Setelah upacara pernikahan selesai, Davina mengikuti langkah dari pria yang kini sudah menjadi suaminya untuk memasuki ruangan VVIP di hotel bintang lima Dawson group.
Begitu memasuki ruangan, matanya langsung terpaku oleh luas kamar dengan segala furniture mewah di dalamnya.'Wow.' Davina berseru takjub dalam hati. Ia takut-takut untuk menyentuh lampu meja berwarna emas dengan hiasan kristal di sekelilingnya.Semoga saja tangannya yang bar-bar tak bertindak ceroboh karena gugup dan membuat kristal-kristal itu rontok dengan sendirinya.Usai menyentuh, Davina tersadar ada sorot yang mengawasi. Dia pun langsung mengangkat pandangan, melihat sepasang netra hitam gelap itu tengah menatapnya dalam.Kaget, Davina tersentak dan langsung membuang pandangan ke arah lain. Dia dengan gugup langsung berujar, “A-aku akan mandi terlebih dahulu…”Sebelum melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, sekali lagi, Davina menatap punggung pria yang telah menjadi suami sah baginya di mata negara. Pria itu masih menatapnya diam, tapi kemudian menganggukkan kepala setuju sebelum berjalan ke arah balkon.Itu adalah interaksi pertama mereka sejak pertama bertemu.Melihat pria itu kemudian menghidupkan rokok dan mengepulkan asapnya ke udara, Davina cepat-cepat masuk ke dalam kamar mandi. Kentara jelas suaminya sedang tidak ingin diganggu.Tak butuh waktu lama, Davina keluar mengenakan jubah mandi yang disediakan pihak hotel. Matanya terusik oleh sosok tampan yang telah berpindah dari balkon menuju sofa. Pria itu duduk sambil memangku laptop dengan jemari yang menari-nari di atas tuts keyboard.‘Dia bahkan tetap bekerja di hari pernikahannya. Tak heran dia dinobatkan sebagai pengusaha muda sukses tahun ini.' Davina meneliti wajah tegas yang tengah serius menatap layar laptop.Lalu tiba-tiba, manik yang tadi mengarah ke layar laptop bergeser ke arahnya, membuat Davina tersentak kaget. Hal itu diikuti dengan suara layar laptop yang ditutup dengan keras dan tubuh tinggi menjulang yang berjalan menghampirinya.‘A-apa yang akan dia lakukan?’ batin Devina dengan jantung berdebar cepat.Saat pria itu hanya berjarak satu langkah dari dirinya, Davina menahan napas. Tapi kemudian, dia menyadari pria itu hanya melewatinya tanpa kata dan masuk ke dalam kamar mandi.BRAK!Pintu terbanting menutup.‘A-ah … dia hanya mau ke kamar mandi,’ pikir Davina seraya menghela napas. Dia pun kembali menatap ke depan, pada ruangan di hadapan. 'Sekarang, apa yang harus kulakukan.'Tidur duluan akan sangat tidak sopan, tapi berdiri terus juga sangat konyol.Akhirnya, Davina memutuskan duduk di sofa seraya berusaha merapikan rambutnya yang setengah basah.Seiring waktu berjalan, Davina mulai menguap. Hari ini terlalu melelahkan baginya, mengingat tadi di pesta dia harus terus memasang wajah bahagia dengan penuh paksaan.Tanpa sadar, pandangan Davina menatap ranjang king size yang sengaja dipersiapkan pihak hotel untuk menyambut para pengantin. Sprei putih bersih itu dihiasi taburan kelopak bunga mawar merah membentuk hati dan di bagian tengahnya diletakkan dua angsa yang saling mengait—dibentuk dari handuk.Pemandangan itu seketika memicu rona merah di pipi Davina, pikiran memalukan muncul begitu ia mengingat bahwa malam ini seharusnya malam pertama baginya bersama sang suami.'Tidak! Aku tidak boleh membayangkan hal seperti itu!’ Gadis itu menepuk-nepuk wajahnya. ‘Ayolah, Davina, jangan lupa. Pria itu tidak menyukai wanita!’Berusaha menepiskan pikiran buruk itu, dia pun meraih remote TV dan gegas menekannya.Tak disangka, layar televisi menampilkan berita tentang pernikahannya dengan Lucas. Namun, sorotan utama adalah suami barunya itu.Dikatakan oleh pembawa berita bahwa pernikahan calon pewaris Dawson Group itu dengan putri satu-satunya keluarga Carter telah berhasil menghapus rumor yang selama ini beredar, bahwa Lucas Dawson adalah penyuka sesama jenis"Rumor, katanya?" gumam Davina dengan senyum tak berdaya. “Padahal, itu memang benar adanya.”"Apa yang kau lihat?"Davina terkejut dengan suara yang muncul dari arah belakangnya, ia terlalu serius dengan tontonan di depan mata hingga tak menyadari kehadiran Lucas yang sudah keluar dari kamar mandi!Davina buru-buru mematikan televisi dan melemparkan remote ke sofa. Dia masih memunggungi Lucas."Eh, tidak. I-itu …" Davina berniat mengelak, tapi kemudian helaan napas terdengar. Masih lebih baik jujur. "B-berita tadi menampilkan rumor mengenai dirimu yang ….” Dia tak enak melanjutkan."Kau mempercayai rumor sampah seperti itu?" tukas pemilik suara itu sinis.Sontak, Davina berdiri dan berbalik. “B-bukan … maksudku—”Namun, ucapannya terhenti saat pandangannya dihadapkan langsung dengan dengan dada bidang telanjang, serta bagian pinggang yang hanya dibalut handuk putih—pemandangan yang memamerkan tubuh kekar dengan deret otot yang tercetak rapi di perut seorang Lucas Dawson.Davina mendelik kaget dan buru-buru memalingkan wajahnya yang merah padam ke arah lain. Ia beringsut mundur, tapi gerakannya segera terhenti.Lucas menarik pergelangan tangan Davina, lalu dengan gerakan cepat, sebelah tangan pria itu melingkar ke pinggang tubuh ramping sang gadis, mengikis jarak di antara keduanya. Jemari Lucas terayun untuk mengelus rahang Davina dan mengangkat dagu wanita itu dengan kasar, memaksa Davina untuk menatapnya."Apa kau penasaran?"Pertanyaan yang diiringi nada mengejek dan senyum sinis itu membuat Davina melebarkan matanya, takut."Ti-tidak," sahutnya terbata.Hati Davina menjerit panik, ia berusaha keras untuk melepas tangan kekar Lucas yang mencoba untuk turun menyusuri pinggulnya. Meski tubuhnya terbalut oleh jubah mandi, tapi sentuhan itu mampu membuat tubuh Davina meremang."A-apa yang kau lakukan? Lepaskan aku." Davina menggeliat. Menarik tubuhnya agar lepas dari dekapan erat itu.Namun yang terjadi justru sebaliknya, pria itu menghempas tubuhnya ke atas ranjang.“Ah!”Davina memekik kaget. Kemudian, saat ingin bangun, Lucas telah berada di atasnya–mengungkungnya."Kenapa? Takut?""Tidak," sergah Davina bergetar. "Lebih baik kau segera kenakan pakaianmu," alihnya dengan wajah dibuang ke samping.Pria itu mendengus kasar. “Lalu kenapa menghindar?”Davina menggertakkan gigi dan berbalik menatap Lucas. “Kau masih setengah telan–” Dia langsung menutup mulutnya lagi dan kembali membuang wajah. “G-gunakan saja pakaianmu!”Reaksi Davina membuat sudut bibir Lucas semakin meninggi. Rona merah di wajah manis itu, bibir yang digigit gugup menggemaskan, juga dua tangan yang terapit di depan dada seperti seorang hamster yang ketakutan dimangsa.Tidakkah dia menggoda?Lucas pun semakin mengimpit tubuh Davina, membuat wanita itu memekik kaget. Kemudian, dia mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga wanita itu, "Bukankah ini malam pertama kita?" Desah suara berat itu.Tangannya menarik lepas tali pengikat dari jubah mandi di tubuh yang bergetar di bawah dekapannya."Jadi, untuk apa mengenakan pakaian jika kita akan membukanya lagi?"