Mata Lucas terpaku pada sosok wanita yang mengayunkan langkahnya—masuk, melewati pintu mobil dan duduk disampingnya dengan wajah menunduk takut.“Eleana?” tanya Lucas ragu. “Maaf, apa kita terlambat? Aku sudah berusaha secepat mungkin,” sesal Davina.Lucas mengangkat dagu yang terus tertunduk dalam. “Lumayan,” gumamnya puas. “Hmm?” Davina terpaku pada wajah yang berkali lipat lebih tampan dari biasanya.Lexus mewah itu mulai bergerak, mengabaikan penumpang—sepasang insan yang saling bertatapan. Berbagi pujian tanpa kata.“Eleana,” ucap Lucas mengawali kalimatnya. “Pesta ini sangat penting bagi ku.”“Bisakah kamu bekerja sama?” Lanjutnya seraya mengusapkan jemarinya lembut, menyusuri garis rahang dan pipi bulat yang menggemaskan.“Kamu tak perlu mengulang hal yang sama Lucas. A-aku bukan bayi,” sanggah Davina terbata. Sentuhan Lucas membuatnya gugup, hingga nyaris tak bisa mengeluarkan suara. “Kamu tenang saja. Aku janji, hari ini akan menjadi gadis penurut.”Lucas menarik tubuhnya sa
“Lucas …” Davina dan Sebastian kompak berpaling, menanggapi suara yang menyela diantara keduanya.Menyadari aura gelap disekitar Lucas, Davina segera beringsut—menjauh dari sisi Sebastian karena dia yakin suaminya tak suka melihatnya terlalu dekat dengan Sebastian.“Kau sangat pandai dalam berpura-pura serta membalikkan fakta,” tandas Lucas.Raut wajah Sebastian meredup sesaat sebelum kembali dihiasi senyum terpaksa. “Lucas, kamu tidak pernah berubah. Tak bisakah kamu mengubur masa lalu dan bersikap lebih ramah padaku,” keluhnya.Lucas mendengus sinis lalu beralih pada sang istri. “Apa yang kamu lakukan disini? Bukan’kah tadi mau ke toilet?”“Aku baru saja kembali dan bertemu Sebastian,” jelas Davina cepat. Ia tak ingin terkena imbas dari amarah Lucas.“Ayo.” Lucas menarik lengan Davina hingga tubuh kurus itu terperangkap dalam dekapannya. Tangannya melingkar posesif di pinggang ramping wanitanya. “Kita harus menyapa tamu.”Tak sekedar menjauhkan sang istri dari jangkauan Sebastian,
“Apakah sulit?”Davina mengangkat pandangannya dari deret kudapan manis nan menggugah selera yang dihidangkan di atas meja panjang. Ia berbalik, menatap wanita disampingnya.“Maaf, aku terlalu fokus memilih pie. Apa anda mengatakan sesuatu, Nyonya Charles?” tanyanya. Davina canggung untuk menatap langsung wanita berparas anggun itu.“Santai saja, Eleana. Panggil nama ku saja,” ujar Megan.Davina menatap kagum wanita yang tengah tersenyum ramah padanya. “Megan …” ucapnya pelan. “Yah, itu terdengar lebih baik,” kekeh Megan senang.“Lalu, apa yang tadi anda tanyakan?” “Ah, aku hanya bertanya …” Megan menggantung kalimatnya demi meneliti ekspresi di wajah nyonya muda keluarga Dawson. “Apakah sulit menjadi istri Lucas?”Davina terdiam sesaat, mencerna maksud dari pertanyaan Megan. “Se-sedikit,” ungkapnya ragu. “Hanya sedikit?” Kekeh Megan. “Ku kira kau akan mengatakan, sangat sulit.”“Mengapa anda berpikir seperti itu?” Davina menautkan kedua alisnya, heran. “Tak ada orang yang tahan, b
“Eh?!” Bola mata Davina melebar, panik. “Tidak,” sergahnya cepat seraya melepaskan diri dari dekapan Lucas.Wajah Davina merah padam sedangkan otaknya sibuk mengurai makna dari kalimat Lucas.Davina malu-malu melirik pria yang melingkarkan lengan di pinggangnya. “A-aku lelah. Kita pulang saja. Bisakah?”Lucas menggeram pelan untuk menyembunyikan tawa geli yang menggelitik sudut bibirnya. Telah dipastikan, wanita itu paham apa yang diinginkan oleh Lucas. “Kenapa kamu harus malu?” Lucas menyentuh pipi yang meruam merah layaknya udang rebus. “Bukankah kita pasangan.”“A-aku tahu. Tapi …” Davina menggigit bibir bawahnya dengan netra yang bergetar. Tiba-tiba suara beserta kilau dari lampu blitz, menyela keinginan Davina untuk mengungkapkan perasaannya. Ia bergeser, menyembunyikan tubuhnya di balik dada Lucas—menghindari sorot lensa kamera.“Lucas …” desah Davina risih.Lucas menarik tangan sang istri, menempelkan kartu ke panel lift. Begitu pintu terlipat, Lucas mengiring Eleana masuk b
