Suara nyaring dari lonceng kecil yang berfungsi sebagai penanda, menggetarkan daun pintu kala Davina mendorong dan memasuki bangunan berlantai dua. Ia tersenyum lebar begitu mendapati Baron yang tengah menyeduh teh, meliriknya sebal. Tampaknya sang bos tak berniat untuk berpura-pura, menutupi kekesalannya.“Akhirnya kau tahu jalan pulang,” sindir Baron.“Tak bisakah kau berbaik hati padaku kali ini, Bos?” Davina memasang wajah polos dengan senyum cengengesan. “Aku hanya butuh istirahat beberapa hari.”“Kau tahu ‘kan?” Baron mengangkat satu alisnya, menunjukkan raut wajah serius. “Alasan klise tak mempan padaku,” desisnya.Davina meringis ngeri, namun tak sepenuhnya menanggapi amarah Baron karena ia tahu, bosnya itu hanya mencemaskannya.“Mengaku’lah, apa pasangan gila itu kembali mendobrak pintu dan memukuli mu?” tebak Baron. Bukan sekali dua kali ia mendapati Davina tiba-tiba menghilang dan kembali dengan jejak lebam di sekujur tubuh.“Mereka orangtua ku, Bos,” kekeh Davina.Baron b
Gio melangkah cepat, memasuki ruang presiden direktur demi menyampaikan kabar buruk yang baru ia terima.“Tuan Lucas,” seru Gio mengusik wajah serius yang tengah menekuni puluhan berkas dihadapannya.“Apa kau lupa cara mengetuk?” Sindir Lucas tanpa bergeming.“Ah, maafkan saya.” Gio berdehem gugup, menyeka bulir keringat di keningnya. “Tapi, saya ingin menyampaikan berita penting.”“Apa?”“Tuan Sebastian baru saja mengadakan rapat tertutup dengan para direktur,” lapor Gio. Kepanikan berhasil menggetarkan pita suaranya.Kening Lucas berkedut tak senang. “Bocah itu selalu saja melempar kotoran,” desisnya geram.“Informan kita mengatakan kalau beberapa direksi sepakat untuk memboikot acara pesta peresmian anda sebagai presiden direktur nanti malam.”Lucas mendengus sinis. “Tikus-tikus pengerat itu mulai bertingkah di luar kemampuan,” balasnya. “Hubungi anggota komite, minta mereka berkumpul sekarang juga di ruang rapat.”“Eh, tapi …” Gio membulatkan matanya, bingung. “Maaf, Tuan Lucas. Da
Lucas!Davina menyilangkan telunjuk di depan bibirnya, meminta Eleana untuk tak bersuara. Setelah memastikan suasana di sekitarnya cukup hening, baru ia mulai menggeser tombol hijau di layar."Apa yang kau lakukan? Kenapa lama sekali mengangkat ponsel mu!" Pertanyaan bernada berat itu seketika menyambut begitu Davina meletakkan ponsel di telinganya."Aku baru menyadari getar ponsel," cicit Davina takut. "Di mana kau? Herman mengatakan kau pergi sedari pagi.""Ah, itu …" Davina melirik wanita dihadapannya sekilas sebelum kembali fokus untuk menjawab pertanyaan Lucas. "Aku menemui temanku," ucapnya setengah berbisik.Eleana mengeram tak senang kala mendengar kata teman yang diutarakan Davina sebagai alasan namun ia tak mencoba untuk berdebat."Kau lupa? Kamu harus menemaniku ke pesta malam ini. Segera pulang!”Davina bergidik takut kala suara kasar itu mengakhiri sambungan ponsel. Desah nafasnya mendadak lesu, ia yakin akan segera menerima amarah Lucas begitu menginjakkan kakinya di rum
Mata Lucas terpaku pada sosok wanita yang mengayunkan langkahnya—masuk, melewati pintu mobil dan duduk disampingnya dengan wajah menunduk takut.“Eleana?” tanya Lucas ragu. “Maaf, apa kita terlambat? Aku sudah berusaha secepat mungkin,” sesal Davina.Lucas mengangkat dagu yang terus tertunduk dalam. “Lumayan,” gumamnya puas. “Hmm?” Davina terpaku pada wajah yang berkali lipat lebih tampan dari biasanya.Lexus mewah itu mulai bergerak, mengabaikan penumpang—sepasang insan yang saling bertatapan. Berbagi pujian tanpa kata.“Eleana,” ucap Lucas mengawali kalimatnya. “Pesta ini sangat penting bagi ku.”“Bisakah kamu bekerja sama?” Lanjutnya seraya mengusapkan jemarinya lembut, menyusuri garis rahang dan pipi bulat yang menggemaskan.“Kamu tak perlu mengulang hal yang sama Lucas. A-aku bukan bayi,” sanggah Davina terbata. Sentuhan Lucas membuatnya gugup, hingga nyaris tak bisa mengeluarkan suara. “Kamu tenang saja. Aku janji, hari ini akan menjadi gadis penurut.”Lucas menarik tubuhnya sa
