"Husst, jangan bicara kek gitu, Nak," ujar Rozi.
"Tapi emang iya, ibu semalam ke sini. Dia bilang ...""Cukup! Ayah ndak suka Arumi ngomong yang aneh-aneh. Itu bukan ibu, bukan apa-apa, ndak ada apa-apa," ujar lelaki itu.Dia tampak gelisah karena Arumi berkata seperti itu. Sementara Arumi menunduk karena dia merasa ayahnya tidak suka dan tidak mau membicarakan ibunya. Arumi sedih, bahkan untuk mengingat kenangan bersama ibunya saja dia tidak diperbolehkan. Anak itu berpikir, kenapa ayahnya seperti itu?Arumi menghela napas lalu membantu memilih baju sumbangan tersebut dan menyisihkan yang bisa dia pakai. Gadis itu murung. Kehilangan ibu bagaikan kehilangan segala-galanya bagi Arumi. Kenapa ibunya harus pergi, kenapa tidak ayahnya?Gadis itu sudah tahu, sejak ibunya sakit, ayahnya sering marah-marah pada mereka. Kadang Arumi yang jadi sasaran. Pulang sekolah, dia langsung disuruh mengasuh sampai dia kelelahan. Arumi menangis di sisi ibunya yang tak berdaya dan hanya ditanggapi dengan tangisan pula oleh Kamelia.Arumi sedih, dia berpikir dia yang salah karena kemarin tidak langsung pulang ke rumah setelah sekolah. Namun, gadis itu lega karena tadi malam ibunya datang dan memeluk gadis itu serta membisikkan. "Arumi tidak bersalah, jangan menangis."Tentu saja Arumi mengira itu hanya mimpi, tapi dia merasa ibunya benar-benar datang dan menghiburnya.Rozi keluar dan dia berpapasan dengan Lisa di depan kamarnya. Gadis berusia 20 tahun itu melengos dan berlalu sembari menjeling pada Rozi."Lisa, tunggu!"Rozi menahan lengan adiknya."Cih, apa-apaan sih bang?""Mau ke mana?""Urusan Lisa-lah, Bang!""Pinjam Abang duit dulu, 10 ribu, mau isi bensin. Abang mancing dulu, carikan ikan atau udang buat kita makan!"Lisa mengernyit. "Mancing-mancing! Kerja bang! Kerja!" katanya.Rozi berang saat mendengar perkataan itu. "Kalau ndak mau pinjamkan, jangan ngomong gitulah!""Eh, memang benar kan, Bang? Selama ini istrimu yang kerja, Abang tahunya mancing, main layangan, terus kerja ikut si Poleh yang gajinya cuma 200 ribu seminggu. Emang paling bener, Kak Kamelia bagusnya memang meninggal daripada hidup sama suami kek elu, Bang!"Lisa berlalu, gadis itu menepis rambutnya dengan angkuh."Apa kau bilang, Lisa!?" Rozi hendak menghambur pada Lisa dan mau menampar pipinya.Akan tetapi, dia mengurungkan niatnya. Laki-laki itu meremas tangannya sendiri, menahan emosi yang menggelegak di dadanya."Apa, Bang? Tampar, ayo tampar! Tamparan Abang tuh gak lebih sakit daripada ditampar kenyataan!" ujar Lisa. "Makanya pas punya istri, dihargai dan dijaga. Udah meninggal, menyesal, 'kan?!"Lisa pergi keluar, dia menghidupkan motornya dan pergi dari sana. Sementara Rozi, menahan emosi yang membuncah di dada. Perkara Lisa terngiang-ngiang di kepalanya, tapi tetap saja hati sekeras batu itu menyangkal semua.'Aku gak salah, ini semua kecelakaan!' bisik hatinya.Sementara itu, Lisa mengelap air matanya. Gadis itu sangat sayang dengan keponakannya. Terutama yang Delisa dan Rani. Dia yang penyuka anak kecil, selalu pergi ke rumah kakak iparnya dan menitipkan uang gajinya untuk anak-anak itu karena dia melihat sendiri kakak iparnya berjuang mengasuh dan bekerja demi membesarkan buah hati mereka.Ditinggal oleh kedua balita dan bayi imut-imut itu, membuang hati Lisa hancur. Dialah orang yang menangis paling keras setelah Arumi. Dia tahu susahnya mencari uang, makanya sampai sekarang dia belum