Alunan musik klasik mengiringi suasana hiruk pikuk ratusan tamu yang hadir dan memenuhi ballroom hotel bintang lima milik Dawson Group.
Hotel yang namanya tercatat sebagai salah satu destinasi mewah di kota ini.Para tamu undangan yang rata-rata berasal dari kalangan kelas atas, tak akan melewatkan acara besar di tahun ini. Pernikahan dari cucu laki-laki pertama sekaligus pewaris harta dan tahta keluarga Dawson."Apa kalian mengenal calon mempelai wanitanya?"Riak rusuh mulai sayup-sayup terdengar dari salah satu kumpulan. Mereka mempertanyakan sosok calon mempelai wanita yang selama ini tak pernah terekspos oleh media."Entahlah. Tapi aku mendengar kabar kalau Tuan Muda Lucas dijodohkan dengan gadis desa, cucu dari sahabat Tuan Besar Dawson," balas salah satu wanita yang tengah memandang ke arah altar kosong.Para wanita lainnya saling bertukar pandangan lalu saling mengulum senyum geli."Sayang sekali," desah kecewa kembali terdengar dari mulut para wanita. "Meski banyak kabar burung bahwa Tuan Lucas tidak menyukai wanita, tapi sangat disayangkan bila dia harus menikahi seorang wanita kampungan."Orang-orang yang berada dalam kumpulan mengangguk setuju."Hei, lihat! Mempelai wanitanya masuk," tunjuk salah satu wanita ke arah pintu masuk ballroom.Semua orang yang hadir di pesta mengalihkan pandangan mereka ke arah pintu, menatap wanita dengan gaun pengantin putih berdetail kristal di seluruh bagian gaun. Berdiri dengan wajah tegang dan gerakan kaku, dia menggamit lengan pria paruh baya yang bertindak sebagai pengiring pengantin.Wanita itu adalah Davina Carter, sang mempelai pewaris keluarga Dawson yang bernama Lucas Dawson.Davina menguatkan langkahnya—menyusuri lorong panjang di atas panggung, menuju altar dimana kisah pilu hidupnya akan bernaung."Wanita yang terlalu biasa untuk Tuan Lucas yang tampan," celetuk salah satu tamu undangan bersama dengan tatapan sinis.“Wajahnya manis, tapi bagaimana pun dia masih gadis kampungan,” sahut yang lain.Sayup-sayup Davina dapat mendengar deretan kalimat bernada cemoohan, mempertanyakan sosoknya sebagai mempelai wanita. Namun, semua kalimat menyakitkan itu tak mampu mengusik perhatiannya. Rasa gugup dan takut telah jauh melampaui semua itu."Tersenyumlah. Jangan membuat mereka curiga," desis sang ayah bernada kasar."Ba-baik, Ayah."Davina mendesah pasrah selagi ujung bibirnya ditarik sedikit membentuk senyuman miris. Hatinya merintih perih, 'Mengapa harus aku yang melakukan semua ini?’Seharusnya, bukan Davina yang berdiri di sini, menggandeng tangan sang ayah menuju altar pernikahan tempat suami asingnya itu berada.Lagi pula, dirinya hanyalah putri yang tidak diakui dan selama ini diasingkan dari kediaman besar keluarga Carter.Seorang putri yang terseok-seok menyambung hidup meski keluarganya bergelimang harta.“Memang benar, Lucas Dawson adalah calon pewaris keluarga Dawson dengan pencapaiannya yang luar biasa. Akan tetapi, begitu banyak isu buruk menyelimutinya! Aku tak rela menikahkan Eleana dengan pria seperti itu! Oleh karena itu, kamu yang akan menggantikannya!”Mengingat ucapan sang ibu, sudut bibir Davina sedikit terangkat. Demi sang adik yang tercinta dan juga untuk memastikan kejayaan perusahaan beserta wasiat sang kakek terpenuhi, memang sang ayah dan ibu akan mengorbankan apa pun, termasuk Davina sendiri.Sayangnya, Davina tak mampu menolak. Bagaimanapun, sebagai kepala keluarga Carter, sang ayah memiliki kuasa atas hidupnya.“Angkat kepalamu!” Perintah bernada kasar yang dilontarkan oleh ayahnya itu membuyarkan lamunan Davina. Ia mengangkat kepala untuk melihat sosok tinggi dan tegap yang sedang menunggu di atas altar.