Davina bergelung dalam tidurnya dan perlahan membuka mata seraya berharap apa yang terjadi kemarin hanyalah sekedar mimpi dan sekarang waktunya terjaga di dunia nyata.Pandangannya menyisir langit-langit dan langsung bertemu dengan lampu ganti kristal yang mewah yang seketika membuatnya mendesah lelah. Ia bangkit menekuk wajahnya di atas lipatan tangan, bertumpu pada kedua tungkai. Benaknya kembali mengulang apa yang dikatakan Lucas. Entah mengapa, setiap kata yang keluar dari bibir tipis itu terdengar bagai ancaman bagi Davina. Membuat hatinya selalu diselimuti rasa takut sekaligus bersalah."Tidak mungkin dia tahu, kan?" Desahnya. "Apa semuanya sudah berakhir?" Gumamnya seraya menggigit ujung kuku ibu jari—kebiasaan buruknya saat gelisah. "Tidak … tidak!" Seru Davina sambil menggelengkan kepalanya. Mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Kalau memang Lucas tahu kebenarannya, dia pasti sudah melumat ku menjadi remahan."“Nyonya Eleana.” Suara ketukan disertai
“Kenapa?” tanya Lucas setelah memperhatikan beberapa saat. “Gugup?”Sepanjang perjalanan, istrinya itu lebih banyak diam, bahkan dia terus saja menunduk. Menyembunyikan kegundahan di hatinya.Davina mengangkat pandangan lalu mengangguk kecil. “Se-sedikit takut.”“Apa kamu berbuat kesalahan?” Lucas memainkan alisnya demi memancing ekspresi wanita yang masih menekuk wajahnya.“Ti-tidak,” balas Davina cepat. “Lalu, mengapa kamu harus takut?” Lucas menekan tuas pintu mobil dan keluar dari sana. Davina terhenyak oleh pertanyaan Lucas hingga tak menyadari pria itu telah berjalan memutar dan berdiri di pintu yang berlawanan dan membukanya.“Apa kamu akan terus melamun?”Davina menatap tangan yang terulur ke hadapannya. Beberapa kali, perlakuan manis Lucas membuatnya kaget sekaligus salah tingkah.Ia menyambut tangan yang segera menggenggam jemarinya dan menarik tubuhnya keluar dari mobil.“Bersikap’lah seperti biasanya. Tak akan ada yang berani menyentuhmu selama kau berdiri di sampingku,”
“Lucas, aku—”Davina baru saja ingin membela dirinya dihadapan Lucas. Namun pria itu mengangkat tangannya untuk menghentikan apapun yang ingin Davina katakan.“Simpan saja energi mu, aku tidak membutuhkan penjelasan apapun,” cegah Lucas ketus. Ia beralih pada ponselnya, mengetikkan beberapa pesan sebelum membalikkan badan, menuju ruang kerjanya.Punggung tegap yang perlahan menghilang di balik pintu, membuat Davina resah. Ia takut bila Lucas terpengaruh dengan asumsi sang ibu dan kembali bersikap kasar padanya.“Nyonya, apa anda ingin cemilan sore?” tawar Herman.Davina menggeleng lesu. “Tidak, Herman.” Tolaknya. Pandangan Davina terpaku pada rimbunnya pepohonan di taman belakang yang belum sempat ia kunjungi. “Bolehkah aku duduk di taman belakang?”“Tentu saja,” balas Herman diiringi senyum ramah. “Saya akan menyiapkan es teh dan camilan ringan untuk menemani anda.”Kali ini davina tak membantah, menurutnya ide kepala pelayan sangatlah tepat. Ia berharap, bisa menikmati pemandangan s
