Davina setengah berlari menyusul langkah cepat Lucas. Keduanya masuk ke ruang rawat VIP, di mana hanya ada satu ranjang besar. Sosok pria tua yang lemah terbaring di sana didampingi wanita yang menatap sedih sambil sesekali menyeka air mata di pipinya.
"Ma," panggil Lucas, membuat wanita tersebut menoleh. "Bagaimana kondisi Kakek?"Ia menghampiri ibunya yang sejak lepas dari acara pesta pernikahan langsung kembali ke rumah sakit."Sayang." Maria menyambut putra semata wayangnya. Memeluk erat tubuh tinggi itu sambil menepuk pundaknya lembut. “Kakek–”Ucapan Maria terhenti begitu melihat sosok wanita yang berdiri di samping putranya. Wajah ramah itu seketika berubah, berganti dengan tatapan marah dan sinis."Apa yang dilakukan wanita ini di sini?" sentak Maria.Davina terkejut dan mundur satu langkah ketika ia ingin menghampiri Ibu mertuanya. Ia tak pernah menyangka sambutan yang diterimanya sangatlah jauh dari kata ramah. Wanita anggun itu tampak membencinya dengan sepenuh hati."Maria, kenapa kamu bersikap kasar pada menantumu?" tegur sosok pria tua yang berbaring di ranjang, membuat Maria menggertakkan gigi, lalu membuang muka tanpa mengatakan apa pun lagi."Kemari, Nak." Benjamin—tetua dari keluarga Dawson itu melambaikan tangannya ke arah Davina, memintanya untuk mendekat.Davina melirik takut ke arah wajah ibu mertuanya yang tampak enggan untuk bahkan meliriknya. Namun, sebuah dorongan di punggungnya, yaitu tangan Lucas, membuat Davina menguatkan diri untuk melangkahkan kaki mendekati ranjang."Eleana, apa kabarmu, Nak? Maaf bila Kakek tidak bisa hadir di acara pernikahan kalian," tutur kakek lembut. Ia tersenyum ramah untuk menyambut cucu menantunya itu.Davina mengulas senyum manis untuk membalas ketulusan dari satu-satunya orang yang menyambutnya dalam keluarga ini. "Tak apa, Kek. Aku yakin, Kakek pasti mengirimkan doa terbaik untuk pernikahan kami."Tuan Benjamin tersenyum puas melihat sosok istri dari cucunya ini ternyata sangat lembut. "Tentu, Nak. Tentu saja." Ia merasa tidak menyesal telah menjodohkan Lucas dengan anak dari keluarga Carter yang sangat cantik dan juga memiliki tutur kata yang santun.Mempersilakan Eleana untuk duduk di kursi yang berada di dekat ranjangnya, Tuan Benjamin lanjut berkata, "Aku dan Carter telah bersahabat lama, dan kami tidak ingin hubungan baik ini berakhir. Oleh karena itu, kami berjanji untuk menjodohkan keturunan kami agar persahabatan ini tetap terjalin erat." Pria tua itu menepuk-nepuk pelan punggung tangan Eleana. “Dan kamu serta Lucas … sudah memenuhi harapan kami.”Melihat percakapan Benjamin dan Davina, Maria memasang wajah tak suka.Selama ini, Maria menginginkan seorang menantu yang berpendidikan tinggi, cerdas dan elegan. Demikian, saat tahu sang ayah akan menjodohkan Lucas dengan keturunan keluarga Carter dari luar kota, ia adalah orang yang paling menentang keras keputusan itu.Namun, karena masalah warisan, ditambah dengan kenyataan Lucas tidak keberatan, Maria hanya bisa menerima perjodohan ini dengan tangan terbuka.Mendadak, Maria dikejutkan dengan ucapan sang putra, "Ma, aku keluar sebentar ya." Tampak pria tersebut ingin memeriksa ponselnya yang terus bergetar sejak beberapa menit yang lalu."Mama ikut," pungkas Maria. "Mama tidak ingin berlama-lama disini, napas Mama sesak karena menghirup udara kotor dan bau," cemoohnya, membuat Davina yang mendengarnya agak tersentak.Lucas sendiri tidak banyak berkomentar dan keluar dari ruangan bersama sang ibu.Setelah kepergian keduanya, Benjamin menatap Davina. “Abaikan Maria. Dia hanya tidak menerimamu