Sebuah ledakan terdengar dari dapur. Kompor yang dinyalakan Fahri, terus menerus nenerima panas hingga membuat rumah mereka berasap. Kuali yang bertengger di atasnya meletup hingga terpelanting dan membentur keramik. Belum lagi asap pekat beracun yang terbentuk karena lap terbakar. Api sedang mencari jalan untuk menguasai rumah ini.
Fahri berlari ke kamar sembari berteriak."Ibuuuuuu!" Dia menghambur ke arah ibunya dan memeluk Kamelia karena ketakutan.Lagi-lagi, hanya air mata yang mampu Kamelia berikan. Jika dulu anaknya melakukan suatu kesalahan, Kamelia akan memeluk mereka dan mengatakan tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja. Namun sekarang, jangankan satu pelukan, satu kata untuk menenangkan anaknya saja tak sanggup dia tuturkan.Fahri terus menangis di sisi ibunya, ketakutan. Hingga beberapa menit berlalu, anak itu pun tertidur akibat menahan lapar yang berat. Begitu pula dengan Delisa, dia juga ketiduran tanpa pakaian dan dengan bau kotoran yang melekat di tubuhnya.Menit berubah menjadi jam, hawa rumah mereka semakin panas. Asap kompor masih memenuhi seluruh ruangan. Lap yang terbakar api, merembet hingga ke hal lain. Hingga seluruh dapur telah berubah menjadi neraka.Api menjalar hingga ke atas, mencari jalan keluar untuk menemukan oksigen. Lalu, api itu menyambar-nyambar tabung gas yang ada di sana. Membakarnya hingga panas. Lalu, tiba-tiba saja tabung gas meledak, membuat seluruh gas di dalamnya keluar dan memenuhi seluruh rumah.Dalam hitungan detik saja, semua itu terjadi. Dan dalam hitungan detik itu pula, Allah berkenan mengabulkan doa Kamelia. Allah mencabut penderitaan mereka.Tanpa Kamelia sadari, ketiga anaknya telah pun meninggal karena kekurangan oksigen akibat asap yang memenuhi rumah mereka. Mereka tidak tidur, tetapi terlelap selamanya.Sedangkan Kamelia, dia masih sadar betul ketika apj itu perlahan-lahan menjalar. Di sana, dia melihat rumah tangga yang dia bangun selama ini akhirnya runtuh, di sana pula dia melihat luka besar yang menganga dan senantiasa dia abaikan atas dasar ketaatan terhadap seorang laki-laki yang bergelar suami, di sana dia menyaksikan kebodohannya mempertahankan suami seperti Rozi.Dia merasa bersalah kepada anak-anaknya, karena telah memberikan ayah yang begitu buruk untuk mereka. Dia merasa bersalah kepada orang tuanya, karena telah memberikan menantu tak bertanggung jawab seperti Rozi. Lebih-lebih lagi, dia merasa bersalah pada dirinya sendiri. Dia zalim pada diri sendiri, bertahan dan berkata semua itu imbalannya surga.Memang benar, imbalannya surga. Tapi dia harus melalui neraka terlebih dahulu untuk menuju surga yang sangat dinantikannya itu.Di detik-detik menjelang sekaratul maut, dia melihat tubuh anak-anaknya dijilat api yang begitu panas. Namun sesungguhnya saat ini, hati Kamelia-lah yang terbakar.Matanya berkilat-kilat, sumpah serapah keluar dari batinnya, dia bersumpah bahwa kehidupan suaminya tidak akan tenang."Ya Allah, jika doa orang sekarat terkabul, maka kabulkanlah doa hamba!"Kamelia memanjatkan doa terakhirnya, tatkala api mencium tubuh ringkih itu."Jangan berikan kebahagiaan untuk mereka yang telah menzolimi hamba