Davina Carter menarik napas dalam sebelum melangkahkan kakinya, menapak perlahan menuju altar. Nadinya berdenyut cepat, saling berlomba mengimbangi ritme jantungnya. Dari balik veil berbahan tulle yang menutupi pandangan, Davina dapat melihat ratusan pasang mata yang tengah terpaku padanya. Sayup-sayup dia mendengar deret kalimat bernada sumbang, mempertanyakan sosoknya sebagai calon mempelai wanita dari seorang pewaris harta serta tahta Dawson Grup. "Apa kalian mengenal calon mempelai wanitanya?" Riak rusuh mulai terdengar dari sekelompok wanita yang mempertanyakan identitas mempelai wanita yang selama ini tak pernah terekspos oleh media. "Entahlah, tapi aku mendengar kabar kalau Tuan Muda Lucas dijodohkan dengan seorang gadis desa. Cucu dari sahabat Tuan Besar Dawson." Penjelasan singkat itu disambut reaksi sinis para wanita lainnya, mereka saling bertukar pandangan seraya mengulum senyum geli. "Sayang sekali." Ungkapan bernada kecewa kembali terdengar. "Meski banyak rumor bahwa
Davina mengikuti langkah dari pria yang kini sudah menjadi suaminya untuk memasuki ruangan VVIP di hotel bintang lima Dawson group. Tanpa mengucapkan sepatah kata, pria itu melepas jas lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa panjang. Davina menatap bingung karena suaminya tak sedikitpun menunjukkan minatnya untuk menyapa atau sekedar berbasa-basi. Melihat sikap sang suami, kini dia menyadari bahwa pria itu mengabaikan kehadirannya bagai angin lalu. “A-aku akan mandi terlebih dahulu…” ucap Davina terbata. Tak ingin lebih lama lagi terjebak dalam kecanggungan ini. Pria itu bergeming, menatap Davina seolah tengah menilai dengan seksama. Tak lama dia mendengus kasar lalu menganggukkan kepala tanda setuju sebelum bangkit kemudian berjalan ke arah balkon. Itu adalah interaksi pertama diantara mereka sejak turun dari altar pernikahan. Melihat pria itu menghidupkan rokok dan mengepulkan asapnya ke udara, Davina cepat-cepat menuju kamar mandi. Kentara jelas suaminya sedang tidak ingin diganggu.
Davina bergidik ngeri melihat senyum lengkung serta tatapan tajam yang ditampilkan wajah berbingkai sempurna. "Bu-bukankah kamu …" Ia tak sempat meneruskan kalimat karena bibirnya telah dibungkam dengan lumatan cepat dan dalam. "Hmm …" Davina berusaha keras untuk mendorong tubuh yang menindihnya. Namun sulit, sentuhan hangat itu seakan membuat seluruh tubuhnya tak bertenaga. Dia mendesis tajam saat bibir pria itu beralih menuruni lehernya, meninggalkan jejak hangat dan kemerahan. “Akh!” Davina memekik kaget kala jubah mandinya tiba-tiba tersibak hingga menampakkan satu dari dua titik sensitif yang berada di dadanya. Tindakan itu membuat Davina mendelik, menghempas berbagai logika akan sederet kabar yang beberapa hari lalu ia baca dari media online. 'Jurnalis gila mana yang membuat berita sampah seperti itu! Mana mungkin seorang pria yang menyimpang bisa bertindak sejauh ini?!' “Ngghh …” Davina memejamkan kedua matanya erat, hanya mampu menggeliat resah saat kecupan hangat mengita