Davina menyeret langkahnya, gelisah memikirkan petaka yang menunggunya di kediaman keluarga Carter. Bukan amarah sang Ayah, namun pertemuan tak terencana yang mungkin saja bisa membongkar rahasia ini.“Kenapa kamu tidak menekan bel?” Suara Lucas menarik kembali kesadaran Davina. “Eh?” Davina gelagapan, bersikap linglung bagai kehilangan arah. Pandangannya tak fokus, teralih antara pintu dan sosok sang suami yang menunggu reaksinya.Asumsi demi asumsi yang berkutat dalam benaknya telah mengalihkan perhatiannya hingga tidak menyadari bahwa mereka telah berdiri di depan pintu masuk.“Aku akan menghubungi Ayah, mungkin saja mereka sedang tak ada di rumah,” alih Davina beralasan. Tangannya bergetar saat merogoh isi tas, mencari ponselnya.“Tak perlu,” tahan Lucas. Telunjuknya menekan tombol di dinding sembari mengulas senyum miring, mengejek kepanikan sang istri. “Tenanglah, Eleana. Jangan tunjukkan kelemahanmu di depan musuh,” desisnya gemas.“A-apa?” Davina tak sempat mendengar penje
“Siapa kamu sebenarnya?”Davina bagai bisa mendengar pertanyaan yang terucap tanpa suara, dari balik tatapan Lucas. Namun ia tak berdaya, kuasa keluarga Carter bagai rantai yang mengunci rapat mulutnya.“Nak Lucas, Ayah baru saja mendengar kabar kalau kamu akan segera diangkat menjadi presiden direktur Dawson Group.” Lucas mengalihkan tatapannya dari istrinya. Ia mendengus samar karena pria tua dihadapannya mulai menunjukkan maksud yang sebenarnya. “Ya,” ucapnya sembari menaikkan dagu. “Sejak awal posisi itu dipersiapkan untuk ku, hanya masalah waktu saat aku bisa berada di kursi itu,” lanjutnya dengan kepercayaan diri penuh.Abraham tertawa keras meski hatinya menggeram kesal. Pria muda itu tak sedikitpun menunjukkan rasa hormat. Bahkan Dawson Junior itu tak segan menunjukkan arogansi dihadapannya.“Ayah sungguh bangga memiliki menantu sepertimu,” cetus Abraham. Cecilia mengangguk setuju. “Eleana sungguh beruntung,” imbuhnya.Duo Carter itu telah menetapkan tekad, menyanjung bocah
“Nyonya, anda ingin tambahan kue?” Davina menggeleng lemah, menanggapi pertanyaan kepala pelayan yang tengah menatapnya dengan sorot cemas. “Anda baik-baik saja? Saya bisa meminta dokter keluarga Dawson untuk datang.”“Tidak, Herman. Aku baik-baik saja,” cegah Davina. Davina tidak sakit, dia hanya dilema akan perasaannya karena Lucas mengabaikannya sejak mereka kembali dari kediaman keluarga Carter.Mungkin akan terdengar lucu, Davina merasa Lucas mengabaikannya padahal dari sejak awal, pria dingin itu tak benar-benar menganggapnya sebagai istri.Tapi kali ini serasa berbeda, Lucas mengabaikannya dalam artian yang sebenarnya. Pria itu bahkan tak menunggunya untuk sarapan bersama seperti yang mereka lakukan sejak kedatangan Davina ke rumah ini.“Nyonya, bisakah anda berhenti mengaduk-aduk sisa makanan? Para pelayan telah menunggu cukup lama hanya untuk memindahkan piring anda,” usik Herman gemas.Davina mendesah dalam lalu mendorong piring yang belepotan krim itu dari hadapannya. “H
Davina duduk di sofa ruang tengah sambil menggosok perutnya yang terasa begah—efek dari puluhan stroberi yang bersarang di perutnya.“Harusnya aku mengendalikan diri! Memasukkan semua buah itu ke dalam mulut,” gerutunya. “Karma manusia tamak.”“Kenapa? Perutmu sakit?”“Eh, Lucas?” Davina nyaris menjerit senang begitu melihat sosok tampan yang muncul dihadapannya. “Kamu pulang?”“Bukankah ini rumah ku? Kamu tidak suka aku pulang?” Selidik Lucas sambil memicingkan matanya. Ia memilih duduk di sofa yang sama, disamping sang istri.Davina mengibaskan tangan. “Tidak, tidak! Aku tidak berpikiran seburuk itu,” kilahnya cepat.Ia tak ingin Lucas kembali marah dan mengabaikannya. Dua hari saja, ia tidak melihat wajah tampan itu mengomel, hati Davina gundah.“Apa kamu tidak marah lagi?”Satu alis Lucas naik untuk membentuk pertanyaan tak terucap. “Kamu membuat masalah?” “Aku tidak.” Davina menggeleng lemah dengan wajah tertunduk lesu.Ekspresi itu terlihat menggemaskan bagi Lucas, hingga ia ha
