Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan.“Kenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?” Desis Lucas marah. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?"“A-apa? Aku tidak—” Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. “Aku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian. Bahkan aku belum sempat menyapanya," elaknya tak terima."Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas.Davina bergidik ngeri kala suara itu mengecamnya dan melempar sorot mata tajam. "Mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk.Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu le
Davina Carter menarik napas dalam sebelum melangkahkan kakinya, menapak perlahan menuju altar. Nadinya berdenyut cepat, saling berlomba mengimbangi ritme jantungnya. Dari balik veil berbahan tulle yang menutupi pandangan, Davina dapat melihat ratusan pasang mata yang tengah terpaku padanya. Sayup-sayup dia mendengar deret kalimat bernada sumbang, mempertanyakan sosoknya sebagai calon mempelai wanita dari seorang pewaris harta serta tahta Dawson Grup. "Apa kalian mengenal calon mempelai wanitanya?" Riak rusuh mulai terdengar dari sekelompok wanita yang mempertanyakan identitas mempelai wanita yang selama ini tak pernah terekspos oleh media. "Entahlah, tapi aku mendengar kabar kalau Tuan Muda Lucas dijodohkan dengan seorang gadis desa. Cucu dari sahabat Tuan Besar Dawson." Penjelasan singkat itu disambut reaksi sinis para wanita lainnya, mereka saling bertukar pandangan seraya mengulum senyum geli. "Sayang sekali." Ungkapan bernada kecewa kembali terdengar. "Meski banyak rumor bahwa
Davina mengikuti langkah dari pria yang kini sudah menjadi suaminya untuk memasuki ruangan VVIP di hotel bintang lima Dawson group. Tanpa mengucapkan sepatah kata, pria itu melepas jas lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa panjang. Davina menatap bingung karena suaminya tak sedikitpun menunjukkan minatnya untuk menyapa atau sekedar berbasa-basi. Melihat sikap sang suami, kini dia menyadari bahwa pria itu mengabaikan kehadirannya bagai angin lalu. “A-aku akan mandi terlebih dahulu…” ucap Davina terbata. Tak ingin lebih lama lagi terjebak dalam kecanggungan ini. Pria itu bergeming, menatap Davina seolah tengah menilai dengan seksama. Tak lama dia mendengus kasar lalu menganggukkan kepala tanda setuju sebelum bangkit kemudian berjalan ke arah balkon. Itu adalah interaksi pertama diantara mereka sejak turun dari altar pernikahan. Melihat pria itu menghidupkan rokok dan mengepulkan asapnya ke udara, Davina cepat-cepat menuju kamar mandi. Kentara jelas suaminya sedang tidak ingin diganggu.
Davina bergidik ngeri melihat senyum lengkung serta tatapan tajam yang ditampilkan wajah berbingkai sempurna. "Bu-bukankah kamu …" Ia tak sempat meneruskan kalimat karena bibirnya telah dibungkam dengan lumatan cepat dan dalam. "Hmm …" Davina berusaha keras untuk mendorong tubuh yang menindihnya. Namun sulit, sentuhan hangat itu seakan membuat seluruh tubuhnya tak bertenaga. Dia mendesis tajam saat bibir pria itu beralih menuruni lehernya, meninggalkan jejak hangat dan kemerahan. “Akh!” Davina memekik kaget kala jubah mandinya tiba-tiba tersibak hingga menampakkan satu dari dua titik sensitif yang berada di dadanya. Tindakan itu membuat Davina mendelik, menghempas berbagai logika akan sederet kabar yang beberapa hari lalu ia baca dari media online. 'Jurnalis gila mana yang membuat berita sampah seperti itu! Mana mungkin seorang pria yang menyimpang bisa bertindak sejauh ini?!' “Ngghh …” Davina memejamkan kedua matanya erat, hanya mampu menggeliat resah saat kecupan hangat mengita