*****Davina menatap ngeri senyum sinis disertai mata yang menatapnya nyalang."Bu-bukankah kamu …"Ia tak sempat meneruskan kalimatnya, bibirnya telah dibungkam dan dilumat cepat dan dalam oleh bibir milik Lucas."Hmm …"Davina berusaha keras untuk mendorong tubuh yang menindihnya. Namun sulit … sentuhan hangat di bibirnya seakan membuat seluruh tubuhnya hingga tak bertenaga. Ia mendesis tajam saat bibir pria itu beralih menuruni lehernya, meninggalkan jejak hangat dan basah kemerahan yang mencerminkan gairah dan gelora. Terus turun sampai akhirnya menyentuh satu dari dua titik sensitif yang berada di dadanya, memaksanya untuk mendesah nikmat. Tindakan itu membuat Davina mendelik, menghempas logikanya akan deretan kabar buruk yang beberapa hari lalu ia baca dari situs-situs online.'Jurnalis gila mana yang membuat berita sampah seperti itu! Mana mungkin seorang pria yang menyimpang bertindak seperti ini?!'“Ngghh …”Davina hanya mampu menggeliat resah saat jubah mandi yang dikenakannya m
Bersamaan dengan ucapan itu, Lucas memulai gerakannya, membuat wajah Davina mengernyit akibat sakit yang terasa. Namun, seperti ucapan pria tersebut, semakin lama gerakan itu menghasilkan perasaan aneh yang membuat rasa sakit itu berhenti, digantikan kenikmatan yang membuat desahannya kembali.“Ah … ah!” Refleks, tangan Davina melingkar di leher Lucas, kuku-kuku jarinya dibenamkan di punggung pria itu tanpa sadar, menyebabkan luka yang membuat Lucas meringis. Akan tetapi, pria itu hanya terdiam, terlalu fokus pada kenikmatan yang tercipta atas persatuan mereka."Sebut namaku," titah Lucas di sisi telinga Davina.Davina memandang sayu iris gelap yang menatapnya lekat dalam balutan napsu."Lu-Lucas," ucap Davina dengan terbata, tak lagi memiliki kesadaran penuh karena tenggelam dalam gairah panas pria di hadapan. “Lucas, Lucas, Lucas!”Panggilan itu membuat senyuman di bibir Lucas menjadi semakin lebar, dan gerakannya pun menjadi semakin cepat. Pria itu mencium bibir Davina, kasar, dal
Davina terdiam. Tubuhnya bergetar kala pertanyaan bernada datar itu terlontar dari bibir pria yang menatapnya dingin.'Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau dia tahu?'Ribuan kali sang ayah memperingatkan Davina agar tidak memicu kecurigaan keluarga Dawson, apalagi sampai membongkar identitasnya yang sebenarnya dan membuat pernikahan ini batal.Tapi, apa ini? Dia tidak berbuat aneh dan Lucas sudah langsung mencurigainya!? Apa identitasnya akan terbongkar di hari pertamanya menikah!?"I-itu …" Davina terdiam, dia berusaha memutar otak untuk memberikan jawaban yang tepat. Namun, belum selesai dia berpikir, suara Lucas kembali terdengar berucap."Kenapa kau ketakutan seperti itu?" ujar pria tersebut dengan pandangan tajam. "Aku hanya bercanda,” imbuhnya datar. Davina mengerjapkan matanya, bingung. Apa pria ini sungguh bercanda? Kenapa sepertinya wajah serius itu tidak menunjukkan demikian?Lucas berdiri dari sofa, lalu menghampiri Davina. “Apa ini?” tanya pria itu dengan sudut bi