Davina menggeliat di atas ranjang, semenjak tiba di rumah perutnya terus bergejolak tak nyaman. Dada dan tenggorokannya terasa panas menyengat, disertai rasa asam yang bergerak naik turun—membuatnya mual.‘Pasti karena lapar, seharian aku belum sempat makan apapun selain sepotong pie,’ pikir Davina.Ia perlahan turun dari ranjang. Menyeret langkahnya tertatih seraya menekan bagian perut yang nyeri—menusuk hingga ulu hati.Dengan segala upaya, akhirnya Davina berhasil mencapai area dapur. Ia membuka lemari es untuk mencari sesuatu yang bisa dijejalkan ke dalam perutnya yang terus merengek.“Apa yang kamu cari?” Jantung Davina nyaris melompat keluar begitu mendengar suara yang tiba-tiba terdengar dari sudut ruangan.Lampu di ruang makan yang terhubung langsung dengan area dapur bersih, tiba-tiba menyala—menerangi setiap sudut ruangan.“Lucas, kamu belum tidur?” Davina meringis pelan saat perutnya kembali berdenyut nyeri. “Apa kamu masih bekerja?”“Apa yang terjadi?” Lucas segera mengh
“Nyonya Eleana menderita Gastritis,” jelas dokter pribadi keluarga Dawson. Pria paruh baya itu menepuk pelan pundak Lucas. “Istri anda membutuhkan istirahat dan perhatian khusus, terutama masalah pada pola makan dan tidur yang teratur.”Lucas mengangguk paham. Ia melirik wajah yang terlelap setelah menerima injeksi obat penenang.“Dan satu hal lagi, Tuan Lucas. Sebaiknya anda menjaga kestabilan emosi Nyonya Eleana, karena stres berlebih bisa membuat kondisi beliau semakin memburuk,” pesan sang dokter.“Baiklah.” Sambut Lucas seraya bergumam samar. “Aku paham.”“Kalau begitu, saya pamit.”“Herman, antarkan dokter.” Lucas menjentikkan jarinya, memberi sinyal pada Herman untuk menggiringi sang dokter keluar dari kamarnya.“Mari, dokter.” Herman mengangguk patuh seraya dengan sopan mengajak sang dokter untuk ikut bersamanya.Setelah suasana lengang, Lucas kembali menatap pemilik wajah yang sesekali terlihat mengerutkan keningnya. ‘Hhh … kali ini aku terlalu berlebihan,’ sesalnya.Lucas
“Kak.” Davina enggan untuk menghentikan langkahnya keluar dari kediaman keluarga Carter, meski sayup-sayup ia bisa mendengar suara langkah kaki Eleana—setengah berlari, menyusulnya.“Davina, tunggu.”Niat Davina untuk segera enyah dari rumah ini harus terhenti karena Eleana berhasil menghadangnya.“Apa lagi yang kamu inginkan?”Eleana mengembangkan senyum manis di bibirnya. “Aku hanya ingin menawarkan bantuan.”“Bantuan?” Selidik Davina.“Ya.” Eleana menganggukkan kepalanya, masih dengan senyum yang kini tampak lebih jelas. “Apa?” Davina memicingkan matanya, curiga. “Hmm, aku bisa membujuk Ayah dan Ibu untuk menebus rumah itu asalkan kamu mau mengenalkan ku pada Lucas. Aku ingin perlahan mengenalnya.”Kalimat yang keluar dari bibir tipis dengan sapuan lipstik berwarna cerah itu seketika membuat Davina mengerang kesal.“Kamu gila? Tidak,” tegas Davina tanpa sedikitpun keraguan.“Kenapa? Ingat Davina! Kamu hanya seorang—”“Aku tahu,” potong Davina. “Aku ini hanya seorang pengganti ta
Davina duduk di lantai, bersandar pada pinggiran ranjang seraya menyandarkan tekuknya di bagian yang terasa empuk. Matanya melayang jauh, seakan menembus langit-langit kamar. Ingin rasanya, ia terbang jauh. Meninggalkan semua beban yang selama ini bergelayut di pundaknya.“Apa yang harus aku lakukan?” Gumamnya resah. “Harus’kah aku merelakan rumah itu?”Asumsi demi asumsi terus berputar dalam benaknya. Mencari kesimpulan terbaik bagi masalah yang tengah dihadapannya. Sederet alasan berarah menuju jalan buntu dan berakhir pada kata pasrah dan menyerah. Namun, ego di hati Davina berkeras—tak ingin menyerah. Davina telah berjuang lama untuk mendapatkan satu-satunya barang peninggalan sang ibu. Rumah dimana keluarganya berlindung dari panas dan hujan. Tempat dimana keduanya mengubur kenyataan bahwa mereka merupakan bagian dari Carter.Davina menenggelamkan wajahnya di balik lipatan tangan. “Ibu, apa yang harus ku lakukan? Aku tidak ingin kehilangan rumah kita,” lirihnya.Ia terdiam sej