karena masih belum mengenalmu. Seiring waktu, terutama dengan sifatmu yang begitu menyenangkan, aku yakin dia akan menyukaimu.”Davina memaksakan sebuah senyuman. “Aku mengerti, Kakek.”Jujur, Davina tidak berharap banyak dalam pernikahan ini. Bahkan, dia sudah membayangkan seisi keluarga Dawson akan merendahkannya. Akan tetapi, setelah bertemu dan mendengar ucapan Benjamin, dia bertekad untuk berusaha sebaik mungkin untuk menjadi menantu dan istri yang baik.Namun, tetap saja … Davina tidak bisa lupa kenyataan bahwa pernikahan ini juga berbahaya untuk dirinya.‘Kalau dia tahu aku bukan Eleana, Kakek Benjamin pasti tidak akan bersikap seperti ini,’ batinnya.Melihat ekspresi Davina yang agak sendu, Benjamin berkata, "Nak, kakek mengerti bila kamu sulit untuk menerima perjodohan ini. Apalagi pernikahan kalian dilaksanakan secara mendadak.” Dengan napas yang tersengal-sengal, Tuan Benjamin mengutarakan pesan untuk cucu menantunya, "Tapi, Kakek sangat berharap kalian bisa hidup rukun, juga saling mencintai dan mendukung di masa depan."Dalam hati, Davina tahu ia tidak bisa menjanjikan apa pun. Karena tadi pagi saja, dia sudah melihat pandangan Lucas yang sesungguhnya terhadap pernikahan ini.Namun, melihat sosok Benjamin yang begitu tak berdaya dan menatapnya penuh harap, Davina hanya bisa berkata, “Aku … berjanji akan melakukan yang terbaik, Kakek.”“Bagus … itu bagus,” balas Benjamin dengan desah lega. “Demikian, janji terakhir Kakek pada kakekmu telah terlaksana.” Pria itu menatap ke langit-langit dan berujar, “Setelah ini, Kakek bisa beristirahat dengan tenang.”Mendengar ucapan itu, hati Davina merasa sakit. Apakah tidak masalah membohongi orang seperti ini? Harapan sang kakek adalah Lucas menikah dengan Eleana, tapi yang terjadi adalah … dirinya menggantikan Eleana untuk menjadi istri Lucas.‘Sungguh kebohongan besar …,’ batin Davina.Saat Davina memikirkan hal tersebut, mendadak tangannya digenggam erat oleh sosok Benjamin, membuatnya sontak mengangkat pandangan. Tepat di kala itu, Davina pun melihat Benjamin kesulitan bernapas selagi menekan dadanya."Kakek! Kakek kenapa?!" seru Davina panik. Karena mesin EKG terus berbunyi nyaring, gadis itu panik dan langsung menekan tombol darurat di kepala ranjang.Saat melihat dua suster berlari masuk untuk mengecek kondisi pasien diikuti seorang dokter, Davina memohon, “Dokter! Suster! Tolong Kakek!” Wajahnya pucat dan sangat panik.“Kami akan menanganinya! Tolong Nona keluar dan menunggu!” pinta salah seorang suster seraya berusaha memisahkan tangan Benjamin yang menggenggam tangan Davina.Hal tersebut membuat Davina merasa tidak tenang. “Tapi–”PIIIIPP!Tepat di saat itu, terdengar suara panjang dari arah layar EKG yang menunjukkan garis lurus. Tangan yang sedari tadi menggenggam tangan Davina, tiba-tiba merenggang dan terkulai lemah.Hal itu membuat Davina membeku."Apa yang terjadi?!" Sebuah suara mendadak terdengar. Itu adalah Maria. Lucas mengikuti di belakangnya."Pasien perlu penanganan darurat! Keluarga harap menunggu di luar!" usir para suster yang bertugas. Mereka mendorong pihak keluarga agar menunggu di luar kamar.Berselang beberapa menit, dokter keluar dengan wajah muram. Menatap sejumlah wajah yang memandangnya cemas, dokter itu berkata, “Kami telah melakukan usaha semaksimal mungkin, tetapi … Tuan Dawson telah meninggal dunia.”Tangis Maria meledak bersama tubuhnya yang luruh—meratap di lantai."Ayah …" rintihnya. Seorang saudara yang berada di sampingnya langsung berusaha menenangkannya.Di sisi lain, tubuh Davina bergetar, terutama tangannya