‘Jadi, itu dia calon suamiku?' batin Davina sambil menajamkan penglihatannya.Sayangnya, pendar cahaya lampu yang menyorot tajam membuat wajah sang pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya tak terlihat dengan jelas."Pergilah." Perintah sang ayah sebelum berbalik dan turun dari altar.Davina mengangguk lemah dan menyambut tangan yang terulur ke arahnya. Melangkahkan kaki melewati dua anak tangga, dia pun bersanding dengan sang ‘calon suami’ di atas altar.Suara pemimpin pernikahan melafalkan janji setia pernikahan terdengar, sebelum diakhiri dengan pertanyaan untuk Davina, "Mempelai wanita, apa kamu bersedia mencintai suamimu dalam suka maupun duka?"Davina terdiam, matanya melirik sang ayah yang duduk di deretan bangku depan—menatap tajam ke arahnya."Ya, saya bersedia," ucapnya lemah.Pertanyaan yang sama dilontarkan juga kepada mempelai pria. Dan suara bariton dalam yang membuat jantung Davina berdetak cepat terdengar menjawab, “Ya, saya bersedia.”Pemimpin pernikahan pun tersenyum. “Demikian, dengan kuasa yang diberikan kepadaku, sekarang aku nyatakan kalian sebagai suami-istri.”Suara tepuk tangan pun menyambut puncak acara sekaligus peresmian pernikahan."Silahkan," kata sang pemimpin pernikahan.Tudung transparan yang menutupi wajah Davina terangkat perlahan.Detik itu juga, mata gadis tersebut terpaku pada wajah tampan yang menatapnya dengan sorot mata dingin.‘Dia ….’ Bahkan ucapan batin Davina sedikit tercekat, kaget dengan betapa sempurna paras pria di hadapannya itu.Alis hitam tebal, hidung tinggi dan mancung, bibir tipis dan rahang tegas yang menambah pesona sorot mata tajam pria di depan mata.Lucas Dawson … ternyata adalah pria yang begitu tampan.“Mempelai pria, silakan mencium mempelai wanita.”Tepat saat ucapan itu terdengar, Davina belum sempat bereaksi kala kecupan singkat dan lembut mendarat di bibirnya. Walau pernikahan ini terasa dingin dan hampa, tapi ciuman itu terasa hangat dan mendebarkan.Usai melakukan itu, pria di depan Davina langsung mengalihkan pandangan ke arah para tamu yang berdiri bertepuk tangan. Hal tersebut membuat roh Davina kembali ke realita dan tersenyum pahit.'Sayang sekali, pria hampir sempurna seperti ini ternyata tidak menyukai wanita,' batinnya.Namun, dia dengan cepat mendengus pelan menertawakan nasibnya sendiri yang malang.‘Tapi, apa hakku berucap demikian kalau jalan hidupku sendiri tidak berada dalam kuasaku?’*****Setelah upacara pernikahan selesai, Davina mengikuti langkah dari pria yang kini sudah menjadi suaminya untuk memasuki ruangan VVIP di hotel bintang lima Dawson group. Begitu memasuki ruangan, matanya langsung terpaku oleh luas kamar dengan segala furniture mewah di dalamnya. 'Wow.' Davina berseru takjub dalam hati. Ia takut-takut untuk menyentuh lampu meja berwarna emas dengan hiasan kristal di sekelilingnya. Semoga saja tangannya yang bar-bar tak bertindak ceroboh karena gugup dan membuat kristal-kristal itu rontok dengan sendirinya.Usai menyentuh, Davina tersadar ada sorot yang mengawasi. Dia pun langsung mengangkat pandangan, melihat sepasang netra hitam gelap itu tengah menatapnya dalam. Kaget, Davina tersentak dan langsung membuang pandangan ke arah lain. Dia dengan gugup langsung berujar, “A-aku akan mandi terlebih dahulu…”Sebelum melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, sekali lagi, Davina menatap punggung pria yang telah menjadi suami sah baginya di mata negara. Pria it
Davina menatap ngeri senyum sinis disertai mata yang menatapnya nyalang."Bu-bukankah kamu …"Ia tak sempat meneruskan kalimatnya, bibirnya telah dibungkam dan dilumat cepat dan dalam oleh bibir milik Lucas."Hmm …"Davina berusaha keras untuk mendorong tubuh yang menindihnya. Namun sulit … sentuhan hangat di bibirnya seakan membuat seluruh tubuhnya hingga tak bertenaga. Ia mendesis tajam saat bibir pria itu beralih menuruni lehernya, meninggalkan jejak hangat dan basah kemerahan yang mencerminkan gairah dan gelora. Terus turun sampai akhirnya menyentuh satu dari dua titik sensitif yang berada di dadanya, memaksanya untuk mendesah nikmat. Tindakan itu membuat Davina mendelik, menghempas logikanya akan deretan kabar buruk yang beberapa hari lalu ia baca dari situs-situs online.'Jurnalis gila mana yang membuat berita sampah seperti itu! Mana mungkin seorang pria yang menyimpang bertindak seperti ini?!'“Ngghh …”Davina hanya mampu menggeliat resah saat jubah mandi yang dikenakannya m
