Lima menit setelah Rozi pergi, Rani kembali menangis. Bayi kecil itu sepertinya sangat kehausan. Kamelia menatap tak berdaya ke arah sang bayi. Bisa-bisanya Rozi pergi padahal mereka tidak bisa melakukan apa pun?
Sementara Fahri dan Delisa menghambur-hamburkan nasi di ruang depan.Kamelia menangis kembali. Dia ingin menggerakkan tangannya dan merangkul serta menyusui bayinya sendiri. Akan tetapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa.Seharusnya, laki-laki itu tidak pergi. Bagaimana bisa dia pergi saat anak-anak mereka begitu membutuhkannya? Rani menangis keras hingga hampir satu jam lamanya. Kemudian akhirnya bayi itu hanya terisak-isak karena sudah kelelahan menangis kencang dan akhirnya diam.Suasana di rumah itu kembali hening, hanya siaran kartun di televisi di ruang tamu yang berbunyi. Keheningan itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba saja Delisa masuk sembari menunjuk bokongnya."Mak, eek!" katanya seraya menunjuk-nunjuk ke arah bokongnya.Lagi-lagi, ketidakberdayaan membuat Kamelia sedih. Jangankan bergerak, bersuara saja dia hampir tidak bisa. Wajahnya lumpuh sebelah—terkena bell palsy.'Panggil Abang Fahri, suruh basuh,' ujar Kamelia dalam hati."Mamak, eek!" seru Delisa sambil menggoyangkan tubuh ibunya berkali-kali, berharap sang ibu bangun dan membasuh kotorannya.Anak itu kemudian menangis. Dia duduk di lantai dan tantrum. Hal itu membuat adiknya yang tadi mulai terlelap kembali bangun.Kamelia kembali menitikkan air mata dengan hati yang perih. Wanita itu bersumpah, bersumpah dalam hati. Jika saja saat ini ada yang menawarinya kekuatan dengan imbalan nyawanya sendiri, dia akan memilih hal itu. Kamelia benar-benar jatuh, tersungkur, dan terpuruk di dalam kesengsaraan.Akan tetapi, tawaran semacam itu tentu saja tidak akan pernah ada. Jika ada kemudahan, tidak akan ada yang merasakan kesakitan di dunia ini bukan?Delisa pada akhirnya terdiam, lalu bocah kecil itu berlari keluar kamar. Ternyata dia membuka sendiri popoknya. Namun, semua menjadi kacau karena kotorannya jatuh ke mana-mana.Anak itu paham, dia ke kamar mandi dan berlama-lama di sana. Kamelia gelisah, dia takut anaknya kenapa-kenapa di dalam sana. Pikiran jahat mulai merasukinya, bagaimana kalau Delisa tenggelam di dalam bak?Lagi-lagi hanya harapan yang bisa dia langitkan agar putri kecilnya tidak mendapatkan celaka. Untung saja saat itu Fahri masuk ke kamar mandi dan mengeluarkan adiknya dari sana."Ih, adik, eek di lantai," seru Fahri terlihat merasa jijik.Dia membawa Delisa ke kamar. Kamelia terus menangis. Air matanya mengalir dengan deras. Bantal yang dia pakai basah dan sudah berjamur karena sering dihujani oleh air mata. Dia merasa kasihan pada anak-anaknya, jangankan mengurus mereka, membersihkan dirinya sendiri saja dia tidak sanggup.Kamelia menderita stroke setelah melahirkan anak keempatnya. Sejak saat itu, Rozi yang mengurus semuanya. Laki-laki itu awalnya berpikir dia bisa melakukannya. Apalah kerjaan rumah. Itu hanyalah hal sepele. Seperti itulah anggapannya selama ini. Makanya dia tidak pernah mau membantu istrinya sama sekali sebelumnya. Namun, setelah dijalani, ternyata luar biasa. Pekerjaan rumah tangga tidak sebanding dengan pekerjaan mana pun.Laki-laki itu sampai kurang tidur, makan tidak lagi teratur. Badannya terasa remuk redam karena harus bekerja dan mengurus anak sekaligus. Dia benar-benar lelah.Karena bosan dan lelah, Delisa tertidur tanpa memakai pakaian di sisi ibunya. Sedangkan Fahri, anak shaleh itu mencoba membersihkan kotoran adiknya dengan seadanya. Walau tidak sempurna, setidaknya dia masih peduli, bukan seperti ayahnya.Setelah selesai, dia naik ke ranjang dan menghampiri sang ibu, lalu anak itu pun ikut tertidur di sisi ibunya.Kamelia meneteskan air mata kembali. Dia berdoa di dalam hati, 'Ya Allah, aku tidak keberatan menderita selama hidupku, tapi tolong jangan biarkan anak-anakku mendapat penderitaan yang sama. Tolong jangan beri mereka penderitaan seperti ini.'Hari itu adalah hari Jumat, di mana ada doa yang langsung menembus langit dan terkabul. Mungkin saja, doa Kamelia adalah salah satunya. Ia akan terkabul, apakah karena terucap dari lisan istri yang teraniaya, ataukah seorang ibu yang tak sanggup melihat anaknya menderita. Entah bagian mana yang Tuhan pandang.