Davina setengah berlari menyusul langkah cepat didepannya. Sedikit saja terlambat maka Lucas akan menghilang dari pandangan. Keduanya masuk ke ruang rawat VIP, di mana hanya ada satu ranjang besar. Sosok pria tua yang lemah terbaring di sana didampingi wanita yang menatap sedih sambil sesekali menyeka air mata di pipinya.
"Ma," panggil Lucas, membuat wanita tersebut menoleh. "Bagaimana kondisi Kakek?" Ia menghampiri ibunya yang sejak lepas dari pesta pernikahan langsung kembali ke rumah sakit. "Sayang." Maria menyambut putra semata wayangnya. Memeluk erat tubuh tinggi itu sambil menepuk pundaknya lembut. “Kakekmu–” Ucapannya terhenti begitu melihat sosok wanita yang berdiri di samping putranya. Wajah ramah itu seketika berubah, berganti dengan tatapan marah dan sinis. "Apa yang dilakukan wanita ini di sini?" sentak Maria. Langkah Davina yang hendak menghampiri ibu mertuanya seketika terhenti. Dia terkejut dan memilih mundur satu langkah saat mendapati sambutan yang tak terduga, sangatlah jauh dari kata ramah. Wanita anggun itu tampak membencinya dengan sepenuh hati. "Maria, kenapa kamu bersikap kasar pada menantumu?" tegur sosok pria tua yang berbaring di ranjang, membuat Maria menggertakkan gigi, lalu membuang muka tanpa mengatakan apa pun lagi. "Kemari, Nak." Benjamin—tetua dari keluarga Dawson itu melambaikan tangannya ke arah Davina, memintanya untuk mendekat. Davina melirik takut, ibu mertuanya meloto seolah ingin menelannya bulat-bulat. Namun, sebuah dorongan di punggungnya, yaitu tangan Lucas, membuat Davina menguatkan diri untuk melangkahkan kaki mendekati ranjang. "Eleana, apa kabarmu? Maaf bila Kakek tidak bisa hadir di acara pernikahan kalian," tutur kakek lembut. Ia tersenyum ramah untuk menyambut cucu menantunya itu. Davina mengulas senyum manis untuk membalas ketulusan dari satu-satunya orang yang menyambutnya dalam keluarga ini. "Tak apa, Kek. Aku yakin, Kakek pasti mengirimkan doa terbaik untuk pernikahan kami." Tuan Benjamin tersenyum puas melihat sosok istri pilihan untuk cucunya. "Tentu, Nak. Tentu saja." Ia merasa tidak menyesal telah menjodohkan Lucas dengan anak dari keluarga Carter yang sangat cantik dan juga memiliki tutur kata yang santun. Dia mempersilakan Eleana untuk duduk di kursi yang berada di dekat ranjangnya, Tuan Benjamin lanjut berkata, "Aku dan Carter telah bersahabat lama, dan kami tidak ingin hubungan baik ini berakhir. Oleh karena itu, kami berjanji untuk menjodohkan keturunan kami agar persahabatan ini tetap terjalin erat." Pria tua itu menepuk-nepuk pelan punggung tangan Eleana. “Dan kamu serta Lucas … sudah memenuhi harapan kami.” Melihat percakapan Benjamin dan Davina, Maria memasang wajah tak suka. Selama ini, Maria menginginkan seorang menantu yang berpendidikan tinggi, cerdas dan elegan. Demikian, saat tahu sang ayah akan menjodohkan putranya dengan keturunan keluarga Carter, dia adalah orang yang paling menentang keras keputusan itu. Namun Maria harus menyimpan sikapnya karena masalah warisan, ditambah dengan kenyataan Lucas tidak keberatan, Maria hanya bisa menerima perjodohan ini dengan hati dongkol. Mendadak, Maria dikejutkan dengan ucapan sang putra, "Ma, aku keluar