Davina memejamkan matanya perlahan, menyambut sentuhan lembut di bibirnya. Meski tak menuntut, namun terasa sangat intens. Merengkuhnya dalam kehangatan hingga membuat kunang-kunang berpendar di bawah akal sehatnya yang melambung tinggi.Ia kembali membuka mata saat gerakan di bibirnya perlahan memudar, pandangannya langsung berhadapan dengan mata yang meredup, seakan dibayangi awan kelabu. Lucas tak berucap apapun, hanya menatapnya lekat seraya mengusap lembut permukaan bibir Davina dengan ibu jari. Lucas bangkit dengan gerakan cepat dan kembali menekan, tanpa memberi celah bagi sang istri untuk mengatur langkah—melarikan diri. Lucas mendorong tubuh ramping itu hingga merapat ke sudut sofa, mengungkung di bawah kuasanya. Pikiran Lucas dibayangi bisikan setan, menyeru seraya memaksanya untuk melepaskan kendali. “Lu-lucas …” desah Davina terbata. Ia panik begitu pria yang mengurung tubuhnya, kembali mendekapnya. “Tunggu, A-aku …”Lucas mengulas senyum tipis lalu merendahkan tubuhnya,
Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan.“Kenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?” Desis Lucas marah. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?"“A-apa? Aku tidak—” Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. “Aku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian. Bahkan aku belum sempat menyapanya," elaknya tak terima."Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas.Davina bergidik ngeri kala suara itu mengecamnya dan melempar sorot mata tajam. "Mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk.Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu le
“Apa yang kalian bicarakan?” Buru Baron begitu melihat dua wanita itu masuk ke dalam ruangan.Megan menggelengkan kepalanya, mencegah Baron untuk banyak bertanya. “Apa semua persiapannya sudah selesai?”“Ya,” sahut Baron. Pandangannya menajam, meminta penjelasan tak terucap dari kedua wanita yang sebelumnya tampak bersitegang. “Semua sudah selesai.”“Terima kasih, Baron.” Megan berpaling pada wanita disampingnya. “Sampai nanti, Eleana,” pamitnya.Davina menatap punggung yang perlahan meninggalkannya. Meski untuk saat ini, Megan bersedia untuk menjaga rahasianya tapi itu bukanlah jaminan kuat karena pada suatu hari, rahasia ini akan terbongkar juga, cepat ataupun lambat.“Kenapa Megan memanggilmu dengan nama Eleana?” tanya Baron.Davina mengulas senyum tipis. “Dia hanya salah mengenaliku sebagai Eleana,” ucapnya sembari mengutuk diri karena kembali harus merangkai kebohongan.“Hmm,” gumam Baron samar. Ia tak lagi memburu Davina dengan pertanyaan karena ia yakin, wanita itu tak akan men
“Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari kami, Eleana?”“A-aku …” Davina terbata seraya menundukkan pandangannya dalam-dalam. Ia terlalu takut untuk membalas sorot mata tajam yang diarahkan padanya. “A-ada hal yang tak bisa ku ceritakan padamu.”Megan melemparkan tubuhnya ke atas sofa lalu menghela napas panjang. “Baron adalah sahabat sekaligus saudara bagiku. Hubungan kami sangat dekat hingga tak ada satupun rahasia diantara kami.”“Aku sering mendengarnya memuji salah satu karyawan terbaik yang bernama Davina tapi, aku tidak menyangka bila wanita yang dimaksud Baron adalah kamu, Eleana,” lanjut Megan. Mengurai kisah sekaligus mengkonfirmasi kecurigaan yang terlintas di benaknya. “Jadi, siapa kamu sebenarnya? Davina atau’kah Eleana?”Davina mendapati adanya tuntutan dari balik kalimat panjang yang diutarakan Megan. Membuatnya seketika tak bisa berkutik. “A-aku …”“Jangan coba berbohong lagi, Eleana!” Sergah Megan tegas. Raut wajahnya mengeras saat menekan emosi yang bergejolak dalam ba
“Ke mana kita akan membawanya?” Tanya Davina setelah berhasil mengeluarkan puluhan paperbag dari bagasi mobil.“Tinggalkan saja disana, Davina. Aku akan membawanya masuk,” sahut Allan, teman dekat pemilik cafe.“Tidak perlu sungkan, Allan,” kekeh Davina. “Asal kau tahu, aku disini untuk bekerja,” ujarnya seraya memainkan alisnya untuk membuat mimik wajah lucu yang mengundang tawa.Allan terkikik geli. “Kau dan bos mu itu sama saja, keras kepala,” ejeknya.“Siapa yang sedang mengejekku?” sindir Baron yang datang membawa dua pria muda. “Bawa masuk dan susun di meja.” Perintahnya yang disambut anggukan kompak oleh dua pemuda.“Kalian berdua, mulailah bekerja. Apa kalian akan bercanda sepanjang hari?” Baron beralih pada Davina dan Allan yang terpaku di depan tumpukan paperbag.Allan memasang wajah cengengesan sedangkan Davina bergegas untuk mengangkut jumlah paperbag yang mampu ia bawa.“Ayolah, Baron. Jangan bersikap terlalu keras pada Davina,” keluh Allan. Ia harus memperingatkan sang pe
“Hai.”Davina melambaikan tangannya dengan ceria kala memasuki pintu cafe. Ia menyapa beberapa karyawan yang tengah membersihkan meja-meja sebelum waktunya membuka cafe.“Hei, Davina!” Teriakan dari ujung ruangan membuat Davina segera memupuskan senyum di bibirnya dan berganti dengan raut tegang. “Bos,” ucapnya sambil tersenyum canggung. “Apa kabar?”Kain lap melayang ke wajah Davina diiringi dengan gerutuan sang pemilik cafe.“Dari mana saja kamu, bocah nakal!”“Maafkan aku, Bos.” Davina berlari kecil, menghampiri sang bos yang telah menjadi malaikat penolong baginya selama dua tahun terakhir. “Aku tidak enak badan selama beberapa hari ini.”“Apa? Kamu sakit?” Buru Baron cemas. Ia mengelus pelan pipi Davina. “Ah, masih hangat.”“Sudah lebih baik, Bos,” elak Davina. Ia tidak ingin pria baik hati itu cemas akan kondisinya. Ini pula alasan Davina tidak ingin mengirimkan kabar perihal sakitnya.“Kamu yakin? Mengapa tidak mengabariku? Kamu bisa saja mengambil cuti hingga kondisimu benar-b
Davina memandang dua ruas jarinya yang tampak berkilauan. Entah sejak kapan, dua benda indah ini melingkari jemarinya. Pagi ini, begitu membuka matanya, Davina dikejutkan oleh dua cincin yang menghiasi jarinya. Salah satunya merupakan cincin pernikahan. ‘Apa Lucas yang memasangkannya?’ pikir Davina ragu.Dua cincin itu membuat Davina merasa spesial, ia merasa dihargai meski hanya sebagai istri pajangan di rumah ini.“Nyonya, apa anda sudah selesai dengan mangkuk itu?” Usik Herman bernada sindiran.Sejak sepuluh menit yang lalu, kepala pelayan itu telah menunggu dengan sabar di sudut ruangan. Memperhatikan gerak-gerik nyonya muda yang terus saja memandangi jemarinya tanpa berniat menyentuh bubir di dalam mangkuk.Davina berdehem pelan untuk menutupi rasa bersalahnya. “Maafkan aku, Herman. Tapi bisakah aku menyudahinya?”“Kenapa? Apa tidak sesuai dengan selera anda?” Herman menunggu jawaban dengan mimik wajah serius. “Tidak … tidak,” elak Davina. Raut wajahnya keruh, menjadi serba sal