yang seperti masih merasakan kehangatan genggaman Benjamin. Air mata luruh menuruni wajahnya. Tidak pernah dia sangka, pertemuan pertamanya dengan kakek ramah dan baik hati hanya berlangsung singkat.Dihantui kenyataan bahwa percakapan Davina dengan pria tua itu diselimuti kebohongan, rasa bersalah langsung merasuki hatinya.Gegas, Davina pun berbalik dan berlari menjauh. Dia masuk ke area tangga darurat, lalu duduk di salah satu anak tangga sembari memeluk lututnya. Air mata gadis itu langsung mengalir semakin deras."Kakek … Kakek maafkan aku," rintih Davina dengan suara rendah. “Maaf karena telah berbohong aku adalah Eleana ….”Davina tahu, dosa atas kebohongan ini, sampai kapan pun tidak akan pernah bisa dia hapuskan. Lagi pula … Benjamin sudah tiada.Selagi Davina menangis dengan begitu pilu, tidak dia sadari bahwa di balik pintu tangga darurat, bayangan bertubuh tegap tengah bersandar di dinding. Mendengar semua kalimat yang diucapkan sang wanita di sela isak tangis dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup.Dengan sepasang manik hitam yang menenggelamkan tersebut, sosok itu melirik Davina sesaat sebelum akhirnya berjalan pergi menjauh dari tempat tersebut.*****Davina berdiri di depan pintu ruang VIP dengan wajah bersimbah air mata. Tatapan sayu, meski pertemuannya dengan Kakek hanya berlangsung sebentar, namun ia merasakan kasih sayang yang selama ini tak pernah ia dapatkan dari keluarganya.Davina menyapu jejak air mata di kedua pipinya, memutar kenop dan menunggu pintu dihadapannya perlahan terbuka. Matanya terpaku pada beberapa orang yang sudah berkumpul memadati ruangan.Langkah Davina bergetar saat memasuki area dalam ruangan. Ia langsung disambut oleh tatapan orang-orang yang menganggapnya sebagai sosok asing."Kau!" teriak Maria. Matanya melotot saat melihat Davina melangkahkan kakinya memasuki ruangan. "Apa yang sebenarnya telah kau lakukan?!" Maria mencengkram kasar lengan Davina. "Kenapa Ayahku meninggal setelah bertemu denganmu!" “A-aku ….”Tindakan Maria membuat Davina terbata. Ia terlalu kaget atas tudingan yang diarahkan sang ibu mertua hingga tak mampu untuk membela diri. Melihat wajah bersalah Davina, Maria semakin menjadi
Suasana di area pemakaman pribadi milik keluarga Dawson tampak lengang setelah prosesi acara pemakaman Benjamin Dawson selesai di gelar. Acara itu berlangsung begitu khidmat, diikuti oleh para pelayat yang silih berganti datang untuk memberikan penghormatan terakhir pada tetua di keluarga Dawson. Di antara pelayat, tampak Abraham dan Cecilia, Ayah dan Ibu tiri Davina, mereka duduk di antara barisan kursi keluarga utama Dawson.Di sana terlihat pula, Lucas dan Davina. Setelah perdebatan mereka di rumah sakit, Lucas menyeret Davina untuk mendampinginya dan menjadi wakil dari keluarga untuk menyambut kedatangan para pelayat. "Ada apa?" Lucas memperhatikan wajah Davina yang tampak pucat dan lesu bahkan beberapa kali Lucas mendapati wanita itu menghela napas dalam.“A-aku akan duduk sebentar, lalu akan kembali lagi” Davina menggeleng lemah, "karena kepalaku sedikit pusing," balasnya gugup. Sejak dari rumah sakit, Kepalanya berdenyut nyeri dengan mata yang berkunang-kunang. Mungkin ini