Davina setengah berlari menyusul langkah cepat Lucas. Keduanya masuk ke ruang rawat VIP, di mana hanya ada satu ranjang besar. Sosok pria tua yang lemah terbaring di sana didampingi wanita yang menatap sedih sambil sesekali menyeka air mata di pipinya."Ma," panggil Lucas, membuat wanita tersebut menoleh. "Bagaimana kondisi Kakek?" Ia menghampiri ibunya yang sejak lepas dari acara pesta pernikahan langsung kembali ke rumah sakit."Sayang." Maria menyambut putra semata wayangnya. Memeluk erat tubuh tinggi itu sambil menepuk pundaknya lembut. “Kakek–”Ucapan Maria terhenti begitu melihat sosok wanita yang berdiri di samping putranya. Wajah ramah itu seketika berubah, berganti dengan tatapan marah dan sinis."Apa yang dilakukan wanita ini di sini?" sentak Maria.Davina terkejut dan mundur satu langkah ketika ia ingin menghampiri Ibu mertuanya. Ia tak pernah menyangka sambutan yang diterimanya sangatlah jauh dari kata ramah. Wanita anggun itu tampak membencinya dengan sepenuh hati."Mari
Davina berdiri di depan pintu ruang VIP dengan wajah bersimbah air mata. Tatapan sayu, meski pertemuannya dengan Kakek hanya berlangsung sebentar, namun ia merasakan kasih sayang yang selama ini tak pernah ia dapatkan dari keluarganya.Davina menyapu jejak air mata di kedua pipinya, memutar kenop dan menunggu pintu dihadapannya perlahan terbuka. Matanya terpaku pada beberapa orang yang sudah berkumpul memadati ruangan.Langkah Davina bergetar saat memasuki area dalam ruangan. Ia langsung disambut oleh tatapan orang-orang yang menganggapnya sebagai sosok asing."Kau!" teriak Maria. Matanya melotot saat melihat Davina melangkahkan kakinya memasuki ruangan. "Apa yang sebenarnya telah kau lakukan?!" Maria mencengkram kasar lengan Davina. "Kenapa Ayahku meninggal setelah bertemu denganmu!" “A-aku ….”Tindakan Maria membuat Davina terbata. Ia terlalu kaget atas tudingan yang diarahkan sang ibu mertua hingga tak mampu untuk membela diri. Melihat wajah bersalah Davina, Maria semakin menjadi
Suasana di area pemakaman pribadi milik keluarga Dawson tampak lengang setelah prosesi acara pemakaman Benjamin Dawson selesai di gelar. Acara itu berlangsung begitu khidmat, diikuti oleh para pelayat yang silih berganti datang untuk memberikan penghormatan terakhir pada tetua di keluarga Dawson. Di antara pelayat, tampak Abraham dan Cecilia, Ayah dan Ibu tiri Davina, mereka duduk di antara barisan kursi keluarga utama Dawson.Di sana terlihat pula, Lucas dan Davina. Setelah perdebatan mereka di rumah sakit, Lucas menyeret Davina untuk mendampinginya dan menjadi wakil dari keluarga untuk menyambut kedatangan para pelayat. "Ada apa?" Lucas memperhatikan wajah Davina yang tampak pucat dan lesu bahkan beberapa kali Lucas mendapati wanita itu menghela napas dalam.“A-aku akan duduk sebentar, lalu akan kembali lagi” Davina menggeleng lemah, "karena kepalaku sedikit pusing," balasnya gugup. Sejak dari rumah sakit, Kepalanya berdenyut nyeri dengan mata yang berkunang-kunang. Mungkin ini
Sedan mewah berhenti tepat di pintu masuk rumah bertingkat, dengan gaya minimalis modern dan dominasi warna monokrom.Davina dan Lucas yang berada di dalam mobil kursi penumpang tak bergeming meski deru suara mesin sudah tak lagi terdengar. Keduanya larut dalam lamunan masing-masing, menghabiskan waktu dalam kebisuan."Tuan, Nyonya, kita sudah sampai." Suara sang sopir mengusik kesunyian dan aura suram dari balik kursi penumpang.Lucas berdehem pelan. "Turun," perintahnya lalu beranjak keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya ke dalam rumah.Tak banyak bicara, Davina segera menyusul langkah pria dingin itu. Mereka disambut oleh dua pelayan yang menundukkan kepala saat Lucas melewatinya.Davina terpaku oleh betapa luasnya setiap ruangan yang dilewati beserta deret furniture yang ia yakini berharga fantastis. Rumah besar ini terlihat megah namun aura yang dipancarkan memberi kesan sunyi dan senyap. Setiap langkah terasa dingin, bagai menginjakkan kaki di atas batangan es. Saat kedua
