Davina memejamkan matanya perlahan, menyambut sentuhan lembut di bibirnya. Meski tak menuntut, namun terasa sangat intens. Merengkuhnya dalam kehangatan hingga membuat kunang-kunang berpendar, membawa akal sehatnya hingga melambung tinggi. Ia kembali membuka mata saat gerakan di bibirnya perlahan memudar, pandangannya langsung berhadapan dengan mata yang meredup, seakan dibayangi awan kelabu. Lucas tak berucap apapun, hanya menatapnya lekat seraya mengusap lembut permukaan bibir Davina dengan ibu jari. Lucas bangkit dengan gerakan cepat dan kembali menekan, tanpa memberi celah bagi sang istri untuk mengatur langkah—melarikan diri. Lucas mendorong tubuh ramping itu hingga merapat ke sudut sofa, mengungkung di bawah kuasanya. Pikiran Lucas dibayangi bisikan setan, menyeru seraya memaksanya untuk melepaskan kendali. “Lu-lucas …” desah Davina terbata. Ia panik begitu pria yang mengurung tubuhnya, kembali mendekapnya. “Tunggu, A-aku …” Lucas mengulas senyum tipis lalu merendahkan tubu
“Mengapa dia menciumku?” Davina menyentuh bibirnya yang masih diselimuti kehangatan seraya menatap pantulan wajahnya di cermin. Merah! Bahkan jauh lebih merah daripada pasta tomat. Jantung Davina kembali berdetak kencang kala mengingat lagi sentuhan lembut di bibirnya. Serangan tiba-tiba itu membuatnya nyaris lupa cara bernapas. ‘Lucas menciumku … Apa dia menyukaiku?’ bola liar kembali bergulir dalam pikiran Davina. Menerka-nerka apa yang terjadi pada pria sedingin es kutub yang tiba-tiba mencair. Davina menepuk kedua pipinya yang dihiasi senyum lebar. “Tidak Davina! Apa yang kamu pikirkan,” sergahnya panik. “Kamu tak boleh lupa, Davina! Posisi mu di rumah ini hanya sebagai pengganti Eleana,” tegas Davina pada bayangan dirinya di balik cermin. Ia berbalik, melemparkan tubuhnya ke ranjang. “Lucas tidak mungkin menyukai ku, pria itu hanya peduli pada warisannya,” desahnya sembari menatap langit-langit. ‘Yah, tidak mungkin!’ Davina meraih ponselnya yang kembali berdering. Ia t
“Nafsu tidak membutuhkan kata cinta, istriku.” Kalimat Lucas membuat emosi Davina meluap. Ia tak pernah menyangka, ternyata Lucas menilainya serendah itu! ‘Pria ini gila!’ umpat Davina demi mengabaikan emosi yang tak tertahankan. Bila menuruti amarahnya, Davina ingin melayangkan tamparan keras disertai cakaran di wajah tampan itu. Namun tubuhnya tak berpendapat serupa. Seluruh sendi di tubuhnya kaku, membuat tangan dan kaki enggan beranjak. Bahkan Davina tak mampu menggerakkan bibirnya untuk sekedar memaki pria dihadapannya. Melihat wajah panik istrinya, Lucas tak mampu lagi menahan tawanya. “Eleana, apa kamu berpikir aku serius?” kekehnya mengejek. “Apa maksudmu?” Davina bengong, susah payah mencerna maksud di balik tawa Lucas. “Dengar Eleana, bagiku pernikahan ini hanya formalitas. Bahkan sedikitpun aku tidak tertarik untuk menyentuhmu,” tutur Lucas datar. Mata Davina melebar. “Tapi, tadi kamu mencium—” “Yah, aku sedikit terbawa suasana tapi hanya sebatas itu, tak lebih.”
