Share

Bab 3

Sebuah ledakan terdengar dari dapur. Kompor yang dinyalakan Fahri, terus menerus nenerima panas hingga membuat rumah mereka berasap. Kuali yang bertengger di atasnya meletup hingga terpelanting dan membentur keramik. Belum lagi asap pekat beracun yang terbentuk karena lap terbakar. Api sedang mencari jalan untuk menguasai rumah ini.

Fahri berlari ke kamar sembari berteriak.

"Ibuuuuuu!" Dia menghambur ke arah ibunya dan memeluk Kamelia karena ketakutan.

Lagi-lagi, hanya air mata yang mampu Kamelia berikan. Jika dulu anaknya melakukan suatu kesalahan, Kamelia akan memeluk mereka dan mengatakan tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja. Namun sekarang, jangankan satu pelukan, satu kata untuk menenangkan anaknya saja tak sanggup dia tuturkan.

Fahri terus menangis di sisi ibunya, ketakutan. Hingga beberapa menit berlalu, anak itu pun tertidur akibat menahan lapar yang berat. Begitu pula dengan Delisa, dia juga ketiduran tanpa pakaian dan dengan bau kotoran yang melekat di tubuhnya.

Menit berubah menjadi jam, hawa rumah mereka semakin panas. Asap kompor masih memenuhi seluruh ruangan. Lap yang terbakar api, merembet hingga ke hal lain. Hingga seluruh dapur telah berubah menjadi neraka.

Api menjalar hingga ke atas, mencari jalan keluar untuk menemukan oksigen. Lalu, api itu menyambar-nyambar tabung gas yang ada di sana. Membakarnya hingga panas. Lalu, tiba-tiba saja tabung gas meledak, membuat seluruh gas di dalamnya keluar dan memenuhi seluruh rumah.

Dalam hitungan detik saja, semua itu terjadi. Dan dalam hitungan detik itu pula, Allah berkenan mengabulkan doa Kamelia. Allah mencabut penderitaan mereka.

Tanpa Kamelia sadari, ketiga anaknya telah pun meninggal karena kekurangan oksigen akibat asap yang memenuhi rumah mereka. Mereka tidak tidur, tetapi terlelap selamanya.

Sedangkan Kamelia, dia masih sadar betul ketika apj itu perlahan-lahan menjalar. Di sana, dia melihat rumah tangga yang dia bangun selama ini akhirnya runtuh, di sana pula dia melihat luka besar yang menganga dan senantiasa dia abaikan atas dasar ketaatan terhadap seorang laki-laki yang bergelar suami, di sana dia menyaksikan kebodohannya mempertahankan suami seperti Rozi.

Dia merasa bersalah kepada anak-anaknya, karena telah memberikan ayah yang begitu buruk untuk mereka. Dia merasa bersalah kepada orang tuanya, karena telah memberikan menantu tak bertanggung jawab seperti Rozi. Lebih-lebih lagi, dia merasa bersalah pada dirinya sendiri. Dia zalim pada diri sendiri, bertahan dan berkata semua itu imbalannya surga.

Memang benar, imbalannya surga. Tapi dia harus melalui neraka terlebih dahulu untuk menuju surga yang sangat dinantikannya itu.

Di detik-detik menjelang sekaratul maut, dia melihat tubuh anak-anaknya dijilat api yang begitu panas. Namun sesungguhnya saat ini, hati Kamelia-lah yang terbakar.

Matanya berkilat-kilat, sumpah serapah keluar dari batinnya, dia bersumpah bahwa kehidupan suaminya tidak akan tenang.

"Ya Allah, jika doa orang sekarat terkabul, maka kabulkanlah doa hamba!"

Kamelia memanjatkan doa terakhirnya, tatkala api mencium tubuh ringkih itu.

"Jangan berikan kebahagiaan untuk mereka yang telah menzolimi hamba dan anak-anak hamba. Berikan mereka penderitaan yang takkan pernah mereka sangka-sangka!"

Persis setelah itu, api membakar tubuh Kamelia. Lalu ledakan terdengar dari rumah kontrakan mereka. Barulah warga pada heboh. Mereka berkumpul di sana, sibuk memadamkan api dengan menyiraminya menggunakan apa saja. 

"Rozi, itu rumah Rozi! Cepat hubungi damkar!"

"Anak-anak mereka ada di dalam, sama ibunya yang lumpuh," seru salah seorang tetangga.

"Apa?!" Tetangga lain shock.

"Iya, tadi Rozi keluar bawa pancing, gak tahu udah balik atau belum!"

"Motornya gak ada, belum balik mungkin!"

"Astaghfirullah!" Tetangga Rozi itu tercekat seraya menutup mulutnya ketika menyadari bahwa mungkin saja Kamelia dan anak-anaknya masih ada di dalam rumah.

