia pakai. Gadis itu murung. Kehilangan ibu bagaikan kehilangan segala-galanya bagi Arumi. Kenapa ibunya harus pergi, kenapa tidak ayahnya?Gadis itu sudah tahu, sejak ibunya sakit, ayahnya sering marah-marah pada mereka. Kadang Arumi yang jadi sasaran. Pulang sekolah, dia langsung disuruh mengasuh sampai dia kelelahan. Arumi menangis di sisi ibunya yang tak berdaya dan hanya ditanggapi dengan
Laki-laki itu memilih pergi dari sana karena takut. Dia menghidupkan motor bututnya dan langsung kabur. Sementara itu, sepasang mata menatapnya dari dalam air, mata yang dipenuhi oleh kemarahan dan gumpalan dendam.Rozi sampai di rumah dalam keadaan basah kuyup. Ibunya langsung menghambur ke arah laki-laki itu. Bu Hayati tampak panik."Ke mana aja, lama betul!" ujar Bu Hayati."Maaf Buk, mancing gak dapat hasil," ujar Rozi."Udahlah, peduli amat soal mancing. Tadi, Pak RT tempat kamu ngontrak datang terus bawakan ini nih!"Bu Hayati memperlihatkan sebuah kertas ke arah anak lelakinya. Kertas itu berbunyi: Surat perjanjian, dengan ini saya (kolom nama dikosongkan) bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi kemarin di rumah yang saya kontrak atas nama pemilik Bapak Haji Saleh. Saya akan mengganti segala kerugian yang telah terjadi. Jika saya melanggar, maka saya bersedia dihukum dengan hukum yang berlaku."Apa ini, Buk?" Mata Rozi membulat saat melihat isi surat tersebut."Ya ampun,
Rozi tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia merasa terpasung dan dibawa ke tempat gelap. Dia tak sadarkan diri.Tak lama kemudian, pria itu membuka mata, alangkah terkejutnya dia saat Rozi ternyata terbangun di tempat yang aneh, gelap, sesak, lagi menghimpitnya dengan keras."T-toloooooong!" Rozi berteriak. "Toloooooooooooooong!"Rozi menangis, dia menangis dengan sangat keras. Pria yang egois itu tak dapat menahan air matanya. Dia seperti dipasung, tubuhnya kaku seperti terikat."Tolong!"Rozi terkejut, dia diam dan mendengarkan. Apakah itu suara orang meminta tolong?"Tolooong! Toloooooong! Hahahaha!" Suara itu diakhiri dengan tawa mengejek yang mengerikan."Tolong? Kau minta tolong?"Tiba-tiba saja sebuah wajah muncul di hadapan Rozi, wajah istrinya, Kamelia. Perempuan itu menyeringai, wajahnya penuh darah, dari mata, hidung, dan mulutnya keluar darah segar yang berbau anyir."Ka-Kamelia?""Jangan sebut nama itu! Kamelia sudah mati!" katanya."Tidak, Kamelia. Ini ... di mana? Lepask
Kamelia meraung-raung kesakitan, perutnya seperti akan meledak. Rozi dan Hayati bingung, kenapa perempuan itu jadi menggila. Darah yang keluar dari rahimnya semakin banyak."Bu, gimana ini?" tanya Rozi.Hayati menyembunyikan botol yang dia bawa ke dalam tasnya dan dia menghindar. "Mana ibu tahu, panggil dokter!" katanya.Rozi segera pergi keluar, tapi belum pun memanggil dokter, seorang suster melihat tanda gawat pada Kamelia. Dia segera berlari ke bed perempuan itu."Kenapa ini?" ujar suster itu pada Rozi dan Hayati."Gak tahu, tiba-tiba aja," ujar Hayati."Kalau pasien sedang gawat, cepat hubungi kami ya pak!" ujar perawat itu dengan suara penuh tekanan. Lalu perawat itu menghubungi rekan mereka dan tiba-tiba saja semua yang ada di sana sibuk sekali. "Pak, tolong urus administrasi, pasien ada kartu jaminan sosial kan?" tanya sang dokter.Rozi mengangguk. "I-iya," katanya."Sialan. Diurus ya, Pak. Pasien akan segera dioperasi," ujar dokter itu.Mereka langsung membawa Kamelia ke r