Bersamaan dengan ucapan itu, Lucas memulai gerakannya, membuat wajah Davina mengernyit akibat sakit yang terasa. Namun, seperti ucapan pria tersebut, semakin lama gerakan itu menghasilkan perasaan aneh yang membuat rasa sakit itu berhenti, digantikan kenikmatan yang membuat desahannya kembali.“Ah … ah!” Refleks, tangan Davina melingkar di leher Lucas, kuku-kuku jarinya dibenamkan di punggung pria itu tanpa sadar, menyebabkan luka yang membuat Lucas meringis. Akan tetapi, pria itu hanya terdiam, terlalu fokus pada kenikmatan yang tercipta atas persatuan mereka."Sebut namaku," titah Lucas di sisi telinga Davina.Davina memandang sayu iris gelap yang menatapnya lekat dalam balutan napsu."Lu-Lucas," ucap Davina dengan terbata, tak lagi memiliki kesadaran penuh karena tenggelam dalam gairah panas pria di hadapan. “Lucas, Lucas, Lucas!”Panggilan itu membuat senyuman di bibir Lucas menjadi semakin lebar, dan gerakannya pun menjadi semakin cepat. Pria itu mencium bibir Davina, kasar, dal
Davina terdiam. Tubuhnya bergetar kala pertanyaan bernada datar itu terlontar dari bibir pria yang menatapnya dingin.'Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau dia tahu?'Ribuan kali sang ayah memperingatkan Davina agar tidak memicu kecurigaan keluarga Dawson, apalagi sampai membongkar identitasnya yang sebenarnya dan membuat pernikahan ini batal.Tapi, apa ini? Dia tidak berbuat aneh dan Lucas sudah langsung mencurigainya!? Apa identitasnya akan terbongkar di hari pertamanya menikah!?"I-itu …" Davina terdiam, dia berusaha memutar otak untuk memberikan jawaban yang tepat. Namun, belum selesai dia berpikir, suara Lucas kembali terdengar berucap."Kenapa kau ketakutan seperti itu?" ujar pria tersebut dengan pandangan tajam. "Aku hanya bercanda,” imbuhnya datar. Davina mengerjapkan matanya, bingung. Apa pria ini sungguh bercanda? Kenapa sepertinya wajah serius itu tidak menunjukkan demikian?Lucas berdiri dari sofa, lalu menghampiri Davina. “Apa ini?” tanya pria itu dengan sudut bi
Davina setengah berlari menyusul langkah cepat Lucas. Keduanya masuk ke ruang rawat VIP, di mana hanya ada satu ranjang besar. Sosok pria tua yang lemah terbaring di sana didampingi wanita yang menatap sedih sambil sesekali menyeka air mata di pipinya."Ma," panggil Lucas, membuat wanita tersebut menoleh. "Bagaimana kondisi Kakek?" Ia menghampiri ibunya yang sejak lepas dari acara pesta pernikahan langsung kembali ke rumah sakit."Sayang." Maria menyambut putra semata wayangnya. Memeluk erat tubuh tinggi itu sambil menepuk pundaknya lembut. “Kakek–”Ucapan Maria terhenti begitu melihat sosok wanita yang berdiri di samping putranya. Wajah ramah itu seketika berubah, berganti dengan tatapan marah dan sinis."Apa yang dilakukan wanita ini di sini?" sentak Maria.Davina terkejut dan mundur satu langkah ketika ia ingin menghampiri Ibu mertuanya. Ia tak pernah menyangka sambutan yang diterimanya sangatlah jauh dari kata ramah. Wanita anggun itu tampak membencinya dengan sepenuh hati."Mari
