“Eh?!” Bola mata Davina melebar, panik. “Tidak,” sergahnya cepat seraya melepaskan diri dari dekapan Lucas.Wajah Davina merah padam sedangkan otaknya sibuk mengurai makna dari kalimat Lucas.Davina malu-malu melirik pria yang melingkarkan lengan di pinggangnya. “A-aku lelah. Kita pulang saja. Bisakah?”Lucas menggeram pelan untuk menyembunyikan tawa geli yang menggelitik sudut bibirnya. Telah dipastikan, wanita itu paham apa yang diinginkan oleh Lucas. “Kenapa kamu harus malu?” Lucas menyentuh pipi yang meruam merah layaknya udang rebus. “Bukankah kita pasangan.”“A-aku tahu. Tapi …” Davina menggigit bibir bawahnya dengan netra yang bergetar. Tiba-tiba suara beserta kilau dari lampu blitz, menyela keinginan Davina untuk mengungkapkan perasaannya. Ia bergeser, menyembunyikan tubuhnya di balik dada Lucas—menghindari sorot lensa kamera.“Lucas …” desah Davina risih.Lucas menarik tangan sang istri, menempelkan kartu ke panel lift. Begitu pintu terlipat, Lucas mengiring Eleana masuk b
Davina menggeliat di atas ranjang, semenjak tiba di rumah perutnya terus bergejolak tak nyaman. Dada dan tenggorokannya terasa panas menyengat, disertai rasa asam yang bergerak naik turun—membuatnya mual.‘Pasti karena lapar, seharian aku belum sempat makan apapun selain sepotong pie,’ pikir Davina.Ia perlahan turun dari ranjang. Menyeret langkahnya tertatih seraya menekan bagian perut yang nyeri—menusuk hingga ulu hati.Dengan segala upaya, akhirnya Davina berhasil mencapai area dapur. Ia membuka lemari es untuk mencari sesuatu yang bisa dijejalkan ke dalam perutnya yang terus merengek.“Apa yang kamu cari?” Jantung Davina nyaris melompat keluar begitu mendengar suara yang tiba-tiba terdengar dari sudut ruangan.Lampu di ruang makan yang terhubung langsung dengan area dapur bersih, tiba-tiba menyala—menerangi setiap sudut ruangan.“Lucas, kamu belum tidur?” Davina meringis pelan saat perutnya kembali berdenyut nyeri. “Apa kamu masih bekerja?”“Apa yang terjadi?” Lucas segera mengh
“Nyonya Eleana menderita Gastritis,” jelas dokter pribadi keluarga Dawson. Pria paruh baya itu menepuk pelan pundak Lucas. “Istri anda membutuhkan istirahat dan perhatian khusus, terutama masalah pada pola makan dan tidur yang teratur.”Lucas mengangguk paham. Ia melirik wajah yang terlelap setelah menerima injeksi obat penenang.“Dan satu hal lagi, Tuan Lucas. Sebaiknya anda menjaga kestabilan emosi Nyonya Eleana, karena stres berlebih bisa membuat kondisi beliau semakin memburuk,” pesan sang dokter.“Baiklah.” Sambut Lucas seraya bergumam samar. “Aku paham.”“Kalau begitu, saya pamit.”“Herman, antarkan dokter.” Lucas menjentikkan jarinya, memberi sinyal pada Herman untuk menggiringi sang dokter keluar dari kamarnya.“Mari, dokter.” Herman mengangguk patuh seraya dengan sopan mengajak sang dokter untuk ikut bersamanya.Setelah suasana lengang, Lucas kembali menatap pemilik wajah yang sesekali terlihat mengerutkan keningnya. ‘Hhh … kali ini aku terlalu berlebihan,’ sesalnya.Lucas
“Kak.” Davina enggan untuk menghentikan langkahnya keluar dari kediaman keluarga Carter, meski sayup-sayup ia bisa mendengar suara langkah kaki Eleana—setengah berlari, menyusulnya.“Davina, tunggu.”Niat Davina untuk segera enyah dari rumah ini harus terhenti karena Eleana berhasil menghadangnya.“Apa lagi yang kamu inginkan?”Eleana mengembangkan senyum manis di bibirnya. “Aku hanya ingin menawarkan bantuan.”“Bantuan?” Selidik Davina.“Ya.” Eleana menganggukkan kepalanya, masih dengan senyum yang kini tampak lebih jelas. “Apa?” Davina memicingkan matanya, curiga. “Hmm, aku bisa membujuk Ayah dan Ibu untuk menebus rumah itu asalkan kamu mau mengenalkan ku pada Lucas. Aku ingin perlahan mengenalnya.”Kalimat yang keluar dari bibir tipis dengan sapuan lipstik berwarna cerah itu seketika membuat Davina mengerang kesal.“Kamu gila? Tidak,” tegas Davina tanpa sedikitpun keraguan.“Kenapa? Ingat Davina! Kamu hanya seorang—”“Aku tahu,” potong Davina. “Aku ini hanya seorang pengganti ta