***Pukul 12 siang.Rozi belum pulang juga dari kegiatannya memancing. Sedangkan anak-anaknya sudah berkali-kali tidur, bangun, lalu tidur lagi karena kelelahan. Mereka belum makan, belum minum lagi. Delisa tidak berpakaian, bayi mereka belum menyusu setetes pun, Kamelia belum makan sama sekali, dan belum mandi. Popoknya belum diganti sudah dua hari. Lalu anak sulungnya juga belum pulang."Mamak, Fahri lapar," ujar anak keduanya seraya menggoyang tubuh ibunya.Kamelia ingin bangun, tapi dia tidak berdaya. Dia hanya bisa kembali menangis."Mamak jangan nangis, biar Fahri masak sendiri," ujarnya lalu dia keluar.Jari-jari Kamelia bergerak. Jika dia sehat, mungkin saat ini dia akan merangkul Fahri dan melarangnya melakukan itu. Bagaimana mungkin anak umur 4 tahun itu memasak? Tidak mungkin!'Jangan, Nak! Jangaaan!' pekik Kamelia dalam hati.Tentu saja Fahri tidak mendengarnya. Anak itu berlari keluar dan pergi ke dapur. Kamelia merasa tubuhnya kini gemetar, dia berdoa agar ada yang bisa membantunya. 'Tolong ya Allah, satu kali ini saja, berikan hamba keajaiban. Tolong!' pinta Kamelia dalam hati.Fahri memutar kompor, lalu api pun menyala. Dia meletakkan kuali di atas tungku dan menuang sedikit minyak. Kompor yang letaknya di lantai itu sangat mudah dijangkau anak-anak. Meja kompor mereka sudah rusak dan Rozi belum membeli yang baru.Kalau dulu, sang ibu pasti selalu melarang Fahri mendekat ke arah kompor, berbahaya katanya. Padahal bocah tersebut ingin sekali bermain dengan api itu. Sekarang dia bisa bermain sepuasnya.Apinya terlihat menyala terlalu besar, kuali sudah sangat panas hingga berasap. Fahri gugup. Dia mengambil telur di kantong, tapi telur itu jatuh dan pecah. Bocah kecil itu ketakutan. Tapi dia mencoba lagi. Anak itu meraup telur di lantai dan mencoba memasukkannya ke kuali. Karena tidak berhasil, akhirnya dia mengambil satu lagi telur di kantong. Entah apa yang dipikirkan anak itu, tiba-tiba dia melempar telur ke dalam kuali.Seketika, minyak panas terpercik dan mengenai kaki bocah tersebut. Dia menangis dan langsung berlari kencang ke dalam kamar.Melihat hal itu, Kamelia panik! Tampak dari kamar kalau dapur sudah dipenuhi dengan kepulan asap. Sementara anak-anaknya semua ada di kamar. Matanya melebar sempurna melihat kekacauan yang tengah terjadi. Dia mencoba bergerak sebisa mungkin.Akan tetapi, tidak seinci pun tubuh wanita itu beranjak. Hanya matanya yang berkedip-kedip, bersama derai tangisan kekesalan.'Ya Allah! Tolonglah! Tolong bantu hamba-Mu ini. Tolooong ...!" Kamelia terus menangis tanpa suara.Sementara itu, api di dapur mereka kian membesar hingga membuat rumah mereka menjadi penuh dengan asap. Tragedi itu makin parah saat api tiba-tiba menyambar kain lap yang berada di dekat kompor tersebut.Dan tiba-tiba–DUAAAARR!!!Sebuah ledakan terdengar dari dapur. Kompor yang dinyalakan Fahri, terus menerus nenerima panas hingga membuat rumah mereka berasap. Kuali yang bertengger di atasnya meletup hingga terpelanting dan membentur keramik. Belum lagi asap pekat beracun yang terbentuk karena lap terbakar. Api sedang mencari jalan untuk menguasai rumah ini.Fahri berlari ke kamar sembari berteriak."Ibuuuuuu!" Dia menghambur ke arah ibunya dan memeluk Kamelia karena ketakutan.Lagi-lagi, hanya air mata yang mampu Kamelia berikan. Jika dulu anaknya melakukan suatu kesalahan, Kamelia akan memeluk mereka dan mengatakan tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja. Namun sekarang, jangankan satu pelukan, satu kata untuk menenangkan anaknya saja tak sanggup dia tuturkan.Fahri terus menangis di sisi ibunya, ketakutan. Hingga beberapa menit berlalu, anak itu pun tertidur akibat menahan lapar yang berat. Begitu pula dengan Delisa, dia juga ketiduran tanpa pakaian dan dengan bau kotoran yang melekat di tubuhnya.Menit be