“Hei … Bangun!” Davina mengeliat, merintih pelan sebelum membuka mata dan mengedarkan pandangannya. Matanya melebar begitu disambut wajah datar yang tengah menatapnya lewat sorot jengah. “Lucas,” ucapnya ragu. Davina segera bangun, duduk dengan wajah bingung. Butuh beberapa detik lagi untuk memastikan apa yang ditangkap oleh matanya bukan’lah sekedar ilusi. “Kau tidur seperti orang mati,” ejek Lucas. Pria itu melengos acuh lalu kembali menikmati dosis kafein rutinnya sembari memantau pengerakan saham awal di pagi ini. Setelah berhasil mengumpulkan kesadarannya, Davina takut-takut menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. ‘Semalam … ‘kan?’ Pikirannya melayang pada atas apa yang terjadi tadi malam. Davina mengangkat pandangannya, menatap pria yang duduk di sofa, berniat bertanya. “Hmm, Lucas?” Dia ragu sejenak kala menyebut nama suaminya. “Semalam … Apa kita?” “Apa?” Pria yang disebut namanya melepas perhatiannnya dari layar ponsel dan beralih menatap wanita dengan pipi merona yang m
Davina setengah berlari menyusul langkah cepat didepannya. Sedikit saja terlambat maka Lucas akan menghilang dari pandangan. Keduanya masuk ke ruang rawat VIP, di mana hanya ada satu ranjang besar. Sosok pria tua yang lemah terbaring di sana didampingi wanita yang menatap sedih sambil sesekali menyeka air mata di pipinya. "Ma," panggil Lucas, membuat wanita tersebut menoleh. "Bagaimana kondisi Kakek?" Ia menghampiri ibunya yang sejak lepas dari pesta pernikahan langsung kembali ke rumah sakit. "Sayang." Maria menyambut putra semata wayangnya. Memeluk erat tubuh tinggi itu sambil menepuk pundaknya lembut. “Kakekmu–” Ucapannya terhenti begitu melihat sosok wanita yang berdiri di samping putranya. Wajah ramah itu seketika berubah, berganti dengan tatapan marah dan sinis. "Apa yang dilakukan wanita ini di sini?" sentak Maria. Langkah Davina yang hendak menghampiri ibu mertuanya seketika terhenti. Dia terkejut dan memilih mundur satu langkah saat mendapati sambutan yang tak terduga,
Tak banyak yang bisa dilakukan begitu dokter mengabarkan berita tentang kondisi Benjamin Dawson. Walaupun tak kunjung membuka matanya, namun dokter menyatakan kondisi Benjamin saat ini stabil sehingga pihak keluarga memutuskan untuk memindahkan perawatan ke rumah utama. Ini semua dilakukan demi kenyamanan serta keamanan. Dokter dan perawat telah disiapkan untuk selalu standby, memantau kondisi Benjamin. Begitu kabar tentang kepulangan sang tetua tersebar luas, pihak-pihak yang merasa memiliki kepentingan segera berbondong-bondong datang dengan dalih bersimpati atas kondisi sang penguasa keluarga Dawson. Namun dibalik semua itu, bukan’lah rahasia umum bahwa mereka hanya ingin berlomba-lomba menunjukkan wajah dihadapan sang pewaris demi menjaga relasi serta kepentingan pribadi. Di antara pengunjung tampak Abraham Carter bersama sang istri, Cecilia. Begitu melihat sosok Dawson yang menjadi pusat perhatian, mereka segera memasang wajah seolah bersedih dan langsung menghampiri Lucas s
Setelah kepergian Cecilia, Davina menghembuskan napas lega karena Ibu tirinya tidak akan lagi melontarkan kalimat-kalimat pedas untuknya. Sepanjang pertemuan mereka, tak luput sekalipun bagi Cecilia mencemooh bahkan menghina Davina, seolah itu merupakan kesempatan baginya untuk melampiaskan amarah dan dendamnya atas apa yang terjadi dimasa lalu. Meski sesungguhnya Davina merasa itu bukanlah kesalahan maupun kehendaknya namun ia tak dapat melawan dan berusaha sebaik mungkin untuk memahami sikap Cecilia. "Kau baik-baik saja?" Sebuah suara yang datang dari arah berlawanan seketika membuat Davina waspada. Ia mengangkat kepalanya untuk memperhatikan wajah asing yang tiba-tiba menyapanya. "Maaf?" Pria asing itu mengambil posisi di kursi yang ditinggalkan Cecilia, tepat di samping Davina. "Wajahmu pucat, apa kau sakit?" "Ti-tidak, aku baik-baik saja," balas Davina terbata. Ia melirik takut-takut wajah asing yang seolah mengenalinya. "Hmm, syukurlah." Mata Davina terpaku pada wajah c
Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan.“Kenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?” Desis Lucas marah. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?"“A-apa? Aku tidak—” Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. “Aku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian. Bahkan aku belum sempat menyapanya," elaknya tak terima."Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas.Davina bergidik ngeri kala suara itu mengecamnya dan melempar sorot mata tajam. "Mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk.Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu le
