Sedan mewah berhenti tepat di pintu masuk rumah bertingkat, dengan gaya minimalis modern dan dominasi warna monokrom.
Davina dan Lucas yang berada di dalam mobil kursi penumpang tak bergeming meski deru suara mesin sudah tak lagi terdengar. Keduanya larut dalam lamunan masing-masing, menghabiskan waktu dalam kebisuan. "Tuan, Nyonya, kita sudah sampai." Suara sang sopir mengusik kesunyian dan aura suram dari balik kursi penumpang. Lucas berdehem pelan. "Turun," perintahnya lalu beranjak keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Tak banyak bicara, Davina segera menyusul langkah yang berjalan cepat meninggalkannya. Ia tak henti berdecak kagum saat melewati tiap ruangan yang dihiasi deret furniture yang Davina yakini berharga fantastis. Dua wanita paruh baya setengah berlari untuk menyambut kedatangan pemilik rumah, mereka menundukkan kepala saat Lucas melewati tanpa berkata ataupun sekedar menoleh. Sikap Lucas membuat Davina bergumam dalam benaknya, ‘rumah besar ini terlihat megah namun aura yang dipancarkan memberi kesan sunyi dan senyap. Setiap langkah terasa dingin, bagai menginjakkan kaki di atas batangan es’. Saat keduanya menaiki tangga menuju lantai kedua, mulut Davina tergelitik untuk bertanya. “Kamu mau membawaku kemana?” usiknya curiga. "Tak perlu banyak bertanya," balas Lucas tanpa berpaling. Langkahnya semakin condong menuju pintu kayu berdaun dua dengan ukiran yang membingkai setiap sudut. Ia mendorong gagang emas yang membuat pintu terbuka. Begitu masuk, Davina disambut oleh udara pengap dari ruangan dengan pencahayaan seadanya. Tak tampak adanya balkon atau sekedar jendela kecil yang dapat mengalirkan pertukaran udara dari dalam ke luar ruangan. Bahkan satu-satunya sumber penerangan hanya berasal dari cahaya lampu yang mengelilingi langit-langit ruangan. Satu set meja kerja beserta perangkat komputer menjadi pusat fokus di dalam ruangan, diapit oleh deretan rak buku yang merapat ke dinding. Sekilas mata, terlihat layaknya ruang kerja pada umumnya tapi dalam beberapa menit Davina mulai menyadari, ruangan ini lebih terlihat seperti banker—ruang rahasia. Mata Davina melirik rak buku terdekat, lalu membaca judul dari sampul buku terdepan, 'The new rules of marketing.' Hatinya mencelos geli, seperti yang bisa diharapkan dari seorang pemimpin perusahaan pada umumnya. Mereka hanya membaca buku-buku bisnis tebal yang membosankan. "Duduklah." Mendengar perintah bernada datar itu seketika membuat Davina was-was. Ia memilih duduk di sofa single yang berjarak cukup jauh dari tempat Lucas duduk. "Ruangan ini terlalu gelap dan pengap untuk disebut ruang kerja," tutur Davina sekedar berbasa-basi. Ia mendesah pelan setelah menunggu beberapa saat tanpa jawaban. Davina merasa terabaikan karena Lucas sama sekali tidak menggubris setiap kali ia bicara. Pria itu mengeluarkan sebuah kotak dari balik laci lalu meletakkannya di atas meja. “Pakai ini.” Davina melirik kotak ponsel seri terbaru dari salah satu merek terkenal di negara ini. Nominal harganya yang menyentuh dua digit angka, membuat Davina tak pernah bermimpi untuk memilikinya. Bahkan dengan bekerja siang dan malam, sepanjang tahun, ia tetap tak akan bisa membeli ponsel itu. “Aku tidak memerlukannya, ponsel ku baik-baik saja,” tolak Davina. Ia tak ingin terikat budi apapun dengan Lucas. Cukup sudah, hanya dalam beberapa hari saja, pernikahan ini hampir menginjak-injak seluruh harga dirinya. Davina tak ingin semakin terpuruk hingga tak mampu kembali bangkit. Lucas menatapnya tajam, melalui sorot menyelidik. “Keluarkan ponsel mu,” perintahnya. Mendengar