dan anak-anak hamba. Berikan mereka penderitaan yang takkan pernah mereka sangka-sangka!"Persis setelah itu, api membakar tubuh Kamelia. Lalu ledakan terdengar dari rumah kontrakan mereka. Barulah warga pada heboh. Mereka berkumpul di sana, sibuk memadamkan api dengan menyiraminya menggunakan apa saja. "Rozi, itu rumah Rozi! Cepat hubungi damkar!""Anak-anak mereka ada di dalam, sama ibunya yang lumpuh," seru salah seorang tetangga."Apa?!" Tetangga lain shock."Iya, tadi Rozi keluar bawa pancing, gak tahu udah balik atau belum!""Motornya gak ada, belum balik mungkin!""Astaghfirullah!" Tetangga Rozi itu tercekat seraya menutup mulutnya ketika menyadari bahwa mungkin saja Kamelia dan anak-anaknya masih ada di dalam rumah.Sayang sekali, mereka terlambat menyadarinya. Kamelia memang telah mati, bersama ketiga anaknya yang malang. Namun, dendam itu menyala lebih pekat daripada api. Ia membakar energi kesumat yang ada di hati, dan mewujudkannya dalam tali-tali janji. Janji yang sanggup menyeberangi alam kematian, lalu menggumpal di sudut-sudut kegelapan.Sesosok entitas gelap berdiri di pojok ruangan, menatap Kamelia dan anak-anaknya yang telah terbakar habis. Sosok itu hanya tahu, kalau dia punya urusan yang belum dia selesaikan, yaitu menunaikan dendam kesumat, qarin seorang ibu.***"Laa ilaha Illa Allah. Laa Ilaha Illa Allah!" suara tahlil mengiringi pemakaman Kamelia dan ketiga anaknya.Para warga membawa peti yang berisi jenazah ibu dan anak-anak malang itu ke TPU terdekat dari rumah orang tua Rozi.Setelah kebakaran waktu itu, Rozi terkejut ketika mendapati rumahnya hangus dilalap api. Lebih mengejutkan lagi, ternyata istri dan anak-anak ikut menjadi korban."Ke mana aja sih, Zi! Istri sakit bukannya di rumah, jaga anak, malah mancing," ujar salah satu tetangga mereka."Ssst, sudahlah Mak, orang dapat musibah malah dihakimi," ujar anak si tetangga tersebut.Rozi tidak dapat mengatakan apa pun selain menangis. Beribu penyesalan hadir di kepalanya. Dia kelamaan memancing karena mencari spot yang banyak ikannya. Memang, dia mendapat lima ekor ikan gabus besar yang bisa dijadikan lauk sampai besok, tetapi lima gabus itu begitu mahal harganya karena harus dibayar menggunakan nyawa istri dan anak-anaknya.Akhirnya, kelima ekor ikan itu berakhir di tanah, terinjak-injak oleh warga dan pemadam kebakaran yang lalu lalang meredakan lokasi.Rozi berlutut di halaman. Separuh nyawanya hampir melayang saat melihat polisi masuk ke TKP dan keluar sambil membawa empat kantong mayat."Lia! Liaaaaaaa!" Rozi berteriak. "Delisaaaaaa! Fahri!!! Raniiiiii!!!!!" Teriakan itu begitu pilu. Dia berlutut sembari menangis dan dipegangi oleh warga yang ada di sana.Tangisan itu sangat sia-sia. Jika saja dia tidak pergi .... mungkin istri dan anak-anaknya masih selamat. Pikir Rozi begitu. Penyesalannya datang begitu terlambat. Sayang, penyesalan itu takkan mengubah apa pun. Lisan telah telanjur mengutuk, takdir telah telanjur berjalan, dan pembalasan akan segera dimulai.Rozi mengikuti ambulans yang membawa jenazah anak dan istrinya. Tanpa dia sadari, sesosok entitas gelap mengikutinya di belakang."Mari kita doakan semoga almarhumah