menikah karena takut kalau bertemu laki-laki tidak berguna seperti abangnya.Lisa terus berkendara menuju tempat kerjanya. Dia harus tetap hidup walau jiwanya lelah. Ada orang tua yang harus dia biayai.Sementara itu, Rozi tetap pergi memancing walau dia tidak punya uang untuk mengisi bensin. Sebenarnya dia malu menganggur, tapi tak punya kreatifitas dan wawasan untuk mencoba bekerja yang lebih layak. Akhirnya, dia melarikan diri ke danau dan mengais harapan di sana dengan joran usangnya.Laki-laki itu termenung sembari menunggu sesuatu melahap umpan yang dia jatuhkan tadi. Apalah, ikan kek, apa kek, yang penting dia membawa sesuatu untuk dimakan. Jadi, harga dirinya tidaklah murah amat, pikirnya.Detik demi detik, menit demi menit, jam ke jam, hingga tanpa terasa dua waktu sholat terlewati. Dia tidak pernah sholat jadi peduli amat dia dengan ibadah, apa itu sholat? Dia tidak kenal dan tidak pernah melaksanakannya.Sudah berpindah-pindah spot, masih saja tidak mendapatkan hasil."Arrrgh, lebih baik pulang!" katanya pada diri sendiri.Rozi menarik kail dan berniat pulang, akan tetapi tiba-tiba saja sesuatu tersangkut di mata kail. Lalu, jorannya bergerak.Mata Rozi berbinar. Dia langsung menahan joran agar ikan tidak terlepas. Dia mendekat ke tangga yang ada di tepi danau dan mencoba menarik ikan itu.Akan tetapi, tarikan ikan sangat kuat. Rozi sampai kewalahan!"Ish! Ini pasti ikan nila gede, nih!" katanya dengan wajah girang. Terbayang makan ikan nila bakar malam ini.Perlawanan ikan itu mulai melemah, lalu Rozi menarik talinya mendekat. Ikan itu pun menyerah. Rozi girang, dia mendekat ke air danau, ingin menarik ikan yang telah dia tunggu-tunggu selama berjam-jam.Akan tetapi alangkah terkejutnya Rozi ketika melihat bayangan seseorang di dalam air. Seorang wanita sedang mengambang di dalam air dengan wajah pucat dan mata yang terpejam.Rozi tak sanggup bergerak, otot-ototnya kaku seperti batu. Dia menatap lekat ke wanita itu. Lalu mendadak, wanita itu membuka matanya dan langsung naik ke atas, meraih tubuh Rozi kemudian menariknya ke dalam air.Rozi tenggelam, wanita itu menariknya hingga ke bawah. Kedua tangannya mencekik leher Rozi dengan kuat.Rozi kelelep, dia menggelepar-gelepar ingin naik, tetapi cengkraman wanita itu sangat kuat. Laki-laki itu kehabisan napas, dia menggapai-gapai ke atas, berharap seseorang menolongnya."Hihihihihihi! Beginilah rasanya saat anak-anakku sesak dan mati kehabisan napas! Rasakan!" Samar-samar Rozi mendengar sesuatu berteriak di telinganya.Laki-laki itu sudah kehabisan napas, barulah dia bisa melihat wujud sosok wanita itu. Kamelia?Tiba-tiba saja, sesuatu menarik tangan Rozi dari atas. Ternyata mereka adalah dua orang pemancing yang kebetulan ingin mencari ikan di sana."Bang! Bang! Gak apa-apa, Bang!" seru salah seorang pemuda yang menyelamatkan Rozi.Laki-laki itu terbatuk. "Gak ... gak apa-apa," ujarnya."Syukurlah, Bang. Ngapain di dalam air, Bang? Abang mau bunuh diri?" tanya pemuda itu."Gak, saya ... saya pun gak tahu!""Iya nih, kami pikir Abang mau bunuh diri, dari tadi diam-diam di dalam air gak keluar-keluar," ujar pemuda itu.Rozi tercenung. Tadi itu ... apa dia melihat istrinya? Rozi merinding seketika."Ya udah, kita balik ya, Bang," ujar kedua pemuda itu.Rozi mengangguk. "Makasih, ya," katanya."Sama-sama, Bang," ujar kedua pemuda itu.Lalu, orang itu pun pergi. Rozi kembali melihat ke dalam air, tidak