permintaan Lucas seketika membuat Davina takut. Pria itu tak boleh sampai melihat apalagi menyentuh ponselnya. Davina menekan erat ponsel di balik saku celananya. Ia yakin, Lucas akan semakin curiga bila melihat bentuk ponselnya. Tak mungkin terjadi, seorang Eleana yang dikenal fashionable menggunakan ponsel butut. “Tidak.” tolak Davina. “Kenapa? Kau takut?” dengus Lucas kasar. Ia menertawakan kepolosan wanita itu. “Apa di dalam sana ada banyak rahasia yang kau sembunyikan?” Sindirnya seraya melirik tangan Davina yang menekan erat paha sampingnya. “I-ini privasi ku. Bukankah kita setuju untuk tak saling ikut campur dalam masalah pribadi?” Tantang Davina untuk menutupi kegugupannya. Lucas berdecih sinis. “Terserah saja. Tapi pastikan kau selalu membawa benda itu bersamamu,” tunjuknya pada kotak ponsel. “Ba-baik.” Davina meraih kotak itu dan menggenggamnya. Ia mendesah lega karena Lucas tak melanjutkan perdebatan ini. "Lalu, apa yang kau bicarakan dengan Sebastian?" Davina menautkan alisnya bingung kala Lucas beralih topik dengan melontarkan pertanyaan bernada datar namun menusuk. "Tidak ada yang khusus,” sahutnya ragu. "Jauhi dia." "Eh, kenapa?” Kedua mata Davina mengerjab bingung. Raut wajah pria itu tampak menegang saat menyinggung tentang hal yang berkaitan dengan sepupunya. Lucas mendengus kasar. "Jangan banyak bertanya, lakukan saja apa yang aku katakan." "Aku hanya mengobrol, lagipula dia sepupumu. Bukankah wajar bila aku mengakrabkan diri dengan keluargamu?" ujar Davina. Raut wajah Lucas mengelap, tatapannya berubah tajam. Aura dingin yang memancar dari mata itu membuat Davina seketika gugup, ia meremas jemarinya demi menguatkan diri. "Sebaiknya kau mendengarkan kata-kata ku," tegas Lucas seraya menegakkan punggungnya, mencapai posisi yang membuatnya tampak serius. Matanya menatap lekat dan dalam, menembus netra yang bergetar, takut-takut untuk balas menatapnya. "Terutama bila kamu tidak ingin apa yang kamu sembunyikan tercium keluar." Davina terbelalak kaget. Kalimat ambigu yang diucapkan dengan nada datar tanpa penekanan itu, seolah telah berhasil menampar kesadarannya. "A-apa maksudmu?" cicit Davina takut-takut. Jemarinya menggenggam erat sudut luar dari sofa berwarna abu gelap yang didudukinya. Detik itu, aura gelap menyelimuti tubuh Lucas seiring dia mendekati Davina. “Jangan berpura-pura bodoh. Kau jelas tahu maksudku, E-L-E-A-N-A.” *****Davina membeku di tempat. Wajahnya memucat, seolah darahnya berhenti mengalir saat mendengar nama Eleana meluncur dari bibir Lucas—penuh tekanan dan curiga. ‘Apa … dia tahu kebenarannya?’ batinnya panik, tubuhnya mulai bergetar halus. Lucas mendengus pelan melihat reaksi Davina, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan berjalan menuju pintu. Saat pintu terbuka, kepala pelayan yang berjaga di luar segera menegakkan tubuh. “Bawa wanita ini ke ruangannya,” titah Lucas dingin. “Baik, Tuan,” jawab kepala pelayan sambil memberi hormat. Ia kemudian menoleh kepada Davina. “Nyonya, silakan.” Davina terdiam sejenak. Pandangannya beralih pada Lucas, yang kini menatap tajam—tatapan muak, seolah kehadirannya mencemari udara. “Apa yang kau tunggu? Keluar,” perintah Lucas, nadanya membuat jantung Davina mencelos. Tak ingin menambah amarah pria itu, Davina segera berlari kecil mengikuti kepala pelayan. Begitu pintu ruang kerja tertutup di belakangnya, ia sempat menoleh ke belakang, mena