tenang di sisi Allah." Suara pak RT yang memimpin pemakaman Kamelia dan anak-anaknya, membuat lamunan Rozi berakhir.Setelah mengatakan itu, penimbusan makam pun dilakukan. Warga menimbus makam anak istri Rozi yang dimakamkan dalam satu liang lahat. Mereka dimakamkan bersama dengan peti mati karena jenazah mereka tidak bisa dikafankan dan diurus sebagaimana mestinya. Jadi, atas kebijakan dan pendapat para pemuka agama di sana, Kamelia dimasukkan ke dalam peti bersama anak-anaknya.Sedikit demi sedikit, tanah menutupi liang lahat itu. Arumi menangis histeri melihat prosesi pemakaman ibunya. Dia sampai harus ditenangkan oleh warga dan dibawa kembali ke rumah oleh tantenya.Sementara Rozi, menatap layu pada tanah makam yang memerah itu. Kelindan penyesalan masih membayangi kepalanya. Menerbitkan beribu maaf, tetapi sayang sekali, maaf tanpa kesadaran adalah sebuah kesia-siaan.Rozi sadar dia bersalah karena meninggalkan anak-anaknya, tapi di lubuk hati terdalam dia masih menyangkal semuanya. Setan membisikkan kalau Rozi tidak pergi sia-sia, dia cari ikan buat makan anak-anak. Semua kemalangan ini hanyalah sebuah kecelakaan, dia tak bersalah. Cih! Setan yang durjana atau memang Rozi yang tak punya nurani?Ego sial-an itu masih bercokol di kepalanya yang to-lol. Sungguh tabiat seorang makhluk yang diberi tanggung jawab sebagai pemimpin, seorang imam, konon. Tapi beginilah dunia. Tidak ada yang benar atau salah, semua mengaku mereka benar, kecuali kalau sudah menghadap Allah.Rumah kontrakan mereka telah terbakar berikut isinya, tak ada yang bisa diselamatkan sama sekali. Akhirnya, Rozi membawa anak sulungnya ke rumah orang tuanya.Pak Abdi dan Hayati, kedua orang tua Rozi, menerima anak dan cucu mereka dengan perasaan sedih dan pedih.Arumi menangis memeluk ayahnya. Kini, kehidupan mereka seolah dibalikkan ke bawah dalam semalam. Semua sangat terpukul, terlebih Arumi. Dia kehilangan ibunya, pelipur lara dalam hidupnya, penerang cahaya hatinya."Sabar ya, Cu! Sabar," ujar Pak Abdi seraya mencoba memeluk Arumi.Arumi menghindar, dia tidak mau dipeluk siapa pun selain ayahnya sekarang."Ayo sini, Arumi, sama kakek," ujar lelaki tua itu.Arumi menolak, dia meringkuk di belakang ayahnya."Sudahlah, mungkin dia masih sedih," ujar Bu Hayati."Sekarang, Rozi gak punya tempat tinggal, Rozi tinggal di sini ya Bu, Pak," ujar lelaki itu."Ndak apa-apa, ini rumahmu juga," ujar Bu Hayati. "Udah lama ibuk suruh kalian sekeluarga pindah ke sini, tapi istrimu itu selalu m
"Husst, jangan bicara kek gitu, Nak," ujar Rozi."Tapi emang iya, ibu semalam ke sini. Dia bilang ...""Cukup! Ayah ndak suka Arumi ngomong yang aneh-aneh. Itu bukan ibu, bukan apa-apa, ndak ada apa-apa," ujar lelaki itu.Dia tampak gelisah karena Arumi berkata seperti itu. Sementara Arumi menunduk karena dia merasa ayahnya tidak suka dan tidak mau membicarakan ibunya. Arumi sedih, bahkan untuk mengingat kenangan bersama ibunya saja dia tidak diperbolehkan. Anak itu berpikir, kenapa ayahnya seperti itu?Arumi menghela napas lalu membantu memilih baju sumbangan tersebut dan menyisihkan yang bisa dia pakai. Gadis itu murung. Kehilangan ibu bagaikan kehilangan segala-galanya bagi Arumi. Kenapa ibunya harus pergi, kenapa tidak ayahnya?Gadis itu sudah tahu, sejak ibunya sakit, ayahnya sering marah-marah pada mereka. Kadang Arumi yang jadi sasaran. Pulang sekolah, dia langsung disuruh mengasuh sampai dia kelelahan. Arumi menangis di sisi ibunya yang tak berdaya dan hanya ditanggapi dengan