Sedan mewah berhenti tepat di pintu masuk rumah bertingkat, dengan gaya minimalis modern dan dominasi warna monokrom.Davina dan Lucas yang berada di dalam mobil kursi penumpang tak bergeming meski deru suara mesin sudah tak lagi terdengar. Keduanya larut dalam lamunan masing-masing, menghabiskan waktu dalam kebisuan."Tuan, Nyonya, kita sudah sampai." Suara sang sopir mengusik kesunyian dan aura suram dari balik kursi penumpang.Lucas berdehem pelan. "Turun," perintahnya lalu beranjak keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya ke dalam rumah.Tak banyak bicara, Davina segera menyusul langkah pria dingin itu. Mereka disambut oleh dua pelayan yang menundukkan kepala saat Lucas melewatinya.Davina terpaku oleh betapa luasnya setiap ruangan yang dilewati beserta deret furniture yang ia yakini berharga fantastis. Rumah besar ini terlihat megah namun aura yang dipancarkan memberi kesan sunyi dan senyap. Setiap langkah terasa dingin, bagai menginjakkan kaki di atas batangan es. Saat kedua
Davina membeku di tempat, wajahnya memucat. Tekanan pada nama ‘Eleana’ yang Lucas sebutkan memiliki makna tersembunyi.‘Apa … dia tahu kebenarannya?’ batin Davina dengan tubuh bergetar.Melihat reaksi Davina, Lucas mendengus. Kemudian, pria itu berbalik dan melangkah ke pintu.Pintu dibuka oleh pria tersebut. “Bawa wanita ini ke ruangannya,” titah Lucas pada kepala pelayan yang berjaga di luar.“Baik, Tuan,” balas sang kepala pelayan sebelum berakhir menatap Davina. “Nyonya, silakan.”Davina termenung beberapa saat, lalu melirik ke arah Lucas yang menatapnya tajam, seakan muak melihat wajahnya. “Apa yang kau lakukan berdiam di sana? Keluar.”Mendengar perintah itu, Davina pun langsung berlari kecil meninggalkan ruangan dan mengikuti kepala pelayan.Saat pintu ruang kerja Lucas tertutup, Davina mengintip sedikit ke belakang. ‘Pria itu … dia mengerikan.’Setelah meninggalkan ruang kerja Lucas, kepala pelayan mengantarkan Davina berkeliling kediaman, sampai akhirnya tiba di depan pintu,
Davina bergelung dalam tidurnya dan perlahan membuka mata seraya berharap apa yang terjadi kemarin hanyalah sekedar mimpi dan sekarang waktunya terjaga di dunia nyata.Pandangannya menyisir langit-langit dan langsung bertemu dengan lampu ganti kristal yang mewah yang seketika membuatnya mendesah lelah. Ia bangkit menekuk wajahnya di atas lipatan tangan, bertumpu pada kedua tungkai. Benaknya kembali mengulang apa yang dikatakan Lucas. Entah mengapa, setiap kata yang keluar dari bibir tipis itu terdengar bagai ancaman bagi Davina. Membuat hatinya selalu diselimuti rasa takut sekaligus bersalah."Tidak mungkin dia tahu, kan?" Desahnya. "Apa semuanya sudah berakhir?" Gumamnya seraya menggigit ujung kuku ibu jari—kebiasaan buruknya saat gelisah. "Tidak … tidak!" Seru Davina sambil menggelengkan kepalanya. Mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Kalau memang Lucas tahu kebenarannya, dia pasti sudah melumat ku menjadi remahan."“Nyonya Eleana.” Suara ketukan disertai
“Kenapa?” tanya Lucas setelah memperhatikan beberapa saat. “Gugup?”Sepanjang perjalanan, istrinya itu lebih banyak diam, bahkan dia terus saja menunduk. Menyembunyikan kegundahan di hatinya.Davina mengangkat pandangan lalu mengangguk kecil. “Se-sedikit takut.”“Apa kamu berbuat kesalahan?” Lucas memainkan alisnya demi memancing ekspresi wanita yang masih menekuk wajahnya.“Ti-tidak,” balas Davina cepat. “Lalu, mengapa kamu harus takut?” Lucas menekan tuas pintu mobil dan keluar dari sana. Davina terhenyak oleh pertanyaan Lucas hingga tak menyadari pria itu telah berjalan memutar dan berdiri di pintu yang berlawanan dan membukanya.“Apa kamu akan terus melamun?”Davina menatap tangan yang terulur ke hadapannya. Beberapa kali, perlakuan manis Lucas membuatnya kaget sekaligus salah tingkah.Ia menyambut tangan yang segera menggenggam jemarinya dan menarik tubuhnya keluar dari mobil.“Bersikap’lah seperti biasanya. Tak akan ada yang berani menyentuhmu selama kau berdiri di sampingku,”