sebentar ya." Tampak pria muda itu ingin memeriksa ponselnya yang terus bergetar sejak beberapa menit yang lalu. "Mama ikut," pungkas Maria. "Mama tidak ingin berlama-lama disini, napas Mama sesak karena menghirup udara kotor dan bau." cemoohnya, membuat Davina yang mendengarnya agak tersentak. Lucas sendiri tidak banyak berkomentar dan keluar dari ruangan bersama sang ibu. Setelah kepergian keduanya, Benjamin menatap lebih lekat pemilik senyum indah. “Abaikan Maria. Dia hanya tidak menerimamu karena masih belum mengenalmu. Seiring waktu, terutama dengan sifatmu yang begitu menyenangkan, aku yakin dia akan menyukaimu.” Davina memaksakan seulas senyum maklum. “Aku mengerti, Kakek.” Jujur, Davina tidak berharap banyak dalam pernikahan ini. Bahkan, dia sudah membayangkan seisi keluarga Dawson akan membenci serta merendahkannya. Akan tetapi, setelah bertemu dan mendengar ucapan Benjamin, dia bertekad akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi menantu dan istri yang baik. Namun, tetap saja … Davina tidak bisa melupakan kenyataan bahwa pernikahan ini juga berbahaya untuk dirinya. ‘Kalau dia tahu aku bukan Eleana, Kakek Benjamin pasti tidak akan bersikap seperti ini,’ batinnya. Melihat ekspresi Davina yang agak sendu, Benjamin berkata, "Nak, kakek mengerti bila kamu sulit untuk menerima perjodohan ini. Apalagi pernikahan kalian dilaksanakan secara mendadak.” Dengan napas yang tersengal-sengal, Tuan Benjamin mengutarakan pesan untuk cucu menantunya, "Tapi, Kakek sangat berharap kalian bisa hidup rukun, juga saling mencintai dan mendukung di masa depan." Dalam hati, Davina tahu dia tidak bisa menjanjikan apa pun. Karena pagi ini, dia baru saja melihat pandangan Lucas yang sesungguhnya terhadap dirinya. Namun, melihat sosok Benjamin yang begitu tak berdaya dan menatapnya penuh harap, Davina hanya bisa berkata, “Aku berjanji akan melakukan yang terbaik, Kakek.” “Bagus … itu bagus,” balas Benjamin dengan desah lega. “Demikian, janji terakhir Kakek pada kakekmu telah terlaksana.” Pria itu menatap ke langit-langit dan berujar, “Setelah ini, Kakek bisa beristirahat dengan tenang.” Mendengar ucapan itu membuat hati Davina berdenyut nyeri, dia sangat merasa bersalah karena harus berbohong didepan orang sebaik ini. ‘Maafkan aku, Kakek …,’ batinnya. Saat Davina memikirkan hal tersebut, mendadak tangannya digenggam erat oleh sosok Benjamin, membuatnya sontak mengangkat pandangan. Tepat di kala itu, Davina pun melihat Benjamin kesulitan bernapas selagi menekan dadanya. "Kakek! Kakek kenapa?!" serunya panik. Mesin EKG terus berbunyi nyaring, gadis itu panik dan langsung menekan tombol darurat di kepala ranjang. Saat melihat dua suster berlari masuk untuk mengecek kondisi pasien diikuti seorang dokter, Davina memohon, “Dokter! Suster! Tolong Kakek!” Wajahnya pucat dan sangat panik. “Kami akan menanganinya! Tolong, Nona keluar dan menunggu!” pinta salah seorang suster seraya berusaha memisahkan tangan Benjamin yang menggenggam tangan Davina. Hal tersebut membuat Davina merasa tidak tenang. “Tapi–” PIIIIPP! Tepat di saat itu, terdengar suara panjang dari arah layar EKG yang menunjukkan garis lurus. Tangan yang sedari tadi