Davina membeku di tempat, wajahnya memucat. Tekanan pada nama ‘Eleana’ yang Lucas sebutkan memiliki makna tersembunyi.‘Apa … dia tahu kebenarannya?’ batin Davina dengan tubuh bergetar.Melihat reaksi Davina, Lucas mendengus. Kemudian, pria itu berbalik dan melangkah ke pintu.Pintu dibuka oleh pria tersebut. “Bawa wanita ini ke ruangannya,” titah Lucas pada kepala pelayan yang berjaga di luar.“Baik, Tuan,” balas sang kepala pelayan sebelum berakhir menatap Davina. “Nyonya, silakan.”Davina termenung beberapa saat, lalu melirik ke arah Lucas yang menatapnya tajam, seakan muak melihat wajahnya. “Apa yang kau lakukan berdiam di sana? Keluar.”Mendengar perintah itu, Davina pun langsung berlari kecil meninggalkan ruangan dan mengikuti kepala pelayan.Saat pintu ruang kerja Lucas tertutup, Davina mengintip sedikit ke belakang. ‘Pria itu … dia mengerikan.’Setelah meninggalkan ruang kerja Lucas, kepala pelayan mengantarkan Davina berkeliling kediaman, sampai akhirnya tiba di depan pintu,
Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan.“Kenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?” Desis Lucas marah. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?"“A-apa? Aku tidak—” Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. “Aku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian. Bahkan aku belum sempat menyapanya," elaknya tak terima."Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas.Davina bergidik ngeri kala suara itu mengecamnya dan melempar sorot mata tajam. "Mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk.Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu le
“Apa yang kalian bicarakan?” Buru Baron begitu melihat dua wanita itu masuk ke dalam ruangan.Megan menggelengkan kepalanya, mencegah Baron untuk banyak bertanya. “Apa semua persiapannya sudah selesai?”“Ya,” sahut Baron. Pandangannya menajam, meminta penjelasan tak terucap dari kedua wanita yang sebelumnya tampak bersitegang. “Semua sudah selesai.”“Terima kasih, Baron.” Megan berpaling pada wanita disampingnya. “Sampai nanti, Eleana,” pamitnya.Davina menatap punggung yang perlahan meninggalkannya. Meski untuk saat ini, Megan bersedia untuk menjaga rahasianya tapi itu bukanlah jaminan kuat karena pada suatu hari, rahasia ini akan terbongkar juga, cepat ataupun lambat.“Kenapa Megan memanggilmu dengan nama Eleana?” tanya Baron.Davina mengulas senyum tipis. “Dia hanya salah mengenaliku sebagai Eleana,” ucapnya sembari mengutuk diri karena kembali harus merangkai kebohongan.“Hmm,” gumam Baron samar. Ia tak lagi memburu Davina dengan pertanyaan karena ia yakin, wanita itu tak akan men
“Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari kami, Eleana?”“A-aku …” Davina terbata seraya menundukkan pandangannya dalam-dalam. Ia terlalu takut untuk membalas sorot mata tajam yang diarahkan padanya. “A-ada hal yang tak bisa ku ceritakan padamu.”Megan melemparkan tubuhnya ke atas sofa lalu menghela napas panjang. “Baron adalah sahabat sekaligus saudara bagiku. Hubungan kami sangat dekat hingga tak ada satupun rahasia diantara kami.”“Aku sering mendengarnya memuji salah satu karyawan terbaik yang bernama Davina tapi, aku tidak menyangka bila wanita yang dimaksud Baron adalah kamu, Eleana,” lanjut Megan. Mengurai kisah sekaligus mengkonfirmasi kecurigaan yang terlintas di benaknya. “Jadi, siapa kamu sebenarnya? Davina atau’kah Eleana?”Davina mendapati adanya tuntutan dari balik kalimat panjang yang diutarakan Megan. Membuatnya seketika tak bisa berkutik. “A-aku …”“Jangan coba berbohong lagi, Eleana!” Sergah Megan tegas. Raut wajahnya mengeras saat menekan emosi yang bergejolak dalam ba
“Ke mana kita akan membawanya?” Tanya Davina setelah berhasil mengeluarkan puluhan paperbag dari bagasi mobil.“Tinggalkan saja disana, Davina. Aku akan membawanya masuk,” sahut Allan, teman dekat pemilik cafe.“Tidak perlu sungkan, Allan,” kekeh Davina. “Asal kau tahu, aku disini untuk bekerja,” ujarnya seraya memainkan alisnya untuk membuat mimik wajah lucu yang mengundang tawa.Allan terkikik geli. “Kau dan bos mu itu sama saja, keras kepala,” ejeknya.“Siapa yang sedang mengejekku?” sindir Baron yang datang membawa dua pria muda. “Bawa masuk dan susun di meja.” Perintahnya yang disambut anggukan kompak oleh dua pemuda.“Kalian berdua, mulailah bekerja. Apa kalian akan bercanda sepanjang hari?” Baron beralih pada Davina dan Allan yang terpaku di depan tumpukan paperbag.Allan memasang wajah cengengesan sedangkan Davina bergegas untuk mengangkut jumlah paperbag yang mampu ia bawa.“Ayolah, Baron. Jangan bersikap terlalu keras pada Davina,” keluh Allan. Ia harus memperingatkan sang pe
“Hai.”Davina melambaikan tangannya dengan ceria kala memasuki pintu cafe. Ia menyapa beberapa karyawan yang tengah membersihkan meja-meja sebelum waktunya membuka cafe.“Hei, Davina!” Teriakan dari ujung ruangan membuat Davina segera memupuskan senyum di bibirnya dan berganti dengan raut tegang. “Bos,” ucapnya sambil tersenyum canggung. “Apa kabar?”Kain lap melayang ke wajah Davina diiringi dengan gerutuan sang pemilik cafe.“Dari mana saja kamu, bocah nakal!”“Maafkan aku, Bos.” Davina berlari kecil, menghampiri sang bos yang telah menjadi malaikat penolong baginya selama dua tahun terakhir. “Aku tidak enak badan selama beberapa hari ini.”“Apa? Kamu sakit?” Buru Baron cemas. Ia mengelus pelan pipi Davina. “Ah, masih hangat.”“Sudah lebih baik, Bos,” elak Davina. Ia tidak ingin pria baik hati itu cemas akan kondisinya. Ini pula alasan Davina tidak ingin mengirimkan kabar perihal sakitnya.“Kamu yakin? Mengapa tidak mengabariku? Kamu bisa saja mengambil cuti hingga kondisimu benar-b
Davina memandang dua ruas jarinya yang tampak berkilauan. Entah sejak kapan, dua benda indah ini melingkari jemarinya. Pagi ini, begitu membuka matanya, Davina dikejutkan oleh dua cincin yang menghiasi jarinya. Salah satunya merupakan cincin pernikahan. ‘Apa Lucas yang memasangkannya?’ pikir Davina ragu.Dua cincin itu membuat Davina merasa spesial, ia merasa dihargai meski hanya sebagai istri pajangan di rumah ini.“Nyonya, apa anda sudah selesai dengan mangkuk itu?” Usik Herman bernada sindiran.Sejak sepuluh menit yang lalu, kepala pelayan itu telah menunggu dengan sabar di sudut ruangan. Memperhatikan gerak-gerik nyonya muda yang terus saja memandangi jemarinya tanpa berniat menyentuh bubir di dalam mangkuk.Davina berdehem pelan untuk menutupi rasa bersalahnya. “Maafkan aku, Herman. Tapi bisakah aku menyudahinya?”“Kenapa? Apa tidak sesuai dengan selera anda?” Herman menunggu jawaban dengan mimik wajah serius. “Tidak … tidak,” elak Davina. Raut wajahnya keruh, menjadi serba sal