“Lucas, aku—”Davina baru saja ingin membela dirinya dihadapan Lucas. Namun pria itu mengangkat tangannya untuk menghentikan apapun yang ingin Davina katakan.“Simpan saja energi mu, aku tidak membutuhkan penjelasan apapun,” cegah Lucas ketus. Ia beralih pada ponselnya, mengetikkan beberapa pesan sebelum membalikkan badan, menuju ruang kerjanya.Punggung tegap yang perlahan menghilang di balik pintu, membuat Davina resah. Ia takut bila Lucas terpengaruh dengan asumsi sang ibu dan kembali bersikap kasar padanya.“Nyonya, apa anda ingin cemilan sore?” tawar Herman.Davina menggeleng lesu. “Tidak, Herman.” Tolaknya. Pandangan Davina terpaku pada rimbunnya pepohonan di taman belakang yang belum sempat ia kunjungi. “Bolehkah aku duduk di taman belakang?”“Tentu saja,” balas Herman diiringi senyum ramah. “Saya akan menyiapkan es teh dan camilan ringan untuk menemani anda.”Kali ini davina tak membantah, menurutnya ide kepala pelayan sangatlah tepat. Ia berharap, bisa menikmati pemandangan s
Davina menyeret langkahnya, gelisah memikirkan petaka yang menunggunya di kediaman keluarga Carter. Bukan amarah sang Ayah, namun pertemuan tak terencana yang mungkin saja bisa membongkar rahasia ini.“Kenapa kamu tidak menekan bel?” Suara Lucas menarik kembali kesadaran Davina. “Eh?” Davina gelagapan, bersikap linglung bagai kehilangan arah. Pandangannya tak fokus, teralih antara pintu dan sosok sang suami yang menunggu reaksinya.Asumsi demi asumsi yang berkutat dalam benaknya telah mengalihkan perhatiannya hingga tidak menyadari bahwa mereka telah berdiri di depan pintu masuk.“Aku akan menghubungi Ayah, mungkin saja mereka sedang tak ada di rumah,” alih Davina beralasan. Tangannya bergetar saat merogoh isi tas, mencari ponselnya.“Tak perlu,” tahan Lucas. Telunjuknya menekan tombol di dinding sembari mengulas senyum miring, mengejek kepanikan sang istri. “Tenanglah, Eleana. Jangan tunjukkan kelemahanmu di depan musuh,” desisnya gemas.“A-apa?” Davina tak sempat mendengar penje
Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan.“Kenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?” Desis Lucas marah. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?"“A-apa? Aku tidak—” Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. “Aku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian. Bahkan aku belum sempat menyapanya," elaknya tak terima."Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas.Davina bergidik ngeri kala suara itu mengecamnya dan melempar sorot mata tajam. "Mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk.Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu le
“Apa yang kalian bicarakan?” Buru Baron begitu melihat dua wanita itu masuk ke dalam ruangan.Megan menggelengkan kepalanya, mencegah Baron untuk banyak bertanya. “Apa semua persiapannya sudah selesai?”“Ya,” sahut Baron. Pandangannya menajam, meminta penjelasan tak terucap dari kedua wanita yang sebelumnya tampak bersitegang. “Semua sudah selesai.”“Terima kasih, Baron.” Megan berpaling pada wanita disampingnya. “Sampai nanti, Eleana,” pamitnya.Davina menatap punggung yang perlahan meninggalkannya. Meski untuk saat ini, Megan bersedia untuk menjaga rahasianya tapi itu bukanlah jaminan kuat karena pada suatu hari, rahasia ini akan terbongkar juga, cepat ataupun lambat.“Kenapa Megan memanggilmu dengan nama Eleana?” tanya Baron.Davina mengulas senyum tipis. “Dia hanya salah mengenaliku sebagai Eleana,” ucapnya sembari mengutuk diri karena kembali harus merangkai kebohongan.“Hmm,” gumam Baron samar. Ia tak lagi memburu Davina dengan pertanyaan karena ia yakin, wanita itu tak akan men
“Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari kami, Eleana?”“A-aku …” Davina terbata seraya menundukkan pandangannya dalam-dalam. Ia terlalu takut untuk membalas sorot mata tajam yang diarahkan padanya. “A-ada hal yang tak bisa ku ceritakan padamu.”Megan melemparkan tubuhnya ke atas sofa lalu menghela napas panjang. “Baron adalah sahabat sekaligus saudara bagiku. Hubungan kami sangat dekat hingga tak ada satupun rahasia diantara kami.”“Aku sering mendengarnya memuji salah satu karyawan terbaik yang bernama Davina tapi, aku tidak menyangka bila wanita yang dimaksud Baron adalah kamu, Eleana,” lanjut Megan. Mengurai kisah sekaligus mengkonfirmasi kecurigaan yang terlintas di benaknya. “Jadi, siapa kamu sebenarnya? Davina atau’kah Eleana?”Davina mendapati adanya tuntutan dari balik kalimat panjang yang diutarakan Megan. Membuatnya seketika tak bisa berkutik. “A-aku …”“Jangan coba berbohong lagi, Eleana!” Sergah Megan tegas. Raut wajahnya mengeras saat menekan emosi yang bergejolak dalam ba
“Ke mana kita akan membawanya?” Tanya Davina setelah berhasil mengeluarkan puluhan paperbag dari bagasi mobil.“Tinggalkan saja disana, Davina. Aku akan membawanya masuk,” sahut Allan, teman dekat pemilik cafe.“Tidak perlu sungkan, Allan,” kekeh Davina. “Asal kau tahu, aku disini untuk bekerja,” ujarnya seraya memainkan alisnya untuk membuat mimik wajah lucu yang mengundang tawa.Allan terkikik geli. “Kau dan bos mu itu sama saja, keras kepala,” ejeknya.“Siapa yang sedang mengejekku?” sindir Baron yang datang membawa dua pria muda. “Bawa masuk dan susun di meja.” Perintahnya yang disambut anggukan kompak oleh dua pemuda.“Kalian berdua, mulailah bekerja. Apa kalian akan bercanda sepanjang hari?” Baron beralih pada Davina dan Allan yang terpaku di depan tumpukan paperbag.Allan memasang wajah cengengesan sedangkan Davina bergegas untuk mengangkut jumlah paperbag yang mampu ia bawa.“Ayolah, Baron. Jangan bersikap terlalu keras pada Davina,” keluh Allan. Ia harus memperingatkan sang pe
“Hai.”Davina melambaikan tangannya dengan ceria kala memasuki pintu cafe. Ia menyapa beberapa karyawan yang tengah membersihkan meja-meja sebelum waktunya membuka cafe.“Hei, Davina!” Teriakan dari ujung ruangan membuat Davina segera memupuskan senyum di bibirnya dan berganti dengan raut tegang. “Bos,” ucapnya sambil tersenyum canggung. “Apa kabar?”Kain lap melayang ke wajah Davina diiringi dengan gerutuan sang pemilik cafe.“Dari mana saja kamu, bocah nakal!”“Maafkan aku, Bos.” Davina berlari kecil, menghampiri sang bos yang telah menjadi malaikat penolong baginya selama dua tahun terakhir. “Aku tidak enak badan selama beberapa hari ini.”“Apa? Kamu sakit?” Buru Baron cemas. Ia mengelus pelan pipi Davina. “Ah, masih hangat.”“Sudah lebih baik, Bos,” elak Davina. Ia tidak ingin pria baik hati itu cemas akan kondisinya. Ini pula alasan Davina tidak ingin mengirimkan kabar perihal sakitnya.“Kamu yakin? Mengapa tidak mengabariku? Kamu bisa saja mengambil cuti hingga kondisimu benar-b