“Bos, saya mendapat informasi kalau rumah yang ditempati Nyonya Davina dan ibunya di sita oleh bank,” lapor Gio.Lucas menutup dengan keras map laporan yang tengah ia baca. “Di sita?” Ulangnya ragu.“Seminggu yang lalu, bank mengirimkan surat peringatan terakhir. Namun, dari pihak Carter tidak menunjukkan tanggapan sehingga bank memutuskan untuk menyita rumah itu, tepat dua hari yang lalu.”“Jadi itu alasannya ke rumah gadai?” Tebak Lucas yakin. “Dari penelusuran saya, sejak dulu Tuan Carter mengabaikan Nyonya Davina dan ibunya. Keduanya sengaja diasingkan dari rumah utama keluarga Carter.” Gio mengambil napas panjang untuk meneruskan kalimatnya.“Bahkan Tuan Carter tidak pernah mengakui nyonya Davina sebagai darah dagingnya,” lanjut Gio. Dari balik intonasi suaranya, terdengar nada kasihan atas nasib hidup seorang Davina.Pancaran dibalik sorot mata Lucas mengeras. “Ambil alih rumah itu dan bawakan aku semua data aset beserta hutang Carter.” Ia menarik senyum miring di sudut bibirny
“A-aku …” Davina menunduk dalam. “Maafkan aku, Lucas,” sesalnya.Lucas tak bergeming. Ia sudah cukup muak mendengar kata yang sama keluar dari bibir wanita yang dibalut oleh banyak kebohongan.Davina memutar cincin di jarinya demi menutupi kegugupan yang ia rasakan. Ia merapatkan tubuhnya demi mengusir dingin yang menyerang. Tiba-tiba suhu ruangan perlahan menurun, menjadi semakin dingin hingga membuat tubuhnya bergetar.“Apa kamu butuh uang?”Tebakan Lucas membuat Davina terbelalak lalu perlahan menunduk lesu. “Hhh …” Suara desahan Lucas terdengar berat dan dalam. Pria itu meraih dagu Davina dan mengangkat paksa hingga pandangan keduanya saling bertemu.“Terlepas dari apapun alasan pernikahan ini tapi, di mata negara aku sah sebagai suamimu,” tuturnya tegas. “Apapun yang kamu butuhkan ataupun masalah yang sedang kamu hadapi, kamu bisa mengatakannya padaku karena itu semua menjadi tanggung jawabku sebagai seorang suami.”Kelopak mata Davina bergetar, menatap haru wajah tampan itu. M
Lucas menggerakkan tangan kanannya untuk menyeka bulir keringat yang mengembun di kening istrinya, sedangkan tangan kirinya tak lepas dari genggaman pemilik wajah pucat yang terlelap lelah.“Apa yang sebenarnya kamu lakukan disana?” Lucas menatap cemas.Benaknya terus mempertanyakan hal yang sama, menuntut sebuah jawaban yang bisa memuaskan rasa penasaran berbalut kecemasan.Ia mengusap lembut pipi yang bersemu kemerahan dengan mata sembab akibat menangis sepanjang hari.“Tuan.”Lucas menjauhkan tangannya dari wajah Davina, menegakkan punggung lalu berpaling untuk menanggapi panggilan Herman.“Ada apa?”“Tuan Gio datang bersama beberapa orang lainnya. Mereka menunggu anda di taman belakang,” urai Herman bernada gelisah.“Aku tahu,” balas Lucas seraya melambaikan tangannya acuh untuk mengusir pria tua itu dari hadapannya.Herman menunduk hormat dan segera keluar. Ia cukup paham tabiat sang pemilik rumah. Raut wajahnya yang suram, menunjukkan suasana hatinya yang kelam serta emosi yang