“Lucas …” Davina dan Sebastian kompak berpaling, menanggapi suara yang menyela diantara keduanya.Menyadari aura gelap disekitar Lucas, Davina segera beringsut—menjauh dari sisi Sebastian karena dia yakin suaminya tak suka melihatnya terlalu dekat dengan Sebastian.“Kau sangat pandai dalam berpura-pura serta membalikkan fakta,” tandas Lucas.Raut wajah Sebastian meredup sesaat sebelum kembali dihiasi senyum terpaksa. “Lucas, kamu tidak pernah berubah. Tak bisakah kamu mengubur masa lalu dan bersikap lebih ramah padaku,” keluhnya.Lucas mendengus sinis lalu beralih pada sang istri. “Apa yang kamu lakukan disini? Bukan’kah tadi mau ke toilet?”“Aku baru saja kembali dan bertemu Sebastian,” jelas Davina cepat. Ia tak ingin terkena imbas dari amarah Lucas.“Ayo.” Lucas menarik lengan Davina hingga tubuh kurus itu terperangkap dalam dekapannya. Tangannya melingkar posesif di pinggang ramping wanitanya. “Kita harus menyapa tamu.”Tak sekedar menjauhkan sang istri dari jangkauan Sebastian,
“Apakah sulit?”Davina mengangkat pandangannya dari deret kudapan manis nan menggugah selera yang dihidangkan di atas meja panjang. Ia berbalik, menatap wanita disampingnya.“Maaf, aku terlalu fokus memilih pie. Apa anda mengatakan sesuatu, Nyonya Charles?” tanyanya. Davina canggung untuk menatap langsung wanita berparas anggun itu.“Santai saja, Eleana. Panggil nama ku saja,” ujar Megan.Davina menatap kagum wanita yang tengah tersenyum ramah padanya. “Megan …” ucapnya pelan. “Yah, itu terdengar lebih baik,” kekeh Megan senang.“Lalu, apa yang tadi anda tanyakan?” “Ah, aku hanya bertanya …” Megan menggantung kalimatnya demi meneliti ekspresi di wajah nyonya muda keluarga Dawson. “Apakah sulit menjadi istri Lucas?”Davina terdiam sesaat, mencerna maksud dari pertanyaan Megan. “Se-sedikit,” ungkapnya ragu. “Hanya sedikit?” Kekeh Megan. “Ku kira kau akan mengatakan, sangat sulit.”“Mengapa anda berpikir seperti itu?” Davina menautkan kedua alisnya, heran. “Tak ada orang yang tahan, b
“Eh?!” Bola mata Davina melebar, panik. “Tidak,” sergahnya cepat seraya melepaskan diri dari dekapan Lucas.Wajah Davina merah padam sedangkan otaknya sibuk mengurai makna dari kalimat Lucas.Davina malu-malu melirik pria yang melingkarkan lengan di pinggangnya. “A-aku lelah. Kita pulang saja. Bisakah?”Lucas menggeram pelan untuk menyembunyikan tawa geli yang menggelitik sudut bibirnya. Telah dipastikan, wanita itu paham apa yang diinginkan oleh Lucas. “Kenapa kamu harus malu?” Lucas menyentuh pipi yang meruam merah layaknya udang rebus. “Bukankah kita pasangan.”“A-aku tahu. Tapi …” Davina menggigit bibir bawahnya dengan netra yang bergetar. Tiba-tiba suara beserta kilau dari lampu blitz, menyela keinginan Davina untuk mengungkapkan perasaannya. Ia bergeser, menyembunyikan tubuhnya di balik dada Lucas—menghindari sorot lensa kamera.“Lucas …” desah Davina risih.Lucas menarik tangan sang istri, menempelkan kartu ke panel lift. Begitu pintu terlipat, Lucas mengiring Eleana masuk b
Davina menggeliat di atas ranjang, semenjak tiba di rumah perutnya terus bergejolak tak nyaman. Dada dan tenggorokannya terasa panas menyengat, disertai rasa asam yang bergerak naik turun—membuatnya mual.‘Pasti karena lapar, seharian aku belum sempat makan apapun selain sepotong pie,’ pikir Davina.Ia perlahan turun dari ranjang. Menyeret langkahnya tertatih seraya menekan bagian perut yang nyeri—menusuk hingga ulu hati.Dengan segala upaya, akhirnya Davina berhasil mencapai area dapur. Ia membuka lemari es untuk mencari sesuatu yang bisa dijejalkan ke dalam perutnya yang terus merengek.“Apa yang kamu cari?” Jantung Davina nyaris melompat keluar begitu mendengar suara yang tiba-tiba terdengar dari sudut ruangan.Lampu di ruang makan yang terhubung langsung dengan area dapur bersih, tiba-tiba menyala—menerangi setiap sudut ruangan.“Lucas, kamu belum tidur?” Davina meringis pelan saat perutnya kembali berdenyut nyeri. “Apa kamu masih bekerja?”“Apa yang terjadi?” Lucas segera mengh