Davina memandang dua ruas jarinya yang tampak berkilauan. Entah sejak kapan, dua benda indah ini melingkari jemarinya. Pagi ini, begitu membuka matanya, Davina dikejutkan oleh dua cincin yang menghiasi jarinya. Salah satunya merupakan cincin pernikahan. ‘Apa Lucas yang memasangkannya?’ pikir Davina ragu.Dua cincin itu membuat Davina merasa spesial, ia merasa dihargai meski hanya sebagai istri pajangan di rumah ini.“Nyonya, apa anda sudah selesai dengan mangkuk itu?” Usik Herman bernada sindiran.Sejak sepuluh menit yang lalu, kepala pelayan itu telah menunggu dengan sabar di sudut ruangan. Memperhatikan gerak-gerik nyonya muda yang terus saja memandangi jemarinya tanpa berniat menyentuh bubir di dalam mangkuk.Davina berdehem pelan untuk menutupi rasa bersalahnya. “Maafkan aku, Herman. Tapi bisakah aku menyudahinya?”“Kenapa? Apa tidak sesuai dengan selera anda?” Herman menunggu jawaban dengan mimik wajah serius. “Tidak … tidak,” elak Davina. Raut wajahnya keruh, menjadi serba sal
“Bos, saya mendapat informasi kalau rumah yang ditempati Nyonya Davina dan ibunya di sita oleh bank,” lapor Gio.Lucas menutup dengan keras map laporan yang tengah ia baca. “Di sita?” Ulangnya ragu.“Seminggu yang lalu, bank mengirimkan surat peringatan terakhir. Namun, dari pihak Carter tidak menunjukkan tanggapan sehingga bank memutuskan untuk menyita rumah itu, tepat dua hari yang lalu.”“Jadi itu alasannya ke rumah gadai?” Tebak Lucas yakin. “Dari penelusuran saya, sejak dulu Tuan Carter mengabaikan Nyonya Davina dan ibunya. Keduanya sengaja diasingkan dari rumah utama keluarga Carter.” Gio mengambil napas panjang untuk meneruskan kalimatnya.“Bahkan Tuan Carter tidak pernah mengakui nyonya Davina sebagai darah dagingnya,” lanjut Gio. Dari balik intonasi suaranya, terdengar nada kasihan atas nasib hidup seorang Davina.Pancaran dibalik sorot mata Lucas mengeras. “Ambil alih rumah itu dan bawakan aku semua data aset beserta hutang Carter.” Ia menarik senyum miring di sudut bibirny
“A-aku …” Davina menunduk dalam. “Maafkan aku, Lucas,” sesalnya.Lucas tak bergeming. Ia sudah cukup muak mendengar kata yang sama keluar dari bibir wanita yang dibalut oleh banyak kebohongan.Davina memutar cincin di jarinya demi menutupi kegugupan yang ia rasakan. Ia merapatkan tubuhnya demi mengusir dingin yang menyerang. Tiba-tiba suhu ruangan perlahan menurun, menjadi semakin dingin hingga membuat tubuhnya bergetar.“Apa kamu butuh uang?”Tebakan Lucas membuat Davina terbelalak lalu perlahan menunduk lesu. “Hhh …” Suara desahan Lucas terdengar berat dan dalam. Pria itu meraih dagu Davina dan mengangkat paksa hingga pandangan keduanya saling bertemu.“Terlepas dari apapun alasan pernikahan ini tapi, di mata negara aku sah sebagai suamimu,” tuturnya tegas. “Apapun yang kamu butuhkan ataupun masalah yang sedang kamu hadapi, kamu bisa mengatakannya padaku karena itu semua menjadi tanggung jawabku sebagai seorang suami.”Kelopak mata Davina bergetar, menatap haru wajah tampan itu. M
Lucas menggerakkan tangan kanannya untuk menyeka bulir keringat yang mengembun di kening istrinya, sedangkan tangan kirinya tak lepas dari genggaman pemilik wajah pucat yang terlelap lelah.“Apa yang sebenarnya kamu lakukan disana?” Lucas menatap cemas.Benaknya terus mempertanyakan hal yang sama, menuntut sebuah jawaban yang bisa memuaskan rasa penasaran berbalut kecemasan.Ia mengusap lembut pipi yang bersemu kemerahan dengan mata sembab akibat menangis sepanjang hari.“Tuan.”Lucas menjauhkan tangannya dari wajah Davina, menegakkan punggung lalu berpaling untuk menanggapi panggilan Herman.“Ada apa?”“Tuan Gio datang bersama beberapa orang lainnya. Mereka menunggu anda di taman belakang,” urai Herman bernada gelisah.“Aku tahu,” balas Lucas seraya melambaikan tangannya acuh untuk mengusir pria tua itu dari hadapannya.Herman menunduk hormat dan segera keluar. Ia cukup paham tabiat sang pemilik rumah. Raut wajahnya yang suram, menunjukkan suasana hatinya yang kelam serta emosi yang