Rumah kontrakan mereka telah terbakar berikut isinya, tak ada yang bisa diselamatkan sama sekali. Akhirnya, Rozi membawa anak sulungnya ke rumah orang tuanya.Pak Abdi dan Hayati, kedua orang tua Rozi, menerima anak dan cucu mereka dengan perasaan sedih dan pedih.Arumi menangis memeluk ayahnya. Kini, kehidupan mereka seolah dibalikkan ke bawah dalam semalam. Semua sangat terpukul, terlebih Arumi. Dia kehilangan ibunya, pelipur lara dalam hidupnya, penerang cahaya hatinya."Sabar ya, Cu! Sabar," ujar Pak Abdi seraya mencoba memeluk Arumi.Arumi menghindar, dia tidak mau dipeluk siapa pun selain ayahnya sekarang."Ayo sini, Arumi, sama kakek," ujar lelaki tua itu.Arumi menolak, dia meringkuk di belakang ayahnya."Sudahlah, mungkin dia masih sedih," ujar Bu Hayati."Sekarang, Rozi gak punya tempat tinggal, Rozi tinggal di sini ya Bu, Pak," ujar lelaki itu."Ndak apa-apa, ini rumahmu juga," ujar Bu Hayati. "Udah lama ibuk suruh kalian sekeluarga pindah ke sini, tapi istrimu itu selalu m
"Husst, jangan bicara kek gitu, Nak," ujar Rozi."Tapi emang iya, ibu semalam ke sini. Dia bilang ...""Cukup! Ayah ndak suka Arumi ngomong yang aneh-aneh. Itu bukan ibu, bukan apa-apa, ndak ada apa-apa," ujar lelaki itu.Dia tampak gelisah karena Arumi berkata seperti itu. Sementara Arumi menunduk karena dia merasa ayahnya tidak suka dan tidak mau membicarakan ibunya. Arumi sedih, bahkan untuk mengingat kenangan bersama ibunya saja dia tidak diperbolehkan. Anak itu berpikir, kenapa ayahnya seperti itu?Arumi menghela napas lalu membantu memilih baju sumbangan tersebut dan menyisihkan yang bisa dia pakai. Gadis itu murung. Kehilangan ibu bagaikan kehilangan segala-galanya bagi Arumi. Kenapa ibunya harus pergi, kenapa tidak ayahnya?Gadis itu sudah tahu, sejak ibunya sakit, ayahnya sering marah-marah pada mereka. Kadang Arumi yang jadi sasaran. Pulang sekolah, dia langsung disuruh mengasuh sampai dia kelelahan. Arumi menangis di sisi ibunya yang tak berdaya dan hanya ditanggapi dengan
Laki-laki itu memilih pergi dari sana karena takut. Dia menghidupkan motor bututnya dan langsung kabur. Sementara itu, sepasang mata menatapnya dari dalam air, mata yang dipenuhi oleh kemarahan dan gumpalan dendam.Rozi sampai di rumah dalam keadaan basah kuyup. Ibunya langsung menghambur ke arah laki-laki itu. Bu Hayati tampak panik."Ke mana aja, lama betul!" ujar Bu Hayati."Maaf Buk, mancing gak dapat hasil," ujar Rozi."Udahlah, peduli amat soal mancing. Tadi, Pak RT tempat kamu ngontrak datang terus bawakan ini nih!"Bu Hayati memperlihatkan sebuah kertas ke arah anak lelakinya. Kertas itu berbunyi: Surat perjanjian, dengan ini saya (kolom nama dikosongkan) bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi kemarin di rumah yang saya kontrak atas nama pemilik Bapak Haji Saleh. Saya akan mengganti segala kerugian yang telah terjadi. Jika saya melanggar, maka saya bersedia dihukum dengan hukum yang berlaku."Apa ini, Buk?" Mata Rozi membulat saat melihat isi surat tersebut."Ya ampun,