Davina duduk di lantai, bersandar pada pinggiran ranjang seraya menyandarkan tekuknya di bagian yang terasa empuk. Matanya melayang jauh, seakan menembus langit-langit kamar. Ingin rasanya, ia terbang jauh. Meninggalkan semua beban yang selama ini bergelayut di pundaknya.“Apa yang harus aku lakukan?” Gumamnya resah. “Harus’kah aku merelakan rumah itu?”Asumsi demi asumsi terus berputar dalam benaknya. Mencari kesimpulan terbaik bagi masalah yang tengah dihadapannya. Sederet alasan berarah menuju jalan buntu dan berakhir pada kata pasrah dan menyerah. Namun, ego di hati Davina berkeras—tak ingin menyerah. Davina telah berjuang lama untuk mendapatkan satu-satunya barang peninggalan sang ibu. Rumah dimana keluarganya berlindung dari panas dan hujan. Tempat dimana keduanya mengubur kenyataan bahwa mereka merupakan bagian dari Carter.Davina menenggelamkan wajahnya di balik lipatan tangan. “Ibu, apa yang harus ku lakukan? Aku tidak ingin kehilangan rumah kita,” lirihnya.Ia terdiam sej
“Hai, cewek.”Davina mengambil langkah mundur begitu dua pria muncul, menghadang langkahnya.“Kenapa sendirian, Sayang?” Davina menepis tangan yang berusaha menjamah tubuhnya. “Menjauh dari ku!” pekiknya ketakutan. “Si-siapa kalian?” Kedua pria itu tertawa kompak. Suaranya melengking, mengusik gendang telinga hingga terdengar menyebalkan.“Dia cantik, gimana kalau kita bersenang-senang dulu?” Pria dengan luka codet di pipi kanan, mengirimkan sinyal pada rekannya. Matanya jelalatan, menyusuri tubuh ramping Davina.“Jangan buang-buang waktu!” Tepis pria berkepala plontos. “Lepaskan cincin itu.” Pria itu menunjuk cincin di jari Davina dengan sorot penuh minat.“Tidak,” sergah Davina tegas meski dengan suara bergetar, seraya menyembunyikan tangannya di balik punggung.“Cepat.” Teriak pria lainnya yang mengeluarkan sebilah pisau lipat dari balik sakunya dan menodongkannya ke arah wanita malang itu. “Berikan!”“Tidak, tolong!” Teriak Davina seraya melemparkan pandangannya ke segala arah,
Lucas menggerakkan tangan kanannya untuk menyeka bulir keringat yang mengembun di kening istrinya, sedangkan tangan kirinya tak lepas dari genggaman pemilik wajah pucat yang terlelap lelah.“Apa yang sebenarnya kamu lakukan disana?” Lucas menatap cemas.Benaknya terus mempertanyakan hal yang sama, menuntut sebuah jawaban yang bisa memuaskan rasa penasaran berbalut kecemasan.Ia mengusap lembut pipi yang bersemu kemerahan dengan mata sembab akibat menangis sepanjang hari.“Tuan.”Lucas menjauhkan tangannya dari wajah Davina, menegakkan punggung lalu berpaling untuk menanggapi panggilan Herman.“Ada apa?”“Tuan Gio datang bersama beberapa orang lainnya. Mereka menunggu anda di taman belakang,” urai Herman bernada gelisah.“Aku tahu,” balas Lucas seraya melambaikan tangannya acuh untuk mengusir pria tua itu dari hadapannya.Herman menunduk hormat dan segera keluar. Ia cukup paham tabiat sang pemilik rumah. Raut wajahnya yang suram, menunjukkan suasana hatinya yang kelam serta emosi yang
“A-aku …” Davina menunduk dalam. “Maafkan aku, Lucas,” sesalnya.Lucas tak bergeming. Ia sudah cukup muak mendengar kata yang sama keluar dari bibir wanita yang dibalut oleh banyak kebohongan.Davina memutar cincin di jarinya demi menutupi kegugupan yang ia rasakan. Ia merapatkan tubuhnya demi mengusir dingin yang menyerang. Tiba-tiba suhu ruangan perlahan menurun, menjadi semakin dingin hingga membuat tubuhnya bergetar.“Apa kamu butuh uang?”Tebakan Lucas membuat Davina terbelalak lalu perlahan menunduk lesu. “Hhh …” Suara desahan Lucas terdengar berat dan dalam. Pria itu meraih dagu Davina dan mengangkat paksa hingga pandangan keduanya saling bertemu.“Terlepas dari apapun alasan pernikahan ini tapi, di mata negara aku sah sebagai suamimu,” tuturnya tegas. “Apapun yang kamu butuhkan ataupun masalah yang sedang kamu hadapi, kamu bisa mengatakannya padaku karena itu semua menjadi tanggung jawabku sebagai seorang suami.”Kelopak mata Davina bergetar, menatap haru wajah tampan itu. M