menggenggam tangan Davina, tiba-tiba merenggang dan terkulai lemah. Hal itu membuat Davina membeku. "Apa yang terjadi?!" Sebuah suara mendadak terdengar. Itu adalah Maria. Lucas mengikuti di belakangnya. "Pasien perlu penanganan darurat! Keluarga harap menunggu di luar!" usir para suster yang bertugas. Mereka mendorong pihak keluarga agar menunggu di luar kamar. Berselang beberapa menit, dokter keluar dengan wajah muram. Menatap sejumlah wajah yang memandangnya cemas, dokter mulai berkata, “Tuan Dawson mengalami syok, jantungnya kembali kumat. Saat ini beliau tidak sadarkan diri dan memasuki fase vegetatif. Kami akan terus memantau perkembangannya. Harap keluarga bersabar dan berdoa demi keajaiban.” Tubuh Maria luruh—meratap di lantai. "Papa …" rintihnya. *****Tak banyak yang bisa dilakukan begitu dokter mengabarkan berita tentang kondisi Benjamin Dawson. Walaupun tak kunjung membuka matanya, namun dokter menyatakan kondisi Benjamin saat ini stabil sehingga pihak keluarga memutuskan untuk memindahkan perawatan ke rumah utama. Ini semua dilakukan demi kenyamanan serta keamanan. Dokter dan perawat telah disiapkan untuk selalu standby, memantau kondisi Benjamin. Begitu kabar tentang kepulangan sang tetua tersebar luas, pihak-pihak yang merasa memiliki kepentingan segera berbondong-bondong datang dengan dalih bersimpati atas kondisi sang penguasa keluarga Dawson. Namun dibalik semua itu, bukan’lah rahasia umum bahwa mereka hanya ingin berlomba-lomba menunjukkan wajah dihadapan sang pewaris demi menjaga relasi serta kepentingan pribadi. Di antara pengunjung tampak Abraham Carter bersama sang istri, Cecilia. Begitu melihat sosok Dawson yang menjadi pusat perhatian, mereka segera memasang wajah seolah bersedih dan langsung menghampiri Lucas s
Setelah kepergian Cecilia, Davina menghembuskan napas lega karena Ibu tirinya tidak akan lagi melontarkan kalimat-kalimat pedas untuknya. Sepanjang pertemuan mereka, tak luput sekalipun bagi Cecilia mencemooh bahkan menghina Davina, seolah itu merupakan kesempatan baginya untuk melampiaskan amarah dan dendamnya atas apa yang terjadi dimasa lalu. Meski sesungguhnya Davina merasa itu bukanlah kesalahan maupun kehendaknya namun ia tak dapat melawan dan berusaha sebaik mungkin untuk memahami sikap Cecilia. "Kau baik-baik saja?" Sebuah suara yang datang dari arah berlawanan seketika membuat Davina waspada. Ia mengangkat kepalanya untuk memperhatikan wajah asing yang tiba-tiba menyapanya. "Maaf?" Pria asing itu mengambil posisi di kursi yang ditinggalkan Cecilia, tepat di samping Davina. "Wajahmu pucat, apa kau sakit?" "Ti-tidak, aku baik-baik saja," balas Davina terbata. Ia melirik takut-takut wajah asing yang seolah mengenalinya. "Hmm, syukurlah." Mata Davina terpaku pada wajah c