Laki-laki itu memilih pergi dari sana karena takut. Dia menghidupkan motor bututnya dan langsung kabur. Sementara itu, sepasang mata menatapnya dari dalam air, mata yang dipenuhi oleh kemarahan dan gumpalan dendam.Rozi sampai di rumah dalam keadaan basah kuyup. Ibunya langsung menghambur ke arah laki-laki itu. Bu Hayati tampak panik."Ke mana aja, lama betul!" ujar Bu Hayati."Maaf Buk, mancing gak dapat hasil," ujar Rozi."Udahlah, peduli amat soal mancing. Tadi, Pak RT tempat kamu ngontrak datang terus bawakan ini nih!"Bu Hayati memperlihatkan sebuah kertas ke arah anak lelakinya. Kertas itu berbunyi: Surat perjanjian, dengan ini saya (kolom nama dikosongkan) bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi kemarin di rumah yang saya kontrak atas nama pemilik Bapak Haji Saleh. Saya akan mengganti segala kerugian yang telah terjadi. Jika saya melanggar, maka saya bersedia dihukum dengan hukum yang berlaku."Apa ini, Buk?" Mata Rozi membulat saat melihat isi surat tersebut."Ya ampun,
Rozi tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia merasa terpasung dan dibawa ke tempat gelap. Dia tak sadarkan diri.Tak lama kemudian, pria itu membuka mata, alangkah terkejutnya dia saat Rozi ternyata terbangun di tempat yang aneh, gelap, sesak, lagi menghimpitnya dengan keras."T-toloooooong!" Rozi berteriak. "Toloooooooooooooong!"Rozi menangis, dia menangis dengan sangat keras. Pria yang egois itu tak dapat menahan air matanya. Dia seperti dipasung, tubuhnya kaku seperti terikat."Tolong!"Rozi terkejut, dia diam dan mendengarkan. Apakah itu suara orang meminta tolong?"Tolooong! Toloooooong! Hahahaha!" Suara itu diakhiri dengan tawa mengejek yang mengerikan."Tolong? Kau minta tolong?"Tiba-tiba saja sebuah wajah muncul di hadapan Rozi, wajah istrinya, Kamelia. Perempuan itu menyeringai, wajahnya penuh darah, dari mata, hidung, dan mulutnya keluar darah segar yang berbau anyir."Ka-Kamelia?""Jangan sebut nama itu! Kamelia sudah mati!" katanya."Tidak, Kamelia. Ini ... di mana? Lepask
Kamelia meraung-raung kesakitan, perutnya seperti akan meledak. Rozi dan Hayati bingung, kenapa perempuan itu jadi menggila. Darah yang keluar dari rahimnya semakin banyak."Bu, gimana ini?" tanya Rozi.Hayati menyembunyikan botol yang dia bawa ke dalam tasnya dan dia menghindar. "Mana ibu tahu, panggil dokter!" katanya.Rozi segera pergi keluar, tapi belum pun memanggil dokter, seorang suster melihat tanda gawat pada Kamelia. Dia segera berlari ke bed perempuan itu."Kenapa ini?" ujar suster itu pada Rozi dan Hayati."Gak tahu, tiba-tiba aja," ujar Hayati."Kalau pasien sedang gawat, cepat hubungi kami ya pak!" ujar perawat itu dengan suara penuh tekanan. Lalu perawat itu menghubungi rekan mereka dan tiba-tiba saja semua yang ada di sana sibuk sekali. "Pak, tolong urus administrasi, pasien ada kartu jaminan sosial kan?" tanya sang dokter.Rozi mengangguk. "I-iya," katanya."Sialan. Diurus ya, Pak. Pasien akan segera dioperasi," ujar dokter itu.Mereka langsung membawa Kamelia ke r