“Apa yang kalian bicarakan?” Buru Baron begitu melihat dua wanita itu masuk ke dalam ruangan.Megan menggelengkan kepalanya, mencegah Baron untuk banyak bertanya. “Apa semua persiapannya sudah selesai?”“Ya,” sahut Baron. Pandangannya menajam, meminta penjelasan tak terucap dari kedua wanita yang sebelumnya tampak bersitegang. “Semua sudah selesai.”“Terima kasih, Baron.” Megan berpaling pada wanita disampingnya. “Sampai nanti, Eleana,” pamitnya.Davina menatap punggung yang perlahan meninggalkannya. Meski untuk saat ini, Megan bersedia untuk menjaga rahasianya tapi itu bukanlah jaminan kuat karena pada suatu hari, rahasia ini akan terbongkar juga, cepat ataupun lambat.“Kenapa Megan memanggilmu dengan nama Eleana?” tanya Baron.Davina mengulas senyum tipis. “Dia hanya salah mengenaliku sebagai Eleana,” ucapnya sembari mengutuk diri karena kembali harus merangkai kebohongan.“Hmm,” gumam Baron samar. Ia tak lagi memburu Davina dengan pertanyaan karena ia yakin, wanita itu tak akan men
“Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari kami, Eleana?”“A-aku …” Davina terbata seraya menundukkan pandangannya dalam-dalam. Ia terlalu takut untuk membalas sorot mata tajam yang diarahkan padanya. “A-ada hal yang tak bisa ku ceritakan padamu.”Megan melemparkan tubuhnya ke atas sofa lalu menghela napas panjang. “Baron adalah sahabat sekaligus saudara bagiku. Hubungan kami sangat dekat hingga tak ada satupun rahasia diantara kami.”“Aku sering mendengarnya memuji salah satu karyawan terbaik yang bernama Davina tapi, aku tidak menyangka bila wanita yang dimaksud Baron adalah kamu, Eleana,” lanjut Megan. Mengurai kisah sekaligus mengkonfirmasi kecurigaan yang terlintas di benaknya. “Jadi, siapa kamu sebenarnya? Davina atau’kah Eleana?”Davina mendapati adanya tuntutan dari balik kalimat panjang yang diutarakan Megan. Membuatnya seketika tak bisa berkutik. “A-aku …”“Jangan coba berbohong lagi, Eleana!” Sergah Megan tegas. Raut wajahnya mengeras saat menekan emosi yang bergejolak dalam ba
“Ke mana kita akan membawanya?” Tanya Davina setelah berhasil mengeluarkan puluhan paperbag dari bagasi mobil.“Tinggalkan saja disana, Davina. Aku akan membawanya masuk,” sahut Allan, teman dekat pemilik cafe.“Tidak perlu sungkan, Allan,” kekeh Davina. “Asal kau tahu, aku disini untuk bekerja,” ujarnya seraya memainkan alisnya untuk membuat mimik wajah lucu yang mengundang tawa.Allan terkikik geli. “Kau dan bos mu itu sama saja, keras kepala,” ejeknya.“Siapa yang sedang mengejekku?” sindir Baron yang datang membawa dua pria muda. “Bawa masuk dan susun di meja.” Perintahnya yang disambut anggukan kompak oleh dua pemuda.“Kalian berdua, mulailah bekerja. Apa kalian akan bercanda sepanjang hari?” Baron beralih pada Davina dan Allan yang terpaku di depan tumpukan paperbag.Allan memasang wajah cengengesan sedangkan Davina bergegas untuk mengangkut jumlah paperbag yang mampu ia bawa.“Ayolah, Baron. Jangan bersikap terlalu keras pada Davina,” keluh Allan. Ia harus memperingatkan sang pe
“Hai.”Davina melambaikan tangannya dengan ceria kala memasuki pintu cafe. Ia menyapa beberapa karyawan yang tengah membersihkan meja-meja sebelum waktunya membuka cafe.“Hei, Davina!” Teriakan dari ujung ruangan membuat Davina segera memupuskan senyum di bibirnya dan berganti dengan raut tegang. “Bos,” ucapnya sambil tersenyum canggung. “Apa kabar?”Kain lap melayang ke wajah Davina diiringi dengan gerutuan sang pemilik cafe.“Dari mana saja kamu, bocah nakal!”“Maafkan aku, Bos.” Davina berlari kecil, menghampiri sang bos yang telah menjadi malaikat penolong baginya selama dua tahun terakhir. “Aku tidak enak badan selama beberapa hari ini.”“Apa? Kamu sakit?” Buru Baron cemas. Ia mengelus pelan pipi Davina. “Ah, masih hangat.”“Sudah lebih baik, Bos,” elak Davina. Ia tidak ingin pria baik hati itu cemas akan kondisinya. Ini pula alasan Davina tidak ingin mengirimkan kabar perihal sakitnya.“Kamu yakin? Mengapa tidak mengabariku? Kamu bisa saja mengambil cuti hingga kondisimu benar-b