Sedan mewah berhenti tepat di pintu masuk rumah bertingkat, dengan gaya minimalis modern dan dominasi warna monokrom. Davina dan Lucas yang berada di dalam mobil kursi penumpang tak bergeming meski deru suara mesin sudah tak lagi terdengar. Keduanya larut dalam lamunan masing-masing, menghabiskan waktu dalam kebisuan. "Tuan, Nyonya, kita sudah sampai." Suara sang sopir mengusik kesunyian dan aura suram dari balik kursi penumpang. Lucas berdehem pelan. "Turun," perintahnya lalu beranjak keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Tak banyak bicara, Davina segera menyusul langkah yang berjalan cepat meninggalkannya. Ia tak henti berdecak kagum saat melewati tiap ruangan yang dihiasi deret furniture yang Davina yakini berharga fantastis. Dua wanita paruh baya setengah berlari untuk menyambut kedatangan pemilik rumah, mereka menundukkan kepala saat Lucas melewati tanpa berkata ataupun sekedar menoleh. Sikap Lucas membuat Davina bergumam dalam benaknya, ‘rumah besar in
Davina membeku di tempat. Wajahnya memucat, seolah darahnya berhenti mengalir saat mendengar nama Eleana meluncur dari bibir Lucas—penuh tekanan dan curiga. ‘Apa … dia tahu kebenarannya?’ batinnya panik, tubuhnya mulai bergetar halus. Lucas mendengus pelan melihat reaksi Davina, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan berjalan menuju pintu. Saat pintu terbuka, kepala pelayan yang berjaga di luar segera menegakkan tubuh. “Bawa wanita ini ke ruangannya,” titah Lucas dingin. “Baik, Tuan,” jawab kepala pelayan sambil memberi hormat. Ia kemudian menoleh kepada Davina. “Nyonya, silakan.” Davina terdiam sejenak. Pandangannya beralih pada Lucas, yang kini menatap tajam—tatapan muak, seolah kehadirannya mencemari udara. “Apa yang kau tunggu? Keluar,” perintah Lucas, nadanya membuat jantung Davina mencelos. Tak ingin menambah amarah pria itu, Davina segera berlari kecil mengikuti kepala pelayan. Begitu pintu ruang kerja tertutup di belakangnya, ia sempat menoleh ke belakang, mena
Cahaya pagi menyelinap malu-malu dari sela tirai sutra, menyapu lembut wajah Davina yang masih tenggelam dalam mimpi buruknya. Gerakan samar dari kelopak matanya diikuti desahan pelan, seolah tubuh dan pikirannya enggan untuk bangun dan menerima kenyataan. Ia menggeliat perlahan, tangan meraba sekitar ranjang yang terlalu luas untuk dirinya sendiri. Kasur empuk, selimut tebal berlapis satin, dan bantal lembut yang dipenuhi aroma lavender mahal—semua ini terasa asing, jauh dari kamar kecil yang dulu selalu menenangkannya saat malam terasa menyesakkan. Matanya terbuka perlahan, dan langit-langit dengan ukiran klasik serta lampu gantung kristal menyambutnya. Kemewahan itu tak memberi rasa aman. Justru membuatnya menghela napas panjang, penuh tekanan. ‘Ini bukan rumahku. Ini bukan hidupku. Ini malapetaka, penjara seumur hidup.’ Ia bangkit pelan, melipat lutut dan menyandarkan kening pada lengannya sendiri. Ingatannya mengulang seperti rekaman rusak—suara Lucas, tatapan tajam, dan ancam
“Kenapa?” tanya Lucas setelah beberapa saat memperhatikan istrinya dari sudut mata. Suaranya datar, namun tajam. “Gugup?” Sepanjang perjalanan menuju mansion keluarga Dawson, Davina nyaris tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya suara napasnya yang terdengar halus, diselingi debar yang mengalun tak menentu. Pandangannya tertunduk, wajahnya tersembunyi di balik helai rambut panjangnya. Ia tengah menanggung gelisah yang tak bisa ia jelaskan, seolah ada badai yang akan segera datang, tapi ia tak tahu dari arah mana. Davina menengadah pelan, menatap Lucas sejenak lalu mengangguk kecil. “Se-sedikit takut,” gumamnya. Lucas mengangkat sebelah alis. “Apa kau berbuat kesalahan?” Nada itu mengandung sindiran, tapi juga pengujian. Ia tahu betul bahwa wanita di sampingnya kerap kali menyimpan segala sesuatu dalam diam, dan ia ingin tahu sampai sejauh mana ketakutan itu membuat wanita itu rentan. “Ti-tidak,” jawab Davina cepat, terlalu cepat. Lucas tak membalas. Ia hanya menghela napas pel