Cahaya pagi menyelinap malu-malu dari sela tirai sutra, menyapu lembut wajah Davina yang masih tenggelam dalam mimpi buruknya. Gerakan samar dari kelopak matanya diikuti desahan pelan, seolah tubuh dan pikirannya enggan untuk bangun dan menerima kenyataan. Ia menggeliat perlahan, tangan meraba sekitar ranjang yang terlalu luas untuk dirinya sendiri. Kasur empuk, selimut tebal berlapis satin, dan bantal lembut yang dipenuhi aroma lavender mahal—semua ini terasa asing, jauh dari kamar kecil yang dulu selalu menenangkannya saat malam terasa menyesakkan. Matanya terbuka perlahan, dan langit-langit dengan ukiran klasik serta lampu gantung kristal menyambutnya. Kemewahan itu tak memberi rasa aman. Justru membuatnya menghela napas panjang, penuh tekanan. ‘Ini bukan rumahku. Ini bukan hidupku. Ini malapetaka, penjara seumur hidup.’ Ia bangkit pelan, melipat lutut dan menyandarkan kening pada lengannya sendiri. Ingatannya mengulang seperti rekaman rusak—suara Lucas, tatapan tajam, dan ancam
“Kenapa?” tanya Lucas setelah beberapa saat memperhatikan istrinya dari sudut mata. Suaranya datar, namun tajam. “Gugup?” Sepanjang perjalanan menuju mansion keluarga Dawson, Davina nyaris tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya suara napasnya yang terdengar halus, diselingi debar yang mengalun tak menentu. Pandangannya tertunduk, wajahnya tersembunyi di balik helai rambut panjangnya. Ia tengah menanggung gelisah yang tak bisa ia jelaskan, seolah ada badai yang akan segera datang, tapi ia tak tahu dari arah mana. Davina menengadah pelan, menatap Lucas sejenak lalu mengangguk kecil. “Se-sedikit takut,” gumamnya. Lucas mengangkat sebelah alis. “Apa kau berbuat kesalahan?” Nada itu mengandung sindiran, tapi juga pengujian. Ia tahu betul bahwa wanita di sampingnya kerap kali menyimpan segala sesuatu dalam diam, dan ia ingin tahu sampai sejauh mana ketakutan itu membuat wanita itu rentan. “Ti-tidak,” jawab Davina cepat, terlalu cepat. Lucas tak membalas. Ia hanya menghela napas pel
“Apa?!” Maria bangkit dari duduknya. “Tidak mungkin! Itu pasti akal-akalan wanita itu!” Davina terhenyak. Ia menggeleng panik. “A-aku… tidak tahu apa-apa…” Lucas diam. Tatapannya tajam, tapi ia tak menoleh ke arah istrinya. Ia sudah bisa menebak bahwa ini adalah langkah kakeknya untuk mencegahnya menyingkirkan menantu pilihannya setelah mendapat semua warisan. Lucas marah, tapi lebih dari itu—ia merasa dikendalikan… Lagi! “Hentikan, Ma,” potong Lucas akhirnya. Maria masih memandang Davina dengan tatapan penuh amarah. “Kau pasti memanipulasi Papa! Kau pikir dengan saham itu kau bisa bertahan di keluarga ini?” “Cukup.” Lucas berdiri, kini menatap semua orang di ruangan itu. “Tak ada yang salah dengan berbagi saham antara suami dan istri.” Senyumnya dingin. Ia memandang Davina sejenak. Tatapan wanita itu menyiratkan ketakutan, tapi juga kebingungan yang tulus. Lucas tahu wanita itu bukanlah aktris berbakat. Justru karena itulah ia merasa… semakin terjebak. “Apa masih ada yang ha
“Nyonya, apa Anda ingin camilan sore?” tawar Herman dengan suara lembut yang khas, seperti biasa, penuh hormat namun tetap bersahabat. Tak banyak yang bisa dilakukan Davina di rumah ini. Hanya menghabiskan waktu dengan termenung tanpa tujuan. Ia duduk di tepi sofa ruang tamu yang megah, dengan mata yang sejak tadi terpaku pada jendela besar menghadap taman belakang. Tatapannya kosong, mengembara jauh dari tempatnya kini. Davina menggeleng pelan. “Tidak, Herman. Terima kasih.” Suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, saat menatap kembali taman yang rindang dan tertata apik, hatinya tergerak. “Bolehkah aku duduk di taman belakang?” “Tentu saja,” jawab Herman tanpa ragu, senyum kecil menyembul di wajah ramahnya. “Saya akan menyiapkan teh hangat dan camilan ringan untuk menemani Anda. Udara sore hari ini cukup sejuk.” Davina mengangguk kecil. Kali ini, tawaran itu terasa tepat. Ia butuh ketenangan, dan mungkin, segelas teh manis serta udara luar bisa