Davina memandang dua ruas jarinya yang tampak berkilauan. Entah sejak kapan, dua benda indah ini melingkari jemarinya. Pagi ini, begitu membuka matanya, Davina dikejutkan oleh dua cincin yang menghiasi jarinya. Salah satunya merupakan cincin pernikahan. ‘Apa Lucas yang memasangkannya?’ pikir Davina ragu.Dua cincin itu membuat Davina merasa spesial, ia merasa dihargai meski hanya sebagai istri pajangan di rumah ini.“Nyonya, apa anda sudah selesai dengan mangkuk itu?” Usik Herman bernada sindiran.Sejak sepuluh menit yang lalu, kepala pelayan itu telah menunggu dengan sabar di sudut ruangan. Memperhatikan gerak-gerik nyonya muda yang terus saja memandangi jemarinya tanpa berniat menyentuh bubir di dalam mangkuk.Davina berdehem pelan untuk menutupi rasa bersalahnya. “Maafkan aku, Herman. Tapi bisakah aku menyudahinya?”“Kenapa? Apa tidak sesuai dengan selera anda?” Herman menunggu jawaban dengan mimik wajah serius. “Tidak … tidak,” elak Davina. Raut wajahnya keruh, menjadi serba sal
“Bos, saya mendapat informasi kalau rumah yang ditempati Nyonya Davina dan ibunya di sita oleh bank,” lapor Gio.Lucas menutup dengan keras map laporan yang tengah ia baca. “Di sita?” Ulangnya ragu.“Seminggu yang lalu, bank mengirimkan surat peringatan terakhir. Namun, dari pihak Carter tidak menunjukkan tanggapan sehingga bank memutuskan untuk menyita rumah itu, tepat dua hari yang lalu.”“Jadi itu alasannya ke rumah gadai?” Tebak Lucas yakin. “Dari penelusuran saya, sejak dulu Tuan Carter mengabaikan Nyonya Davina dan ibunya. Keduanya sengaja diasingkan dari rumah utama keluarga Carter.” Gio mengambil napas panjang untuk meneruskan kalimatnya.“Bahkan Tuan Carter tidak pernah mengakui nyonya Davina sebagai darah dagingnya,” lanjut Gio. Dari balik intonasi suaranya, terdengar nada kasihan atas nasib hidup seorang Davina.Pancaran dibalik sorot mata Lucas mengeras. “Ambil alih rumah itu dan bawakan aku semua data aset beserta hutang Carter.” Ia menarik senyum miring di sudut bibirny
“A-aku …” Davina menunduk dalam. “Maafkan aku, Lucas,” sesalnya.Lucas tak bergeming. Ia sudah cukup muak mendengar kata yang sama keluar dari bibir wanita yang dibalut oleh banyak kebohongan.Davina memutar cincin di jarinya demi menutupi kegugupan yang ia rasakan. Ia merapatkan tubuhnya demi mengusir dingin yang menyerang. Tiba-tiba suhu ruangan perlahan menurun, menjadi semakin dingin hingga membuat tubuhnya bergetar.“Apa kamu butuh uang?”Tebakan Lucas membuat Davina terbelalak lalu perlahan menunduk lesu. “Hhh …” Suara desahan Lucas terdengar berat dan dalam. Pria itu meraih dagu Davina dan mengangkat paksa hingga pandangan keduanya saling bertemu.“Terlepas dari apapun alasan pernikahan ini tapi, di mata negara aku sah sebagai suamimu,” tuturnya tegas. “Apapun yang kamu butuhkan ataupun masalah yang sedang kamu hadapi, kamu bisa mengatakannya padaku karena itu semua menjadi tanggung jawabku sebagai seorang suami.”Kelopak mata Davina bergetar, menatap haru wajah tampan itu. M
Lucas menggerakkan tangan kanannya untuk menyeka bulir keringat yang mengembun di kening istrinya, sedangkan tangan kirinya tak lepas dari genggaman pemilik wajah pucat yang terlelap lelah.“Apa yang sebenarnya kamu lakukan disana?” Lucas menatap cemas.Benaknya terus mempertanyakan hal yang sama, menuntut sebuah jawaban yang bisa memuaskan rasa penasaran berbalut kecemasan.Ia mengusap lembut pipi yang bersemu kemerahan dengan mata sembab akibat menangis sepanjang hari.“Tuan.”Lucas menjauhkan tangannya dari wajah Davina, menegakkan punggung lalu berpaling untuk menanggapi panggilan Herman.“Ada apa?”“Tuan Gio datang bersama beberapa orang lainnya. Mereka menunggu anda di taman belakang,” urai Herman bernada gelisah.“Aku tahu,” balas Lucas seraya melambaikan tangannya acuh untuk mengusir pria tua itu dari hadapannya.Herman menunduk hormat dan segera keluar. Ia cukup paham tabiat sang pemilik rumah. Raut wajahnya yang suram, menunjukkan suasana hatinya yang kelam serta emosi yang