“Apa?!” Maria bangkit dari duduknya. “Tidak mungkin! Itu pasti akal-akalan wanita itu!” Davina terhenyak. Ia menggeleng panik. “A-aku… tidak tahu apa-apa…” Lucas diam. Tatapannya tajam, tapi ia tak menoleh ke arah istrinya. Ia sudah bisa menebak bahwa ini adalah langkah kakeknya untuk mencegahnya menyingkirkan menantu pilihannya setelah mendapat semua warisan. Lucas marah, tapi lebih dari itu—ia merasa dikendalikan… Lagi! “Hentikan, Ma,” potong Lucas akhirnya. Maria masih memandang Davina dengan tatapan penuh amarah. “Kau pasti memanipulasi Papa! Kau pikir dengan saham itu kau bisa bertahan di keluarga ini?” “Cukup.” Lucas berdiri, kini menatap semua orang di ruangan itu. “Tak ada yang salah dengan berbagi saham antara suami dan istri.” Senyumnya dingin. Ia memandang Davina sejenak. Tatapan wanita itu menyiratkan ketakutan, tapi juga kebingungan yang tulus. Lucas tahu wanita itu bukanlah aktris berbakat. Justru karena itulah ia merasa… semakin terjebak. “Apa masih ada yang ha
“Nyonya, apa Anda ingin camilan sore?” tawar Herman dengan suara lembut yang khas, seperti biasa, penuh hormat namun tetap bersahabat. Tak banyak yang bisa dilakukan Davina di rumah ini. Hanya menghabiskan waktu dengan termenung tanpa tujuan. Ia duduk di tepi sofa ruang tamu yang megah, dengan mata yang sejak tadi terpaku pada jendela besar menghadap taman belakang. Tatapannya kosong, mengembara jauh dari tempatnya kini. Davina menggeleng pelan. “Tidak, Herman. Terima kasih.” Suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, saat menatap kembali taman yang rindang dan tertata apik, hatinya tergerak. “Bolehkah aku duduk di taman belakang?” “Tentu saja,” jawab Herman tanpa ragu, senyum kecil menyembul di wajah ramahnya. “Saya akan menyiapkan teh hangat dan camilan ringan untuk menemani Anda. Udara sore hari ini cukup sejuk.” Davina mengangguk kecil. Kali ini, tawaran itu terasa tepat. Ia butuh ketenangan, dan mungkin, segelas teh manis serta udara luar bisa
Langit sore tampak sendu, memantulkan warna abu yang samar pada kaca jendela besar di café milik Baron. Suasana di dalam cukup lengang, hanya beberapa pelanggan yang tengah sibuk dengan laptop dan secangkir kopi mereka. Di sudut dekat rak buku, Davina duduk gelisah. Jemarinya saling menggenggam erat, berkali-kali ia mencuri pandang ke arah pintu, menunggu sosok yang tadi pagi mengirimkan pesan singkat. ‘Kita perlu bicara. Temui aku di tempat Baron. Jangan menunda lagi, Eleana.’ Saat pintu terbuka dan lonceng kecil di atasnya berdenting, jantung Davina berdetak lebih cepat. Megan masuk dengan langkah mantap, tanpa senyum, tanpa basa-basi. Ia berjalan lurus ke arah meja tempat Davina duduk, lalu menarik kursi dan duduk dengan anggun tapi penuh tekanan. Saat tatapan mereka bertemu, Megan tak membuang waktu. “Aku ingin penjelasan. Kali ini, tanpa kebohongan,” ucapnya tajam. Davina menelan ludah. Suara Megan terdengar datar, tapi menyimpan bara. Ia tahu, hari ini tak bisa lagi bersembu