“Hei … Bangun!” Davina mengeliat, merintih pelan sebelum membuka mata dan mengedarkan pandangannya. Matanya melebar begitu disambut wajah datar yang tengah menatapnya lewat sorot jengah. “Lucas,” ucapnya ragu. Davina segera bangun, duduk dengan wajah bingung. Butuh beberapa detik lagi untuk memastikan apa yang ditangkap oleh matanya bukan’lah sekedar ilusi. “Kau tidur seperti orang mati,” ejek Lucas. Pria itu melengos acuh lalu kembali menikmati dosis kafein rutinnya sembari memantau pengerakan saham awal di pagi ini. Setelah berhasil mengumpulkan kesadarannya, Davina takut-takut menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. ‘Semalam … ‘kan?’ Pikirannya melayang pada atas apa yang terjadi tadi malam. Davina mengangkat pandangannya, menatap pria yang duduk di sofa, berniat bertanya. “Hmm, Lucas?” Dia ragu sejenak kala menyebut nama suaminya. “Semalam … Apa kita?” “Apa?” Pria yang disebut namanya melepas perhatiannnya dari layar ponsel dan beralih menatap wanita dengan pipi merona yang m
Davina setengah berlari menyusul langkah cepat didepannya. Sedikit saja terlambat maka Lucas akan menghilang dari pandangan. Keduanya masuk ke ruang rawat VIP, di mana hanya ada satu ranjang besar. Sosok pria tua yang lemah terbaring di sana didampingi wanita yang menatap sedih sambil sesekali menyeka air mata di pipinya. "Ma," panggil Lucas, membuat wanita tersebut menoleh. "Bagaimana kondisi Kakek?" Ia menghampiri ibunya yang sejak lepas dari pesta pernikahan langsung kembali ke rumah sakit. "Sayang." Maria menyambut putra semata wayangnya. Memeluk erat tubuh tinggi itu sambil menepuk pundaknya lembut. “Kakekmu–” Ucapannya terhenti begitu melihat sosok wanita yang berdiri di samping putranya. Wajah ramah itu seketika berubah, berganti dengan tatapan marah dan sinis. "Apa yang dilakukan wanita ini di sini?" sentak Maria. Langkah Davina yang hendak menghampiri ibu mertuanya seketika terhenti. Dia terkejut dan memilih mundur satu langkah saat mendapati sambutan yang tak terduga,
Tak banyak yang bisa dilakukan begitu dokter mengabarkan berita tentang kondisi Benjamin Dawson. Walaupun tak kunjung membuka matanya, namun dokter menyatakan kondisi Benjamin saat ini stabil sehingga pihak keluarga memutuskan untuk memindahkan perawatan ke rumah utama. Ini semua dilakukan demi kenyamanan serta keamanan. Dokter dan perawat telah disiapkan untuk selalu standby, memantau kondisi Benjamin. Begitu kabar tentang kepulangan sang tetua tersebar luas, pihak-pihak yang merasa memiliki kepentingan segera berbondong-bondong datang dengan dalih bersimpati atas kondisi sang penguasa keluarga Dawson. Namun dibalik semua itu, bukan’lah rahasia umum bahwa mereka hanya ingin berlomba-lomba menunjukkan wajah dihadapan sang pewaris demi menjaga relasi serta kepentingan pribadi. Di antara pengunjung tampak Abraham Carter bersama sang istri, Cecilia. Begitu melihat sosok Dawson yang menjadi pusat perhatian, mereka segera memasang wajah seolah bersedih dan langsung menghampiri Lucas s
Setelah kepergian Cecilia, Davina menghembuskan napas lega karena Ibu tirinya tidak akan lagi melontarkan kalimat-kalimat pedas untuknya. Sepanjang pertemuan mereka, tak luput sekalipun bagi Cecilia mencemooh bahkan menghina Davina, seolah itu merupakan kesempatan baginya untuk melampiaskan amarah dan dendamnya atas apa yang terjadi dimasa lalu. Meski sesungguhnya Davina merasa itu bukanlah kesalahan maupun kehendaknya namun ia tak dapat melawan dan berusaha sebaik mungkin untuk memahami sikap Cecilia. "Kau baik-baik saja?" Sebuah suara yang datang dari arah berlawanan seketika membuat Davina waspada. Ia mengangkat kepalanya untuk memperhatikan wajah asing yang tiba-tiba menyapanya. "Maaf?" Pria asing itu mengambil posisi di kursi yang ditinggalkan Cecilia, tepat di samping Davina. "Wajahmu pucat, apa kau sakit?" "Ti-tidak, aku baik-baik saja," balas Davina terbata. Ia melirik takut-takut wajah asing yang seolah mengenalinya. "Hmm, syukurlah." Mata Davina terpaku pada wajah c