terlihat apa pun di sana. Apa dia salah lihat?Laki-laki itu memilih pergi dari sana karena takut. Dia menghidupkan motor bututnya dan langsung kabur. Sementara itu, sepasang mata menatapnya dari dalam air, mata yang dipenuhi oleh kemarahan dan gumpalan dendam.Rozi sampai di rumah dalam keadaan basah kuyup. Ibunya langsung menghambur ke arah laki-laki itu. Bu Hayati tampak panik."Ke mana aja, lama betul!" ujar Bu Hayati."Maaf Buk, mancing gak dapat hasil," ujar Rozi."Udahlah, peduli amat soal mancing. Tadi, Pak RT tempat kamu ngontrak datang terus bawakan ini nih!"Bu Hayati memperlihatkan sebuah kertas ke arah anak lelakinya. Kertas itu berbunyi: Surat perjanjian, dengan ini saya (kolom nama dikosongkan) bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi kemarin di rumah yang saya kontrak atas nama pemilik Bapak Haji Saleh. Saya akan mengganti segala kerugian yang telah terjadi. Jika saya melanggar, maka saya bersedia dihukum dengan hukum yang berlaku."Apa ini, Buk?" Mata Rozi membulat saat melihat isi surat tersebut."Ya ampun,
Rozi tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia merasa terpasung dan dibawa ke tempat gelap. Dia tak sadarkan diri.Tak lama kemudian, pria itu membuka mata, alangkah terkejutnya dia saat Rozi ternyata terbangun di tempat yang aneh, gelap, sesak, lagi menghimpitnya dengan keras."T-toloooooong!" Rozi berteriak. "Toloooooooooooooong!"Rozi menangis, dia menangis dengan sangat keras. Pria yang egois itu tak dapat menahan air matanya. Dia seperti dipasung, tubuhnya kaku seperti terikat."Tolong!"Rozi terkejut, dia diam dan mendengarkan. Apakah itu suara orang meminta tolong?"Tolooong! Toloooooong! Hahahaha!" Suara itu diakhiri dengan tawa mengejek yang mengerikan."Tolong? Kau minta tolong?"Tiba-tiba saja sebuah wajah muncul di hadapan Rozi, wajah istrinya, Kamelia. Perempuan itu menyeringai, wajahnya penuh darah, dari mata, hidung, dan mulutnya keluar darah segar yang berbau anyir."Ka-Kamelia?""Jangan sebut nama itu! Kamelia sudah mati!" katanya."Tidak, Kamelia. Ini ... di mana? Lepask
Kamelia meraung-raung kesakitan, perutnya seperti akan meledak. Rozi dan Hayati bingung, kenapa perempuan itu jadi menggila. Darah yang keluar dari rahimnya semakin banyak."Bu, gimana ini?" tanya Rozi.Hayati menyembunyikan botol yang dia bawa ke dalam tasnya dan dia menghindar. "Mana ibu tahu, panggil dokter!" katanya.Rozi segera pergi keluar, tapi belum pun memanggil dokter, seorang suster melihat tanda gawat pada Kamelia. Dia segera berlari ke bed perempuan itu."Kenapa ini?" ujar suster itu pada Rozi dan Hayati."Gak tahu, tiba-tiba aja," ujar Hayati."Kalau pasien sedang gawat, cepat hubungi kami ya pak!" ujar perawat itu dengan suara penuh tekanan. Lalu perawat itu menghubungi rekan mereka dan tiba-tiba saja semua yang ada di sana sibuk sekali. "Pak, tolong urus administrasi, pasien ada kartu jaminan sosial kan?" tanya sang dokter.Rozi mengangguk. "I-iya," katanya."Sialan. Diurus ya, Pak. Pasien akan segera dioperasi," ujar dokter itu.Mereka langsung membawa Kamelia ke r