Davina berdiri di depan pintu ruang VIP dengan wajah bersimbah air mata. Tatapan sayu, meski pertemuannya dengan Kakek hanya berlangsung sebentar, namun ia merasakan kasih sayang yang selama ini tak pernah ia dapatkan dari keluarganya.Davina menyapu jejak air mata di kedua pipinya, memutar kenop dan menunggu pintu dihadapannya perlahan terbuka. Matanya terpaku pada beberapa orang yang sudah berkumpul memadati ruangan.Langkah Davina bergetar saat memasuki area dalam ruangan. Ia langsung disambut oleh tatapan orang-orang yang menganggapnya sebagai sosok asing."Kau!" teriak Maria. Matanya melotot saat melihat Davina melangkahkan kakinya memasuki ruangan. "Apa yang sebenarnya telah kau lakukan?!" Maria mencengkram kasar lengan Davina. "Kenapa Ayahku meninggal setelah bertemu denganmu!" “A-aku ….”Tindakan Maria membuat Davina terbata. Ia terlalu kaget atas tudingan yang diarahkan sang ibu mertua hingga tak mampu untuk membela diri. Melihat wajah bersalah Davina, Maria semakin menjadi
Suasana di area pemakaman pribadi milik keluarga Dawson tampak lengang setelah prosesi acara pemakaman Benjamin Dawson selesai di gelar. Acara itu berlangsung begitu khidmat, diikuti oleh para pelayat yang silih berganti datang untuk memberikan penghormatan terakhir pada tetua di keluarga Dawson. Di antara pelayat, tampak Abraham dan Cecilia, Ayah dan Ibu tiri Davina, mereka duduk di antara barisan kursi keluarga utama Dawson.Di sana terlihat pula, Lucas dan Davina. Setelah perdebatan mereka di rumah sakit, Lucas menyeret Davina untuk mendampinginya dan menjadi wakil dari keluarga untuk menyambut kedatangan para pelayat. "Ada apa?" Lucas memperhatikan wajah Davina yang tampak pucat dan lesu bahkan beberapa kali Lucas mendapati wanita itu menghela napas dalam.“A-aku akan duduk sebentar, lalu akan kembali lagi” Davina menggeleng lemah, "karena kepalaku sedikit pusing," balasnya gugup. Sejak dari rumah sakit, Kepalanya berdenyut nyeri dengan mata yang berkunang-kunang. Mungkin ini
Sedan mewah berhenti tepat di pintu masuk rumah bertingkat, dengan gaya minimalis modern dan dominasi warna monokrom.Davina dan Lucas yang berada di dalam mobil kursi penumpang tak bergeming meski deru suara mesin sudah tak lagi terdengar. Keduanya larut dalam lamunan masing-masing, menghabiskan waktu dalam kebisuan."Tuan, Nyonya, kita sudah sampai." Suara sang sopir mengusik kesunyian dan aura suram dari balik kursi penumpang.Lucas berdehem pelan. "Turun," perintahnya lalu beranjak keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya ke dalam rumah.Tak banyak bicara, Davina segera menyusul langkah pria dingin itu. Mereka disambut oleh dua pelayan yang menundukkan kepala saat Lucas melewatinya.Davina terpaku oleh betapa luasnya setiap ruangan yang dilewati beserta deret furniture yang ia yakini berharga fantastis. Rumah besar ini terlihat megah namun aura yang dipancarkan memberi kesan sunyi dan senyap. Setiap langkah terasa dingin, bagai menginjakkan kaki di atas batangan es. Saat kedua
Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan.“Kenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?” Desis Lucas marah. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?"“A-apa? Aku tidak—” Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. “Aku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian. Bahkan aku belum sempat menyapanya," elaknya tak terima."Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas.Davina bergidik ngeri kala suara itu mengecamnya dan melempar sorot mata tajam. "Mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk.Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu le