“Bos, saya mendapat informasi kalau rumah yang ditempati Nyonya Davina dan ibunya di sita oleh bank,” lapor Gio.Lucas menutup dengan keras map laporan yang tengah ia baca. “Di sita?” Ulangnya ragu.“Seminggu yang lalu, bank mengirimkan surat peringatan terakhir. Namun, dari pihak Carter tidak menunjukkan tanggapan sehingga bank memutuskan untuk menyita rumah itu, tepat dua hari yang lalu.”“Jadi itu alasannya ke rumah gadai?” Tebak Lucas yakin. “Dari penelusuran saya, sejak dulu Tuan Carter mengabaikan Nyonya Davina dan ibunya. Keduanya sengaja diasingkan dari rumah utama keluarga Carter.” Gio mengambil napas panjang untuk meneruskan kalimatnya.“Bahkan Tuan Carter tidak pernah mengakui nyonya Davina sebagai darah dagingnya,” lanjut Gio. Dari balik intonasi suaranya, terdengar nada kasihan atas nasib hidup seorang Davina.Pancaran dibalik sorot mata Lucas mengeras. “Ambil alih rumah itu dan bawakan aku semua data aset beserta hutang Carter.” Ia menarik senyum miring di sudut bibirny
“A-aku …” Davina menunduk dalam. “Maafkan aku, Lucas,” sesalnya.Lucas tak bergeming. Ia sudah cukup muak mendengar kata yang sama keluar dari bibir wanita yang dibalut oleh banyak kebohongan.Davina memutar cincin di jarinya demi menutupi kegugupan yang ia rasakan. Ia merapatkan tubuhnya demi mengusir dingin yang menyerang. Tiba-tiba suhu ruangan perlahan menurun, menjadi semakin dingin hingga membuat tubuhnya bergetar.“Apa kamu butuh uang?”Tebakan Lucas membuat Davina terbelalak lalu perlahan menunduk lesu. “Hhh …” Suara desahan Lucas terdengar berat dan dalam. Pria itu meraih dagu Davina dan mengangkat paksa hingga pandangan keduanya saling bertemu.“Terlepas dari apapun alasan pernikahan ini tapi, di mata negara aku sah sebagai suamimu,” tuturnya tegas. “Apapun yang kamu butuhkan ataupun masalah yang sedang kamu hadapi, kamu bisa mengatakannya padaku karena itu semua menjadi tanggung jawabku sebagai seorang suami.”Kelopak mata Davina bergetar, menatap haru wajah tampan itu. M
Lucas menggerakkan tangan kanannya untuk menyeka bulir keringat yang mengembun di kening istrinya, sedangkan tangan kirinya tak lepas dari genggaman pemilik wajah pucat yang terlelap lelah.“Apa yang sebenarnya kamu lakukan disana?” Lucas menatap cemas.Benaknya terus mempertanyakan hal yang sama, menuntut sebuah jawaban yang bisa memuaskan rasa penasaran berbalut kecemasan.Ia mengusap lembut pipi yang bersemu kemerahan dengan mata sembab akibat menangis sepanjang hari.“Tuan.”Lucas menjauhkan tangannya dari wajah Davina, menegakkan punggung lalu berpaling untuk menanggapi panggilan Herman.“Ada apa?”“Tuan Gio datang bersama beberapa orang lainnya. Mereka menunggu anda di taman belakang,” urai Herman bernada gelisah.“Aku tahu,” balas Lucas seraya melambaikan tangannya acuh untuk mengusir pria tua itu dari hadapannya.Herman menunduk hormat dan segera keluar. Ia cukup paham tabiat sang pemilik rumah. Raut wajahnya yang suram, menunjukkan suasana hatinya yang kelam serta emosi yang