Keesokan harinya.Rozi terbangun ketika azan subuh terdengar. Dia teringat akan janjinya pada sang istri tadi malam, bahwa dia akan sholat.Pria itu terbangun, lalu dia menyeret langkah menuju kamar mandi dan berwudhu. Setelah itu, Rozi pun melaksanakan sholat subuh dua rakaat.Pertama-tama, dia hanya tercenung di atas sajadah. Takbiratul ihram diangkat, tapi dia bingung ingin membaca apa. Laki-laki itu tidak tahu apa pun. Akhirnya, dia membaca Al Fatihah saja. Begitu juga dengan ruku dan sujud, tidak ada bacaan apa pun yang mengalun dari bibirnya, sebab dia memang tidak tahu. Karena itu, sholat dua rakaat pun selesai dengan singkat. Sepanjang sholat, semua bacaan Rozi tidak sempurna.Rozi mengangkat tangannya dan berdoa kepada Ilahi Rabbi. "Allah, sampaikan permintaan maaf pada istriku dan berkatilah hidupku." Begitu doa yang Rozi panjatkan setelah dia sholat.Tiba-tiba saja, ketika Rozi selesai berdoa, Hayati masuk ke kamar putranya tersebut. Rozi menatap ibunya."Ada apa, Bu?" tany
Rumah kontrakan tempat Kamelia yang meninggal itu menjadi angker. Setiap malam, terdengar teriakan yang menyayat hati dari sana. Warga menjadi ketar-ketir dan resah. Pasalnya, jangankan untuk masuk dan mengecek, mereka memilih meringkuk di balik selimut dan ketakutan."Halah, mana ada. Itu semua cuma mainan jin," ujar Maliki, salah satu pemuda kompleks tersebut. Dia sedang nongkrong di pos depan bersama teman-temannya. Maliki ini agak besar omong. Dia mengecilkan semua pendapat dan berkata pendapatnya yang paling benar. Begitu juga saat ini, di hadapan warga yang sedang ronda, dia mulai jumawa."Itu semua permainan jin, jangan takut. Kita sebagai warga kudu merukyah rumah itu. Liat aja, gimana gak jadi sarang jin, kondisi rumah yang tinggal puing gak dihancurkan. Harusnya rumah yang kebakar segera dihancurkan biar lapang aja," sambung Maliki."Masalahnya pemilik rumah tuh masih belum setuju. Pak RT harus tegas nih, Pak RT. Kalau tidak, bisa mencekam terus kompleks kita. Tadi aja ada
"Maliki! Bangun! Maliki!"Pemuda itu membuka mata. Dia melihat sekeliling, ibunya tampak cemas. Lalu, dia bangun dan menyadari dirinya ada di lantai depan."Ibu?""Kamu ngapain tidur di sini! Bangun!"Maliki melihat cuaca, langit masih kelam. Lalu dia bertanya pada ibunya ini jam berapa."Jam berapa ini, Bu?""Udah jam 4 subuh! Ngapain kamu tidur di sini, Maliki! Ayo bangun!"Wati mengangkat tubuh anaknya lalu membawa Maliki masuk. Pemuda itu masih bingung. Tapi dia ingat betul apa yang terjadi padanya semalam. Sosok Kamelia mencekiknya hingga dia hampir mati. Spontan, Maliki meraba lehernya. Apa semua itu hanya mimpi? Maliki berpikir keras.Wanita menyadari tingkah anak itu, lalu dia melihat anaknya mengusap-usap lehernya sendiri. Wati menyadari sesuatu."Tunggu! Leher kamu kenapa?"Wati menyingkirkan tangan Maliki dan membuat anaknya mendongak. Benar saja, leher anaknya membiru, tercetak jelas buku lima jari di sana."Kamu dicekik seseorang, Nak?" gumam Wati."Eh, ndak ... ndak kok
Rozi membuka tudung saji di meja, tidak ada apa pun. Dia menghela napas. Lalu pemuda itu mencari sesuatu di dalam kulkas. Ada telur. Dia langsung mengambil telur itu dan menggorengnya. Sembari menunggu minyak panas, Rozi melamun. Dulu, walau pun dia gak kerja, makanan selalu ada di meja. Tiap dia pulang memancing, walau tidak dapat ikan, tapi hampir setiap hari selalu ada ikan di meja makan, lengkap dengan sambal dan lalap. Sekarang ... kesepian itu benar-benar terasa. Barulah Rozi paham lirik lagu dangdut lawas yang bunyinya seperti ini, "Kalau sudah, tiada, baru terasa. Bahwa kehadirannya, sungguh bermakna."Dia menyesap air mata yang menggenang, menghapusnya sebelum dia mengalir. Minyak telah berasap, Rozi langsung memecahkan telur dan menggorengnya. Setelah selesai, dia mengambil nasi lalu makan dengan telur goreng beserta nasi yang diberi minyak dan garam. Pria itu makan lahap sekali. Sebenarnya dia malu numpang hidup dengan ibunya, tapi mau bagaimana lagi. Saat tengah makan, b