Sinar matahari yang masuk diantara celah tirai, mengusik tidur wanita yang bergelung nyaman di atas dada bidang. “Hmm …” Davina bergumam pelan, membalik tubuhnya demi menghindar dari sengatan hangat. Perlahan ia membuka matanya, mengerjap perlahan seraya meneliti langit-langit yang menaunginya. ‘Ah ya! Aku tidur di kamar Lucas,” pikirnya kala sadar akan nuansa kamar yang berbeda. ‘Tapi, tunggu …’ Davina beranjak cepat dan terkejut begitu mendapati adanya pria tidur disampingnya—bertelanjang dada. “Apa?” Davina menyentak selimut yang menutupi tubuhnya. “Syukurlah,” desahnya lega karena semua pakaiannya masih lengkap seperti semula. “Bodoh.” Suara desisan, mengusik perhatian Davina. Ia berpaling untuk menyapa wajah tampan yang tengah menatapnya dengan sorot mata mengejek. “Kenapa kamu disini Lucas?” Lucas beranjak turun dari ranjang, meraih kimono tidur berbahan sutra untuk menutupi tubuh atas yang terbuka. “Pertanyaan terbodoh yang pernah ku dengar,” desisnya. “Apa kau lupa?
Suara nyaring dari lonceng kecil yang berfungsi sebagai penanda, menggetarkan daun pintu kala Davina mendorong dan memasuki bangunan berlantai dua. Ia tersenyum lebar begitu mendapati Baron yang tengah menyeduh teh, meliriknya sebal. Tampaknya sang bos tak berniat untuk berpura-pura, menutupi kekesalannya. “Akhirnya kau tahu jalan pulang,” sindir Baron. “Tak bisakah kau berbaik hati padaku kali ini, Bos?” Davina memasang wajah polos dengan senyum cengengesan. “Aku hanya butuh istirahat beberapa hari.” “Kau tahu ‘kan?” Baron mengangkat satu alisnya, menunjukkan raut wajah serius. “Alasan klise tak mempan padaku,” desisnya. Davina meringis ngeri, namun tak sepenuhnya menanggapi amarah Baron karena ia tahu, bosnya itu hanya mencemaskannya. “Mengaku’lah, apa pasangan gila itu kembali mendobrak pintu dan memukuli mu?” tebak Baron. Bukan sekali dua kali ia mendapati Davina tiba-tiba menghilang dan kembali dengan jejak lebam di sekujur tubuh. “Mereka orangtua ku, Bos,” kekeh Davina.
Gio melangkah cepat, memasuki ruang presiden direktur demi menyampaikan kabar buruk yang baru ia terima.“Tuan Lucas,” seru Gio mengusik wajah serius yang tengah menekuni puluhan berkas dihadapannya.“Apa kau lupa cara mengetuk?” Sindir Lucas tanpa bergeming.“Ah, maafkan saya.” Gio berdehem gugup, menyeka bulir keringat di keningnya. “Tapi, saya ingin menyampaikan berita penting.”“Apa?”“Tuan Sebastian baru saja mengadakan rapat tertutup dengan para direktur,” lapor Gio. Kepanikan berhasil menggetarkan pita suaranya.Kening Lucas berkedut tak senang. “Bocah itu selalu saja melempar kotoran,” desisnya geram.“Informan kita mengatakan kalau beberapa direksi sepakat untuk memboikot acara pesta peresmian anda sebagai presiden direktur nanti malam.”Lucas mendengus sinis. “Tikus-tikus pengerat itu mulai bertingkah di luar kemampuan,” balasnya. “Hubungi anggota komite, minta mereka berkumpul sekarang juga di ruang rapat.”“Eh, tapi …” Gio membulatkan matanya, bingung. “Maaf, Tuan Lucas. Da