Lucas bersandar santai di kursinya, tak menunjukkan sedikit pun rasa terganggu. Ia menyuap sesendok terakhir sarapannya, lalu mengusap bibir dengan serbet linen. Matanya menatap Maria dan Eleana satu per satu, sebelum akhirnya berhenti pada Davina yang kini terlihat tegang. “Kalian datang membawa kabar menyedihkan, rupanya.” Suaranya tenang. “Davina kehilangan ibunya. Rumahnya pun hilang. Sungguh... kisah yang menyayat hati.” Maria tersenyum kecil, mencoba membaca sikap Lucas yang terlihat terlalu santai untuk situasi seperti ini. “Jadi,” lanjut Lucas pelan, “kalian ingin... Davina tinggal di rumah ini?” “Kalau diizinkan,” jawab Maria cepat. “Itu akan sangat membantu Davina melewati masa-masa sulitnya dan Eleana akan berkumpul lagi dengan sepupu terdekatnya.” Lucas diam sejenak, mengaduk cangkir kopinya dengan pelan. Denting logam melawan keramik mengisi ruang hening itu, menciptakan ketegangan yang tak kasat mata. Lalu ia tersenyum. “Sayangnya, aku tidak terbiasa menerima
Minggu pagi di rumah besar milik Lucas berlangsung tenang dan hangat.Cahaya matahari merambat masuk melalui tirai tipis, membentuk garis-garis cahaya lembut yang menari di atas meja makan. Aroma kopi dan nasi goreng hangat memenuhi udara, menyatu dengan keheningan damai yang mengisi ruangan.Davina duduk tenang di kursinya, menikmati sarapan spesial yang sengaja dipersiapkannya. Di depannya, Lucas menatap dengan sorot mata hangat, seperti sedang menghafal tiap lekuk wajah istrinya.Percakapan mereka ringan, mengalir seperti aliran sungai yang jernih. Tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Seolah pertengkaran dan keraguan itu tak pernah ada.“Ini enak.” Lucas menunjuk isi piringnya.“Aku tidak tahu kamu bisa masak.”Davina tersenyum, malu-malu. “Ah… aku cuma bisa membuat menu simpel. Kamu suka?”Lucas mengangguk, kembali menyendok sarapannya tanpa banyak kata. Tak perlu banyak bicara—suasana nyaman itu sudah cukup bicara banyak.Namun, ketenangan itu terputus tiba-tiba oleh
“Ma.”Eleana menghampiri sang ibu yang tengah santai di taman belakang, sibuk membolak-balik halaman majalah.Wanita paruh baya itu menurunkan majalah di tangannya, lalu melirik sang putri. “Ada apa, Sayang?”Eleana duduk dengan malas di kursi yang kosong. “Aku ingin bicara tentang Davina.”Wajah sang ibu langsung berubah. Keningnya berkerut. Ketidaksukaannya pada anak sambungnya itu terlalu besar untuk bisa disembunyikan.“Kenapa kamu harus membahas wanita pembawa sial itu?” dengusnya tak senang.“Aku tahu Mama muak mendengar namanya, aku juga. Tapi kali ini aku butuh bantuan Mama.”“Katakan’lah, Sayang. Berhenti bertele-tele karena kamu mulai membuat ku pusing.”“Aku ingin posisiku kembali,” ucap Eleana tegas.Alis sang ibu bertaut bingung. “Apa maksudmu?”“Aku ingin Davina keluar dari rumah Dawson dan mengembalikan posisi itu padaku.”Raut wajah sang ibu menegang. “Apa kamu menyukai Lucas?” tebaknya. “Bukankah sebelumnya kamu bilang tidak ingin menikah dengan pria mengerikan itu?”