Sedan mewah berhenti tepat di pintu masuk rumah bertingkat, dengan gaya minimalis modern dan dominasi warna monokrom. Davina dan Lucas yang berada di dalam mobil kursi penumpang tak bergeming meski deru suara mesin sudah tak lagi terdengar. Keduanya larut dalam lamunan masing-masing, menghabiskan waktu dalam kebisuan. "Tuan, Nyonya, kita sudah sampai." Suara sang sopir mengusik kesunyian dan aura suram dari balik kursi penumpang. Lucas berdehem pelan. "Turun," perintahnya lalu beranjak keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Tak banyak bicara, Davina segera menyusul langkah yang berjalan cepat meninggalkannya. Ia tak henti berdecak kagum saat melewati tiap ruangan yang dihiasi deret furniture yang Davina yakini berharga fantastis. Dua wanita paruh baya setengah berlari untuk menyambut kedatangan pemilik rumah, mereka menundukkan kepala saat Lucas melewati tanpa berkata ataupun sekedar menoleh. Sikap Lucas membuat Davina bergumam dalam benaknya, ‘rumah besar in
Langit sore tampak sendu, memantulkan warna abu yang samar pada kaca jendela besar di café milik Baron. Suasana di dalam cukup lengang, hanya beberapa pelanggan yang tengah sibuk dengan laptop dan secangkir kopi mereka. Di sudut dekat rak buku, Davina duduk gelisah. Jemarinya saling menggenggam erat, berkali-kali ia mencuri pandang ke arah pintu, menunggu sosok yang tadi pagi mengirimkan pesan singkat. ‘Kita perlu bicara. Temui aku di tempat Baron. Jangan menunda lagi, Eleana.’ Saat pintu terbuka dan lonceng kecil di atasnya berdenting, jantung Davina berdetak lebih cepat. Megan masuk dengan langkah mantap, tanpa senyum, tanpa basa-basi. Ia berjalan lurus ke arah meja tempat Davina duduk, lalu menarik kursi dan duduk dengan anggun tapi penuh tekanan. Saat tatapan mereka bertemu, Megan tak membuang waktu. “Aku ingin penjelasan. Kali ini, tanpa kebohongan,” ucapnya tajam. Davina menelan ludah. Suara Megan terdengar datar, tapi menyimpan bara. Ia tahu, hari ini tak bisa lagi bersembu
Lucas bersandar santai di kursinya, tak menunjukkan sedikit pun rasa terganggu. Ia menyuap sesendok terakhir sarapannya, lalu mengusap bibir dengan serbet linen. Matanya menatap Maria dan Eleana satu per satu, sebelum akhirnya berhenti pada Davina yang kini terlihat tegang. “Kalian datang membawa kabar menyedihkan, rupanya.” Suaranya tenang. “Davina kehilangan ibunya. Rumahnya pun hilang. Sungguh... kisah yang menyayat hati.” Maria tersenyum kecil, mencoba membaca sikap Lucas yang terlihat terlalu santai untuk situasi seperti ini. “Jadi,” lanjut Lucas pelan, “kalian ingin... Davina tinggal di rumah ini?” “Kalau diizinkan,” jawab Maria cepat. “Itu akan sangat membantu Davina melewati masa-masa sulitnya dan Eleana akan berkumpul lagi dengan sepupu terdekatnya.” Lucas diam sejenak, mengaduk cangkir kopinya dengan pelan. Denting logam melawan keramik mengisi ruang hening itu, menciptakan ketegangan yang tak kasat mata. Lalu ia tersenyum. “Sayangnya, aku tidak terbiasa menerima