Lucas!Davina menyilangkan telunjuk di depan bibirnya, meminta Eleana untuk tak bersuara. Setelah memastikan suasana di sekitarnya cukup hening, baru ia mulai menggeser tombol hijau di layar."Apa yang kau lakukan? Kenapa lama sekali mengangkat ponsel mu!" Pertanyaan bernada berat itu seketika menyambut begitu Davina meletakkan ponsel di telinganya."Aku baru menyadari getar ponsel," cicit Davina takut. "Di mana kau? Herman mengatakan kau pergi sedari pagi.""Ah, itu …" Davina melirik wanita dihadapannya sekilas sebelum kembali fokus untuk menjawab pertanyaan Lucas. "Aku menemui temanku," ucapnya setengah berbisik.Eleana mengeram tak senang kala mendengar kata teman yang diutarakan Davina sebagai alasan namun ia tak mencoba untuk berdebat."Kau lupa? Kamu harus menemaniku ke pesta malam ini. Segera pulang!”Davina bergidik takut kala suara kasar itu mengakhiri sambungan ponsel. Desah nafasnya mendadak lesu, ia yakin akan segera menerima amarah Lucas begitu menginjakkan kakinya di rum
Mata Lucas terpaku pada sosok wanita yang mengayunkan langkahnya—masuk, melewati pintu mobil dan duduk disampingnya dengan wajah menunduk takut.“Eleana?” tanya Lucas ragu. “Maaf, apa kita terlambat? Aku sudah berusaha secepat mungkin,” sesal Davina.Lucas mengangkat dagu yang terus tertunduk dalam. “Lumayan,” gumamnya puas. “Hmm?” Davina terpaku pada wajah yang berkali lipat lebih tampan dari biasanya.Lexus mewah itu mulai bergerak, mengabaikan penumpang—sepasang insan yang saling bertatapan. Berbagi pujian tanpa kata.“Eleana,” ucap Lucas mengawali kalimatnya. “Pesta ini sangat penting bagi ku.”“Bisakah kamu bekerja sama?” Lanjutnya seraya mengusapkan jemarinya lembut, menyusuri garis rahang dan pipi bulat yang menggemaskan.“Kamu tak perlu mengulang hal yang sama Lucas. A-aku bukan bayi,” sanggah Davina terbata. Sentuhan Lucas membuatnya gugup, hingga nyaris tak bisa mengeluarkan suara. “Kamu tenang saja. Aku janji, hari ini akan menjadi gadis penurut.”Lucas menarik tubuhnya sa
Lucas bersandar santai di kursinya, tak menunjukkan sedikit pun rasa terganggu. Ia menyuap sesendok terakhir sarapannya, lalu mengusap bibir dengan serbet linen. Matanya menatap Maria dan Eleana satu per satu, sebelum akhirnya berhenti pada Davina yang kini terlihat tegang. “Kalian datang membawa kabar menyedihkan, rupanya.” Suaranya tenang. “Davina kehilangan ibunya. Rumahnya pun hilang. Sungguh... kisah yang menyayat hati.” Maria tersenyum kecil, mencoba membaca sikap Lucas yang terlihat terlalu santai untuk situasi seperti ini. “Jadi,” lanjut Lucas pelan, “kalian ingin... Davina tinggal di rumah ini?” “Kalau diizinkan,” jawab Maria cepat. “Itu akan sangat membantu Davina melewati masa-masa sulitnya dan Eleana akan berkumpul lagi dengan sepupu terdekatnya.” Lucas diam sejenak, mengaduk cangkir kopinya dengan pelan. Denting logam melawan keramik mengisi ruang hening itu, menciptakan ketegangan yang tak kasat mata. Lalu ia tersenyum. “Sayangnya, aku tidak terbiasa menerima
Minggu pagi di rumah besar milik Lucas berlangsung tenang dan hangat.Cahaya matahari merambat masuk melalui tirai tipis, membentuk garis-garis cahaya lembut yang menari di atas meja makan. Aroma kopi dan nasi goreng hangat memenuhi udara, menyatu dengan keheningan damai yang mengisi ruangan.Davina duduk tenang di kursinya, menikmati sarapan spesial yang sengaja dipersiapkannya. Di depannya, Lucas menatap dengan sorot mata hangat, seperti sedang menghafal tiap lekuk wajah istrinya.Percakapan mereka ringan, mengalir seperti aliran sungai yang jernih. Tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Seolah pertengkaran dan keraguan itu tak pernah ada.“Ini enak.” Lucas menunjuk isi piringnya.“Aku tidak tahu kamu bisa masak.”Davina tersenyum, malu-malu. “Ah… aku cuma bisa membuat menu simpel. Kamu suka?”Lucas mengangguk, kembali menyendok sarapannya tanpa banyak kata. Tak perlu banyak bicara—suasana nyaman itu sudah cukup bicara banyak.Namun, ketenangan itu terputus tiba-tiba oleh