Keesokan harinya.Rozi terbangun ketika azan subuh terdengar. Dia teringat akan janjinya pada sang istri tadi malam, bahwa dia akan sholat.Pria itu terbangun, lalu dia menyeret langkah menuju kamar mandi dan berwudhu. Setelah itu, Rozi pun melaksanakan sholat subuh dua rakaat.Pertama-tama, dia hanya tercenung di atas sajadah. Takbiratul ihram diangkat, tapi dia bingung ingin membaca apa. Laki-laki itu tidak tahu apa pun. Akhirnya, dia membaca Al Fatihah saja. Begitu juga dengan ruku dan sujud, tidak ada bacaan apa pun yang mengalun dari bibirnya, sebab dia memang tidak tahu. Karena itu, sholat dua rakaat pun selesai dengan singkat. Sepanjang sholat, semua bacaan Rozi tidak sempurna.Rozi mengangkat tangannya dan berdoa kepada Ilahi Rabbi. "Allah, sampaikan permintaan maaf pada istriku dan berkatilah hidupku." Begitu doa yang Rozi panjatkan setelah dia sholat.Tiba-tiba saja, ketika Rozi selesai berdoa, Hayati masuk ke kamar putranya tersebut. Rozi menatap ibunya."Ada apa, Bu?" tany
Rumah kontrakan tempat Kamelia yang meninggal itu menjadi angker. Setiap malam, terdengar teriakan yang menyayat hati dari sana. Warga menjadi ketar-ketir dan resah. Pasalnya, jangankan untuk masuk dan mengecek, mereka memilih meringkuk di balik selimut dan ketakutan."Halah, mana ada. Itu semua cuma mainan jin," ujar Maliki, salah satu pemuda kompleks tersebut. Dia sedang nongkrong di pos depan bersama teman-temannya. Maliki ini agak besar omong. Dia mengecilkan semua pendapat dan berkata pendapatnya yang paling benar. Begitu juga saat ini, di hadapan warga yang sedang ronda, dia mulai jumawa."Itu semua permainan jin, jangan takut. Kita sebagai warga kudu merukyah rumah itu. Liat aja, gimana gak jadi sarang jin, kondisi rumah yang tinggal puing gak dihancurkan. Harusnya rumah yang kebakar segera dihancurkan biar lapang aja," sambung Maliki."Masalahnya pemilik rumah tuh masih belum setuju. Pak RT harus tegas nih, Pak RT. Kalau tidak, bisa mencekam terus kompleks kita. Tadi aja ada
"Maliki! Bangun! Maliki!"Pemuda itu membuka mata. Dia melihat sekeliling, ibunya tampak cemas. Lalu, dia bangun dan menyadari dirinya ada di lantai depan."Ibu?""Kamu ngapain tidur di sini! Bangun!"Maliki melihat cuaca, langit masih kelam. Lalu dia bertanya pada ibunya ini jam berapa."Jam berapa ini, Bu?""Udah jam 4 subuh! Ngapain kamu tidur di sini, Maliki! Ayo bangun!"Wati mengangkat tubuh anaknya lalu membawa Maliki masuk. Pemuda itu masih bingung. Tapi dia ingat betul apa yang terjadi padanya semalam. Sosok Kamelia mencekiknya hingga dia hampir mati. Spontan, Maliki meraba lehernya. Apa semua itu hanya mimpi? Maliki berpikir keras.Wanita menyadari tingkah anak itu, lalu dia melihat anaknya mengusap-usap lehernya sendiri. Wati menyadari sesuatu."Tunggu! Leher kamu kenapa?"Wati menyingkirkan tangan Maliki dan membuat anaknya mendongak. Benar saja, leher anaknya membiru, tercetak jelas buku lima jari di sana."Kamu dicekik seseorang, Nak?" gumam Wati."Eh, ndak ... ndak kok