"Tolooong! Tolooong!" Suara teriakan Bu Hayati memecah suasana siang itu. Orang-orang berdatangan ke rumahnya. Mereka Mendapati Hayati menangis sembari meminta tolong pada warga."Kenapa, bulek?" tanya mereka.Hayati menangis-nangis sembari menunjuk ke dalam. "Pak Abdi ... dia ... dia mati!" ujarnya.Orang-orang terkejut. Mereka langsung masuk ke dalam rumah tersebut. Pemuda itu masuk ke dalam kamar belakang yang dihuni oleh Rozi dan Arumi. Mereka terkejut ketika melihat suami Bu Hayati itu tergeletak di lantai dengan mata melotot dan lidah menjulur serta kemaluan yang terkoyak."Astaghfirullah! Kenapa jadi gini?" gumam pemuda itu."Panggil, panggil polisi!" ujar mereka.Akhirnya, perangkat desa memanggil polisi karena warga tidak ada yang mau mendekat melihat kondisi jenazah yang mengerikan. Takutnya kena masalah nanti kan gawat.Polisi tiba di tempat kejadian perkara beberapa menit kemudian, mereka langsung membawa jasad Pak Abdi ke rumah sakit kepolisian untuk diotopsi. Sementara
"Tolooong! Tolooong!" Suara teriakan Bu Hayati memecah suasana siang itu. Orang-orang berdatangan ke rumahnya. Mereka Mendapati Hayati menangis sembari meminta tolong pada warga."Kenapa, bulek?" tanya mereka.Hayati menangis-nangis sembari menunjuk ke dalam. "Pak Abdi ... dia ... dia mati!" ujarnya.Orang-orang terkejut. Mereka langsung masuk ke dalam rumah tersebut. Pemuda itu masuk ke dalam kamar belakang yang dihuni oleh Rozi dan Arumi. Mereka terkejut ketika melihat suami Bu Hayati itu tergeletak di lantai dengan mata melotot dan lidah menjulur serta kemaluan yang terkoyak."Astaghfirullah! Kenapa jadi gini?" gumam pemuda itu."Panggil, panggil polisi!" ujar mereka.Akhirnya, perangkat desa memanggil polisi karena warga tidak ada yang mau mendekat melihat kondisi jenazah yang mengerikan. Takutnya kena masalah nanti kan gawat.Polisi tiba di tempat kejadian perkara beberapa menit kemudian, mereka langsung membawa jasad Pak Abdi ke rumah sakit kepolisian untuk diotopsi. Sementara
Rozi membuka tudung saji di meja, tidak ada apa pun. Dia menghela napas. Lalu pemuda itu mencari sesuatu di dalam kulkas. Ada telur. Dia langsung mengambil telur itu dan menggorengnya. Sembari menunggu minyak panas, Rozi melamun. Dulu, walau pun dia gak kerja, makanan selalu ada di meja. Tiap dia pulang memancing, walau tidak dapat ikan, tapi hampir setiap hari selalu ada ikan di meja makan, lengkap dengan sambal dan lalap. Sekarang ... kesepian itu benar-benar terasa. Barulah Rozi paham lirik lagu dangdut lawas yang bunyinya seperti ini, "Kalau sudah, tiada, baru terasa. Bahwa kehadirannya, sungguh bermakna."Dia menyesap air mata yang menggenang, menghapusnya sebelum dia mengalir. Minyak telah berasap, Rozi langsung memecahkan telur dan menggorengnya. Setelah selesai, dia mengambil nasi lalu makan dengan telur goreng beserta nasi yang diberi minyak dan garam. Pria itu makan lahap sekali. Sebenarnya dia malu numpang hidup dengan ibunya, tapi mau bagaimana lagi. Saat tengah makan, b