Langkah Davina terasa berat saat menyusuri jalan setapak menuju rumah keluarga Carter. Setiap pijakan seperti membawa beban tak kasat mata yang terus menghimpit dadanya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena amarah sang ayah, melainkan ketakutan—takut akan kenyataan yang bisa saja terbongkar oleh pertemuan tak terencana ini. Di sampingnya, Lucas berjalan tenang. Sementara dirinya tenggelam dalam pusaran pikiran, pria itu tetap gagah, seolah tak tergoyahkan oleh apapun. “Kenapa kamu tidak menekan bel?” tegur Lucas, memecah lamunannya. Davina terkesiap. “Eh?” lirihnya tergagap. Matanya nanar, terombang-ambing antara kenyataan dan kekhawatiran. Baru saat itu ia sadar bahwa mereka telah berdiri di depan pintu kediaman Carter. “Aku akan menghubungi Ayah. Mungkin mereka sedang tidak di rumah,” elaknya sambil menyibak isi tas kecilnya, tangan gemetar mencari ponsel. Lucas menghentikannya. “Tak perlu.” Dengan gerakan pelan namun tegas, telunjuk Lucas menekan bel di sisi dinding
“Siapa kamu sebenarnya?”Davina bagai bisa mendengar pertanyaan yang terucap tanpa suara, dari balik tatapan Lucas. Namun ia tak berdaya, kuasa keluarga Carter bagai rantai yang mengunci rapat mulutnya.“Nak Lucas, Ayah baru saja mendengar kabar kalau kamu akan segera diangkat menjadi presiden direktur Dawson Group.” Lucas mengalihkan tatapannya dari istrinya. Ia mendengus samar karena pria tua dihadapannya mulai menunjukkan maksud yang sebenarnya. “Ya,” ucapnya sembari menaikkan dagu. “Sejak awal posisi itu dipersiapkan untuk ku, hanya masalah waktu saat aku bisa berada di kursi itu,” lanjutnya dengan kepercayaan diri penuh.Abraham tertawa keras meski hatinya menggeram kesal. Pria muda itu tak sedikitpun menunjukkan rasa hormat. Bahkan Dawson Junior itu tak segan menunjukkan arogansi dihadapannya.“Ayah sungguh bangga memiliki menantu sepertimu,” cetus Abraham. Cecilia mengangguk setuju. “Eleana sungguh beruntung,” imbuhnya.Duo Carter itu telah menetapkan tekad, menyanjung bocah
“Nyonya, anda ingin tambahan kue?” Davina menggeleng lemah, menanggapi pertanyaan kepala pelayan yang tengah menatapnya dengan sorot cemas. “Anda baik-baik saja? Saya bisa meminta dokter keluarga Dawson untuk datang.” “Tidak, Herman. Aku baik-baik saja,” cegah Davina. Davina tidak sakit, dia hanya dilema karena Lucas mengabaikannya sejak mereka kembali dari kediaman keluarga Carter. Mungkin akan terdengar lucu, Davina merasa Lucas mengabaikannya padahal dari sejak awal, pria dingin itu tak benar-benar menganggapnya sebagai istri. Tapi kali ini serasa berbeda, Lucas mengabaikannya dalam artian yang sebenarnya. Pria itu bahkan tak menunggunya untuk sarapan bersama seperti yang mereka lakukan sejak kedatangan Davina ke rumah ini. “Nyonya, bisakah anda berhenti mengaduk-aduk sisa makanan? Para pelayan telah menunggu cukup lama hanya untuk memindahkan piring anda,” usik Herman gemas. Davina mendesah dalam lalu mendorong piring yang belepotan krim itu dari hadapannya. “Herman, apa