Sayang sekali, mereka terlambat menyadarinya. Kamelia memang telah mati, bersama ketiga anaknya yang malang. Namun, dendam itu menyala lebih pekat daripada api. Ia membakar energi kesumat yang ada di hati, dan mewujudkannya dalam tali-tali janji. Janji yang sanggup menyeberangi alam kematian, lalu menggumpal di sudut-sudut kegelapan.

Sesosok entitas gelap berdiri di pojok ruangan, menatap Kamelia dan anak-anaknya yang telah terbakar habis. Sosok itu hanya tahu, kalau dia punya urusan yang belum dia selesaikan, yaitu menunaikan dendam kesumat, qarin seorang ibu.

***

"Laa ilaha Illa Allah. Laa Ilaha Illa Allah!" suara tahlil mengiringi pemakaman Kamelia dan ketiga anaknya.

Para warga membawa peti yang berisi jenazah ibu dan anak-anak malang itu ke TPU terdekat dari rumah orang tua Rozi.

Setelah kebakaran waktu itu, Rozi terkejut ketika mendapati rumahnya hangus dilalap api. Lebih mengejutkan lagi, ternyata istri dan anak-anak ikut menjadi korban.

"Ke mana aja sih, Zi! Istri sakit bukannya di rumah, jaga anak, malah mancing," ujar salah satu tetangga mereka.

"Ssst, sudahlah Mak, orang dapat musibah malah dihakimi," ujar anak si tetangga tersebut.

Rozi tidak dapat mengatakan apa pun selain menangis. Beribu penyesalan hadir di kepalanya. Dia kelamaan memancing karena mencari spot yang banyak ikannya. Memang, dia mendapat lima ekor ikan gabus besar yang bisa dijadikan lauk sampai besok, tetapi lima gabus itu begitu mahal harganya karena harus dibayar menggunakan nyawa istri dan anak-anaknya.

Akhirnya, kelima ekor ikan itu berakhir di tanah, terinjak-injak oleh warga dan pemadam kebakaran yang lalu lalang meredakan lokasi.

Rozi berlutut di halaman. Separuh nyawanya hampir melayang saat melihat polisi masuk ke TKP dan keluar sambil membawa empat kantong mayat.

"Lia! Liaaaaaaa!" Rozi berteriak. "Delisaaaaaa! Fahri!!! Raniiiiii!!!!!" Teriakan itu begitu pilu. Dia berlutut sembari menangis dan dipegangi oleh warga yang ada di sana.

Tangisan itu sangat sia-sia. Jika saja dia tidak pergi .... mungkin istri dan anak-anaknya masih selamat. Pikir Rozi begitu. Penyesalannya datang begitu terlambat. 

Sayang, penyesalan itu takkan mengubah apa pun. Lisan telah telanjur mengutuk, takdir telah telanjur berjalan, dan pembalasan akan segera dimulai.

Rozi mengikuti ambulans yang membawa jenazah anak dan istrinya. Tanpa dia sadari, sesosok entitas gelap mengikutinya di belakang.

"Mari kita doakan semoga almarhumah tenang di sisi Allah." Suara pak RT yang memimpin pemakaman Kamelia dan anak-anaknya, membuat lamunan Rozi berakhir.

Setelah mengatakan itu, penimbusan makam pun dilakukan. Warga menimbus makam anak istri Rozi yang dimakamkan dalam satu liang lahat. Mereka dimakamkan bersama dengan peti mati karena jenazah mereka tidak bisa dikafankan dan diurus sebagaimana mestinya. Jadi, atas kebijakan dan pendapat para pemuka agama di sana, Kamelia dimasukkan ke dalam peti bersama anak-anaknya.

Sedikit demi sedikit, tanah menutupi liang lahat itu. Arumi menangis histeri melihat prosesi pemakaman ibunya. Dia sampai harus ditenangkan oleh warga dan dibawa kembali ke rumah oleh tantenya.

Sementara Rozi, menatap layu pada tanah makam yang memerah itu. Kelindan penyesalan masih membayangi kepalanya. Menerbitkan beribu maaf, tetapi sayang sekali, maaf tanpa kesadaran adalah sebuah kesia-siaan.

Rozi sadar dia bersalah karena meninggalkan anak-anaknya, tapi di lubuk hati terdalam dia masih menyangkal semuanya. Setan membisikkan kalau Rozi tidak pergi sia-sia, dia cari ikan buat makan anak-anak. Semua kemalangan ini hanyalah sebuah kecelakaan, dia tak bersalah. Cih! Setan yang durjana atau memang Rozi yang tak punya nurani?

Ego sial-an itu masih bercokol di kepalanya yang to-lol. Sungguh tabiat seorang makhluk yang diberi tanggung jawab sebagai pemimpin, seorang imam, konon. Tapi beginilah dunia. Tidak ada yang benar atau salah, semua mengaku mereka benar, kecuali kalau sudah menghadap Allah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status