"Maliki! Bangun! Maliki!"Pemuda itu membuka mata. Dia melihat sekeliling, ibunya tampak cemas. Lalu, dia bangun dan menyadari dirinya ada di lantai depan."Ibu?""Kamu ngapain tidur di sini! Bangun!"Maliki melihat cuaca, langit masih kelam. Lalu dia bertanya pada ibunya ini jam berapa."Jam berapa ini, Bu?""Udah jam 4 subuh! Ngapain kamu tidur di sini, Maliki! Ayo bangun!"Wati mengangkat tubuh anaknya lalu membawa Maliki masuk. Pemuda itu masih bingung. Tapi dia ingat betul apa yang terjadi padanya semalam. Sosok Kamelia mencekiknya hingga dia hampir mati. Spontan, Maliki meraba lehernya. Apa semua itu hanya mimpi? Maliki berpikir keras.Wanita menyadari tingkah anak itu, lalu dia melihat anaknya mengusap-usap lehernya sendiri. Wati menyadari sesuatu."Tunggu! Leher kamu kenapa?"Wati menyingkirkan tangan Maliki dan membuat anaknya mendongak. Benar saja, leher anaknya membiru, tercetak jelas buku lima jari di sana."Kamu dicekik seseorang, Nak?" gumam Wati."Eh, ndak ... ndak kok
Rumah kontrakan tempat Kamelia yang meninggal itu menjadi angker. Setiap malam, terdengar teriakan yang menyayat hati dari sana. Warga menjadi ketar-ketir dan resah. Pasalnya, jangankan untuk masuk dan mengecek, mereka memilih meringkuk di balik selimut dan ketakutan."Halah, mana ada. Itu semua cuma mainan jin," ujar Maliki, salah satu pemuda kompleks tersebut. Dia sedang nongkrong di pos depan bersama teman-temannya. Maliki ini agak besar omong. Dia mengecilkan semua pendapat dan berkata pendapatnya yang paling benar. Begitu juga saat ini, di hadapan warga yang sedang ronda, dia mulai jumawa."Itu semua permainan jin, jangan takut. Kita sebagai warga kudu merukyah rumah itu. Liat aja, gimana gak jadi sarang jin, kondisi rumah yang tinggal puing gak dihancurkan. Harusnya rumah yang kebakar segera dihancurkan biar lapang aja," sambung Maliki."Masalahnya pemilik rumah tuh masih belum setuju. Pak RT harus tegas nih, Pak RT. Kalau tidak, bisa mencekam terus kompleks kita. Tadi aja ada
Keesokan harinya.Rozi terbangun ketika azan subuh terdengar. Dia teringat akan janjinya pada sang istri tadi malam, bahwa dia akan sholat.Pria itu terbangun, lalu dia menyeret langkah menuju kamar mandi dan berwudhu. Setelah itu, Rozi pun melaksanakan sholat subuh dua rakaat.Pertama-tama, dia hanya tercenung di atas sajadah. Takbiratul ihram diangkat, tapi dia bingung ingin membaca apa. Laki-laki itu tidak tahu apa pun. Akhirnya, dia membaca Al Fatihah saja. Begitu juga dengan ruku dan sujud, tidak ada bacaan apa pun yang mengalun dari bibirnya, sebab dia memang tidak tahu. Karena itu, sholat dua rakaat pun selesai dengan singkat. Sepanjang sholat, semua bacaan Rozi tidak sempurna.Rozi mengangkat tangannya dan berdoa kepada Ilahi Rabbi. "Allah, sampaikan permintaan maaf pada istriku dan berkatilah hidupku." Begitu doa yang Rozi panjatkan setelah dia sholat.Tiba-tiba saja, ketika Rozi selesai berdoa, Hayati masuk ke kamar putranya tersebut. Rozi menatap ibunya."Ada apa, Bu?" tany
Kamelia meraung-raung kesakitan, perutnya seperti akan meledak. Rozi dan Hayati bingung, kenapa perempuan itu jadi menggila. Darah yang keluar dari rahimnya semakin banyak."Bu, gimana ini?" tanya Rozi.Hayati menyembunyikan botol yang dia bawa ke dalam tasnya dan dia menghindar. "Mana ibu tahu, panggil dokter!" katanya.Rozi segera pergi keluar, tapi belum pun memanggil dokter, seorang suster melihat tanda gawat pada Kamelia. Dia segera berlari ke bed perempuan itu."Kenapa ini?" ujar suster itu pada Rozi dan Hayati."Gak tahu, tiba-tiba aja," ujar Hayati."Kalau pasien sedang gawat, cepat hubungi kami ya pak!" ujar perawat itu dengan suara penuh tekanan. Lalu perawat itu menghubungi rekan mereka dan tiba-tiba saja semua yang ada di sana sibuk sekali. "Pak, tolong urus administrasi, pasien ada kartu jaminan sosial kan?" tanya sang dokter.Rozi mengangguk. "I-iya," katanya."Sialan. Diurus ya, Pak. Pasien akan segera dioperasi," ujar dokter itu.Mereka langsung membawa Kamelia ke r