Langit sore tampak sendu, memantulkan warna abu yang samar pada kaca jendela besar di café milik Baron. Suasana di dalam cukup lengang, hanya beberapa pelanggan yang tengah sibuk dengan laptop dan secangkir kopi mereka. Di sudut dekat rak buku, Davina duduk gelisah. Jemarinya saling menggenggam erat, berkali-kali ia mencuri pandang ke arah pintu, menunggu sosok yang tadi pagi mengirimkan pesan singkat. ‘Kita perlu bicara. Temui aku di tempat Baron. Jangan menunda lagi, Eleana.’ Saat pintu terbuka dan lonceng kecil di atasnya berdenting, jantung Davina berdetak lebih cepat. Megan masuk dengan langkah mantap, tanpa senyum, tanpa basa-basi. Ia berjalan lurus ke arah meja tempat Davina duduk, lalu menarik kursi dan duduk dengan anggun tapi penuh tekanan. Saat tatapan mereka bertemu, Megan tak membuang waktu. “Aku ingin penjelasan. Kali ini, tanpa kebohongan,” ucapnya tajam. Davina menelan ludah. Suara Megan terdengar datar, tapi menyimpan bara. Ia tahu, hari ini tak bisa lagi bersembu
Lucas bersandar santai di kursinya, tak menunjukkan sedikit pun rasa terganggu. Ia menyuap sesendok terakhir sarapannya, lalu mengusap bibir dengan serbet linen. Matanya menatap Maria dan Eleana satu per satu, sebelum akhirnya berhenti pada Davina yang kini terlihat tegang. “Kalian datang membawa kabar menyedihkan, rupanya.” Suaranya tenang. “Davina kehilangan ibunya. Rumahnya pun hilang. Sungguh... kisah yang menyayat hati.” Maria tersenyum kecil, mencoba membaca sikap Lucas yang terlihat terlalu santai untuk situasi seperti ini. “Jadi,” lanjut Lucas pelan, “kalian ingin... Davina tinggal di rumah ini?” “Kalau diizinkan,” jawab Maria cepat. “Itu akan sangat membantu Davina melewati masa-masa sulitnya dan Eleana akan berkumpul lagi dengan sepupu terdekatnya.” Lucas diam sejenak, mengaduk cangkir kopinya dengan pelan. Denting logam melawan keramik mengisi ruang hening itu, menciptakan ketegangan yang tak kasat mata. Lalu ia tersenyum. “Sayangnya, aku tidak terbiasa menerima
Minggu pagi di rumah besar milik Lucas berlangsung tenang dan hangat.Cahaya matahari merambat masuk melalui tirai tipis, membentuk garis-garis cahaya lembut yang menari di atas meja makan. Aroma kopi dan nasi goreng hangat memenuhi udara, menyatu dengan keheningan damai yang mengisi ruangan.Davina duduk tenang di kursinya, menikmati sarapan spesial yang sengaja dipersiapkannya. Di depannya, Lucas menatap dengan sorot mata hangat, seperti sedang menghafal tiap lekuk wajah istrinya.Percakapan mereka ringan, mengalir seperti aliran sungai yang jernih. Tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Seolah pertengkaran dan keraguan itu tak pernah ada.“Ini enak.” Lucas menunjuk isi piringnya.“Aku tidak tahu kamu bisa masak.”Davina tersenyum, malu-malu. “Ah… aku cuma bisa membuat menu simpel. Kamu suka?”Lucas mengangguk, kembali menyendok sarapannya tanpa banyak kata. Tak perlu banyak bicara—suasana nyaman itu sudah cukup bicara banyak.Namun, ketenangan itu terputus tiba-tiba oleh
“Ma.”Eleana menghampiri sang ibu yang tengah santai di taman belakang, sibuk membolak-balik halaman majalah.Wanita paruh baya itu menurunkan majalah di tangannya, lalu melirik sang putri. “Ada apa, Sayang?”Eleana duduk dengan malas di kursi yang kosong. “Aku ingin bicara tentang Davina.”Wajah sang ibu langsung berubah. Keningnya berkerut. Ketidaksukaannya pada anak sambungnya itu terlalu besar untuk bisa disembunyikan.“Kenapa kamu harus membahas wanita pembawa sial itu?” dengusnya tak senang.“Aku tahu Mama muak mendengar namanya, aku juga. Tapi kali ini aku butuh bantuan Mama.”“Katakan’lah, Sayang. Berhenti bertele-tele karena kamu mulai membuat ku pusing.”“Aku ingin posisiku kembali,” ucap Eleana tegas.Alis sang ibu bertaut bingung. “Apa maksudmu?”“Aku ingin Davina keluar dari rumah Dawson dan mengembalikan posisi itu padaku.”Raut wajah sang ibu menegang. “Apa kamu menyukai Lucas?” tebaknya. “Bukankah sebelumnya kamu bilang tidak ingin menikah dengan pria mengerikan itu?”