“Apa yang kalian bicarakan?” Buru Baron begitu melihat dua wanita itu masuk ke dalam ruangan.Megan menggelengkan kepalanya, mencegah Baron untuk banyak bertanya. “Apa semua persiapannya sudah selesai?”“Ya,” sahut Baron. Pandangannya menajam, meminta penjelasan tak terucap dari kedua wanita yang sebelumnya tampak bersitegang. “Semua sudah selesai.”“Terima kasih, Baron.” Megan berpaling pada wanita disampingnya. “Sampai nanti, Eleana,” pamitnya.Davina menatap punggung yang perlahan meninggalkannya. Meski untuk saat ini, Megan bersedia untuk menjaga rahasianya tapi itu bukanlah jaminan kuat karena pada suatu hari, rahasia ini akan terbongkar juga, cepat ataupun lambat.“Kenapa Megan memanggilmu dengan nama Eleana?” tanya Baron.Davina mengulas senyum tipis. “Dia hanya salah mengenaliku sebagai Eleana,” ucapnya sembari mengutuk diri karena kembali harus merangkai kebohongan.“Hmm,” gumam Baron samar. Ia tak lagi memburu Davina dengan pertanyaan karena ia yakin, wanita itu tak akan men
“Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari kami, Eleana?”“A-aku …” Davina terbata seraya menundukkan pandangannya dalam-dalam. Ia terlalu takut untuk membalas sorot mata tajam yang diarahkan padanya. “A-ada hal yang tak bisa ku ceritakan padamu.”Megan melemparkan tubuhnya ke atas sofa lalu menghela napas panjang. “Baron adalah sahabat sekaligus saudara bagiku. Hubungan kami sangat dekat hingga tak ada satupun rahasia diantara kami.”“Aku sering mendengarnya memuji salah satu karyawan terbaik yang bernama Davina tapi, aku tidak menyangka bila wanita yang dimaksud Baron adalah kamu, Eleana,” lanjut Megan. Mengurai kisah sekaligus mengkonfirmasi kecurigaan yang terlintas di benaknya. “Jadi, siapa kamu sebenarnya? Davina atau’kah Eleana?”Davina mendapati adanya tuntutan dari balik kalimat panjang yang diutarakan Megan. Membuatnya seketika tak bisa berkutik. “A-aku …”“Jangan coba berbohong lagi, Eleana!” Sergah Megan tegas. Raut wajahnya mengeras saat menekan emosi yang bergejolak dalam ba
“Ke mana kita akan membawanya?” Tanya Davina setelah berhasil mengeluarkan puluhan paperbag dari bagasi mobil.“Tinggalkan saja disana, Davina. Aku akan membawanya masuk,” sahut Allan, teman dekat pemilik cafe.“Tidak perlu sungkan, Allan,” kekeh Davina. “Asal kau tahu, aku disini untuk bekerja,” ujarnya seraya memainkan alisnya untuk membuat mimik wajah lucu yang mengundang tawa.Allan terkikik geli. “Kau dan bos mu itu sama saja, keras kepala,” ejeknya.“Siapa yang sedang mengejekku?” sindir Baron yang datang membawa dua pria muda. “Bawa masuk dan susun di meja.” Perintahnya yang disambut anggukan kompak oleh dua pemuda.“Kalian berdua, mulailah bekerja. Apa kalian akan bercanda sepanjang hari?” Baron beralih pada Davina dan Allan yang terpaku di depan tumpukan paperbag.Allan memasang wajah cengengesan sedangkan Davina bergegas untuk mengangkut jumlah paperbag yang mampu ia bawa.“Ayolah, Baron. Jangan bersikap terlalu keras pada Davina,” keluh Allan. Ia harus memperingatkan sang pe
“Hai.”Davina melambaikan tangannya dengan ceria kala memasuki pintu cafe. Ia menyapa beberapa karyawan yang tengah membersihkan meja-meja sebelum waktunya membuka cafe.“Hei, Davina!” Teriakan dari ujung ruangan membuat Davina segera memupuskan senyum di bibirnya dan berganti dengan raut tegang. “Bos,” ucapnya sambil tersenyum canggung. “Apa kabar?”Kain lap melayang ke wajah Davina diiringi dengan gerutuan sang pemilik cafe.“Dari mana saja kamu, bocah nakal!”“Maafkan aku, Bos.” Davina berlari kecil, menghampiri sang bos yang telah menjadi malaikat penolong baginya selama dua tahun terakhir. “Aku tidak enak badan selama beberapa hari ini.”“Apa? Kamu sakit?” Buru Baron cemas. Ia mengelus pelan pipi Davina. “Ah, masih hangat.”“Sudah lebih baik, Bos,” elak Davina. Ia tidak ingin pria baik hati itu cemas akan kondisinya. Ini pula alasan Davina tidak ingin mengirimkan kabar perihal sakitnya.“Kamu yakin? Mengapa tidak mengabariku? Kamu bisa saja mengambil cuti hingga kondisimu benar-b