Rozi tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia merasa terpasung dan dibawa ke tempat gelap. Dia tak sadarkan diri.Tak lama kemudian, pria itu membuka mata, alangkah terkejutnya dia saat Rozi ternyata terbangun di tempat yang aneh, gelap, sesak, lagi menghimpitnya dengan keras."T-toloooooong!" Rozi berteriak. "Toloooooooooooooong!"Rozi menangis, dia menangis dengan sangat keras. Pria yang egois itu tak dapat menahan air matanya. Dia seperti dipasung, tubuhnya kaku seperti terikat."Tolong!"Rozi terkejut, dia diam dan mendengarkan. Apakah itu suara orang meminta tolong?"Tolooong! Toloooooong! Hahahaha!" Suara itu diakhiri dengan tawa mengejek yang mengerikan."Tolong? Kau minta tolong?"Tiba-tiba saja sebuah wajah muncul di hadapan Rozi, wajah istrinya, Kamelia. Perempuan itu menyeringai, wajahnya penuh darah, dari mata, hidung, dan mulutnya keluar darah segar yang berbau anyir."Ka-Kamelia?""Jangan sebut nama itu! Kamelia sudah mati!" katanya."Tidak, Kamelia. Ini ... di mana? Lepask
Laki-laki itu memilih pergi dari sana karena takut. Dia menghidupkan motor bututnya dan langsung kabur. Sementara itu, sepasang mata menatapnya dari dalam air, mata yang dipenuhi oleh kemarahan dan gumpalan dendam.Rozi sampai di rumah dalam keadaan basah kuyup. Ibunya langsung menghambur ke arah laki-laki itu. Bu Hayati tampak panik."Ke mana aja, lama betul!" ujar Bu Hayati."Maaf Buk, mancing gak dapat hasil," ujar Rozi."Udahlah, peduli amat soal mancing. Tadi, Pak RT tempat kamu ngontrak datang terus bawakan ini nih!"Bu Hayati memperlihatkan sebuah kertas ke arah anak lelakinya. Kertas itu berbunyi: Surat perjanjian, dengan ini saya (kolom nama dikosongkan) bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi kemarin di rumah yang saya kontrak atas nama pemilik Bapak Haji Saleh. Saya akan mengganti segala kerugian yang telah terjadi. Jika saya melanggar, maka saya bersedia dihukum dengan hukum yang berlaku."Apa ini, Buk?" Mata Rozi membulat saat melihat isi surat tersebut."Ya ampun,
"Husst, jangan bicara kek gitu, Nak," ujar Rozi."Tapi emang iya, ibu semalam ke sini. Dia bilang ...""Cukup! Ayah ndak suka Arumi ngomong yang aneh-aneh. Itu bukan ibu, bukan apa-apa, ndak ada apa-apa," ujar lelaki itu.Dia tampak gelisah karena Arumi berkata seperti itu. Sementara Arumi menunduk karena dia merasa ayahnya tidak suka dan tidak mau membicarakan ibunya. Arumi sedih, bahkan untuk mengingat kenangan bersama ibunya saja dia tidak diperbolehkan. Anak itu berpikir, kenapa ayahnya seperti itu?Arumi menghela napas lalu membantu memilih baju sumbangan tersebut dan menyisihkan yang bisa dia pakai. Gadis itu murung. Kehilangan ibu bagaikan kehilangan segala-galanya bagi Arumi. Kenapa ibunya harus pergi, kenapa tidak ayahnya?Gadis itu sudah tahu, sejak ibunya sakit, ayahnya sering marah-marah pada mereka. Kadang Arumi yang jadi sasaran. Pulang sekolah, dia langsung disuruh mengasuh sampai dia kelelahan. Arumi menangis di sisi ibunya yang tak berdaya dan hanya ditanggapi dengan