Davina memekik kaget saat tubuhnya terangkat ke udara dan mendarat dalam dekapan Lucas. “Kalau begitu, lebih baik kita menunggu waktu makan malam di kamar saja,” kata Lucas ceria, seolah tak ada kemarahan di wajahnya beberapa menit lalu. “Eh! Lucas, turunkan aku!” Davina berusaha menggeliat, tetapi pria itu justru mempererat pelukannya, mengangkatnya seperti seorang pengantin baru. “Tenang saja. Kamu butuh istirahat setelah semua drama hari ini.” Davina mendengus pelan, namun tak lagi melawan. Kepalanya bersandar di bahu Lucas, mencoba menyembunyikan rona merah yang belum juga surut dari wajahnya. Langkah kaki Lucas mantap menaiki anak tangga menuju lantai dua. Aroma maskulin dari tubuhnya begitu dekat, membuat napas Davina nyaris tercekat. Ia tak bisa menyangkal bahwa hatinya berdetak lebih cepat setiap kali pria itu menunjukkan sisi lembutnya, meski dalam waktu yang tak terduga. Pintu kamar terbuka tanpa suara. Lucas menurunkan tubuh Davina dengan lembut di atas ranjang king s
Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan. “Kenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?” Lucas mendesis kasar. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?" “A-apa? Aku tidak—” Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. “Aku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian," elaknya tak terima. "Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas. Davina bergidik ngeri kala wajah itu melempar sorot mata mengancam. "Mu-mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk. Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu lebih cepat?" "I-itu ..." Davina kehabi
“Apa yang kalian bicarakan?” Buru Baron begitu melihat dua wanita itu masuk ke dalam ruangan. Megan menggelengkan kepalanya, mencegah Baron untuk banyak bertanya. “Apa semua persiapannya sudah selesai?” “Ya,” sahut Baron. Pandangannya menajam, meminta penjelasan tak terucap dari kedua wanita yang sebelumnya tampak bersitegang. “Semua sudah selesai.” “Terima kasih, Baron.” Megan berpaling pada wanita disampingnya. “Sampai nanti, Eleana,” pamitnya. Davina menatap punggung yang perlahan meninggalkannya. Meski untuk saat ini, Megan bersedia untuk menjaga rahasianya tapi itu bukanlah jaminan kuat karena pada suatu hari, rahasia ini akan terbongkar juga, cepat ataupun lambat. “Kenapa Megan memanggilmu dengan nama Eleana?” tanya Baron. Davina mengulas senyum tipis. “Dia hanya salah mengenaliku sebagai Eleana,” ucapnya sembari mengutuk diri karena kembali harus merangkai kebohongan. “Hmm,” gumam Baron samar. Ia tak lagi memburu Davina dengan pertanyaan karena ia yakin, wanita itu tak ak
“Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari kami, Eleana?”“A-aku …” Davina terbata seraya menundukkan pandangannya dalam-dalam. Ia terlalu takut untuk membalas sorot mata tajam yang diarahkan padanya. “A-ada hal yang tak bisa ku ceritakan padamu.”Megan melemparkan tubuhnya ke atas sofa lalu menghela napas panjang. “Baron adalah sahabat sekaligus saudara bagiku. Hubungan kami sangat dekat hingga tak ada satupun rahasia diantara kami.”“Aku sering mendengarnya memuji salah satu karyawan terbaik yang bernama Davina tapi, aku tidak menyangka bila wanita yang dimaksud Baron adalah kamu, Eleana,” lanjut Megan. Mengurai kisah sekaligus mengkonfirmasi kecurigaan yang terlintas di benaknya. “Jadi, siapa kamu sebenarnya? Davina atau’kah Eleana?”Davina mendapati adanya tuntutan dari balik kalimat panjang yang diutarakan Megan. Membuatnya seketika tak bisa berkutik. “A-aku …”“Jangan coba berbohong lagi, Eleana!” Sergah Megan tegas. Raut wajahnya mengeras saat menekan emosi yang bergejolak dalam ba
“Ke mana kita akan membawanya?” Tanya Davina setelah berhasil mengeluarkan puluhan paperbag dari bagasi mobil.“Tinggalkan saja disana, Davina. Aku akan membawanya masuk,” sahut Allan, teman dekat pemilik cafe.“Tidak perlu sungkan, Allan,” kekeh Davina. “Asal kau tahu, aku disini untuk bekerja,” ujarnya seraya memainkan alisnya untuk membuat mimik wajah lucu yang mengundang tawa.Allan terkikik geli. “Kau dan bos mu itu sama saja, keras kepala,” ejeknya.“Siapa yang sedang mengejekku?” sindir Baron yang datang membawa dua pria muda. “Bawa masuk dan susun di meja.” Perintahnya yang disambut anggukan kompak oleh dua pemuda.“Kalian berdua, mulailah bekerja. Apa kalian akan bercanda sepanjang hari?” Baron beralih pada Davina dan Allan yang terpaku di depan tumpukan paperbag.Allan memasang wajah cengengesan sedangkan Davina bergegas untuk mengangkut jumlah paperbag yang mampu ia bawa.“Ayolah, Baron. Jangan bersikap terlalu keras pada Davina,” keluh Allan. Ia harus memperingatkan sang pe