Rozi tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia merasa terpasung dan dibawa ke tempat gelap. Dia tak sadarkan diri.Tak lama kemudian, pria itu membuka mata, alangkah terkejutnya dia saat Rozi ternyata terbangun di tempat yang aneh, gelap, sesak, lagi menghimpitnya dengan keras."T-toloooooong!" Rozi berteriak. "Toloooooooooooooong!"Rozi menangis, dia menangis dengan sangat keras. Pria yang egois itu tak dapat menahan air matanya. Dia seperti dipasung, tubuhnya kaku seperti terikat."Tolong!"Rozi terkejut, dia diam dan mendengarkan. Apakah itu suara orang meminta tolong?"Tolooong! Toloooooong! Hahahaha!" Suara itu diakhiri dengan tawa mengejek yang mengerikan."Tolong? Kau minta tolong?"Tiba-tiba saja sebuah wajah muncul di hadapan Rozi, wajah istrinya, Kamelia. Perempuan itu menyeringai, wajahnya penuh darah, dari mata, hidung, dan mulutnya keluar darah segar yang berbau anyir."Ka-Kamelia?""Jangan sebut nama itu! Kamelia sudah mati!" katanya."Tidak, Kamelia. Ini ... di mana? Lepask
Kamelia meraung-raung kesakitan, perutnya seperti akan meledak. Rozi dan Hayati bingung, kenapa perempuan itu jadi menggila. Darah yang keluar dari rahimnya semakin banyak."Bu, gimana ini?" tanya Rozi.Hayati menyembunyikan botol yang dia bawa ke dalam tasnya dan dia menghindar. "Mana ibu tahu, panggil dokter!" katanya.Rozi segera pergi keluar, tapi belum pun memanggil dokter, seorang suster melihat tanda gawat pada Kamelia. Dia segera berlari ke bed perempuan itu."Kenapa ini?" ujar suster itu pada Rozi dan Hayati."Gak tahu, tiba-tiba aja," ujar Hayati."Kalau pasien sedang gawat, cepat hubungi kami ya pak!" ujar perawat itu dengan suara penuh tekanan. Lalu perawat itu menghubungi rekan mereka dan tiba-tiba saja semua yang ada di sana sibuk sekali. "Pak, tolong urus administrasi, pasien ada kartu jaminan sosial kan?" tanya sang dokter.Rozi mengangguk. "I-iya," katanya."Sialan. Diurus ya, Pak. Pasien akan segera dioperasi," ujar dokter itu.Mereka langsung membawa Kamelia ke r
Keesokan harinya.Rozi terbangun ketika azan subuh terdengar. Dia teringat akan janjinya pada sang istri tadi malam, bahwa dia akan sholat.Pria itu terbangun, lalu dia menyeret langkah menuju kamar mandi dan berwudhu. Setelah itu, Rozi pun melaksanakan sholat subuh dua rakaat.Pertama-tama, dia hanya tercenung di atas sajadah. Takbiratul ihram diangkat, tapi dia bingung ingin membaca apa. Laki-laki itu tidak tahu apa pun. Akhirnya, dia membaca Al Fatihah saja. Begitu juga dengan ruku dan sujud, tidak ada bacaan apa pun yang mengalun dari bibirnya, sebab dia memang tidak tahu. Karena itu, sholat dua rakaat pun selesai dengan singkat. Sepanjang sholat, semua bacaan Rozi tidak sempurna.Rozi mengangkat tangannya dan berdoa kepada Ilahi Rabbi. "Allah, sampaikan permintaan maaf pada istriku dan berkatilah hidupku." Begitu doa yang Rozi panjatkan setelah dia sholat.Tiba-tiba saja, ketika Rozi selesai berdoa, Hayati masuk ke kamar putranya tersebut. Rozi menatap ibunya."Ada apa, Bu?" tany
Rumah kontrakan tempat Kamelia yang meninggal itu menjadi angker. Setiap malam, terdengar teriakan yang menyayat hati dari sana. Warga menjadi ketar-ketir dan resah. Pasalnya, jangankan untuk masuk dan mengecek, mereka memilih meringkuk di balik selimut dan ketakutan."Halah, mana ada. Itu semua cuma mainan jin," ujar Maliki, salah satu pemuda kompleks tersebut. Dia sedang nongkrong di pos depan bersama teman-temannya. Maliki ini agak besar omong. Dia mengecilkan semua pendapat dan berkata pendapatnya yang paling benar. Begitu juga saat ini, di hadapan warga yang sedang ronda, dia mulai jumawa."Itu semua permainan jin, jangan takut. Kita sebagai warga kudu merukyah rumah itu. Liat aja, gimana gak jadi sarang jin, kondisi rumah yang tinggal puing gak dihancurkan. Harusnya rumah yang kebakar segera dihancurkan biar lapang aja," sambung Maliki."Masalahnya pemilik rumah tuh masih belum setuju. Pak RT harus tegas nih, Pak RT. Kalau tidak, bisa mencekam terus kompleks kita. Tadi aja ada