Davina memekik kaget saat tubuhnya terangkat ke udara dan mendarat dalam dekapan Lucas. “Kalau begitu, lebih baik kita menunggu waktu makan malam di kamar saja,” kata Lucas ceria, seolah tak ada kemarahan di wajahnya beberapa menit lalu. “Eh! Lucas, turunkan aku!” Davina berusaha menggeliat, tetapi pria itu justru mempererat pelukannya, mengangkatnya seperti seorang pengantin baru. “Tenang saja. Kamu butuh istirahat setelah semua drama hari ini.” Davina mendengus pelan, namun tak lagi melawan. Kepalanya bersandar di bahu Lucas, mencoba menyembunyikan rona merah yang belum juga surut dari wajahnya. Langkah kaki Lucas mantap menaiki anak tangga menuju lantai dua. Aroma maskulin dari tubuhnya begitu dekat, membuat napas Davina nyaris tercekat. Ia tak bisa menyangkal bahwa hatinya berdetak lebih cepat setiap kali pria itu menunjukkan sisi lembutnya, meski dalam waktu yang tak terduga. Pintu kamar terbuka tanpa suara. Lucas menurunkan tubuh Davina dengan lembut di atas ranjang king s
Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan. “Kenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?” Lucas mendesis kasar. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?" “A-apa? Aku tidak—” Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. “Aku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian," elaknya tak terima. "Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas. Davina bergidik ngeri kala wajah itu melempar sorot mata mengancam. "Mu-mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk. Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu lebih cepat?" "I-itu ..." Davina kehabi
“Apa yang kalian bicarakan?” Buru Baron begitu melihat dua wanita itu masuk ke dalam ruangan. Megan menggelengkan kepalanya, mencegah Baron untuk banyak bertanya. “Apa semua persiapannya sudah selesai?” “Ya,” sahut Baron. Pandangannya menajam, meminta penjelasan tak terucap dari kedua wanita yang sebelumnya tampak bersitegang. “Semua sudah selesai.” “Terima kasih, Baron.” Megan berpaling pada wanita disampingnya. “Sampai nanti, Eleana,” pamitnya. Davina menatap punggung yang perlahan meninggalkannya. Meski untuk saat ini, Megan bersedia untuk menjaga rahasianya tapi itu bukanlah jaminan kuat karena pada suatu hari, rahasia ini akan terbongkar juga, cepat ataupun lambat. “Kenapa Megan memanggilmu dengan nama Eleana?” tanya Baron. Davina mengulas senyum tipis. “Dia hanya salah mengenaliku sebagai Eleana,” ucapnya sembari mengutuk diri karena kembali harus merangkai kebohongan. “Hmm,” gumam Baron samar. Ia tak lagi memburu Davina dengan pertanyaan karena ia yakin, wanita itu tak ak
“Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari kami, Eleana?”“A-aku …” Davina terbata seraya menundukkan pandangannya dalam-dalam. Ia terlalu takut untuk membalas sorot mata tajam yang diarahkan padanya. “A-ada hal yang tak bisa ku ceritakan padamu.”Megan melemparkan tubuhnya ke atas sofa lalu menghela napas panjang. “Baron adalah sahabat sekaligus saudara bagiku. Hubungan kami sangat dekat hingga tak ada satupun rahasia diantara kami.”“Aku sering mendengarnya memuji salah satu karyawan terbaik yang bernama Davina tapi, aku tidak menyangka bila wanita yang dimaksud Baron adalah kamu, Eleana,” lanjut Megan. Mengurai kisah sekaligus mengkonfirmasi kecurigaan yang terlintas di benaknya. “Jadi, siapa kamu sebenarnya? Davina atau’kah Eleana?”Davina mendapati adanya tuntutan dari balik kalimat panjang yang diutarakan Megan. Membuatnya seketika tak bisa berkutik. “A-aku …”“Jangan coba berbohong lagi, Eleana!” Sergah Megan tegas. Raut wajahnya mengeras saat menekan emosi yang bergejolak dalam ba
“Ke mana kita akan membawanya?” Tanya Davina setelah berhasil mengeluarkan puluhan paperbag dari bagasi mobil.“Tinggalkan saja disana, Davina. Aku akan membawanya masuk,” sahut Allan, teman dekat pemilik cafe.“Tidak perlu sungkan, Allan,” kekeh Davina. “Asal kau tahu, aku disini untuk bekerja,” ujarnya seraya memainkan alisnya untuk membuat mimik wajah lucu yang mengundang tawa.Allan terkikik geli. “Kau dan bos mu itu sama saja, keras kepala,” ejeknya.“Siapa yang sedang mengejekku?” sindir Baron yang datang membawa dua pria muda. “Bawa masuk dan susun di meja.” Perintahnya yang disambut anggukan kompak oleh dua pemuda.“Kalian berdua, mulailah bekerja. Apa kalian akan bercanda sepanjang hari?” Baron beralih pada Davina dan Allan yang terpaku di depan tumpukan paperbag.Allan memasang wajah cengengesan sedangkan Davina bergegas untuk mengangkut jumlah paperbag yang mampu ia bawa.“Ayolah, Baron. Jangan bersikap terlalu keras pada Davina,” keluh Allan. Ia harus memperingatkan sang pe