Minggu pagi di rumah besar milik Lucas berlangsung tenang dan hangat.Cahaya matahari merambat masuk melalui tirai tipis, membentuk garis-garis cahaya lembut yang menari di atas meja makan. Aroma kopi dan nasi goreng hangat memenuhi udara, menyatu dengan keheningan damai yang mengisi ruangan.Davina duduk tenang di kursinya, menikmati sarapan spesial yang sengaja dipersiapkannya. Di depannya, Lucas menatap dengan sorot mata hangat, seperti sedang menghafal tiap lekuk wajah istrinya.Percakapan mereka ringan, mengalir seperti aliran sungai yang jernih. Tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Seolah pertengkaran dan keraguan itu tak pernah ada.“Ini enak.” Lucas menunjuk isi piringnya.“Aku tidak tahu kamu bisa masak.”Davina tersenyum, malu-malu. “Ah… aku cuma bisa membuat menu simpel. Kamu suka?”Lucas mengangguk, kembali menyendok sarapannya tanpa banyak kata. Tak perlu banyak bicara—suasana nyaman itu sudah cukup bicara banyak.Namun, ketenangan itu terputus tiba-tiba oleh
“Ma.”Eleana menghampiri sang ibu yang tengah santai di taman belakang, sibuk membolak-balik halaman majalah.Wanita paruh baya itu menurunkan majalah di tangannya, lalu melirik sang putri. “Ada apa, Sayang?”Eleana duduk dengan malas di kursi yang kosong. “Aku ingin bicara tentang Davina.”Wajah sang ibu langsung berubah. Keningnya berkerut. Ketidaksukaannya pada anak sambungnya itu terlalu besar untuk bisa disembunyikan.“Kenapa kamu harus membahas wanita pembawa sial itu?” dengusnya tak senang.“Aku tahu Mama muak mendengar namanya, aku juga. Tapi kali ini aku butuh bantuan Mama.”“Katakan’lah, Sayang. Berhenti bertele-tele karena kamu mulai membuat ku pusing.”“Aku ingin posisiku kembali,” ucap Eleana tegas.Alis sang ibu bertaut bingung. “Apa maksudmu?”“Aku ingin Davina keluar dari rumah Dawson dan mengembalikan posisi itu padaku.”Raut wajah sang ibu menegang. “Apa kamu menyukai Lucas?” tebaknya. “Bukankah sebelumnya kamu bilang tidak ingin menikah dengan pria mengerikan itu?”
Davina memekik kaget saat tubuhnya terangkat ke udara dan mendarat dalam dekapan Lucas. “Kalau begitu, lebih baik kita menunggu waktu makan malam di kamar saja,” kata Lucas ceria, seolah tak ada kemarahan di wajahnya beberapa menit lalu. “Eh! Lucas, turunkan aku!” Davina berusaha menggeliat, tetapi pria itu justru mempererat pelukannya, mengangkatnya seperti seorang pengantin baru. “Tenang saja. Kamu butuh istirahat setelah semua drama hari ini.” Davina mendengus pelan, namun tak lagi melawan. Kepalanya bersandar di bahu Lucas, mencoba menyembunyikan rona merah yang belum juga surut dari wajahnya. Langkah kaki Lucas mantap menaiki anak tangga menuju lantai dua. Aroma maskulin dari tubuhnya begitu dekat, membuat napas Davina nyaris tercekat. Ia tak bisa menyangkal bahwa hatinya berdetak lebih cepat setiap kali pria itu menunjukkan sisi lembutnya, meski dalam waktu yang tak terduga. Pintu kamar terbuka tanpa suara. Lucas menurunkan tubuh Davina dengan lembut di atas ranjang king s
Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan. “Kenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?” Lucas mendesis kasar. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?" “A-apa? Aku tidak—” Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. “Aku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian," elaknya tak terima. "Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas. Davina bergidik ngeri kala wajah itu melempar sorot mata mengancam. "Mu-mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk. Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu lebih cepat?" "I-itu ..." Davina kehabi
“Apa yang kalian bicarakan?” Buru Baron begitu melihat dua wanita itu masuk ke dalam ruangan. Megan menggelengkan kepalanya, mencegah Baron untuk banyak bertanya. “Apa semua persiapannya sudah selesai?” “Ya,” sahut Baron. Pandangannya menajam, meminta penjelasan tak terucap dari kedua wanita yang sebelumnya tampak bersitegang. “Semua sudah selesai.” “Terima kasih, Baron.” Megan berpaling pada wanita disampingnya. “Sampai nanti, Eleana,” pamitnya. Davina menatap punggung yang perlahan meninggalkannya. Meski untuk saat ini, Megan bersedia untuk menjaga rahasianya tapi itu bukanlah jaminan kuat karena pada suatu hari, rahasia ini akan terbongkar juga, cepat ataupun lambat. “Kenapa Megan memanggilmu dengan nama Eleana?” tanya Baron. Davina mengulas senyum tipis. “Dia hanya salah mengenaliku sebagai Eleana,” ucapnya sembari mengutuk diri karena kembali harus merangkai kebohongan. “Hmm,” gumam Baron samar. Ia tak lagi memburu Davina dengan pertanyaan karena ia yakin, wanita itu tak ak
“Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari kami, Eleana?”“A-aku …” Davina terbata seraya menundukkan pandangannya dalam-dalam. Ia terlalu takut untuk membalas sorot mata tajam yang diarahkan padanya. “A-ada hal yang tak bisa ku ceritakan padamu.”Megan melemparkan tubuhnya ke atas sofa lalu menghela napas panjang. “Baron adalah sahabat sekaligus saudara bagiku. Hubungan kami sangat dekat hingga tak ada satupun rahasia diantara kami.”“Aku sering mendengarnya memuji salah satu karyawan terbaik yang bernama Davina tapi, aku tidak menyangka bila wanita yang dimaksud Baron adalah kamu, Eleana,” lanjut Megan. Mengurai kisah sekaligus mengkonfirmasi kecurigaan yang terlintas di benaknya. “Jadi, siapa kamu sebenarnya? Davina atau’kah Eleana?”Davina mendapati adanya tuntutan dari balik kalimat panjang yang diutarakan Megan. Membuatnya seketika tak bisa berkutik. “A-aku …”“Jangan coba berbohong lagi, Eleana!” Sergah Megan tegas. Raut wajahnya mengeras saat menekan emosi yang bergejolak dalam ba
“Ke mana kita akan membawanya?” Tanya Davina setelah berhasil mengeluarkan puluhan paperbag dari bagasi mobil.“Tinggalkan saja disana, Davina. Aku akan membawanya masuk,” sahut Allan, teman dekat pemilik cafe.“Tidak perlu sungkan, Allan,” kekeh Davina. “Asal kau tahu, aku disini untuk bekerja,” ujarnya seraya memainkan alisnya untuk membuat mimik wajah lucu yang mengundang tawa.Allan terkikik geli. “Kau dan bos mu itu sama saja, keras kepala,” ejeknya.“Siapa yang sedang mengejekku?” sindir Baron yang datang membawa dua pria muda. “Bawa masuk dan susun di meja.” Perintahnya yang disambut anggukan kompak oleh dua pemuda.“Kalian berdua, mulailah bekerja. Apa kalian akan bercanda sepanjang hari?” Baron beralih pada Davina dan Allan yang terpaku di depan tumpukan paperbag.Allan memasang wajah cengengesan sedangkan Davina bergegas untuk mengangkut jumlah paperbag yang mampu ia bawa.“Ayolah, Baron. Jangan bersikap terlalu keras pada Davina,” keluh Allan. Ia harus memperingatkan sang pe