Davina memandang dua ruas jarinya yang tampak berkilauan. Entah sejak kapan, dua benda indah ini melingkari jemarinya. Pagi ini, begitu membuka matanya, Davina dikejutkan oleh dua cincin yang menghiasi jarinya. Salah satunya merupakan cincin pernikahan. ‘Apa Lucas yang memasangkannya?’ pikir Davina ragu.Dua cincin itu membuat Davina merasa spesial, ia merasa dihargai meski hanya sebagai istri pajangan di rumah ini.“Nyonya, apa anda sudah selesai dengan mangkuk itu?” Usik Herman bernada sindiran.Sejak sepuluh menit yang lalu, kepala pelayan itu telah menunggu dengan sabar di sudut ruangan. Memperhatikan gerak-gerik nyonya muda yang terus saja memandangi jemarinya tanpa berniat menyentuh bubir di dalam mangkuk.Davina berdehem pelan untuk menutupi rasa bersalahnya. “Maafkan aku, Herman. Tapi bisakah aku menyudahinya?”“Kenapa? Apa tidak sesuai dengan selera anda?” Herman menunggu jawaban dengan mimik wajah serius. “Tidak … tidak,” elak Davina. Raut wajahnya keruh, menjadi serba sal
“Bos, saya mendapat informasi kalau rumah yang ditempati Nyonya Davina dan ibunya di sita oleh bank,” lapor Gio.Lucas menutup dengan keras map laporan yang tengah ia baca. “Di sita?” Ulangnya ragu.“Seminggu yang lalu, bank mengirimkan surat peringatan terakhir. Namun, dari pihak Carter tidak menunjukkan tanggapan sehingga bank memutuskan untuk menyita rumah itu, tepat dua hari yang lalu.”“Jadi itu alasannya ke rumah gadai?” Tebak Lucas yakin. “Dari penelusuran saya, sejak dulu Tuan Carter mengabaikan Nyonya Davina dan ibunya. Keduanya sengaja diasingkan dari rumah utama keluarga Carter.” Gio mengambil napas panjang untuk meneruskan kalimatnya.“Bahkan Tuan Carter tidak pernah mengakui nyonya Davina sebagai darah dagingnya,” lanjut Gio. Dari balik intonasi suaranya, terdengar nada kasihan atas nasib hidup seorang Davina.Pancaran dibalik sorot mata Lucas mengeras. “Ambil alih rumah itu dan bawakan aku semua data aset beserta hutang Carter.” Ia menarik senyum miring di sudut bibirny
“A-aku …” Davina menunduk dalam. “Maafkan aku, Lucas,” sesalnya.Lucas tak bergeming. Ia sudah cukup muak mendengar kata yang sama keluar dari bibir wanita yang dibalut oleh banyak kebohongan.Davina memutar cincin di jarinya demi menutupi kegugupan yang ia rasakan. Ia merapatkan tubuhnya demi mengusir dingin yang menyerang. Tiba-tiba suhu ruangan perlahan menurun, menjadi semakin dingin hingga membuat tubuhnya bergetar.“Apa kamu butuh uang?”Tebakan Lucas membuat Davina terbelalak lalu perlahan menunduk lesu. “Hhh …” Suara desahan Lucas terdengar berat dan dalam. Pria itu meraih dagu Davina dan mengangkat paksa hingga pandangan keduanya saling bertemu.“Terlepas dari apapun alasan pernikahan ini tapi, di mata negara aku sah sebagai suamimu,” tuturnya tegas. “Apapun yang kamu butuhkan ataupun masalah yang sedang kamu hadapi, kamu bisa mengatakannya padaku karena itu semua menjadi tanggung jawabku sebagai seorang suami.”Kelopak mata Davina bergetar, menatap haru wajah tampan itu. M
Lucas menggerakkan tangan kanannya untuk menyeka bulir keringat yang mengembun di kening istrinya, sedangkan tangan kirinya tak lepas dari genggaman pemilik wajah pucat yang terlelap lelah.“Apa yang sebenarnya kamu lakukan disana?” Lucas menatap cemas.Benaknya terus mempertanyakan hal yang sama, menuntut sebuah jawaban yang bisa memuaskan rasa penasaran berbalut kecemasan.Ia mengusap lembut pipi yang bersemu kemerahan dengan mata sembab akibat menangis sepanjang hari.“Tuan.”Lucas menjauhkan tangannya dari wajah Davina, menegakkan punggung lalu berpaling untuk menanggapi panggilan Herman.“Ada apa?”“Tuan Gio datang bersama beberapa orang lainnya. Mereka menunggu anda di taman belakang,” urai Herman bernada gelisah.“Aku tahu,” balas Lucas seraya melambaikan tangannya acuh untuk mengusir pria tua itu dari hadapannya.Herman menunduk hormat dan segera keluar. Ia cukup paham tabiat sang pemilik rumah. Raut wajahnya yang suram, menunjukkan suasana hatinya yang kelam serta emosi yang