“Ma.”Eleana menghampiri sang ibu yang tengah santai di taman belakang, sibuk membolak-balik halaman majalah.Wanita paruh baya itu menurunkan majalah di tangannya, lalu melirik sang putri. “Ada apa, Sayang?”Eleana duduk dengan malas di kursi yang kosong. “Aku ingin bicara tentang Davina.”Wajah sang ibu langsung berubah. Keningnya berkerut. Ketidaksukaannya pada anak sambungnya itu terlalu besar untuk bisa disembunyikan.“Kenapa kamu harus membahas wanita pembawa sial itu?” dengusnya tak senang.“Aku tahu Mama muak mendengar namanya, aku juga. Tapi kali ini aku butuh bantuan Mama.”“Katakan’lah, Sayang. Berhenti bertele-tele karena kamu mulai membuat ku pusing.”“Aku ingin posisiku kembali,” ucap Eleana tegas.Alis sang ibu bertaut bingung. “Apa maksudmu?”“Aku ingin Davina keluar dari rumah Dawson dan mengembalikan posisi itu padaku.”Raut wajah sang ibu menegang. “Apa kamu menyukai Lucas?” tebaknya. “Bukankah sebelumnya kamu bilang tidak ingin menikah dengan pria mengerikan itu?”
Davina memekik kaget saat tubuhnya terangkat ke udara dan mendarat dalam dekapan Lucas. “Kalau begitu, lebih baik kita menunggu waktu makan malam di kamar saja,” kata Lucas ceria, seolah tak ada kemarahan di wajahnya beberapa menit lalu. “Eh! Lucas, turunkan aku!” Davina berusaha menggeliat, tetapi pria itu justru mempererat pelukannya, mengangkatnya seperti seorang pengantin baru. “Tenang saja. Kamu butuh istirahat setelah semua drama hari ini.” Davina mendengus pelan, namun tak lagi melawan. Kepalanya bersandar di bahu Lucas, mencoba menyembunyikan rona merah yang belum juga surut dari wajahnya. Langkah kaki Lucas mantap menaiki anak tangga menuju lantai dua. Aroma maskulin dari tubuhnya begitu dekat, membuat napas Davina nyaris tercekat. Ia tak bisa menyangkal bahwa hatinya berdetak lebih cepat setiap kali pria itu menunjukkan sisi lembutnya, meski dalam waktu yang tak terduga. Pintu kamar terbuka tanpa suara. Lucas menurunkan tubuh Davina dengan lembut di atas ranjang king s
Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan. “Kenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?” Lucas mendesis kasar. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?" “A-apa? Aku tidak—” Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. “Aku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian," elaknya tak terima. "Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas. Davina bergidik ngeri kala wajah itu melempar sorot mata mengancam. "Mu-mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk. Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu lebih cepat?" "I-itu ..." Davina kehabi
“Apa yang kalian bicarakan?” Buru Baron begitu melihat dua wanita itu masuk ke dalam ruangan. Megan menggelengkan kepalanya, mencegah Baron untuk banyak bertanya. “Apa semua persiapannya sudah selesai?” “Ya,” sahut Baron. Pandangannya menajam, meminta penjelasan tak terucap dari kedua wanita yang sebelumnya tampak bersitegang. “Semua sudah selesai.” “Terima kasih, Baron.” Megan berpaling pada wanita disampingnya. “Sampai nanti, Eleana,” pamitnya. Davina menatap punggung yang perlahan meninggalkannya. Meski untuk saat ini, Megan bersedia untuk menjaga rahasianya tapi itu bukanlah jaminan kuat karena pada suatu hari, rahasia ini akan terbongkar juga, cepat ataupun lambat. “Kenapa Megan memanggilmu dengan nama Eleana?” tanya Baron. Davina mengulas senyum tipis. “Dia hanya salah mengenaliku sebagai Eleana,” ucapnya sembari mengutuk diri karena kembali harus merangkai kebohongan. “Hmm,” gumam Baron samar. Ia tak lagi memburu Davina dengan pertanyaan karena ia yakin, wanita itu tak ak
“Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari kami, Eleana?”“A-aku …” Davina terbata seraya menundukkan pandangannya dalam-dalam. Ia terlalu takut untuk membalas sorot mata tajam yang diarahkan padanya. “A-ada hal yang tak bisa ku ceritakan padamu.”Megan melemparkan tubuhnya ke atas sofa lalu menghela napas panjang. “Baron adalah sahabat sekaligus saudara bagiku. Hubungan kami sangat dekat hingga tak ada satupun rahasia diantara kami.”“Aku sering mendengarnya memuji salah satu karyawan terbaik yang bernama Davina tapi, aku tidak menyangka bila wanita yang dimaksud Baron adalah kamu, Eleana,” lanjut Megan. Mengurai kisah sekaligus mengkonfirmasi kecurigaan yang terlintas di benaknya. “Jadi, siapa kamu sebenarnya? Davina atau’kah Eleana?”Davina mendapati adanya tuntutan dari balik kalimat panjang yang diutarakan Megan. Membuatnya seketika tak bisa berkutik. “A-aku …”“Jangan coba berbohong lagi, Eleana!” Sergah Megan tegas. Raut wajahnya mengeras saat menekan emosi yang bergejolak dalam ba
“Ke mana kita akan membawanya?” Tanya Davina setelah berhasil mengeluarkan puluhan paperbag dari bagasi mobil.“Tinggalkan saja disana, Davina. Aku akan membawanya masuk,” sahut Allan, teman dekat pemilik cafe.“Tidak perlu sungkan, Allan,” kekeh Davina. “Asal kau tahu, aku disini untuk bekerja,” ujarnya seraya memainkan alisnya untuk membuat mimik wajah lucu yang mengundang tawa.Allan terkikik geli. “Kau dan bos mu itu sama saja, keras kepala,” ejeknya.“Siapa yang sedang mengejekku?” sindir Baron yang datang membawa dua pria muda. “Bawa masuk dan susun di meja.” Perintahnya yang disambut anggukan kompak oleh dua pemuda.“Kalian berdua, mulailah bekerja. Apa kalian akan bercanda sepanjang hari?” Baron beralih pada Davina dan Allan yang terpaku di depan tumpukan paperbag.Allan memasang wajah cengengesan sedangkan Davina bergegas untuk mengangkut jumlah paperbag yang mampu ia bawa.“Ayolah, Baron. Jangan bersikap terlalu keras pada Davina,” keluh Allan. Ia harus memperingatkan sang pe
“Hai.” Davina melambaikan tangannya dengan ceria kala memasuki pintu cafe. Ia menyapa beberapa karyawan yang tengah membersihkan meja-meja sebelum waktunya membuka cafe. “Hei, Davina!” Teriakan dari ujung ruangan membuat Davina segera memupuskan senyum di bibirnya dan berganti dengan raut tegang. “Bos,” ucapnya sambil tersenyum canggung. “Apa kabar?” Kain lap melayang ke wajah Davina diiringi dengan gerutuan sang pemilik cafe. “Dari mana saja kamu, bocah nakal!” “Maafkan aku, Bos.” Davina berlari kecil, menghampiri sang bos yang telah menjadi malaikat penolong baginya selama dua tahun terakhir. “Aku tidak enak badan selama beberapa hari ini.” “Apa? Kamu sakit?” Buru Baron cemas. Ia mengelus pelan pipi Davina. “Ah, masih hangat.” “Sudah lebih baik, Bos,” elak Davina. Ia tidak ingin pria baik hati itu cemas akan kondisinya. Ini pula alasan Davina tidak ingin mengirimkan kabar perihal sakitnya. “Kamu yakin? Mengapa tidak mengabariku? Kamu bisa saja mengambil cuti hingga kondisim